Dengan memperhatikan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher ini menitikberatkan pada
bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk menyinggung mitra tuturnya.
2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfiled
Bousfield 2008:3 berpandangan bahwa ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai,
‘The issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-
threatening acts FTAs that are purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi
‘kesembronoan’ gratuitous, dan konfliktif conflictive dalam praktik berbahasa yang tidak santun. Jadi, apabila
perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono gratuitous, hingga akhirnya tindakan berkategori
sembrono demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan purposeful, maka tindakan
berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan. Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat
diilustrasikan dengan situasi berikut. 1
Situasi: Pada siang hari, kakak hendak beristirahat. Namun, sang adik yang sedang
bermain dengan teman-temannya terlalu mengganggu istirahat kakaknya. 2
Wujud tuturan: a
Kakak : “Dik, mbok mainnya pindah di tempat yang lain sana Berisik tau, aku mau tidur.”
b Adik : “Ye... yang mau tidur kan Mbak, kok yang ribet aku? Kalau mau
tidur, ya tinggal tidur ta. Gitu aja kok repot.” Dari percakapan tersebut, dapat diketahui bahwa sang kakak berusaha
menegur sang adik dan teman-temannya supaya tidak berisik. Teguran ini dapat dilihat pada kalimat a yang dituturkan dengan nada tegas. Tuturan a tersebut
ingin menegaskan bahwa sang adik perlu memberikan ketenangan supaya sang kakak bisa tidur siang. Namun, sang adik tidak mengindahkan teguran kakaknya
melainkan memberikan komentar yang membuat sang kakak merasa jengkel. Komentar tersebut dapat dilihat pada kalimat b yang menandakan tuturan
disampaikan dengan sembrono. Dengan hal itu, tuturan sang adik tersebut dapat menimbulkan konflik dengan sang kakak yang bertindak sebagai penutur dan
mitra tutur.
Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield 2008 ini lebih
menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud selain untuk melecehkan dan menghina mitra tuturnya
dengan tanggapan semaunya secara sengaja sehingga dapat memungkinkan adanya konflik diantara penutur dan mitra tutur.
2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper