Kerajaan Mataram Kuno Pengaruh Hindu–Buddha terhadap

Peradaban Masa Hindu–Buddha 197 b. Prasasti Ciaruteun Prasasti Ciaruteun menggambarkan dua telapak kaki dengan tulisan Pallawa berbahasa Sanskerta. Arti tulisan tersebut kurang lebih berbunyi: “Dua telapak kaki yang seperti telapak kaki Dewa Wisnu ini adalah telapak kaki milik Yang Mulia sang Purnawarman, raja negara Taruma yang paling gagah di dunia”. c. Prasasti Kebon Kopi Prasasti Kebon Kopi ditemukan di Cibungbulang, Bogor. Prasasti ini menggambarkan dua telapak kaki gajah yang dinyatakan sebagai tapak kaki Airawata gajah kendaraan Dewa Wisnu. Isi prasasti tersebut sebagian tidak dapat dibaca karena ada bagian-bagian yang telah usang. d. Prasasti Jambu Prasasti ini disebut juga Prasasti Pasir Koleangkak, terletak di daerah perkebunan jambu, berjarak 30 km sebelah barat Bogor. Prasasti ini mengisahkan kehebatan Raja Purnawarman. e. Prasasti Lebak Prasasti Lebak memiliki kemiripan model tulisan dengan Prasasti Tugu. Prasasti Lebak yang ditemukan pada tahun 1947 isinya menggambarkan tentang keagungan dan kebesaran Raja Purnawarman. Selain prasasti yang telah disebutkan, ditemukan juga arca- arca sebagai bukti keberadaan Kerajaan Tarumanegara, antara lain Arca Rajasari, Arca Wishnu Cibuaya I, dan Arca Wishnu Cibuaya II. Selain dari prasasti-prasasti dan arca, juga diperoleh berita luar negeri dari Fa Hien, seorang Cina yang beragama Buddha. Berdasarkan berita dari catatan Fa Hien, diketahui bahwa penduduk Tarumanegara ada yang beragama Buddha, namun agama mayoritas penduduknya adalah Hindu.

3. Kerajaan Mataram Kuno

Ada banyak sumber berita yang menceritakan keberadaan Kerajaan Mataram Kuno. Sumber yang berupa peninggalan tertulis, di antaranya Prasasti Canggal 732 M, Prasasti Kalasan 778 M, Prasasti Karang Tengah 824 M, Prasasti Argapura 863 M, dan Prasasti Kedu 907 M. Sumber-sumber lainnya berupa dongeng-dongeng yang diceritakan secara turun-temurun. Ada satu dongeng yang dibukukan, yakni Babad Parahyangan, serta cerita-cerita dari luar negeri. Prasasti Canggal yang bertahun 732 M ditemukan pada sebuah bangunan lingga yoni di Gunung Wukir. Prasasti tersebut berhuruf Pallawa dengan bahasa Sanskerta. Berdasarkan prasasti tersebut, raja yang bernama Sanjaya membangun lingga yoni sebagai penghormatan kepada Dewa Syiwa. Dapat disimpulkan bahwa Raja Sanjaya dan sebagian besar rakyatnya beragama Hindu. Tugas Mandiri Sebutkan hal-hal penting yang dicatat Fa Hsien tentang Taruma- negara Gambar 7.14 Prasasti Ciaruteun Ciampea, Bogor yang sebelumnya dikenal dengan nama Prasasti Ciampea. Sumber: Ensiklopedi Umum untuk Pelajar Di unduh dari : Bukupaket.com Ilmu Pengetahuan Sosial SMP dan MTs Kelas VII 198 Kitab Babad Parahyangan menceritakan bahwa Sanjaya adalah keponakan dari seorang pangeran yang bernama Sanna. Dikisahkan bahwa Pangeran Sanna berperang dengan Raja Purbasora dari Galuh sekarang kita mengenalnya sebagai Ciamis. Karena kalah, Sanna lalu menyingkir ke Gunung Merapi. Kemudian, di kawasan Gunung Merapi tersebut dia membangun kerajaan baru. Raja pengganti Sanna, yakni Sanjaya kembali ke Galuh dan membalas kekalahan Sanna kepada Raja Purbasora. Berdasarkan hal tersebut, maka anak cucu Sanjaya yang memerintah di Mataram Lama kemudian disebut Dinasti Sanjaya. Selain itu, Sanjaya dikisahkan memiliki wilayah kekuasaan yang luas, bahkan hingga ke negeri Kamboja. Hal tersebut diceritakan oleh tiga sumber yang berbeda, yakni Babad Parahyangan, Abu Zayd seorang pengembara dari Arab, dan sebuah prasasti di Thailand. Diceritakan bahwa Dinasti Sanjaya yang merupakan penganut Hindu menyerang Kerajaan Chenla yang beragama Buddha di Kemir KhmerKamboja. Peperangan berakhir dengan kekalahan Chenla, kemudian raja Chenla yang bernama Jayawarman dibawa ke Mataram sebagai tawanan. Raja Jayawarman kemudian dibebaskan dan diberi sebidang tanah di Mataram. Di kemudian hari, keluarga Raja Jayawarman tersebut justru lebih berpengaruh daripada keluarga Sanjaya. Mereka pun dapat menguasai Jawa dan membangun dinasti baru, yakni Dinasti Syailendra. Dinasti Syailendra terkenal karena salah satu peninggalannya, yakni Candi Borobudur. Dinasti Syailendra yang beragama Buddha akhirnya lebih mendominasi pemerintahan. Sehingga, Mataram diperintah oleh dua dinasti, yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Wilayah Mataram pun terbagi dua, wilayah utara diperintah oleh Dinasti Syailendra dan wilayah selatan diperintah oleh Dinasti Sanjaya. Gambar 7.15 Kompleks Candi Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah merupakan peninggal- an Candi Hindu pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Sumber: Impact Postcards Gambar 7.16 Candi Borobudur, peninggalan Dinasti Syailendra. Sumber: Impact Postcards Di unduh dari : Bukupaket.com Peradaban Masa Hindu–Buddha 199 Kemudian, dua dinasti tersebut dapat dipersatukan dengan pernikahan Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu dengan Pramodhawardhani dari Dinasti Syailendra yang beragama Buddha. Rakai Pikatan memengaruhi istrinya untuk menuntut hak tahta Dinasti Syailendra dari Raja Balaputradewa adik Pramodhawardhani, sehingga perang saudara terjadi. Balaputradewa akhirnya kalah dan lari ke Sumatra. Dengan begitu, pemerintahan Mataram kembali dipersatukan di bawah Dinasti Sanjaya. Hal tersebut membuktikan walaupun rakyat Mataram Kuno berbeda agama Hindu dan Buddha, namun memiliki toleransi yang tinggi. Berdasarkan Prasasti Kedu bertahun 907 M yang dikeluarkan oleh Raja Rakai Watuhura Dyah Balitung, dapat diketahui nama- nama raja yang pernah memerintah Kerajaan Mataram Kuno. Raja-raja itu berturut-turut yakni Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggulan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watuhumalang, dan Rakai Watuhura Dyah Balitung. Sepeninggal Dyah Balitung, Mataram Kuno mengalami kemunduran dan berturut-turut diperintah oleh raja-raja yang lemah seperti Daksotama, Dyah Tulodong, dan yang terakhir Dyah Wawa. Raja Dyah Wawa memiliki perdana menteri sekaligus menantunya bernama Mpu Senduk yang pada akhirnya mengambil alih tahta dan memindahkan ibu kota kerajaan ke Jawa Timur. Setelah itu, riwayat Kerajaan Mataram Kuno berakhir.

4. Kerajaan Medang Kamulan, Kahuripan, dan Kediri