Keraton Watu Gilang dan Watu Gatheng

kaitannya dengan legenda raden Rangga yang dihempaskan oleh ayahnya, Panembahan Senapati, hingga tubuhnya menjebol dinding cepuri.

g. Baluwarti benteng kota

Baluwarti adalah benteng yang mengelilingi kota, dibangun dengan mempertimbangkan kondisi alam Kotagede, antara lain tampak pada sisi barat dan timur yang masing-masing dibangun mengikuti alur Sungai Gajah Wong dan Sungai Manggisan. Saat ini, keberadaannya secara keseluruhan hanya bisa diketahui dari sumber sekunder. Sisa benteng hanya terdapat beberapa tempat dalam bentuk reruntuhan Gambar 14. Beberapa sisa batu putih penyusun baluwarti ada yang dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai bahan bangunan rumah mereka. Gambar 14 Sisa-sisa benteng kota baluwarti

h. Parit keliling jagang

Kotagede dilengkapi pula dengan jagang parit keliling, di sekeliling cepuri dan baluwarti yang dibangun pertama. Jagang dalam yang mengelilingi cepuri dibuat selebar 20-30 cm dengan dalam sekitar 1-3 m. Sisa jagang dalam hanya tampak di beberapa tempat, antara lain di sisi barat dan selatan. Jagang luar dibuat mengikuti alur baluwarti dengan ukuran yang hampir sama dengan jagang dalam. Khusus untuk baluwarti sisi barat dan timur tidak memiliki jagang buatan karena sudah memanfaatkan jagang alami berupa aliran Sungai Gajah Wong dan Sungai Manggisan. Sisa jagang saat ini hanya bisa dilihat di beberapa tempat dan sebagian besar telah berubah wajah menjadi persawahan dan pemukiman penduduk di sebelah timur Kompleks Masjid Agung dan mengisyaratkan bahwa di lokasi kampung itu berada dahulu merupakan sebuah alun-alun Kraton Kotagede Gambar 15. Namun, tidak ada tanda- tanda fisik lagi yang tersisa dan berganti dengan pemukiman penduduk yang cukup padat. Gambar 15 Jagang yang telah direnovasi menjadi saluran drainase

i. Pasar Gede

Pasar Kotagede ini sudah ada sejak wilayah ini dibuka oleh Ki Ageng Pemanahan pada abad XVI M dan diduga kuat masih berada di tempatnya yang asli sejak dulu. Pasar Kotagede adalah salah satu wilayah yang diurus bersama-sama oleh pihak Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sejak Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Pasar ini telah mengalami beberapa kali renovasi, sehingga wajahnya telah berubah menjadi seperti pasar pada umumnya Gambar 16a dan 16b. Pasar Kotagede dibuka setiap hari dan puncaknya pada hari pasaran Legi. Pada hari pasaran Legi, situasi di pasar macet total, karena banyaknya pedagang dari beberapa tempat yang berjualan hingga ke badan jalan, terutama pedagang burung. a b Gambar 16 Suasana Pasar a timur, b barat