161 pertanian tahun berjalan. Hasil ini sesuai dengan hipotesis, mengingat tenaga
kerja yang telah terbiasa bekerja pada sektor non pertanian umumnya berusaha untuk bertahan pada sektor dimana mereka bekerja, di samping itu
upah pada sektor pertanian umumnya lebih rendah dari pada upah pada sektor non pertanian.
Temuan ini sekaligus membutikan teori Todaro dan Lewis, yang menyatakan bahwa upah pada sektor modern di perkotaan umumnya lebih
tinggi dari pada upah pada sektor pertanian di persedesaan. Jadi dengan meningkatkan investasi pada sektor modern membuat penyerapan tenaga kerja
sektor pertanian menurun, sementara penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian di perkotaan meningkat.
7.5. Kerangka Model Kinerja Perekonomian
Dalam penelitian ini kinerja perekonomian dilihat dari produk domestik regional bruto, penyerapan tenaga kerja, kemiskinan, dan inflasi. Oleh karena
produk domestik regional bruto, dan penyerapan tenaga kerja telah dibahas dalam blok output, maka pada bagian ini hanya akan dijelaskan tentang kemiskinan dan
inflasi. Hasil pendugaan model terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi, kemiskinan dan inflasi dapat dilihat pada Tabel 32.
7.5.1. Kemiskinan
Hasil pendugaan model persamaan kemiskinan menunjukkan nilai koefisien determinasi R
2
sebesar 0.9693. Hal tersebut menunjukkan bahwa
variabel-variabel penjelas; produk domestik regional bruto, jumlah populasi, pengangguran, dan jumlah penduduk miskin tahun sebelumnya, secara
bersama-sama dapat menjelaskan 96.93 persen fluktuasi variabel kemiskinan pada taraf nyata α 0.0001, yang ditunjukkan oleh F dengan nilai 1081.79,
dapat dilihat pada Tabel 32. Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa produk domestik regional
bruto, memiliki tanda negatif dan sesuai harapan, namun tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan pada kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
Koefisien elastisitas produk domestik regional bruto terhadap kemiskinan,
sebesar -0.0094 dalam jangka pendek dan sebesar -0.1758 dalam jangka panjang. Artinya apabila variabel produk domestik regional bruto, meningkat 10 persen,
maka kemiskinan akan turun sebesar 0.094 persen dalam jangka pendek dan 1.758 persen dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
PDRB kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan belum sepenuhnya dapat mengurangi angka kemiskinan yang ada. Dengan kata lain pertumbuhan
ekonomi yang ada belum berkualitas. Secara teoritis apabila PDRB meningkat berarti pendapatan masyarakat meningkat, maka kemiskinan cenderung
menurun, namun penurunan kemiskinan belum sebanding dengan laju pertumbuhan PDRB.
Tabel 32. Hasil Estimasi Model Kinerja Perekonomian Daerah
Persamaan Kemiskinan MISK
Peubah Estimasi
Prob[T] Elastisitas
F-hitung Adj R-Sq
J. Pendek J. Panjang
Intercept 580.0407
0.4902 -
- 1081.79
0.9693 PDRB
-0.00024 0.6209
-0.0094 -0.1758
POP 0.005544
0.4803 0.0409
0.7653 UNEP
0.03071 0.7853
0.0095 0.1776
LMISK 0.946619
.0001 -
-
Persamaan Inflasi INFL
Intercept -10.9780
0.8983 -
- 158,68
0.8520 TPGPD
0.000243 0.3551
0.0639 -
NEXP 0.000049
0.0200 0.0113
- INVS
-0.000040 0.1618
-0.0173 -
SBI -0.038560
0.4877 -0.0492
- INFLK
0.914515 .0001
1.0989 -
Jumlah penduduk memiliki tanda positif dan sesuai harapan, namun tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
apabila jumlah penduduk meningkat, maka jumlah penduduk miskin pada kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan akan meningkat. Koefisien
elastisitas jumlah populasi sebesar 0.0409 dalam jangka pendek dan sebesar 0.7653 dalam jangka panjang. Berarti apabila variabel jumlah populasi,
meningkat 10 persen, maka kemiskinan akan naik sebesar 0.4094 persen dalam jangka pendek dan 7.653 persen dalam jangka panjang. Temuan ini
cukup rasional karena apabila jumlah penduduk meningkat, besar
163 kemungkinan jumlah penduduk miskin akan meningkat, apalagi kalau
pertambahan penduduk tersebut bersumber dari penduduk meskin yang ada. Pengangguran memiliki tanda positif dan sesuai harapan namun tidak
berpengaruh nyata terhadap kemiskinan. Hal tersebut menunjukkan bahwa apabila pengangguran meningkat, maka kemiskinan akan meningkat.
Koefisien elastisitas pengangguran sebesar 0.0095 dalam jangka pendek dan sebesar 0.1776 jangka panjang. Berarti apabila variabel pengangguran
meningkat 10 persen, maka kemiskinan akan naik sebesar 0.094 persen dalam jangka pendek dan 1.776 persen dalam jangka panjang. Apabila pengangguran
meningkat maka secara teoritis akan meningkatkan jumlah penduduk miskin. Mengingat para pekerja yang tidak terserap pada lapangan kerja, maka
tentunya mereka tidak memperoleh pendapatan, sehingga berpontensi untuk menjadi miskin.
Jumlah penduduk miskin tahun sebelumnya, memiliki tanda positif dan sesuai harapan serta berpengaruh nyata terhadap kemiskinan. Berarti jumlah
penduduk miskin tahun berjalan mengikuti pola jumlah penduduk miskin tahun sebelumnya. Dengan kata lain penanggulangan kemiskinan yang dilakukan
pemerintah kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
7.5.2. Inflasi