18
uang yang akan digunakan pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat Suparmoko, 2002.
2.3. Desentralisasi Fiskal
Konsep desentralisasi fiskal yang selama ini dikenal dengan money follow function Bahl, 1994 mensyaratkan bahwa pembagian tugas dan tanggungjawab
kepada pemerintah daerah akan diiringi dengan pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam hal penerimaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah perlu dilakukan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah dapat dibiaya dengan sumber-sumber pembiayaan yang ada.
Sejalan dengan hal tersebut kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia diwujudkan dalam bentuk pemberian transfer kepada pemerintah daerah berupa
dana perimbangan, dana otonomi khusus dan penyesuaian, serta dalam bentuk instrumen peningkatan potensi pendapatan asli daerah PAD. Selain kedua
kebijakan tersebut pemerintah pusat juga mengalokasikan anggran kementrian dalam upaya pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas perbantuan, Simanjuntak,
2002; Basri, 2004; Mardiasmo, 2009. Pemberian tanggung jawab yang semakin besar kepada daerah, harus
diikuti oleh kemampuan daerah untuk memenuhi tingginya kebutuhan masyarakat akan pelayanan yang semakin baik. Untuk meningkatkan
kemampuan daerah dalam mendanai kebutuhan pengeluarannya, dan sekaligus meningkatkan akuntabilitas daerah, perlu upaya penguatan
kemampuan pemungutan pajak dan retribusi daerah, Suparmoko, 2002; Alisjahbana, 2000; Subiyantoro dan Rifat, 2004;
Mardiasmo, 2009. Kebijakan desentralisasi fiskal sesuai Undang-Undang Nomor 25 tahun
1999, diarahkan untuk: 1 meningkatkan ketahanan fiskal berkesinambung- an fiscal sustainability, 2 memperkecil ketimpangan keuangan pusat dan
daerah vertical imbalance, 3 mengkoreksi ketimpangan kemampuan keuanganantar daerah
horizontal imbalance
, 4meningkatkan akutanbilitas,
19 efektivitas, dan efisiensi kinerja pemerintah daerah, dan 5 meningkatkan
kualitas pelayanan dan partisipasi masyarakat di sektor publik Mahi, 2000. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur desentralisasi pelimpahan
wewenang dan tanggung jawab di bidang administrasi dan di bidang politik kepada pemerintah daerah. Dengan adanya pelimpahan wewenang kepada
pemerintahan daerah, dengan diikuti perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, diharapkan pengelolaan dan penggunaan anggaran sesuai dengan prinsip,
money follows function yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004. Tetapi mengingat desentralisasi di bidang administrasi juga berarti transfer
personal pegawai negeri sipil yang penggajiannya menjadi tanggung jawab daerah, prinsip money follows function, atau sebut saja penggunaan anggaran
sesuai fungsinya, tidak mungkin berlangsung. Menurut Lewis, 2001 hal ini terjadi karena dana alokasi umum DAU yang menjadi sumber utama pendapatan
daerah, sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin, sehingga anggaran untuk pembangunan menjadi kecil.
Siregar 2001 mengemukakan bahwa banyak daerah, pengeluaran untuk pembangunan tahun anggaran 2001 setelah otonomi daerahdesentralisasi lebih
rendah dari pos pengeluaran yang sama tahun anggaran 2000 sebelum desentralisasi. Sementara itu Halim 2001 ciri utama suatu daerah yang mampu
melaksanakan otonomi adalah; 1 kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-
sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan; 2 ketergantungan kepada bantuan
pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat
dan daerah
.
Alasan yang mendasari pemikiran bahwa pengelolaan keuangan negara secara terdesentralisasi lebih baik dibanding dengan pengelolaan secara
sentralistik adalah karena akan terjadi efisiensi dalam pengalokasian sumber daya. Desentralisasi membuat pemerintah lebih responsif terhadap aspirasi
dan preferensi kebutuhan masyarakat dibanding dengan pemerintah yang terpusat Lin dan Liu, 2000; Alm dan Bahl, 2001.
20
Samimi, at al. 2010 mengakaji tentang desentralisasi fiskal di Iran dengan menggunakan data tahun 2001-2007, dan Iimi, 2005 dengan mengunakan teknik
cross country data periode 1997-2001, menemukan bahwa desentralisasi fiskal memiliki dampak positif yang signifikan terhadap pertumbuhan Produk Domestik
Bruto PDB per kapita. Secara umum, penerimaan pemerintah termasuk pemerintah daerah dapat
bersumber dari pajak taxes, retribusi user charges dan pinjaman Musgrave dan Musgrave, 1991. Hal ini secara eksplisit diatur pada pasal 79 Undang-
Undang Nomor 221999. Khusus untuk pinjaman daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 107 tahun 2000 telah memuat ketentuan-ketentuan yang terkait dengan
kapasitas keuangan daerah untuk meminjam. Semua pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah harus lewat dan seijin pemerintah pusat, baik itu pinjaman
dalam negeri maupun pinjaman luar negeri. Tetapi, meskipun perundang- undangan memperbolehkan daerah melakukan pinjaman, hingga beberapa tahun
ke depan, hal ini belum diperkenankan oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, sumber pemerintah daerah bersumber dari pendapatan asli
daerah PAD berupa penrimaan dari restribusi, dan pajak daerah, maupun dari bagi hasil dari pajak dan bukan pajak. Pola bantuan atau sistem transfer dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan inti dari kebijakan desentralisasi fiskal. Sistem transfer ini mempunyai arti yang sangat penting
karena pengeluaran pemerintah daerah sebagian besar, atau sekitar dua per tiganya berasal dari dana transfer dari pemerintah pusat. Pada masa sebelum
desentralisasi, program bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagian besar dilakukan dalam bentuk specific grant. Penentuan
alokasi anggaran sudah ditentukan dari pemerintah pusat dengan format yang kaku rigid, sehingga seringkali implementasi di lapangan banyak terkendala
pada urusan administratif. Dengan desentralisasi pola penyaluran bantuan pemerintah pusat berubah menjadi block grant, sehingga perencanaan
program, implementasi dan monitoring serta evaluasi dilakukan oleh pemerintah daerah. Bentuk block grant dalam kerangka desentralisasi fiskal
berupa dana alokasi umum DAU Simanjuntak, 2002.
21 Secara konseptual desentralisasi fiskal berhubungan dengan perumusan
kewenangan atas sumber-sumber dana yang ada, atau akses terhadap dana transfer dan pembuatan berbagai keputusan, baik yang menyangkut pengeluaran
rutin maupun pengeluaran investasi pembangunan Braun and Grote dalam Ridyanti, 2009; Ritonga, 2002. Transfer fiskal merupakan inti dari suatu
hubungan fiskal antar pemerintahan dan memiliki peran penting dalam mendukung program desentralisasi fiskal, karena pengeluaran pemerintah
daerah dua per tiganya merupakan dana transfer dari pemerintah pusat. Dana transfer berupa dana block grant akan memberikan pengaruh yang lebih efisien
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dibanding dengan dana transfer berupa spesific grant Simanjuntak, 2002; Stiglitz, 2000; Poque dan
Sgontz, 1978. Desentralisasi fiskal di Indonesia tentunya akan berpengaruh terhadap
peranan pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah. Sumber-sumber keuangan daerah yang diatur dalam pasal 3 Undang-
Undang Nomor 25 tahun 1999 meliputi : 1 pendapatan asli daerah PAD terdiri atas: a pajak daerah, b restribusi daerah, c hasil perusahaan daerah
BUMD, d hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan e lain- lain pendapatan asli daerah, dan 2 dana perimbangan atau disebut juga bantuan
atau transfer dari pemerintah pusat yang terdiri dari: a bagi hasil pajak dan bukan pajak, b dana alokasi umum DAU, dan c dana alokasi khusus DAK
Departemen Dalam Negeri, 2001. Pada implementasi desentralisasi fiskal pemerintah daerah berperan dalam
meningkatkan pendapatan asli daerah dari berbagai sumber seperti pajak daerah, retribusi daerah, badan usaha milik daerah dan penerimaan daerah lainnya.
Kontribusi PAD relatif kecil dibandingkan dengan penerimaan yang berasal dari pusat. Pajak yang memberi kontribusi terbesar pada PAD masih memiliki
kelemahan di daerah, karena bagian yang paling besar dari pajak, seperti pajak pendapatan dan pajak penghasilan masih didominasi oleh pemerintah pusat. Pada
tingkat Provinsi terdapat hanya dua jenis pajak daerah yang diperkirakan signifikan terhadap penerimaan daerah seperti Pajak kepemilikan kendaraan
bermotor dan pajak perpanjangan kendaraan bermotor, sedangkan dua jenis pajak
22
lain seperti pajak minyak dan pajak eksploitasi air bawah tanah memberi kontribusi yang tidak signifikan. Pada tingkat kabupaten kota terdapat tujuh jenis
pajak daerah, tetapi hanya beberapa jenis pajak yang memberi kontribusi signifikan terhadap penerimaan daerah. Pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan
dan pajak iklan memberi kontribusi besar di kota, sedang penerimaan penting di kabupaten yang berasal dari jenis pajak adalah pajak bahan galian tipe C
Brojonegoro, 2001; Bahl dan Lin, 1994. Keberhasilan meningkatan penerimaan pajak dan restribusi daerah
tergantung kepada badan pemungut pajak di daerah yang dikenal dengan dinas pendapatan daerah Dispenda. Kemampuan administratif dinas tersebut akan
menentukan apakah penerimaan daerah dari pajak sama besarnya dengan besarnya potensi pajak. Walaupun sulit mengharapkan besarnya penerimaan daerah sama
dengan potensi pajak, tetapi diharapkan selisihnya tidak terlalu signifikan. Beberapa permasalahan yang krusial dalam hal pemungutan pajak adalah
kelemahan data dan sistem informasi serta lemahnya tindakan dalam pelaksanaan undang-undang yang telah ditetapkan. Adminitrasi harus diperbaiki mulai dari
proses pendaftaran hingga proses pengumpulan. Selanjutnya tindakan yang tegas dalam mengimplementasikan undang-undang menjadi prioritas yang menjamin
bahwa setiap orang mempunyai perlakuan yang sama dalam hukum dan undang- undang Mahi, 2000; Brodjonegoro dan Vazques, 2002.
2.4. Keuangan Pemerintah Daerah 2.4.1 Keuangan Daerah