c Gambar 6. Kadar air tanah total hingga kedalaman 1 m pada semua perlakuan
menurut waktu, pada a Percobaan I, b percobaan II, dan c percobaan III.
Percobaan II, nilai rata-rata ETa + Ro semua perlakuan sebesar 260 mm Tabel 4 yang dihitung dari 48 hari pangukuran, atau setara dengan 6 mm hari
-1
Tabel 5. Nilai ini sama dengan rata-rata ETp sebesar 5 mm hari
-1
Tabel 5. Perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 0 mm.hari
-1
Tabel 5 menunjukkan tidak terjadi limpasan permukaan selama pertumbuhan tanaman
disebabkan oleh lahan yang relatif datar kemiringan kurang dari 5. Tabel 5 menunjukkan curah hujan yang juga rendah 261
mm pada Percobaan II, juga
menjadi salah satu penyebab tidak terjadi aliran permukaan Ro = 0. Meskipun curah hujan rendah, ETa + Ro 260 mm, karena Ro 0 mm pada Percobaan II,
menyebabkan simpanan kadar air secara umum cenderung konstan selama pertumbuhan tanaman Gambar 6. Kadar air tanah pada perlakuan jarak tanam
J1 berkisar antara 263 – 309 mm m
-1
, sedangkan pada perlakuan J2 berkisar antara 243 – 341 mm m
-1
.
a
b
Percobaan III nilai rata-rata ETa + Ro semua perlakuan sebesar 823 mm Tabel 4 yang dihitung dari 52 hari pangukuran, atau setara dengan 16 mm hari
-1
Tabel 5. Nilai ini jauh lebih tinggi dari rata-rata ETp sebesar 8 mm hari
-1
Tabel 5. Perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 8 mm hari
-1
Tabel 5 tersebut menunjukkan nilai Ro selama pertumbuhan tanaman yang sedikit lebih
rendah dari Percobaan I, tetapi lebih tinggi dari Percobaan II. Hal ini berhubungan dengan kemiringan lahan 10, lebih banyak curah hujan yang terinfiltrasi ke
dalam tanah, sehingga lebih sedikit yang menjadi aliran permukaan. Tabel 5 menunjukkan curah hujan sebesar 757 mm pada Percobaan III, ETa + Ro
823 mm, Ro 407 mm menyebabkan simpanan kadar air secara umum juga menurun selama pertumbuhan tanaman, tapi tidak setinggi penurunan pada
Percobaan I Gambar 6. Kadar air tanah pada perlakuan jarak tanam J1 berkisar antara 158 – 388 mm m
-1
, sedangkan pada perlakuan J2 berkisar antara 102 – 336 mm m
-1
Proses hilangnya air akibat evapotranspirasi merupakan salah satu komponen penting karena dapat mengurangi simpanan air dalam tanah dan
tanaman. Ferreira dan Carr 2002 menemukan bahwa evapotranspirasi total ETa dari tanaman kentang pada daerah beriklim panas kering di Timur Laut
Portugal berkisar 150 –
550 mm, tergantung pada perlakuan irigasi dan masa pertumbuhan. Kisaran ini setara dengan yang ditemukan Onder et al. 2005 yaitu
berkisar 166 –
473 mm, akan tetapi jauh lebih kecil dari pada total kehilangan air dalam percobaan I ETa + Ro = 1.378 mm, Percobaan III ETa + Ro = 823 mm,
yang mengindikasikan jumlah limpasan permukaan yang besar. Total kehilangan air dalam percobaan II ETa + Ro = 260 mm masuk dalam kisaran, yang
mengindikasikan jumlah limpasan permukaan yang kecil atau tidak terjadi limpasan permukaan.
.
Evapotranspirasi dapat menurunkan kadar air tanah yang ada, untuk itu diperlukan upaya penambahan air melalui pengairan tambahan seperti penyiraman
dan irigasi. Laureti dan Marras 1995 mendapatkan hubungan linier antara peningkatan hasil tanaman pada aplikasi pemberian air sampai 100
evapotranspirasi.
Hubungan antara Curah Hujan dan Limpasan Permukaan
Nilai curah hujan dan limpasan permukaan yang diukur pada Percobaan I, II dan III ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai curah hujan dan limpasan permukaan Ro yang terukur pada Percobaan I, II dan III.
Percobaan I Perlakuan
Rata-rata U1J1
U2J1 U3J1
U1J2 U2J2
U3J2 Curah hujan mm
Ro mm 1.314
853 65
1.314 787
60 1.314
927 70
1.314 784
60 1.314
787 60
1.314 757
58 1.314
816 62
Percobaan II U1J1 U2J1
U3J1 U1J2
U2J2 U3J2
Curah hujan mm Ro mm
261 261
261 261
261 261
261
Percobaan III J1V1
J1V2 J2V1
J2V2 Curah hujan mm
Ro mm 757
353 47
757 418
55 757
326 43
757 531
70 757
407 54
Tabel 6 menunjukkan curah hujan yang tinggi selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada Percobaan I 1.314 mm menyebabkan limpasan
permukaan yang besar, yaitu 816 mm atau 62. Sebaliknya, curah hujan yang relatif rendah selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada Percobaan II 261
mm menyebabkan Ro tidak terjadi. Curah hujan yang juga cukup tinggi selama pertumbuhan tanaman kentang pada Percobaan III 757 mm menyebabkan
limpasan permukaan 407 mm atau 54, tapi tidak setinggi pada Percobaan I.
3.5. Kesimpulan
1. Pada ketiga percobaan perubahan kadar air tanah terbesar terjadi hingga kedalaman 60 cm yang menunjukkan aktivitas perakaran paling tinggi dalam
penyerapan air tanah. Perubahan kadar air tanah di bawah kedalaman 60 cm makin berkurang, dan pada kedalaman 80 – 100 cm hampir tidak terjadi lagi
perubahan. 2. Peningkatan curah hujan menyebabkan kehilangan air yang makin besar
khususnya melalui limpasan permukaan Ro. Perhitungan neraca air lahan pada Percobaan I dengan curah hujan 1.314 mm menghasilkan rata-rata
kehilangan air dalam bentuk evapotranspirasi dan limpasan permukaan
ETa + Ro dari semua perlakuan sebesar 1.378 mm selama 75 hari pengukuran, atau setara dengan 18 mm hari
-1
. Percobaan II dengan curah hujan 261 mm tidak menghasilkan limpasan permukaan Ro, melainkan
hanya untuk mencukupi kebutuhan air untuk evapotranspirasi tanaman kentang ETa sebesar 260 mm selama 48 hari pengukuran, atau setara
dengan 5 mm hari
-1
. Percobaan III dengan curah hujan 757 mm menghasilkan rata-rata ETa + Ro yang lebih rendah dari Percobaan I, yaitu 823 mm selama
52 hari pengukuran atau atau setara dengan 16 mm hari
-1
3. Curah hujan yang tinggi selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada percobaan pertama menyebabkan limpasan permukaan yang tinggi, dengan
rata-rata persentasi Ro terhadap besarnya curah hujan sebesar 62. Curah hujan yang juga tinggi selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada
percobaan ketiga menyebabkan limpasan permukaan tidak sebesar Percobaan I, dengan rata-rata persentasi Ro terhadap besarnya curah hujan sebesar 54.
Kondisi curah hujan yang relatif rendah selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada percobaan kedua menyebabkan tidak terjadinya aliran
permukaan. .
IV. NERACA AIR TANAH DAN HASIL TANAMAN KENTANG Solanum
tuberosum L. PADA DATARAN TINGGI TROPIKA BASAH DI INDONESIA
2
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai dinamika kadar air tanah pada lahan kentang di dataran tinggi Indonesia, serta hubungannya
dengan curah hujan dan kehilangan air tanah melalui evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan menggunakan perhitungan neraca air.Analisis juga dilakukan
untuk mendapatkan hubungan antara ketersediaan kadar air tanah dengan pertumbuhan dan hasil tanaman. Perlakuan terdiri dari dua jarak tanam dan tiga
ukuran umbi. Kadar air tanah yang terdiri dari 6 kombinasi perlakuan diukur setiap minggu sampai kedalaman 100 cm untuk menghitung hilangnya air melalui
evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan. Kehilangan air melalui ETa + Ro lebih tinggi rata-rata 18 mm hari
-1
dibandingkan rata-rata evapotranspirasi potensialETp 7 mm hari
-1
. Meskipun curah hujan tinggi selama masa pertumbuhan tanaman kentang 1.314 mm, evapotranspirasi aktual dapat
menurunkan kadar air tanah sampai kedalaman 60 cm, dimana hal ini berkaitan dengan tingginya limpasan permukaan yang disebabkan oleh terbatasnya
kapasitas infiltrasi air ke dalam tanah. Total rata-rata ETa + Ro untuk semua perlakuan adalah 1.378 mm yang dibandingkan antar perlakuan. Kadar air tanah
yang lebih tinggi menghasilkan biomassa tanaman dan umbi yang lebih besar. Di samping itu, ukuran bibit yang lebih besar menghasilkan biomassa tanaman dan
umbi kentang yang lebih besar tanpa tergantung dengan variasi kadar air tanah pada perlakuan.
Kata kunci : kentang, evapotranspirasi, limpasan permukaan, tanah, air
ABSTRACT
This research was aimed to obtain information about the dynamics of soil water content in potato cultivation at high altitude of Indonesia; its relation to rainfall,
soil water loss through surface runoff and actual evapotranspiration using water balance calculations, and to find the relationship between the availability of soil
water content and crop growth and yield. The treatments consist of two row spacings and three seed size for sowing. Soil water contents of six combination of
treatments were measured weekly to the soil depth of 100 cm to calculate water loss by actual evapotranspiration and runoff. Water loss bay ETa + Ro was much
higher average of 18 mm day-1 compared to average potential evapotranspiration 7 mm day
-1
2
Paper telah diterbitkan pada The Southeast Asian Journal of tropical Biology: Biotropia. Vol 19 No. 1. June 2012. Soil Water Balance and Yield of Patato Crop Solanum tuberosum L. Grown
In High Altitude Humid Tropics of Indonesia. Salwati dan Handoko.
. Despite high rainfall during the growing season 1.314 mm, actual evapotranspiration could reduce soil water content to 60 cm
soil depth due to the high runoff caused by limited capacity of water infiltration into the soil. Total ETa + Ro average for all treatments was 1.378 mm which was
comparable among treatments. Higher soil water content resulted in larger crop biomass and higher tuber yield. On the other hand, larger seed size produced
49
greater crop biomass and tuber yield irrespective of the variation of soil water contents in the treatments.
Keywords: potato, crop, evapotranspiration, runoff, soil, water
4.1. Pendahuluan
Tanaman kentang di Indonesia pada umumnya dibudidayakan pada ketinggian lebih dari 800 m dpl Sutapradja 2008. Total luas lahan pertanaman
kentang di Indonesia sekitar 55 ribu ha BPS 2011 dengan enam provinsi penghasil kentang terbesar yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera
Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan Nurtika 2007. Karena penanaman dilakukan pada daerah pegunungan dengan tingkat kemiringan yang tinggi, air
sering menjadi masalah serius pada musim hujan karena limpasan permukaan yang diakibatkan. Sebaliknya, pada musim kemarau kadar air tanah yang rendah
menjadi kendala untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu, penentuan waktu tanam yang tepat untuk mendapatkan ketersediaan air yang
cukup tetapi meminimalkan kehilangan air melalui limpasan permukaan merupakan alternatif pengelolaan air yang penting untuk tanaman kentang.
Informasi untuk memahami dinamika air tanah dalam hubungannya dengan curah hujan serta kehilangan air melalui limpasan permukaan serta evapotranspirasi
sangat diperlukan. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui analisis neraca air pada lahan kentang yang memerlukan masukan berupa data curah hujan serta
profil kadar air tanah selama pertumbuhan kentang tersebut. Akar tanaman kentang dapat mencapai kedalaman lebih dari 80 cm yang
menjadikan tanaman tersebut lebih tahan terhadap cekaman air karena mampu menyerap cadangan air pada lapisan tanah yang lebih dalam di samping lebih
efisien terhadap pemberian air irigasi Stalham Allen 2001. Penelitian di Turki dengan kisaran suhu harian 7 – 25
o
C mendapatkan bahwa pengaruh irigasi terhadap tanaman kentang sangat nyata, namun demikian kehilangan air tanaman
melalui evapotranspirasi pada perlakuan irigasi penuh mencapai kisaran 382 – 473 mm, sedangkan pada kontrol tanpa irigasi hanya 166 – 226 mm Onder et al.
2005. Fabeiro et al. 2001, Ferreira dan Goncalves 2007 dan Unlu et al. 2006 juga menemukan bahwa peningkatan hasil umbi merupakan respon penggunaan
jumlah air oleh tanaman yang lebih banyak.