Fenomena Perubahan Iklim TINJAUAN PUSTAKA

Perubahan Iklim di Indonesia Menurut hasil penelitian menyatakan bahwa iklim di Indonesia telah berubah. Selama abad 20, suhu rata-rata tahunan meningkat sekitar 0,3 o Perubahan iklim di masa mendatang dapat diproyeksikan dengan menggunakan model iklim berdasarkan skenario perubahan emisi tertentu. Hasil proyeksi perubahan iklim di Indonesia berdasarkan model mengindikasikan adanya peningkatan suhu udara, penurunan curah hujan di sebagian wilayah sedangkan di wilayah lain mengalami peningkatan Alfyanti 2011; Kusaeri 2010; Sarah dan Tohari 2009; Susandi et al. 2008; Susandi 2006. C sejak tahun 1900 dengan suhu tahun 1990-an merupakan dekade terhangat dalam abad ini. Sementara itu terjadi perubahan cuaca dan musim yang ditandai oleh peningkatan curah hujan di satu wilayah sedangkan wilayah lain terjadi penurunan curah hujan sebesar 2 – 3 dengan pengurangan tertinggi terjadi selama periode bulan Desember – Februari yang merupakan musim terbasah dalam setahun Hulme dan Sheard 1999. Beberapa kajian untuk wilayah Indonesia juga dilakukan berdasarkan data observasi dengan adanya peningkatan suhu udara dan perubahan curah hujan yang cenderung menurun Boer et al. 2007 dalam Ministry of Environment 2007; Kaimuddin 2000. Skenario Perubahan Iklim Dalam menghadapi kondisi perubahan iklim, IPCC menerbitkan satu set skenario untuk digunakan dalam laporan yang ketiga Third Assessment ReportTAR yang disebut sebagai Special Report on Emission Scenarios SRES. Skenario SRES dibangun untuk melihat perkembangan masa depan secara konsisten di lingkungan global terhadap produksi emisi GRK dan polutan lain di masa yang akan datang IPCC 2000. Secara sederhana, ada empat storyline emisi GRK utama yang disusun oleh IPCC. Empat storyline tersebut menggabungkan dua set kecenderungan yang berbeda yaitu antara nilai-nilai ekonomi dan nilai-nilai lingkungan yang dilihat secara global maupun regional. Kondisi tersebut dijelaskan dalam Tabel 2 IPCC 2000. Tabel 2. Skenario SRES berdasarkan storyline Lebih difokuskan pada sektor ekonomi Lebih difokuskan pada sektor lingkungan Globalisasi dunia yang homogen A1 Pertumbuhan ekonomi yang cepat. Grup : A1TA1BA1F1 Perkiraan kenaikan suhu udara tahun 2100 antara 1,4 – 6,4 o B1 C Penanganan lingkungan global yang berkelanjutan. Perkiraan kenaikan suhu udara tahun 2100 antara 1,1 – 2,9 o C Regionalisasi dunia yang heterogen A2 Pembangunan ekonomi yang berorientasi regional. Perkiraan kenaikan suhu udara tahun 2100 antara 2,0 – 5,4 o B2 C Penanganan lingkungan lokal yang berkelanjutan. Perkiraan kenaikan suhu udara tahun 2100 antara 1,4 – 3,8 o C Skenario emisi grup A1 SRES A1. SRES A1 menggambarkan bahwa pada masa mendatang pertumbuhan ekonomi terjadi sangat cepat, populasi global meningkat pada pertengahan abad 21 dan akan menurun setelahnya, dan cepatnya pengenalan teknologi baru yang lebih efisien. SRESA1 dibagi menjadi tiga famili yang mengkarakteristikkan pengembangan alternatif teknologi. Pertama adalah A1F1 yang menggunakan bahan bakar fosil secara intensif. Kedua adalah A1B yang menggunakan energi yang seimbang antara bahan bakar fosil dan non-fosil. Terakhir adalah A1T yang menggunakan bahan bakar non-fosil secara intensif. Skenario emisi grup A2 SRES A2. Asumsi yang digunakan dalam SRESA2 adalah bahwa pada masa mendatang kondisi wilayah sangat beragam, kerjasama antar wilayah sangat lemah dan cenderung lebih bersifat individu. Pembangunan ekonomi sangat berorientasi wilayah sehingga akan terjadi fragmentasi antar wilayah baik pertumbuhan, pendapatan perkapita maupun perubahan teknologi. Skenario emisi grup B1 SRES B1. Skenario grup B1 menggunakan asumsi yang sama seperti pada grup A1. Akan tetapi pada skenario ini ditambah dengan asumsi bahwa terjadi perubahanstruktur ekonomi yang cepat melalui peningkatan pelayanan dan informasi ekonomi, menurunnya intensitas penggunaan bahan bakar, serta diperkenalkannya teknologi yang bersih dan penggunaan sumberdaya yang lebih efisien. Penekanan pada skenario ini terletak pada penyelesaian masalah global berkaitan dengan ekonomi, sosial dan lingkungan, termasuk peningkatan tingkat kesamaan akan tetapi tanpa ada inisiatif khusus berkaitan dengan perubahan iklim Skenario emisi grup B2 SRES B2. Skenario ini menekankan pada upaya penyelesaian masalah ekonomi, sosial dan lingkungan secara lokal. Populasi global terus meningkat tetapi dengan laju sedikit lebih rendah dari skenario emisi grup A2, pembangunan ekonomi pada tingkat sedang, perubahan teknologi sedikit lebih lambat Skenario SRES masih digunakan untuk Fourth Assessment Report AR4 yang dikeluarkan tahun 2007. Dalam Fourth Assessment Report dinyatakan bahwa emisi gas rumah kaca secara global masih akan bertambah dalam beberapa dekade kedepan Gambar 2 IPCC 2000. Skenario ini juga berorientasi pada perlindungan lingkungan dan kesamaan sosial yang difokuskan pada tingkat lokal dan regional. Gambar 2. Skenario emisi GRK CO 2 Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Pertanian tahun 1990 – 2100 sumber: IPCC 2000. Dimulai pada jaman revolusi industri, pembakaran bahan bakar fosil meningkat tajam yang berhubungan dengan peningkatan pertambahan penduduk dunia dan pemakaian bahan fosil serta eksplorasi sumber daya alam. Dalam hubungan ini, gas-gas rumah kaca khususnya CO 2 , CH 4 dan N 2 O meningkat secara tajam yang sering dihubungkan dengan peningkatan suhu udara global mendekati 1 o C IPCC 2007. Namun demikian, kendala ketersediaan data merupakan hal klasik yang dihadapi negara berkembang seperti Indonesia, sehingga analisis dampak perubahan iklim terhadap berbagai sektor termasuk pertanian menjadi sangat terbatas. Perubahan iklim yang terjadi dapat mempengaruhi sektor kehidupan di bumi, salah satunya pada sektor pertanian Prihantoro 2008. Perubahan iklim diprediksi akan mempengaruhi produksi pangan di berbagai wilayah di Indonesia Handoko et al. 2008 sehingga berdampak pada pasokan pangan nasional. Di samping itu, IPCC 2007 memproyeksikan negara-negara berkembang khususnya akan sangat tergantung pada impor pangan. Perubahan iklim diperkirakan akan menimbulkan dampak berupa penurunan produksi dan produktivitas pertanian; penurunan GDP sektor pertanian; fluktuasi harga produk pertanian di pasar dunia; perubahan distribusi geografis dari rejim perdagangan; serta peningkatan kebutuhan pangan penduduk yang makin banyak sehingga berisiko kelaparan dan ketahanan pangan. Diperkirakan 11 dari lahan pertanian di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh perubahan iklim, yang berdampak mengurangi produksi bahan pangan biji-bijian pada 65 negara yang telah mengakibatkan 16 penurunan GDP FAO Committee on Food Security, Report of 31st Session 2005. Fischer et al. 2005 memproyeksi produksi bahan pangan serealia dunia akan mengalami penurunan 0,6 hingga 0,9 pada periode 1990 – 2080. Di Asia Tenggara, diproyeksikan penurunan produksi serealia mengalami penurunan 2,5 hingga 7,8. Dampak adanya perubahan iklim juga akan berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas tanaman kentang. Tanaman kentang di Indonesia dibudidayakan pada dataran tinggi di atas 800 m dari permukaan laut dpl, untuk memenuhi kebutuhan suhu udara yang rendah dengan luasan 55 ribu ha BPS 2011. Provinsi yang memiliki lahan kentang paling luas adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Jambi. Perubahan iklim yang akan meningkatkan suhu udara dan penurunan curah hujan diduga akan menurunkan produktivitas dan produksi kentang di Indonesia. Peningkatan suhu udara 1 o C akan setara dengan penurunan ketinggian sekitar 170 m yang berdampak pada penurunan produktivitas lahan kentang, namun hubungan antara interaksi suhu udara dan curah hujan dengan penurunan hasil kentang belum tersedia untuk prediksi dampak perubahan iklim terhadap produksi kentang di Indonesia.

III. PERHITUNGAN KEHILANGAN AIR PADA

TANAMAN KENTANG Solanum tuberosum L. BERDASARKAN NERACA AIR LAHAN 1 ABSTRAK Penelitian ini menghitung kehilangan air melalui evapotranspirasi aktual ETa dan limpasan permukaan Ro berdasarkan neraca air di tiga lokasi pertanaman kentang, dengan ketinggian tempat dan curah hujan yang berbeda. Percobaan pertama dan kedua dilakukan di Kebun Percobaan Balitbiogen, Pacet dan di Desa Galudra, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Waktu pelaksanaan kedua percobaan ini Desember 2009 sampai Maret 2010 dan Februari sampai Juni 2010. Percobaan ketiga dilakukan di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, waktu pelaksanaan Mei sampai September 2011. Metode perhitungan kehilangan air berupa ETa + Ro didasarkan pada neraca air lahan melalui pengukuran curah hujan dan kadar air tanah setiap minggu pada kedalaman 10, 20, 40, 60, 80 dan 100 cm. Jika ETa dapat diasumsikan sama dengan ETp evapotranspirasi potensial maka kehilangan air berupa Ro dapat dihitung dari selisih ETa + Ro dan ETp. Hasil penelitian menunjukkan perubahan kadar air tanah terbesar dari ketiga percobaan secara umum terjadi hingga kedalaman 60 cm. Perubahan kadar air tanah di bawah kedalaman 60 cm makin berkurang, dan pada kedalaman 80 – 100 cm hampir tidak terjadi lagi perubahan. Pada percobaan pertama, kehilangan air tanaman melalui ETa + Ro sebesar 1.378 mm, yang dihitung dari 75 hari pengukuran, setara dengan 18 mm hari -1 . Nilai ini jauh lebih tinggi dibanding ETp sebesar 7 mmhari. Perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 11 mm hari -1 disebabkan nilai limpasan permukaan sebesar 816 mm 62 selama pertumbuhan tanaman yang hal ini berhubungan dengan kemiringan lahan 20. Pada percobaan kedua, kehilangan air tanaman melalui ETa + Ro sebesar 260 mm, yang dihitung dari 48 hari pengukuran, setara dengan 5 mm hari -1 . Nilai ini sama dengan ETp sebesar 5 mm hari -1 karena tidak terjadi limpasan permukaan yang berhubungan dengan kemiringan lahan yang kecil 5. Pada percobaan ketiga, kehilangan air tanaman melalui ETa + Ro sebesar 823 mm, yang dihitung dari 52 hari pengukuran, setara dengan 16 mm hari -1 . Nilai ini lebih tinggi dibanding ETp sebesar 8 mm hari -1 . Perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 8 mm hari -1 , disebabkan nilai limpasan permukaan sebesar 407 mm 54 dan berhubungan dengan kemiringan lahan 10. Kata kunci : Evapotranspirasi, kadar air, kentang, limpasan permukaan, neraca air. This research calculates the actual water loss through evapotranspiration ETa and runoff Ro based on water balance in three potato growing centers, with a variation on altitude and rainfall. The first and second experiment done at Balitbiogen experiment center in Pacet and in Galudra villange, Cianjur, West Java, from December 2009 to March 2010 and February to June 2010. The third ABSTRACT 1 Paper telah dikirim dan diterima pada Jurnal Hortiklutura Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Judul : Perhitungan Kehilangan Air pada Tanaman Kentang Solanum tuberosum L.. 2012. Salwati, Handoko. Las I, Hidayati R. 31 experiment performed in Kerinci regency, Jambi Province, from May to September 2011. Method to calculate water loss in the form of ETa and Ro was based on land water balance through weekly measurements of soil water contents at the depths of 10, 20, 40, 60, 80 and 100 cm. Provided that ETa was equal to ETp potential evapotranspiration, therefore, water loss as Ro could be calculated as the difference as ETa + Ro and ETp. The result showed there was a major change on soil moisture content in all three experiments generally occurs on 60 cm soil depth. This research calculated water loss through actual evapotranspiration ETa and runoff Ro of potato crop in three high altitudes and precipitation by using water balance approach. The largest change of soil water content in the three experiments was up to 60 cm soil depth. Change in soil water content below 60 cm soil depth was small and between soil depth of 80 – 100 cm there was almost no change. In the first experiment, soil water loss in the form of ETa + Ro was 1.378 mm calculated from 75 days of measurement, which was equivalent to 18 mm day -1 . This value was much higher than ETp of 7 mm day -1 . The difference between ETa + Ro and ETp as high as 11 mm day -1 was caused by runoff of 816 mm 62 during the plant growth associated with the slope of the experimental site 20. In the second experiment, water loss through ETa+Ro was 260 mm calculated from 48 days of measuriment, which was equivalent to ETp of 5 mm day -1 . This value was the same as ETp of 5 mm day -1 , was due to the absence of runoff related to slight slope of the experimental site 5. In the third experiment, ETa + Ro was 823 mm from 52 days of measurement, which was equivalent to 16 mm day -1 . This value was higher than ETp of 8 mm day -1 . The difference in value of ETa + Ro and ETp 8 mm day - 1 , was caused by runoff of 407 mm 54 and 10 slope of the experimental site. Key words : Evapotranspiration, water content, potato, runoff, water balance

3.1. Pendahuluan

Penentuan waktu tanam yang tepat untuk mendapatkan ketersediaan air yang cukup dan meminimalkan kehilangan air melalui limpasan permukaan merupakan alternatif pengelolaan air yang penting. Informasi mengenai dinamika air tanah dalam hubungannya dengan curah hujan dan kehilangan air melalui evapotranspirasi aktual serta aliran permukaan runoff, Ro sangat diperlukan Djufri et al. 2005. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui analisis neraca air pada lahan, menggunakan kadar air tanah dan curah hujan selama pertumbuhan tanaman kentang. Nasir 1993 mendefinisikan neraca air sebagai selisih antara jumlah air yang diterima oleh tanaman dan kehilangan air dari tanaman beserta tanah melalui evapotranspirasi. Sedangkan Ayoade 1983 manyatakan bahwa neraca air adalah suatu ungkapan kuantitatif dari siklus hidrologi dan berbagai komponennya di atas suatu daerah yang spesifik pada periode tertentu. Persamaan neraca air secara umum adalah curah hujan CH + irigasi = evapotranspirasi ETa + runoff Ro + perkolasi ± perubahanan kadar air tanah dKAT. Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa neraca air merupakan perimbangan antara masukan dan keluaran air disuatu tempat pada periode waktu tertentu. Neraca air dapat dibuat dalam selang waktu harian, mingguan, bulanan maupun musiman tergantung kebutuhan Annandale et al. 1999. Menurut Steyn et al. 2007 kebutuhan air tanaman adalah jumlah air yang digunakan untuk memenuhi evapotranspirasi Evapotranspirasi merupakan jumlah air yang hilang dari tanah dan tanaman dalam satuan waktu tertentu yang jumlahnya bergantung pada jenis tanaman, jenis tanah serta kondisi cuaca pada lingkungan sekitar tanaman terutama suhu dan kelembaban Kirnak dan Short 2001. Evapotranspirasi adalah kombinasi dua proses kehilangan air melalui jalur yang berbeda, yaitu melalui permukaan tanah evaporasi dan tanaman transpirasi. Meskipun evaporasi dan transpirasi terjadi melalui jalur yang berbeda, namun keduanya sangat sulit dibedakan dan terjadi secara simultan Allen et al. 1998 yang dapat dihitung melalui perhitungan neraca air. Xiong 2008 menyatakan bahwa jumlah terbesar dari penggunaan air oleh tanaman adalah untuk evapotranspirasi, yang nilai maksimumnya adalah evapotranspirasi potensial. Sedangkan menurut Biggs et al. 2008 pada prinsipnya evapotranspirasi sama dengan kebutuhan air tanaman, air yang terinfiltrasi juga berfungsi memenuhi kebutuhan untuk evapotranspirasi. Bila curah hujan melebihi evapotranspirasi, air akan disimpan di dalam tanah sampai batas maksimum tanah menyimpan air yang selanjutnya akan digunakan oleh tanaman untuk evapotranspirasi pada waktu yang akan datang. Ada tiga faktor yang menentukan kecepatan evapotranspirasi yaitu 1 faktor iklim mikro yang mencakup : radiasi netto, suhu, kelembaban dan angin, 2 faktor tanaman yang meliputi jenis tanaman, derajat penutupannya, struktur tanaman, stadia perkembangan sampai masak, keteraturan dan banyaknya stomata, mekanisme menutup dan membukanya stomata, dan 3 faktor tanah yang terdiri dari : kondisi tanah, aerasi tanah, potensial air tanah dan kecepatan air tanah bergerak ke akar tanaman Seyhan 1995.

3.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai kehilangan air melalui evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan pertanaman kentang pada ketinggian tempat dan curah hujan yang berbeda. Analisis yang dilakukan menggunakan neraca air lahan berdasarkan pengamatan kadar air tanah serta curah hujan pada tiga lokasi pertanaman kentang.

3.3. Metodologi

3.3.1. Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian ini telah dilaksanakan pada tiga lokasi berbeda, dengan ketinggian tempat di atas 1.000 m dpl dari permukaan laut dan kemiringan lahan yang berbeda-beda. Percobaan Pertama Percobaan pertama dilakukan di Kebun Percobaan BBbiogen, Pacet Kabupaten Cianjur dengan luas lahan ± 1.000 m 2 Percobaan Kedua , pada ketinggian ± 1.150 m dpl, kemiringan lahan ± 20. Waktu percobaan mulai dari Desember 2009 sampai Maret 2010. Percobaan kedua dilakukan di Desa Galudra, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dengan luas lahan ± 4.000 m 2 Percobaan Ketiga pada ketinggian ± 1.250 m dpl, kemiringan lahan 5. Waktu percobaan mulai dari Februari sampai Juni 2010. Percobaan ketiga dilakukan di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, dengan luas lahan ± 1.200 m 2 , pada ketinggian ± 1.300 m dpl, kemiringan lahan ± 10. Waktu penelitian mulai dari Mei sampai September 2011. Kalibrasi alat ukur kadar air tanah dilakukan di Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB, Kampus IPB Darmaga sebelum digunakan pada tiga percobaan lapang.