Tujuan Penelitian Kesimpulan PERHITUNGAN KEHILANGAN AIR PADA

3.3.5. Pengukuran Kadar Air Tanah dan Kalibrasi Alat

Pengukuran kadar air tanah dilakukan menggunakan prinsip hambatan listrik. Alat dipasang pada kedalaman 10 cm, 20 cm, 40 cm, 60 cm, 80 cm dan 100 cm, ditempatkan pada setiap kombinasi perlakuan. Sebelum alat digunakan, dilakukan kalibrasi pada masing-masing kedalaman dan perlakuan. Contoh tanah diambil dari masing-masing kedalaman sekitar 1 kg kemudian dikeringkan dan dioven selama 24 jam pada suhu 105 o Wd = Wg,s,d – Wg,s 1 C. Tanah kering oven dari masing-masing contoh kemudian dihaluskan dan diayak sehingga diameter partikel tidak lebih dari 1 mm. Hasil ayakan yang sudah ditimbang dimasukkan pada masing-masing gelas plastik yang telah diisi sensor, diberi tanda kedalaman dan perlakuan. Tiap gelas diberi lubang kecil-kecil pada dasarnya untuk drainase air. Tanah tersebut kemudian dimasukkan hingga volume tertentu V dan ditimbang, sehingga diperoleh berat kering tanah sebagai berikut : Wd = berat kering tanah g Wg,s,d = berat gelas, sensor dan berat kering tanah g Wg,s = berat gelas dan sensor g Masing-masing gelas plastik yang sudah berisi tanah diberi air secara perlahan dan bertahap hingga terjadi drainase serta tanah menjadi jenuh. Setelah tiga hari dilakukan pengukuran pertama, yang dilanjutkan setiap hari hingga tanah menjadi kering. Pengukuran dilakukan terhadap berat masing-masing gelas gram dan tahanan, R ohm yang terbaca pada AVO meter. Kadar air selanjutnya dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: θw = 100 Wg,s,w – Wg,s,d Wd 2 θw = kadar air tanah secara gravimetri w Wg,s,w = berat gelas, sensor dan tanah basah g Wg,s,d = berat gelas, sensor dan berat kering tanah g Wd = berat kering tanah g Setelah volume tanah V didapatkan dari masing-masing contoh tanah yang dikalibrasi maka nilai tahanan tersebut dapat dikonversi langsung menjadi kadar air secara volumetri θv. θv = θw . Wd V 3 θv = kadar air tanah secara volumetri v θw = kadar air tanah secara gravimetri w Wd = berat kering tanah g V = volume tanah cm 3 Data hasil pengukuran kadar air tanah θv dan hambatan listrik R selanjutnya diplotkan dan kurva kalibrasi dapat diturunkan menggunakan persamaan yang didapat.

3.3.6. Neraca Air

Perhitungan neraca air didasarkan pada masukan input dan keluaran output air pada lahan tanaman kentang tiap perlakuan. θt = θt-1 + Pt - ETat + Rot 4 sehingga, ETat + Rot = θt-1 - θt + Pt 5 ETat : evapotranspirasi aktual minggu ke t mm Rot : limpasan permukaan minggu ke t mm θt : kadar air tanah minggu ke t mm θt-1 : kadar air tanah minggu ke t-1 mm Pt : curah hujan minggu ke t mm

3.4. Hasil dan Pembahasan

3.4.1. Kalibrasi Alat Ukur Kadar Air Tanah

Kadar air tanah di lapang diukur dengan menggunakan prinsip hambatan listrik, selanjutnya dengan melakukan kalibrasi di Laboratorium dibuat hubungan antara kadar air tanah volume dengan hambatan listrik k Ω pada setiap percobaan. Hubungan tersebut ditunjukkan pada Tabel 3. Hubungan antara tahanan listrik k Ω dengan kadar air tanah volume dari berbagai perlakuan dan kedalaman tanah pada semua percobaan Tabel 3 menunjukkan bahwa alat ukur mampu mengukur kisaran kadar air tanah yang lebar dari basah hingga kering dengan koefisien determinasi yang sangat tinggi R 2 ≥ 0,89. Contoh hubungan antara hambatan listrik dengan kadar air tanah di tiga kedalaman Percobaan I, II, dan III juga dapat ditunjukkan oleh Gambar 3. Tabel 3. Hasil kalibrasi hubungan antara kadar air tanah volume dengan hambatan listrik ohm dalam k Ω pada percobaan pertama, kedua dan ketiga Kedalaman Tanah cm Percobaan pertama Percobaan kedua Percobaan ketiga Persamaan Kalibrasi R Persamaan 2 Kalibrasi R Persamaan 2 Kalibrasi R 2 10 y= 51,56x 0,99 -0,43 y=43,81x 0,92 -0,4 y=57,02x 0,98 -0,71 20 y=39,83x 0,98 -0,44 y=37,26x 0,89 -0,37 y=59,78x 0,95 -0,46 40 y=39,07x 0,97 -0,36 y=61,81x 0,98 -0,35 y=57,82x 0,97 -0,99 60 y=42,99x 0,99 -0,40 y=66,99x 0,99 -0,35 y=65,28x 0,97 -0,53 80 y=29,67x 0,96 -0,47 y=71,14x 0,99 -0,34 y=43,98x 0,97 -0,44 100 y=42,32x 0,97 -0,38 y=54,38x 0,99 -0,30 y=51,73x 0,95 -0,49 a b c Gambar 3. Hubungan antara hambatan listrik dengan kadar air tanah pada tiga kedalaman pada Percobaan I a, Percobaan II b, dan Percobaan III c. Gambar 3 menunjukkan alat pengukur kadar air tanah tersebut dapat digunakan untuk mengukur perubahan kadar air tanah dari berbagai perlakuan pada kedalaman yang berbeda-beda.

3.4.2. Profil Kadar Air Tanah

Profil kadar air tanah dari berbagai perlakuan menunjukkan variasi yang sangat beragam antar perlakuan baik pada percobaan pertama, kedua Gambar 4, maupun ketiga Gambar 5. Secara umum pada ketiga percobaan perubahan kadar air tanah terbesar terjadi hingga kedalaman 60 cm yang menunjukkan kedalaman dengan aktivitas evaporasi dan penyerapan air tertinggi oleh akar tanaman kentang. Perubahan kadar air tanah di bawah kedalaman 60 cm makin berkurang, dan pada kedalaman 80 – 100 cm hampir tidak terjadi lagi perubahan. Fenomena ini juga berhubungan dengan laju infiltrasi yang makin berkurang dengan kedalaman tanah. Akar tanaman kentang memiliki percabangan lebat dan agak dangkal, sekitar 90 berada pada kedalaman 50 – 60 cm dari permukaan tanah, sehingga sampai kedalaman 60 cm ini cenderung rentan terhadap cekaman kekurangan air Rubatzky dan Yamaguchi 1998. Pernyataan ini sesuai dengan hasil percobaan yang menunjukkan penyerapan air tertinggi oleh akar tanaman kentang terjadi sampai kedalaman 60 cm. a b Gambar 4. Profil kadar air tanah hingga kedalaman 1 m dari tiga waktu pengukuran, hari setelah tanam HST, pada Percobaan I a dan Percobaan II b. Gambar 5. Profil kadar air tanah hingga kedalaman 1 m dari tiga waktu pengukuran, hari setelah tanam HST pada Percobaan III.

3.4.3. Neraca Air Tanaman Kentang

Komponen neraca air yang menunjukkan interaksi antara curah hujan, evapotranspirasi ETa, limpasan permukaan Ro, dan kadar air tanah KAT dari rata-rata seluruh perlakuan pada ketiga percobaan ditunjukkan pada Tabel 4. Kehilangan air tanaman dalam bentuk ETa + Ro tergantung dari simpanan kadar air tanah KAT sebelumnya. Jika tanah dalam kondisi padat maka laju infiltrasi tanah menjadi rendah, sehingga saat curah hujan tinggi air sulit terinfiltrasi ke dalam tanah yang menyebabkan Ro menjadi besar. Sebaliknya, jika tanah gembur maka laju infiltrasi meningkat yang menyebabkan Ro berkurang dan KAT meningkat. Pada penelitian ini nilai KAT bervariasi antar kedalaman pada setiap perlakuan dan antar percobaan. Menurut Biggs et al. 2008 perbedaan KAT pada kedalaman yang sama berlainan petak disebabkan oleh perbedaan kehilangan air tanah melalui proses evapotranspirasi dan perbedaan kemampuan menahan air oleh tanah yang disebabkan sifat fisika dan kimia tanah. Evapotranspirasi terdiri dari evaporasi yang merupakan proses penguapan di atas tanah dan transpirasi terjadi pada tanaman melalui stomata Allen et al. 1998 dan sangat sulit dibedakan proses keduanya melalui pengukuran di lapang. Nilai kehilangan air tanaman kentang dalam percobaan ini dihitung sebagai ETa + Ro evapotranspirasi aktual ditambah dengan limpasan permukaan. Tabel 4. Perbandingan komponen neraca air antar perlakuan selama pengukuran pada Percobaan I, II dan III . Komponen Neraca Air Perlakuan J1 J2 Percobaan I U1 U2 U3 U1 U2 U3 Curah hujan mm 1.314 1.314 1.314 1.314 1.314 1.314 KAT Awal mmm 319 1 232 390 148 291 202 KAT akhir mmm 218 2 197 215 116 256 197 dKAT -101 -35 - 175 -32 -35 -5 ETa + Ro mm 1.415 1.349 1.489 1.347 1.350 1.319 Rata-rata ETa + Ro mmJ1,J2 1.418 1.338 Rata-rata ETa + Ro mm 1.378 Percobaan II J1 J2 U1 U2 U3 U1 U2 U3 Curah hujan mm 261 261 261 261 261 261 KAT Awal mmm 273 3 268 267 330 270 248 KAT akhir mmm 283 4 294 267 322 248 251 dKAT 10 26 -8 -22 3 Eta + Ro mm 251 235 261 269 283 258 Rata-rata ETa + Ro mmJ1,J2 249 270 Rata-rata ETa + Ro mm 260 Percobaan III J1 J2 V1 V2 V1 V2 Curah hujan mm 757 757 757 757 KAT Awal mmm 184 5 369 171 336 KAT akhir mmm 172 6 292 186 146 dKAT -12 - 77 15 -190 Eta + Ro mm 769 834 742 947 Rata-rata ETa + Ro mmJ1,J2 802 845 Rata-rata ETa + Ro mm 823 Keterangan : 1 pengukuran pada 26 Hari Setelah Tanam HST, 2 101 HST, 3 37 HST, 4 85 HST, 5 12 HST, 6 64 HST. Perhitungan menggunakan neraca air dalam penelitian ini menghasilkan jumlah ETa dan Ro yang tidak dapat dipisahkan. Untuk mengatasi hal ini, nilai evapotranspirasi ETa didekati dari evapotranspirasi potensial ETp yang dihitung dengan metode Penman. Dalam hal ini, nilai evapotranspirasi dianggap selalu dalam keadaan maksimum dan air bukan merupakan faktor pembatas. Nilai ETa + Ro, Ro dan ETp selama pengukuran pada Percobaan I, II dan III ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai ETa + Ro, ETp dan Ro pada Percobaan I, II dan III Percobaan Nilai selama pengukuran Rata-rata per hari Percobaan pertama 1 Curah hujan mm 1.314 17 ETa + Ro mm 1.378 18 ETpmm 563 7 Ro mm 816 11 Percobaan Kedua 2 Curah hujan mm 261 5 ETa + Ro mm 260 5 ETp mm 260 5 Ro mm Percobaan ketiga 3 Curah hujan mm 757 15 ETa + Ro mm 823 16 ETp mm 416 8 Ro 407 8 Keterangan : 1 75 hari pengukuran, 2 48 hari pengukuran, 3 Ro yang dihitung dengan asumsi ETa = ETp 52 hari pengukuran Hasil perhitungan total nilai ETp=307 mm, sehingga nilai ETp dianggap sama dengan ETa + Ro = 260 dan Ro = 0. Pada Percobaan I, nilai rata-rata ETa + Ro dari semua perlakuan sebesar 1.378 mm Tabel 4 yang dihitung dari 75 hari pangukuran, atau setara dengan 18 mm hari -1 Tabel 5. Nilai ini jauh lebih tinggi dari rata-rata evapotranspirasi potensial ETp sebesar 7 mm hari -1 Tabel 5. Dengan asumsi ETa = ETp, perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 11 mm hari -1 Tabel 5 Tabel 5 menunjukkan curah hujan yang tinggi 1.314 mm pada Percobaan I dengan Eta + Ro 1.378 mm, dan Ro juga tinggi 816 mm menyebabkan simpanan kadar air selama pertumbuhan tanaman mengalami penurunan. Penurunan besar KAT secara umum terjadi pada semua perlakuan, pada waktu 70 hari setelah tanam. Gambar 6 menunjukkan perubahan kadar air tanah total sampai kedalaman 100 cm menurut waktu dari semua perlakuan pada Percobaan I, II dan III. Kadar air tanah Percobaan I pada perlakuan jarak tanam J1 berkisar antara 215 – 431 mm m merupakan nilai limpasan permukaan Ro. Nilai Ro ini erat hubungannya dengan kemiringan lahan 20 pada lokasi pertanaman kentang tersebut. Kondisi ini menunjukkan curah hujan yang mencapai permukaan tanah sedikit yang terinfiltrasi ke dalam tanah tetapi lebih banyak menjadi limpasan permukaan Ro. -1 sedangkan pada perlakuan J2 berkisar antara 116 – 345 mm m -1 . c Gambar 6. Kadar air tanah total hingga kedalaman 1 m pada semua perlakuan menurut waktu, pada a Percobaan I, b percobaan II, dan c percobaan III. Percobaan II, nilai rata-rata ETa + Ro semua perlakuan sebesar 260 mm Tabel 4 yang dihitung dari 48 hari pangukuran, atau setara dengan 6 mm hari -1 Tabel 5. Nilai ini sama dengan rata-rata ETp sebesar 5 mm hari -1 Tabel 5. Perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 0 mm.hari -1 Tabel 5 menunjukkan tidak terjadi limpasan permukaan selama pertumbuhan tanaman disebabkan oleh lahan yang relatif datar kemiringan kurang dari 5. Tabel 5 menunjukkan curah hujan yang juga rendah 261 mm pada Percobaan II, juga menjadi salah satu penyebab tidak terjadi aliran permukaan Ro = 0. Meskipun curah hujan rendah, ETa + Ro 260 mm, karena Ro 0 mm pada Percobaan II, menyebabkan simpanan kadar air secara umum cenderung konstan selama pertumbuhan tanaman Gambar 6. Kadar air tanah pada perlakuan jarak tanam J1 berkisar antara 263 – 309 mm m -1 , sedangkan pada perlakuan J2 berkisar antara 243 – 341 mm m -1 . a b Percobaan III nilai rata-rata ETa + Ro semua perlakuan sebesar 823 mm Tabel 4 yang dihitung dari 52 hari pangukuran, atau setara dengan 16 mm hari -1 Tabel 5. Nilai ini jauh lebih tinggi dari rata-rata ETp sebesar 8 mm hari -1 Tabel 5. Perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 8 mm hari -1 Tabel 5 tersebut menunjukkan nilai Ro selama pertumbuhan tanaman yang sedikit lebih rendah dari Percobaan I, tetapi lebih tinggi dari Percobaan II. Hal ini berhubungan dengan kemiringan lahan 10, lebih banyak curah hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah, sehingga lebih sedikit yang menjadi aliran permukaan. Tabel 5 menunjukkan curah hujan sebesar 757 mm pada Percobaan III, ETa + Ro 823 mm, Ro 407 mm menyebabkan simpanan kadar air secara umum juga menurun selama pertumbuhan tanaman, tapi tidak setinggi penurunan pada Percobaan I Gambar 6. Kadar air tanah pada perlakuan jarak tanam J1 berkisar antara 158 – 388 mm m -1 , sedangkan pada perlakuan J2 berkisar antara 102 – 336 mm m -1 Proses hilangnya air akibat evapotranspirasi merupakan salah satu komponen penting karena dapat mengurangi simpanan air dalam tanah dan tanaman. Ferreira dan Carr 2002 menemukan bahwa evapotranspirasi total ETa dari tanaman kentang pada daerah beriklim panas kering di Timur Laut Portugal berkisar 150 – 550 mm, tergantung pada perlakuan irigasi dan masa pertumbuhan. Kisaran ini setara dengan yang ditemukan Onder et al. 2005 yaitu berkisar 166 – 473 mm, akan tetapi jauh lebih kecil dari pada total kehilangan air dalam percobaan I ETa + Ro = 1.378 mm, Percobaan III ETa + Ro = 823 mm, yang mengindikasikan jumlah limpasan permukaan yang besar. Total kehilangan air dalam percobaan II ETa + Ro = 260 mm masuk dalam kisaran, yang mengindikasikan jumlah limpasan permukaan yang kecil atau tidak terjadi limpasan permukaan. . Evapotranspirasi dapat menurunkan kadar air tanah yang ada, untuk itu diperlukan upaya penambahan air melalui pengairan tambahan seperti penyiraman dan irigasi. Laureti dan Marras 1995 mendapatkan hubungan linier antara peningkatan hasil tanaman pada aplikasi pemberian air sampai 100 evapotranspirasi. Hubungan antara Curah Hujan dan Limpasan Permukaan Nilai curah hujan dan limpasan permukaan yang diukur pada Percobaan I, II dan III ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai curah hujan dan limpasan permukaan Ro yang terukur pada Percobaan I, II dan III. Percobaan I Perlakuan Rata-rata U1J1 U2J1 U3J1 U1J2 U2J2 U3J2 Curah hujan mm Ro mm 1.314 853 65 1.314 787 60 1.314 927 70 1.314 784 60 1.314 787 60 1.314 757 58 1.314 816 62 Percobaan II U1J1 U2J1 U3J1 U1J2 U2J2 U3J2 Curah hujan mm Ro mm 261 261 261 261 261 261 261 Percobaan III J1V1 J1V2 J2V1 J2V2 Curah hujan mm Ro mm 757 353 47 757 418 55 757 326 43 757 531 70 757 407 54 Tabel 6 menunjukkan curah hujan yang tinggi selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada Percobaan I 1.314 mm menyebabkan limpasan permukaan yang besar, yaitu 816 mm atau 62. Sebaliknya, curah hujan yang relatif rendah selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada Percobaan II 261 mm menyebabkan Ro tidak terjadi. Curah hujan yang juga cukup tinggi selama pertumbuhan tanaman kentang pada Percobaan III 757 mm menyebabkan limpasan permukaan 407 mm atau 54, tapi tidak setinggi pada Percobaan I.

3.5. Kesimpulan

1. Pada ketiga percobaan perubahan kadar air tanah terbesar terjadi hingga kedalaman 60 cm yang menunjukkan aktivitas perakaran paling tinggi dalam penyerapan air tanah. Perubahan kadar air tanah di bawah kedalaman 60 cm makin berkurang, dan pada kedalaman 80 – 100 cm hampir tidak terjadi lagi perubahan. 2. Peningkatan curah hujan menyebabkan kehilangan air yang makin besar khususnya melalui limpasan permukaan Ro. Perhitungan neraca air lahan pada Percobaan I dengan curah hujan 1.314 mm menghasilkan rata-rata kehilangan air dalam bentuk evapotranspirasi dan limpasan permukaan ETa + Ro dari semua perlakuan sebesar 1.378 mm selama 75 hari pengukuran, atau setara dengan 18 mm hari -1 . Percobaan II dengan curah hujan 261 mm tidak menghasilkan limpasan permukaan Ro, melainkan hanya untuk mencukupi kebutuhan air untuk evapotranspirasi tanaman kentang ETa sebesar 260 mm selama 48 hari pengukuran, atau setara dengan 5 mm hari -1 . Percobaan III dengan curah hujan 757 mm menghasilkan rata-rata ETa + Ro yang lebih rendah dari Percobaan I, yaitu 823 mm selama 52 hari pengukuran atau atau setara dengan 16 mm hari -1 3. Curah hujan yang tinggi selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada percobaan pertama menyebabkan limpasan permukaan yang tinggi, dengan rata-rata persentasi Ro terhadap besarnya curah hujan sebesar 62. Curah hujan yang juga tinggi selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada percobaan ketiga menyebabkan limpasan permukaan tidak sebesar Percobaan I, dengan rata-rata persentasi Ro terhadap besarnya curah hujan sebesar 54. Kondisi curah hujan yang relatif rendah selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada percobaan kedua menyebabkan tidak terjadinya aliran permukaan. .

IV. NERACA AIR TANAH DAN HASIL TANAMAN KENTANG Solanum

tuberosum L. PADA DATARAN TINGGI TROPIKA BASAH DI INDONESIA 2 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai dinamika kadar air tanah pada lahan kentang di dataran tinggi Indonesia, serta hubungannya dengan curah hujan dan kehilangan air tanah melalui evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan menggunakan perhitungan neraca air.Analisis juga dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara ketersediaan kadar air tanah dengan pertumbuhan dan hasil tanaman. Perlakuan terdiri dari dua jarak tanam dan tiga ukuran umbi. Kadar air tanah yang terdiri dari 6 kombinasi perlakuan diukur setiap minggu sampai kedalaman 100 cm untuk menghitung hilangnya air melalui evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan. Kehilangan air melalui ETa + Ro lebih tinggi rata-rata 18 mm hari -1 dibandingkan rata-rata evapotranspirasi potensialETp 7 mm hari -1 . Meskipun curah hujan tinggi selama masa pertumbuhan tanaman kentang 1.314 mm, evapotranspirasi aktual dapat menurunkan kadar air tanah sampai kedalaman 60 cm, dimana hal ini berkaitan dengan tingginya limpasan permukaan yang disebabkan oleh terbatasnya kapasitas infiltrasi air ke dalam tanah. Total rata-rata ETa + Ro untuk semua perlakuan adalah 1.378 mm yang dibandingkan antar perlakuan. Kadar air tanah yang lebih tinggi menghasilkan biomassa tanaman dan umbi yang lebih besar. Di samping itu, ukuran bibit yang lebih besar menghasilkan biomassa tanaman dan umbi kentang yang lebih besar tanpa tergantung dengan variasi kadar air tanah pada perlakuan. Kata kunci : kentang, evapotranspirasi, limpasan permukaan, tanah, air ABSTRACT This research was aimed to obtain information about the dynamics of soil water content in potato cultivation at high altitude of Indonesia; its relation to rainfall, soil water loss through surface runoff and actual evapotranspiration using water balance calculations, and to find the relationship between the availability of soil water content and crop growth and yield. The treatments consist of two row spacings and three seed size for sowing. Soil water contents of six combination of treatments were measured weekly to the soil depth of 100 cm to calculate water loss by actual evapotranspiration and runoff. Water loss bay ETa + Ro was much higher average of 18 mm day-1 compared to average potential evapotranspiration 7 mm day -1 2 Paper telah diterbitkan pada The Southeast Asian Journal of tropical Biology: Biotropia. Vol 19 No. 1. June 2012. Soil Water Balance and Yield of Patato Crop Solanum tuberosum L. Grown In High Altitude Humid Tropics of Indonesia. Salwati dan Handoko. . Despite high rainfall during the growing season 1.314 mm, actual evapotranspiration could reduce soil water content to 60 cm soil depth due to the high runoff caused by limited capacity of water infiltration into the soil. Total ETa + Ro average for all treatments was 1.378 mm which was comparable among treatments. Higher soil water content resulted in larger crop biomass and higher tuber yield. On the other hand, larger seed size produced 49 greater crop biomass and tuber yield irrespective of the variation of soil water contents in the treatments. Keywords: potato, crop, evapotranspiration, runoff, soil, water

4.1. Pendahuluan

Tanaman kentang di Indonesia pada umumnya dibudidayakan pada ketinggian lebih dari 800 m dpl Sutapradja 2008. Total luas lahan pertanaman kentang di Indonesia sekitar 55 ribu ha BPS 2011 dengan enam provinsi penghasil kentang terbesar yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan Nurtika 2007. Karena penanaman dilakukan pada daerah pegunungan dengan tingkat kemiringan yang tinggi, air sering menjadi masalah serius pada musim hujan karena limpasan permukaan yang diakibatkan. Sebaliknya, pada musim kemarau kadar air tanah yang rendah menjadi kendala untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu, penentuan waktu tanam yang tepat untuk mendapatkan ketersediaan air yang cukup tetapi meminimalkan kehilangan air melalui limpasan permukaan merupakan alternatif pengelolaan air yang penting untuk tanaman kentang. Informasi untuk memahami dinamika air tanah dalam hubungannya dengan curah hujan serta kehilangan air melalui limpasan permukaan serta evapotranspirasi sangat diperlukan. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui analisis neraca air pada lahan kentang yang memerlukan masukan berupa data curah hujan serta profil kadar air tanah selama pertumbuhan kentang tersebut. Akar tanaman kentang dapat mencapai kedalaman lebih dari 80 cm yang menjadikan tanaman tersebut lebih tahan terhadap cekaman air karena mampu menyerap cadangan air pada lapisan tanah yang lebih dalam di samping lebih efisien terhadap pemberian air irigasi Stalham Allen 2001. Penelitian di Turki dengan kisaran suhu harian 7 – 25 o C mendapatkan bahwa pengaruh irigasi terhadap tanaman kentang sangat nyata, namun demikian kehilangan air tanaman melalui evapotranspirasi pada perlakuan irigasi penuh mencapai kisaran 382 – 473 mm, sedangkan pada kontrol tanpa irigasi hanya 166 – 226 mm Onder et al. 2005. Fabeiro et al. 2001, Ferreira dan Goncalves 2007 dan Unlu et al. 2006 juga menemukan bahwa peningkatan hasil umbi merupakan respon penggunaan jumlah air oleh tanaman yang lebih banyak.

4.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai dinamika perubahan kadar air tanah pada lahan kentang, serta hubungannya dengan curah hujan dan kehilangan air tanah melalui evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan menggunakan perhitungan neraca air. Analisis juga dilakukan terhadap hubungan antara ketersediaan air tanah dengan pertumbuhan dan hasil tanaman.

4.3. Metodologi

4.3.1. Waktu dan Tempat Percobaan

Penelitian dilakukan dari bulan Desember 2009 sampai Maret 2010 di Kebun Percobaan BB-biogen, Pacet-Cipanas, Kabupaten Cianjur. Lahan kentang yang digunakan memiliki kemiringan 20. Kentang ditanam pada tanggal 14 Desember 2009 dan panen dilakukan pada tanggal 25 Maret 2010.

4.3.2. Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunakan terdiri dari : 1 bibit kentang G0 varietas Granola; 2 pupuk anorganik Urea, KCl, SP-36 dan bahan organik pupuk kandang dan jerami; dan 3 insektisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Alat yang digunakan terdiri dari : 1 peralatan penanaman kentang seperti cangkul, parang, sekop, garu, ember, drum, selang air, kantung plastik, tambang; 2 alat pengukur kadar air tanah ring sampler, bor tanah, dan sensor pengukur kadar air tanah pada berbagai kedalaman [10, 20, 40, 60, 80 dan 100 cm]; 3 stasiun cuaca otomatis pada lokasi penelitian.

4.3.3. Rancangan Percobaan

Perlakuan terdiri dari tiga ukuran umbi U1, U2 dan U3 dan dua jarak tanam J1 dan J2. Percobaan menggunakan rancangan blok terpisah split-block design dengan tiga ulangan, dan jarak tanam sebagai petak utama. Perlakuan ukuran bibit U dan jarak tanam J adalah sebagai berikut : U1 : berat bibit antara 1,5 – 3,5 gram per butir U2 : berat bibit antara 0,5 – 1,5 gram per butir U3 : berat bibit kurang dari 0,5 gram per butir J1 : jarak tanam 20cm x 20cm atau 3 baris per guludan lebar guludan 80 cm J2 : jarak tanam 20cm x 40cm atau 2 baris per guludan lebar guludan 80 cm Data pengukuran kadar air tanah θ v

4.3.4. Pengukuran Laju Infiltrasi

and tahanan listrik R diplotkan dan kurva kalibrasi diturunkan menggunakan persamaan yang sesuai. Laju infiltrasi diukur sekali pada tiap kedalaman 0, 10, 20, 40, 60, 80 dan 100 cm pada satu titik pengamatan untuk mewakili seluruh perlakuan. Pengukuran dilakukan pada tanggal 17 Februari 2010. Tanah digali menggunakan cangkul sesuai masing-masing kedalaman tersebut kemudian pengukuran dilakukan menggunakan stopwatch dan single-ring infiltrometer.

4.3.5. Pengukuran Tanaman

Pengukuran biomassa tanaman akar, batang dan daun dilakukan bersamaan dengan pengukuran kadar air tanah. Biomassa diukur melalui pengambilan contoh tanaman dari masing-masing perlakuan dan ulangan, selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80 o

4.3.6. Neraca Air

C selama 24 jam kemudian ditimbang menggunakan neraca analitik. Pengukuran biomassa tanaman dilakukan setiap minggu dari tanggal 9 Januari sampai 3 Februari 2010 setelah itu tidak ada lagi pengambilan contoh tanaman sampai hasil umbi dari semua perlakuan diukur pada saat panen tanggal 25 Maret 2010. Perhitungan neraca air didasarkan pada masukan input dan keluaran output air pada lahan tanaman kentang dari tiap perlakuan, sebagai berikut : θt = θt-1 + Pt - ETat + Rot 1 sehingga, ETat + Rot = θt-1 - θt + Pt 2 ETat : evapotranspirasi aktual minggu ke t mm Rot : limpasan permukaan minggu ke t mm