transpotasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistik, melimpahnya sumberdaya kelautan dan dominasi sektor jasa.
2.9. Tata Kelola Pulau-Pulau Kecil
Istilah tata kelola governance menurut Koirman, et.at 2005 diacu Adrianto 2006 didefinisikan sebagai keseluruhan interaksi antara sektor publik
dan privat yang diambil untuk memecahkan persoalan masyarakat society problems
dan menciptakan kesempatan sosial societal opportunities. Hal ini mencakup formulasi dan aplikasi dari prinsip-prinsip dasar pelaksanaan interaksi
dan penjaminan institusi untuk dapat melaksanakan interaksi tersebut dengan baik. Dengan demikian kata kunci dalam tata kelola pulau-pulau kecil PPK adalah
interaksi antara sektor publik dan privat dan difasilitasi oleh pemerintahan yang baik good governance.
Menurut Adrianto 2006 gelombang ketiga tata kelola tidak terlepas dari nuansa gelombang kedua yaitu desentralisasi tata kelola PPK. Dalam kerangka ini,
perubahan paradigma berpikir menjadi salah satu faktor esensial, khususnya bagi pemerintah daerah provinsi dan kabupatenkota kepulauan sebagai ujung tombak
desentralisasi PPK. Memodifikasi dari Kartajaya dan Yuswohady 2005, paradigma berpikir tata kelola PPK dalam era otonomi daerah sebaiknya
memasukan tiga unsur penting yaitu 1 enterpreunal-competitive government; 2 accountable and customer-driven government
; dan 3 glocal-sustainability oriented government
Gambar 1. Muara dari ketiga unsur perubahan paradigma ini adalah pelayanan prima terhadap publik dan stakeholder daerah.
Gambar 1. Unsur Perubahan Paradigma Berpikir Tata Kelola Kepulauan
Local Government
Accountable And Customer-Driven
Government Glocal-
Sustainability Oriented Government
Enterpreunal- Competitive
Government
Pelayanan Prima Terhadap Publik dan
Stakeholder Daerah
Unsur pertama, enterpreunal-competitive government memiliki makna bahwa dalama tata kelola PPK diperlukan pemahaman mengenai karakteristik
daerah PPK yang notabene lebih didominasi oleh sumberdaya laut dan perikanan daripada katakanlah sumberdaya alam wilayah daratan. Dengan pemahaman ini
maka pemerintah daerah kepulauan memiliki kerangka berpikir kompetitif untuk mengembangkan potensi yang dimiliki demi kesejahteraan daerah dan masyarakat
kepulauan. Hal ini dapat dilakukan apabila cara berpikir enterpreunal juga diterapkan. Cara berpikir ini tidak selalu berarti bahwa pemimpin daerah
kepulauan harus seorang pengusahanenterpreneur, namun lebih pada kebutuhan cara berpikir.
Unsur kedua,
accountable and customer-driven government ,
mensyaratkan pemerintahan yang akuntabel dan berorientasi pada kepuasaan publik serta stakeholder daerah. Publik dan stakeholder daerah inilah yang dalam
cara berpikir ini dipandang sebagai “customer” daerah. Artinya pemerintah daerah kepulauan memang bekerja keras untuk memuaskancustomer sehingga sang
customer dengan senang hati akan “membayar” kepuasaan tersebut melalui instrumen inflow seperti investasi maupun instrumen outflow seperti pajak dan
iuran daerah. Di sinilah letak interaksi antara pemerintah dengan sektor publik dan privat berlangsung.
Sementara itu, unsur ketiga yaitu glocal-Sustainability Oriented Government
mengandung dua pemikiran penting yaitu pertama, pemerintah daerah kepulauan berorientasi pada kejayaan lokal yang bisa menembus dunia
internasionalglobal. Walaupun bergerak dan berjuang dalam koridor batas administrasi dan sumberdaya daerah namun hasilnya mampu menjangkau publik
global. Inilah yang disebut dengan pemikiran global global-localism. Kedua, pemerintah daerah kepulauan orientasi pada keberlanjutan daerah sebagai the
ultimate goal pembangunan daerah itu sendiri. Artinya, walaupun roda
pembangunan terus dengan memanfaatkan sumberdaya daerah namun koridor keberlanjutan tetap diterapkan. Hal ini mensyaratkan pemahaman tentang
keseimbangan pembangunan ekonomi dan ekologi. Hal ini penting karena karakteristik yang khas dari PPK adalah keterbatasan ekonomi dan ekologi.
Ecosystem-based economic development menjadi salah satu opsi bagi tata kelola
PPK. Opsi ini meletakkan pentingnya keseimbangan ekosistem PPK dalam pembangunan ekonomi. Dengan demikian pendekatan pembangunan yang
berbasis daya dukung carrying capacity-oriented development adalah alat bagi opsi ini.
Konsep daya dukung sendiri bukanlah konsep yang baru. Namun demikian implementasinya sebagai sebuah tool dalam kebijakan pembangunan
masih jauh dari yang diharapkan. Dengan mengubah paradigma dan cara pandang pembangunan ekonomi dan lingkungan sebagai sebuah kesatuan, maka konsep
daya dukung ini merupakan salah satu tool yang dapat diimplementasikan sebagai salah satu nilai normatif dari kebijakan pembangunan ekonomi secara
keseluruhan. Hal ini tidak terlepas dari paradigma ilmu keberlanjutan sustainabilty sciences yang harus semakin tegas diadop oleh pemerintah daerah
kepulauan. Daly
1990 diacu
Adrianto 2006 memberikan tiga kriteria dasar bagi keberlanjutan modal alam natural capital dan keberlanjutan ekologi ecological
sustainability yaitu: 1 untuk sumberdaya alam terbarukan renewable
resources , laju pemanfaatan tidak boleh melebihi laju regenerasinya sustainable
yield ; 2 laju produksi limbah dari kegiatan pembangunan tidak boleh melebihi
kemampuan asimilasi dari lingkungan sustainable waste disposal; dan 3 untuk sumberdaya tidak terbarukan non-renewable resources, laju deplesi sumberdaya
harus mempertimbangkan pengembangan sumberdaya substitusi bagi sumberdaya tersebut. Tiga kriteria ini memang ideal dan lebih bersifat normatif, namun dalam
konteks yang pembangunan keberlanjutan di wilayah PPK, ketiganya menjadi faktor penting yang diharapkan dapat menjadi norma bagi setiap pengambilan
kebijakan pembangunan ekonomi wilayah kepulauan.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Dimekarkannya suatu wilayah bukanlah tanpa suatu alasan ataupun tujuan, namun sebaliknya dengan berbagai pertimbangan dan harapan-harapan. Demikian
halnya yang terjadi pada pemekaran wilayah Raja Ampat dari Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat. Dimekarkannya Raja Ampat menjadi kabupaten diharapkan
mendorong meningkatnya pelayanan pada bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta memberikan kemampuan dalam memanfaatkan potensi
wilayahnya. Keberhasilan dari suatu pemekaran wilayah secara umum ditandai dengan
terciptanya kondisi yang lebih baik setelah pemekaran dibanding sebelum pemekaran. Tidak hanya pada kabupaten hasil pemekaran namun juga pada
kabupaten asal yang dimekarkan. Pemekaran Kabupaten Raja Ampat berdasarkan UU No. 26 Tahun 2002 tanggal 11 Desember 2002, yang baru berusia 5 tahun
lebih, sehingga mungkin belum menunjukkan kondisi yang lebih baik dibanding saat sebelum pemekaran. Namun minimal telah menunjukkan arah yang jelas
menuju pencapaian tujuan sebagaimana tersebut di atas. Untuk mencapai tujuan pemekaran wilayah sebagaimana dituangkan
dalam UU No. 26 Tahun 2002 maka pemerintah perlu terus memacu pengembangan sektor-sektor unggulan di Kabupaten Raja Ampat, salah satunya
adalah wisata bahari. Namun seringkali kebijakan pembangunan yang dilakukan tidak dapat mewujudkan semua kehendak kebijakan. Untuk mengatasi hal tersebut
di atas maka perlu diketahui penyebab kegagalan tersebut untuk melakukan suatu tindakan evaluasi.
Oleh karena itu pada pendekatan kerangka pikiran dari penelitian ini diarahkan pada evaluasi dalam menyempurnakan kebijakan pemekaran wilayah
untuk mempercepat pencapaian kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Raja Ampat. Dengan demikian, maka akan dilakukan analisis terhadap kenyataan-
kenyataan di lapangan, sehingga akan dapat diketahui apakah tujuan pemekaran Raja Ampat sebagaimana diamanatkan dalam UU No.26 Tahun 2002 telah