Perbedaan antara Pengaturan Reorganisasi Perusahaan dengan ketentuan PKPU adalah bahwa dalam Pengaturan Reorganisasi telah ditawarkan pilihan-
pilihan yang berpedoman pada panduan berupa ketentuan-ketentuan, sehingga para pihak hanya membahas dan menyepakati format yang telah diajukan oleh
para pihak. Sedang dalam ketentuan PKPU yang diatur hanya tentang moratorium yang di dalamnya diberi kesempatan kepada Debitor untuk mengajukan Rencana
Perdamaian, tetapi apa yang harus diperjanjikan dan bagaimana formalitas Rencana Perdamaian tersebut diserahkan kepada deal persetujuan para pihak.
Ketentuan PKPU aturannya belum begitu lengkap, mekanismenya belum jelas dan para pihak harus mencari-cari yang akhirnya diserahkan kepada persetujuan
kedua belah pihak Debitor dan para Kreditor, sehingga bila tidak dipandu oleh para ahli dalam melakukan negoisasi membahas Rencana Perdamaian yang
diajukan Debitor besar kemungkinan Perdamaian itu tidak akan tercapai.
E. Undang-Undang Kepailitan Modern
Pengertian kepailitan yang dianut oleh berbagai negara di dunia bermula diambil dari pengertian dasar yang berasal dari abad pertengahan berlaku sebagai
Hukum Kebiasaan di Itali yakni ’banca rupta broken bench’
417
yang dapat ditafsirkan sebagai pernyataan bangkrut bankrupt seseorang oleh Pengadilan.
Dalam melaksanakan pengertian itu terkesan ada sesuatu bentuk hukuman atau penghinaan bagi debitor dari pernyataan pailit tersebut yakni untuk menyerahkan
417
Joseph E Stiglitz dalam Stijn Claessens et.al, op.cit. h.1
seluruh harta kekayaannya untuk dibagi-bagi oleh para kreditornya, dan bila diberi kesempatan debitor hanya untuk penundaan pembayaran utangnya. Debitor
ditempatkan pada suatu posisi yang tidak adil karena dianggap melakukan perbuatan ingkar janji kepada para kreditornya, sehingga harta debitor perlu
dilikuidasi selanjutnya dengan mudah beralih pada pihak lain. Tetapi pengertian ini secara lambat laun mengalami perubahan yang
terlihat dari cara pengaturan dalam Undang-Undang Kepailitan yang berlaku dimana telah ada pengaturan akan keseimbangan hak-hak debitor dengan para
kreditornya dengan memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk melakukan perdamaian dengan syarat-syarat yang ditentukan.
Perkembangan sejarah serta keadaan sosial, ekonomi dan budaya suatu negara sangat mempengaruhi pengaturan kepailitan di suatu negara mempunyai
sifat-sifat khas sesuai dengan keadaan sosial politik, ekonomi, budaya dari masyarakat suatu negara itu, sehingga tidak ada Undang-Undang Kepailitan yang
seragam dan dapat diberlakukan secara universal, sebagaimana diartikan ”there is no single universal bankruptcy code”
Pada kenyataannya ada kecendrungan di berbagai negara bahwa di dalam Undang-Undang Kepailitan telah diseimbangkan kepentingan kreditor disatu sisi
yakni melindungi hak-hak kreditor yang diperlukan untuk menggerakkan modal demi tujuan investasi, sedang disisi lain melindungi kepentingan debitor yakni
mencegah terjadinya likuidasi prematur dan diberi kesempatan untuk pembenahan terhadap perusahaan debitor sehingga tetap sebagai going concern.
Pengaturan Kepailitan setiap negara memiliki perbedaan yang signifikan, walaupun negara-negara tersebut sama-sama menganut sistem hukum ”common
law” ataupun ”civil law” selalu ada perbedaan baik secara formil maupun secara materil dalam penyelesaian utang-utang debitor. Namun idealnya negara-negara
harus sadar bahwa menyeragamkan pengaturan yang standard sangat diperlukan terutama dalam hal memberikan perlindungan yang seimbang antara debitor dan
para kreditor maupun kepentingan stake holders. Pada era ekonomi modern sekarang ini peran utama kepailitan adalah
untuk mendorong dilakukannya reorganisasi terhadap perusahaan debitor. The central role of bankruptcy in modern capitalist economies is to encourage
reorganization
418
. Perekonomian modern tidak akan dapat dibangun bilamana debitor ditempatkan pada posisi yang tidak adil dengan dikenakan hukuman
sandera, hartanya dilikuidasi untuk dibagi-bagikan kepada para kreditornya, hal ini adalah suatu pandangan yang salah arah dalam kepailitan modern.
Sejak tahun 1978, kepailitan di Amerika Serikat tidak lagi disamakan dengan liukidasi yang memindahkan kepemilikan debitor kepada para
kreditornya, sebaliknya debitor wajib diberikan kesempatan untuk membenahi diri yang diatur dalam Reorganization pada Chapter 11 US Bankruptcy Code.
Pandangan modern terhadap kepailitan adalah mengubah arah dari likuidasi kepada arah pembenahanreorganisasi karena sangat mendukung pada ekonomi
pasar yang efisien, sehingga mempunyai dampak positif bagi perekonomian modern.
418
Ibid h.2
Tetapi suatu hal yang penting dalam Kepailitan adalah pengaturan tentang bagaimana menentukan dan menetapkan debitor yang dapat direorganisasi atau
harus dilikuidasi. Sehubungan dengan itu Michelle J White mengatakan : “ After firms have filed for bankruptcy, an important aspect of an efficient bankruptcy
policy entails determining which firms will be reorganized and which firm will be liquidated”
419
. Dalam menentukan dan menetapkan hal tersebut, perhatian harus ditujukan kepada debitor apakah keadaannya memungkinkan untuk direorganisasi
dan para kreditor memiliki harapan dan keuntungan sehingga menyetujui proposal reorganisasi yang diajukan debitor. Dipihak debitor peranan melaksanakan
reorganisasi ini ada pada manajemen perusahaan debitor, yaitu kemampuannya menyusun proposal reorganisasi dan memperhitungkan kemampuan perusahaan
menyanggupi isi proposal tersebut. Apabila suatu perusahaan kesulitan untuk membayar utang-utangnya yang
sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, adalah merupakan peluang untuk menyatakan perusahaan debitor pailit melalui suatu prosedur kepailitan.
Kesulitan likuidasi merupakan objek dari suatu kepailitan. Pernyataan pailit oleh suatu Pengadilan belumlah merupakan kualifikasi bahwa debitor sudah tidak
mampu membayar utang-utangnya, masih perlu diuji pada tahap selanjutnya apakah benar-benar insolven apa tidak.
Kesulitan likuidasi mengandung 2 dua pengertian yaitu
420
:
419
Michelle J. White dalam Stijn claessens et.al, op cit. h.25
420
Jhon Duns, Insolvency : Law and Policy, Melbourne: Oxford University Press, 2002, h. 80-89, lihat juga Andrew R Keay dalam Kerrie Daley, Law 3095 Corporate Insolvency
Sydney: The University of New South Wales, 2004. h. 306-311
1. Keadaan Solven, whether the company is experiencing a temporary lack of
liquidity masih ada kemampuan debitor untuk membayar utang-utangnya karena utang tersebut masih lebih kecil dari nilai aset yang dimiliki, hanya
debitor kesulitan memperoleh uang cash untuk membayar utang-utangnya. Hal ini lebih disebabkan oleh kesalahan dalam mengelola bidang keuangan
Mis-match. 2.
Keadaan Insolven, whether the company is experiencing an endemic shortage of working capital tidak ada lagi kemampuan debitor untuk
membayar utang-utangnya karena utang tersebut melebihi dari pada nilai aset yang dimiliki, hal ini disebabkan oleh kesalahan dalam mengelola bidang
struktur sehingga diperlukan restrukturisasi perusahan atau Reorganisasi. Bila terjadi salah mengelola bidang keuangan Mis-match sehingga
terjadi kesulitan likuidasi, masalah ini bisa diselesaikan dengan melakukan restrukturasi utang yang terdiri dari : rescheduling, reconditioning, refinancing,
hair cut, converted debt dan lain-lain. Penyelesaian dengan restrukturisasi utang ini dapat dilakukan melalui prosedur PKPU yang tujuannya mencapai perdamaian
antara debitor dengan para kreditornya. Perdamaian ini diserahkan kepada persetujuan kedua belah pihak dengan mendapat pengawasan dari pengadilan
Hakim Pengawas agar memenuhi syarat hingga memperoleh pengesahan homologasi. Perdamaian yang dihomologasi ini memperlihatkan sifat hukum
perdata dari Hukum Kepailitan itu sendiri. Bila yang terjadi adalah kesalahan struktur perusahaan, maka jawabannya
adalah restrukturisasi perusahaan reorganisasi yang tidak dapat diselesaikan lagi
dengan hanya kesepakatan pihak debitor dengan para kreditor. Pijakan Hukum dari Reorganisasi sudah meluas melebihi kesepakatan pihak-pihak tapi sudah
menyangkut kepada kepentingan publik, sehingga diperlukan adanya kekuatan memaksa berupa perintah dari pengadilan untuk melakukan reorganisasi terhadap
perusahaan debitor seperti : merger, akusisi dan konsolidasi. Sebagai Hukum Publik, Undang-Undang Kepailitan seyogianya mengatur
dan memberi kewenangan kepada Pengadilan Niaga untuk memerintahkan perusahaan debitor yang insolven untuk direorganisasi dibawah pengawasan dari
Hakim Pengawas. Latar belakang memberi kewenangan kepada Pengadilan Niaga
memerintahkan reorganisasi debitor adalah : 1.
Sangat sulit memperoleh kesepakatan para pemegang saham debitor yang begitu banyak dan tersebar untuk memperoleh keputusan.
2. Kepentingan para kreditor yang bervariasi dan rumit sehingga tidak mudah
mencapai kesepakatan, maka diperlukan power melalui Pengadilan Niaga. 3.
Kondisi debitor yang sangat lemah insolven, tetapi dilihat masih ada titik cerah oleh pengadilan sehingga memberi kesempatan kepada perusahaan
debitor untuk melakukan reorganisasi adalah solusi yang terbaik. Menurut pasal 2 ayat 1 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan PKPU, untuk menyatakan pailitnya debitor sedemikian mudah karena syarat- syarat pailit begitu sumier. Dan selanjutnya bila debitor gagal mengajukan
rencana perdamaian karena tidak disetujui oleh para kreditor, maka debitor haruslah dinyatakan pailit dan harus pula dilikuidasi. Dikhawatirkan yang terjadi
adalah likuidasi prematur, karena debitor tidak berhasil mencapai perdamaian dengan para kreditornya semata-mata karena kelemahan negosiasi dari pihak
debitor sedang keadaan sebenarnya dari debitor masih mampu membayar utang- utangnya solven.
Terhadap perusahaan-perusahan besar yang berbentuk badan hukum yang mempunyai dampak besar terhadap perekonomian negara, dalam hal perusahaan
tersebut dinyatakan pailit dan kemudian berada dalam keadaan insolven perlu upaya penyelamatan dari tindakan likuidasi. Penyelamatan tidak cukup dengan
restrukturisasi utang tetapi diperlukan tindakan yang lebih mendasar kepada restrukturisasi perusahaan dan bila mungkin sampai melakukan merger, akuisisi,
konsolidasi dan lain-lain. Undang-undang Kepailitan yang perspektip adalah yang disusun dan
diatur sedemikian rupa agar mampu melindungi kepentingan debitor dan kepentingan para kreditor maupun kepentingan stake holders. Undang-Undang
Kepailitan modern tidak lagi berkiblat pada likuidasi, tetapi haruslah bertujuan menyelamatkan perusahaan agar tetap eksis dengan cara sebagai berikut :
1. Debitor pailit solven, utang-utang debitor masih dapat diselesaikan dengan
mengajukan PKPU dengan kesepakatan damai intinya restrukturisasi utang. 2.
Debitor pailit insolven, perusahaan debitor harus diselamatkan dengan jalan reorganisasi perusahaan.
Mekanisme Reorganisasi dapat terjadi berdasarkan latar belakang Restrukturisasi yang diperlukan dan dapat dibedakan dalam 3 tiga tingkat
yakni
421
1. Restrukturasi perusahaan jika terjadi perubahan struktur kepemilikan dari
perusahaan induk. 2.
Restrukturasi bisnis jika terjadi perubahan Struktur kepemilikan pada tingkat strategi bisnis unit.
3. Restrukturasi aset merujuk pada perubahan kepemilikan aset.
Restrukturasi perusahaan meliputi aktifitas pengambilalihan perusahan lain memperlihatkan adanya upaya perluasan ekspansi disatu pihak dan adanya
penyusutan dipihak lain.
Merger : Merupakan satu mekanisme reorganisasi dengan cara menggabungkan
dua atau lebih perusahan menjadi satu perusahaan yang berarti sebagai transaksi yang merangkum beberapa unit ekonomi menjadi satu unit ekonomi baru.
Suatu merger memungkinkan perusahaan yang manajemennya kurang baik untuk menjadi lebih efektif dan efisien, manajer dapat memanfaatkan suatu merger
untuk mengurangi resiko diversifikasi yang tidak sistematis. Berbagai macam pertimbangan kualitatif akan sangat mempengaruhi ketentuan dalam suatu
merger, dan faktor kualitatif ini pulalah yang akan mempengaruhi kontribusi masing-masing perusahaan terhadap nilai perusahaan gabungan di masa yang
akan datang. Merger atau penggabungan usaha adalah penggabungan dari 2 dua
421
Agnes Sawir, op. cit. h. 187
perusahaan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu perusahaan dan melikuidasi perusahaan-perusahaan lainnya.
Akuisisi : Merupakan suatu mekanisme reorganisasi dengan cara melakukan
pembelian perusahaan kecil oleh perusahaan yang lebih besar, berarti pembelian terhadap suatu unit perusahaan yang lebih kecil dan dilebur ke perusahaan
pembeli. Akuisisi atau pengambilalihan usaha adalah pengambilalihan suatu perusahaan dengan cara membeli hak suara dari perusahaan the firm voting
stock, jadi secara juridis dengan membeli saham-saham dari perusahaan tersebut. Akuisisi internal dapat terjadi antara perusahaan satu kelompok group dilakukan
dengan berbagai motif, salah satu diantaranya adalah penyelamatan perusahaan dalam satu group dari kepailitan.
Take over : Penggabungan usaha yang inisiatifnya biasanya berasal dari
perusahaan yang lebih kecil yakni perusahaan yang diambil alih karena kesulitan keuangan atau membutuhkan bantuan tambahan modal dari perusahaan yang
lebih besar. Perusahaan yang mengambil alih disebut perusahaan pengambil alih acquiring company dan yang diambil alih disebut perusahaan sasaran target
company.
Tender offer : Suatu perusahaan menyodorkan tender untuk mengelola
perusahaan lain, dimana calon pembeli mendekati para pemegang saham dan membujuk agar bersedia menjual sahamnya. Pihak managemen perusahaan yang
akan diakuisisi penjual saham berusaha membendung pengambilalihan tersebut sehingga biaya tender offer lebih meningkat.
Di Indonesia ada anggapan bahwa merger dan akuisisi terutama didorong oleh faktor likuiditas, keinginan melakukan ekspansi, keinginan pemilik untuk
mengurangi beban kewajiban kepada pihak ketiga dan keinginan mengatasi masalah internal perusahaan
422
. Keputusan merger dan akuisisi mempunyai pengaruh besar terhadap kondisi
perusahaan dan peningkatan kinerja perusahaan dikemudian hari.
Konsolidasi : Menggabungkan 2 dua atau lebih perusahaan dengan cara
mendirikan perusahaan baru dan melikuidasi perusahaan sebelumnya. Konsolidasi atau peleburan usaha adalah penggabungan dari dua perusahaan atau
lebih dengan cara mendirikan perusahaan baru dan melikuidasi perusahaan- perusahaan yang ada. Terbentuknya perusahaan baru menjadikan perusahaan
yang mengambil alih maupun yang diambil alih the acquired firm berakhir eksistensi juridisnya dan menjadi bagian dari perusahaan yang baru.
Penggabungan, peleburan, pengambilalihan maupun pemisahaan perseroan ada diatur dalam bab. VIII, pasal 122 sd pasal 137. UU. Nomor 40
tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Apa definisi dari penggabungan, peleburan, pengambilalihan maupun pemisahan perseroan tersebut tidak ada
dimuat dalam penjelasan Undang-Undang tersebut, maupun dalam penjelasan UU Nomor 1 tahun 1995. Khusus mengenai penggabungan, peleburan,
pengambilalihan dapat dilihat pengertiannya dalam PP. Nomor 27 Tahun 1998 jo PP. Nomor 28 tahun 1998 sebagai berikut :
422
Ibid.h. 196
1. Merger atau penggabungan : Perbuatan Hukum yang dilakukan oleh satu
atau lebih perseroan untuk menggabungkan diri kedalam satu perseroan yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri
menjadi bubar. 2.
Konsolidasi atau peleburan : Perbuatan Hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk melebur diri dengan cara membentuk satu
perseroan baru dan masing-masing perseroan yang melebur diri menjadi bubar.
3. Akuisisi atau pengambilalihan : Perbuatan hukum yang dilakukan oleh
badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan
tersebut. Dalam hal memilih cara penggabungan perusahaan perlu diperhatikan
kelebihan dan kekurangan dari pola Merger, Konsolidasi atau Akuisisi
423
Dalam kasus merger 5 lima bank adalah menjadi kewenangan BPPN untuk memilih pola penggabungan apa yang tepat dan efisien serta efektif untuk
menggabungkan : 1. Bank Bali, 2. Bank Universal, 3. Bank Patriot, 4. Bank
423
Dalam Investor Edisi 58 tahun 2002, diuraikan sbb : Kelebihan merger
: Memakai nomor perusahaan pengambilalih dan mengeluarkan biaya yang lebih kecil.
Kekurangan merger : Menimbulkan polemik baru dan tidak memerlukan surat ijin usaha
baru Kelebihan konsolidasi
: Memakai nama perusahaan baru dan menghilangkan polemik dari masing-masing perusahaan
Kekurangan Konsolidasi : Berbiaya lebih mahal dan diperlukan surat ijin usaha yang baru Kelebihan Akuisisi
: Masih memakai nama lama dan tidak diperlukan surat ijin usaha baru Kekurangan akuisisi
: Kurang efisien, mudah terjadi duplikasipemborosan, kepemilikan perusahaan berobah,
dikutip oleh Abdul R Saliman et.al. op. cit. h. 87
Artameida, 5. Bank Prima Express sebagai peserta. Pertama sekali BPPN membentuk project director dari lima bank tersebut. Perwakilan dari semua bank
peserta merger masuk kedalam project director tersebut, dan selanjutnya masing- masing Bank menunjuk wakil-wakilnya dalam Tim Integrasi yang membahas
persoalan Merger seperti : tehnologi, kredit, pendanaan, sumber daya manusia, hukum dan komunikasi yang dibagi dalam divisi-divisi.
BPPN dengan Tim Integrasi melakukan legal due diligence dan financial due diligence dan hasilnya dituangkan dalam blue print. Kemudian project
director menunjuk salah satu konsultan yang menggodok peleburan lima bank tersebut yaitu Global Consultant yang bertugas mengkaji seluruh aspek dan
dampak berlangsungnya merger. Pedomannya adalah : “ Bank hasil merger akan merefleksikan sinergi masing-masing bank peserta”
424
Akhirnya pola penggabungan yang diambil oleh BPPN dari tiga pola penggabungan adalah konsolidasi karena 5 lima bank yang digabungkan tidak
satupun namanya yang dipakai karena hasilnya “Bank Mandiri” lah yang terbentuk. Hal ini berbeda dengan pola yang digunakan pada penggabungan Bank
Danamon dengan 9 sembilan bank lainnya, ternyata Bank Danamon adalah sebagai surviving bank.
Pengadilan Niaga harus diberi kewenangan yang lebih luas oleh Undang- Undang Kepailitan dan PKPU, sebagai Undang-Undang yang bersifat Hukum
Publik dapat memberikan kewenangan bukan hanya sebagai pengawas dalam
424
Ekoputro Adijayanto, Anggota Tim Intregrasi, dimuat dalam Investor. Edisi 58, lihat Abdul R. Saliman et.al op.cit h. 89
pelaksanakan perdamaian, lebih jauh dari itu diberi kewenangan untuk memerintahkan debitor untuk melakukan reorganisasi.
Kewenangan BPPN yang diberikan Pemerintah melalui PP Nomor 17 Tahun 1999 jo. Kepres Nomor 27 Tahun 1998 yakni melakukan tindakan hukum
atas aset dalam restrukturisasi, haruslah sebahagian diberikan kepada Pengadilan Niaga mengingat BPPN sudah dibubarkan. Pengadilan Niaga diberikan
kewenangan publik untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu agar perusahaan debitor dapat diselamatkan seperti : mengambil alih segala hak dan wewenang
direksi, komisaris dan pemegang saham termasuk RUPS dari perusahaan debitor, agar pengadilan dapat memerintahkan para direksi untuk melakukan reorganisasi
perusahaannya. Dalam hal kewenangan itu tidak diambil alih oleh pengadilan, akan sulit mengambil suatu keputusan dari unsur-unsur pengambil keputusan dari
suatu perusahaan yang dalam keadaan distress.
BAB V UPAYA PERDAMAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG PERUSAHAAN
DI DALAM ATAU DI LUAR PROSES KEPAILITAN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP LEMBAGA PKPU
A. Kinerja Prakarsa Jakarta dan INDRA
Peranan Prakarsa Jakarta dapat dilihat dari jumlah kasus utang piutang perusahaan yang ditangani oleh Satuan Tugas Prakarsa Jakarta STPJ. Jumlah ini
diperoleh dari data sejak dibentuknya Prakarsa Jakarta pada bulan Nopember 1998 sampai dengan berakhirnya tugas STPJ tahun 2003.
Kinerja Satuan Tugas Prakarsa Jakarta dapat dilihat pada laporan resmi dari Ketua STPJ Bacelius Ruru dalam Pengumuman penutupan dan pengakhiran
tugas STPJ pada tanggal 18 Desember 2003, dengan hasil pekerjaan sebagai berikut :
425
a. Menyelesaikan 96 kasus utang korporasi senilai 20,5 milyard dollar AS, dari
102 kasus utang yang terdaftar senilai 26,91 milyard dollar AS terdiri dari : 1
Tahap penandatanganan Nota Kesepahaman MOU, 20 kasus senilai 4,25 milyard dollar AS.
2 Tahap legally binding kreditor dan debitor sudah terikat dalam sebuah
persetujuan berkekuatan hukum terdiri dari 76 kasus dengan nilai 16,3 milyard dollar AS.
b. Memfasilitasi 6 kasus utang dengan nilai 6,3 milyard dollar AS yaitu
membantu memberikan beberapa kemudahan melalui permohonan kepada
425
http:www.tempointeraktif.comhgekbis20031218brk,20031218-41,id.html