Prinsip-prinsip yang harus dipedomani Pengurus Perusahaan.

yang berlaku dimana sekalipun permohonan kredit itu sebenarnya tidak layak feasible, tetapi direksi bank atau perusahaan pembiayaan tersebut memutuskan untuk memberikan kredit yang dimohon oleh nasabah dan ternyata kemudian kredit menjadi macet yang sangat merugikan bank atau lembaga pembiayaan tersebut. d. Seorang anggota direksi atau para anggota direksi dapat pula rnemperoleh manfaat pribadi dari jabatannya apabila mereka memanfaatkan kesempatan transaksi yang seyogianya dilakukan dengan dan untuk kepentingan perseroan yang dipimpinnya, tetapi transaksi itu disalurkan kepada perseroan lain dimana anggota direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan. Perbuatan-perbuatan anggota direksi yang bertentangan dengan itikad baik itu sudah barang tentu sangat merugikan perusahaan, yang mengakibatkan keuangan perusahaan berada dalam keadaan tidak mampu membayar kewajiban- kewajibannya kepada pihak lain karena tingkat pendapatan perusahaan yang menurun, hingga perusahaan dapat dinyatakan pailit.

4. Prinsip-prinsip yang harus dipedomani Pengurus Perusahaan.

a. Duty of care Dalam Pasal 97 ayat 1 dan ayat 2 UUPT ditentukan bahwa setiap anggota direksi wajib bertanggung jawab atas pengurusan perseroan dan dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Bila dikaitkan tugas dan kewajiban direksi yang ditentukan Pasal 92 ayat 1 UUPT tersebut yakni menjalankan kepengurusan perseroan dengan cara sebagaimana ditentukan Pasal 98 ayat 1 UUPT bahwa direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan di dalam maupun diluar pengadilan, maka secara tegas dinyatakan bahwa setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas diperoleh 2 dua unsur pokok yang harus dipedomani oleh direksi dalam menjalankan tugas kepengurusan perseroan tersebut yakni : 1 Apa yang menjadi kepentingan dan tujuanusaha perseroan, dan 2 Dicapai dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Menurut teori tentang Perseroan Terbatas, kewajiban pengurus perseroan diperhadapkan kepada 2 dua macam kewajiban yaitu : 1. Statutory duties, yakni kewajiban yang secara tegas ditentukan oleh undang-undang, dan 2. Fiduciary duties, yakni kewajiban direksi terhadap perseroan untuk mengabdi sepenuhnya kepada perusahaan dengan sebaik-baiknya karena adanya hubungan fiduciary antara direksi dan perseroan. Menurut Hukum Perseroan Amerika Serikat, yang dimaksud dengan duty of care adalah kewajiban berhati-hati bagi anggota direksi dan pegawai suatu perseroan, yang harus bersikap dan berbuat “The must exercise that degree of skiil, diligence, and care that a reasonably prudent person would exercise in similar circumstances” 239 b. Fiduciary duty 239 Robert Charles Clark, dalam Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002, h. 428 Pada dasarnya direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan dalam batas yang diizinkan oleh perundang-undangan yang berlaku dan Anggaran Dasar Perseroan. Berarti semua tindakan yang dilakukan oleh direksi di luar kewenangan yang diberikan tersebut tidak mengikat perseroan, sehingga sebenarnya direksi memiliki kewenangan terbatas dalam bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan. Lebih lanjut dapat diuraikan pendapat yang menyatakan bahwa : 240 In applying the general equitable principle to company directors, four separate rules have emerged. These are : 1 that directors must act in good faith in what they believe to be the best interest of the company. 2 that they must not exercise the powers conferred upon them for purposes different from those for which they were conferred. 3 that they must not fetter their discretion as to how they shall act. 4 that, without the informed consent of the company, they must not place themselves in a position in which their personal interests or duties to other persons are liable to conflict with their duties. Fiduciary duty direksi terhadap perseroan tercermin dalam 2 dua macam kewajiban: 241 1 Duty of loyality and good faith, yang dapat dikategorikan ke dalam : a. duty to act bona fide in the interest of the company. b. duty to exercise power for their proper purpose. c. duty to retain their discrenatory powers. d. duty to avoid conflicts of interests. 2 Duty of care and diligence. Setiap tindakan yang dilakukan di luar maksud dan tujuan perseroan tidaklah mengikat perseroan. Atas perbuatan tersebut maka direksi akan bertanggung jawab penuh secara pribadi terhadap perbuatan atau perikatan yang dilakukan oleh anggota direksi tersebut. Untuk menjamin terlaksananya ketentuan 240 Paul L. Davies dalam Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab direksi atas Kepailitan Perseroan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003, h. 23 241 Gunawan Widjaya, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003, h. 143-144 dalam Pasal 97 ayat 1 dan 2 jo. Pasal 98 UUPT yang menyatakan direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan di dalam maupun di luar pengadilan, maka direksi dituntut untuk memiliki kemampuan dan keahlian tertentu. Seorang anggota direksi diharapkan dapat menjalankan perseroan sesuai dengan kegiatan usaha perseroan dan juga untuk rnemperoleh keuntungan bagi perseroan. Dalam konsepsi fiduciary duty terkandung duty of care and skill atau duty of care and diligence, yang pelanggarannya mengakibatkan breach of duty dari seorang anggota direksi” 242 Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat membawa anggota direksi yang bersangkutan kepada pertanggung jawaban pribadi atas kerugian yang diderita oleh perseroan, pemegang saham maupun pihak-pihak lain stakeholders yang berkepentingan terhadap perseroan. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana membedakan antara duty of loyality and good faith dengan duty of care and diligence. Sebenarnya kedua kewajiban direksi tersebut sebagaimana termuat dalam Pasal 97 ayat 1 dan ayat 2 UUPT adalah meliputi keduanya baik duty of loyality and good faith serta duty of care and diligence, karena pelaksanaan dari keduanya tidak dapat dipisahkan, namun “duty of care and diligence lebih menitik beratkan pada keahlian duty of skill para direksi dalam mengembangkan perseroan, tetapi pelaksanaan dari keahlian itu sendiri merupakan bagian dari pelaksanaan duty of loyality and good faith” 243 c. Standard of care 242 Ibid, h. 146 243 Ibid, h. 147 Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 97 ayat 1 dan ayat 2 UUPT bahwa setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab menjalankan pengurusan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Dalam penjelasan pasal tersebut tidak diuraikan apa yang dimaksud dengan itikad baik. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang prinsip itikad baik dan penuh tanggung jawab, tentu diperlukan kajian melalui kepustakaan maupun jurisprudensi, “Karena jurisprudensi Indonesia belum melahirkan doktrin mengenai apa yang dimaksud dengan itikad baik yang dimaksud dalam UUPT, sedangkan pustaka hukum Indonesia belum banyak pula yang megungkapkan doktrin mengenai asas tersebut, maka pengkajian harus dilakukan dengan menggali pustaka hukum dan jurisprudensi pengadilan luar negeri. 244 Di negara-negara anglo saxon sebagai pedoman dipakai standard of care atau standard kehati-hatian dengan prinsip bila anggota direksi perseroan telah melanggar standard of care, maka ianya telah dianggap melanggar duty of care. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, contoh-contoh standard of care antara lain adalah sebagai berikut : 245 1 Anggota direksi tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan atas beban biaya perseroan apabila tidak memberikan sama sekali atau memberikan sangat kecil manfaat kepada perseroan bila dibandingkan dengan manfaat pribadi yang diperoleh oleh anggota direksi yang bersangkutan. Namun demikian hal itu dapat dikecualikan apabila dilakukan atas beban biaya representasi jabatan dari anggota direksi yang bersangkutan berdasarkan keputusan RUPS. 2 Anggota direksi tidak boleh menjadi pesaing bagi perseroan yang dipimpinnya, misalnya dengan mengambil sendiri kesempatan bisnis yang seyogianya disalurkan kepada dan dilakukan oleh perseroan yang dipimpinnya tetapi kesempaan bisnis itu disalurkan kepada perseroan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan pribadi anggota direksi itu. 244 Ibid, h. 426-427 245 Ibid, h. 428 3 Anggota direksi harus menolak untuk mengambil keputusan mengenai sesuatu hal yang diketahuinya atau sepatutnya diketahui akan dapat mengakibatkan perseroan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga perseroan terancam dikenai sanksi oleh otoritas yang berwenang, misalnya dicabut izin usahanya atau dibekukan kegiatan usahanya, atau digugat oleh pihak lain. 4 Anggota direksi dengan sengaja atau karena kelalaiannya telah tidak melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk mencegah timbulnya kerugian bagi perseroan. 5 Anggota direksi dengan sengaja atau kelalaiannya telah tidak melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk meningkatkan keuntungan perseroan. d. Business Judgement Rule Disamping prinsip-prinsip yang telah diuraikan diatas tersebut, para pengurus perseroan direksi harus juga menyadari dan memahami betapa penting dan berpengaruhnya suatu tindakan yang dilakukannya dalam mengelola perusahaan sesuai dengan tujuan usaha perseroan bisnis, dengan demikian sebelum memutuskan melakukan suatu tindakan haruslah berdasarkan pertimbangan bisnis yang berpedoman kepada apa yang disebut Business Judgment Rule. Pertimbangan bisnis dari direksi tidak akan diganggu gugat oleh pihak lain dan mereka tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul dari suatu tindakan berdasarkan suatu pertimbangan bisnis yang benar. Dalam Black’s Law Distionary 246 diartikan Business Judgment Rule : Rule immunizes management from liability in corporate transaction undertaken within power of corporation and authority of management where there is reasonable basis to indicated that transaction was made with due care and good faith. Peraturan yang memberi perlindungan bagi managemen dari tanggung jawab atas 246 Hendry Campbell Black, op.cit. h. 200 transaksi perseroan yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan sesuai dengan kewenangan managemen direksi didasarkan pada alasan-alasan kuat dan dapat menunjukkan bahwa transaksi dilakukan dengan penuh kehati- hatian dan beritikad baik. Business Judgement Rule tidak akan melindungi anggota direksi perseroan jika dalam transaksi bisnis yang dilakukan kemudian diketahui atau terbukti bahwa direksi tersebut telah berupaya untuk menonjolkan kepentingan pribadinya atau membuat syarat-syarat transaksi yang dilakukan demi kepentingan pribadinya. Oleh karena itu judgement yang telah diambil itu tidak dapat dikatakan sebagai : discretionary exercise of power on behalf of the corporation, yang merupakan tindakan yang mengandung kecurangan fraud dan benturan kepentingan conflict of interest Menurut Robert Charles Clark 247 , Business Judgement Rule: a presumption that in making a business decision, the directors of corporation acted on an informed basis in good faith and in the honest belief that the action was take in the best interest of the company. Suatu tindakan atau kebijakan dalam mengambil keputusan bisnis yang dilakukan oleh para direksi perseroan yang didasarkan pada alasan-alasan yang jelas dan dipahami serta berdasarkan itikad baik dengan diyakini sepenuhnya bahwa tindakan yang dilakukan adalah yang terbaik bagi perseroan. Doktrin business judgement rule ini dapat bertentangan dengan doktrin duty of care, namun dalam kenyataannya kedua doktrin ini dapat saling mengisi. 247 Robert Charles Clark dalam Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002, h. 429 Business judgement rule memberi kelonggaran terhadap doktrin duty of care, karena walaupun pertimbangan bisnis yang diambil keliru, para direksi tidak akan dibebani tanggung jawab kecuali dalam hal tertentu. Doktrin duty of care prinsip kehati-hatian tidak lagi seluruhnya berlaku, apabila pertimbangan-pertimbangan bisnis telah dilakukan dengan itikad baik dan bila ada kerugian akibat tindakan berdasarkan pertimbangan bisnis, maka tidaklah dapat dimintakan tanggung jawab sepenuhnya dari para direksi, hanya pada hal-hal tertentu saja. Untuk mengetahui perbuatan dan pertimbangan bisnis yang dapat dilindungi oleh Business Judgement Rule, dapat melihat beberapa putusan pengadilan di Amerika Serikat walaupun tidak seragam dalam menentukan pengecualian-pengecualian terhadap Business Judgement Rule tersebut. Beberapa rumusan yang diperoleh dari putusan-putusan pengadilan di Amerika Serikat sebagai berikut : 248 1 Pertimbangan judgement seorang direksi tidak dapat diganggu gugat kecuali apabila pertimbangan judgement tersebut didasarkan pada suatu kecurangan fraud, atau menimbulkan benturan kepentingan conflict of interest atau merupakan perbuatan yang melanggar hukum illegality. 2 Seorang direktur dalam mengambil keputusan dengan pertimbangan bisnis yang telah merugikan perseroan tidak dilindungi oleh business judgement rule apabila kerugian tersebut adalah akibat kelalaian berat gross negligence dari anggota direksi tersebut. 248 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 429-430 Menurut konsep tersebut diatas tidak semua kepailitan akan membawa direksi kearah pertimbangan yang ditentukan pasal 104 ayat 2 UUPT melainkan hanya yang karena kesalahan direksi sebagai akibat gross negligence, fraud, conflict of interest atau illegality. Sepintas tampak doktrin business judgement rule menyisihkan kekuatan berlakunya doktrin duty of care. Direksi tidak harus bertanggung jawab atas terjadinya kerugian perseroan apabila anggota direksi dalam mengambil suatu pertimbangan judgement dilakukan dengan itikad baik. Jadi isi dari doktrin business judgement rule dan duty of care dapat dipakai untuk mengisi atau menjadi acuan dalam menerapkan asas itikad baik dan asas tanggung jawab yang dimaksudkan dalam Pasal 97 ayat 2 UUPT. 249 Agar kedua doktrin duty of care dan business judgernent rule, satu sama lain tidak saling berbenturan tetapi dapat sejalan satu dengan lainnya, menjadi pegangan adalah formulasi ini : “The director’s business judgement cannot be attached unless their judgement was arrived at in negligent manner, or was tainted by fraud, conflict of interest, or illegally atau the business judgement rule presupposes that reasonable diligence lies behind the judgement in question”. Untuk membuat kedua konsep tersebut konsisten satu sama lain adalah tidak mudah, karena memisahkan antara apa yang disebut a honest mistake dan a negligent mistake sangat sulit dilakukan. 250 e. Doktrin Ultra Vires 249 Ibid, h. 431 250 Robert Charles Clark dalam Gunawan Widjaya, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003, h. 41 Fiduciary duties mewajibkan para direksi melakukan kegiatan yang benar- benar menjadi kewenangannya dan tidak boleh melakukan kegiatan yang berada diluar kewenangannya ini disebut sebagai ultra vires. Doctrin of Ultra Vires dikenal dalam hukum perseroan dan doktrin ini menganut paham : apabila suatu kontrak dibuat oleh perseroan tidak dalam kerangka maksud dan tujuan dari perseroan, maka kontrak tersebut adalah “ultra vires the company” dan kontrak itu adalah batal demi hukum atau tidak sah. Apabila kontrak yang dilakukan masih dalam kerangka maksud dan tujuan perseroan atau masih dalam kapasitasnya disebut “intra vires” dan tindakan itu sah dan mengikat. Perbuatan ultra vires adalah perbuatan hukum yang tidak boleh dilakukan perseroan karena berada di luar cakupan maksud dan tujuan perseroan. Perbuatan ultra vires pada prinsipnya adalah perbuatan yang batal demi hukum dan oleh karena itu tidak mengikat perseroan. 251 Menurut Haj Ford ada 2 dua hal yang berhubungan dengan tindakan ultra vires perseroan yakni : 252 1 Tindakan yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta Anggaran Dasar perseroan adalah tindakan yang berada di luar maksud dan tujuan perseroan, dan 2 Tindakan dari direksi perseroan yang berada di luar kewenangan yang diberikan kepadanya berdasarkan ketentuan yang berlaku termasuk Anggaran Dasar perseroan. 251 Fred BG Tumbuan dalam Gunawan Widjaya, op.cit. h. 22 252 Haj Ford dalam Gunawan Widjaya, op.cit. h. 22 Namun sampai berapa jauh suatu perbuatan dapat dikatakan telah menyimpang dari maksud dan tujuan perseroan untuk dapat dikategorikan sebagai perbuatan ultra vires, harus dapat dilihat dari kebiasaan atau kelaziman yang terjadi dalam praktek dunia usaha. 253 Doktrin ultra vires dimaksudkan untuk melindungi para kreditor perseroan, dimana asset perseroan hanya dapat digunakan untuk tujuan-tujuan perseroan sebagaimana telah ditetapkan atau dimasukkan dalam Anggaran Dasar Perseroan. Doktrin ini juga dimaksudkan untuk melindungi para pemegang saham perseroan yang telah menginvestasikan uangnya pada perseroan yang dikaitkan dengan maksud dan tujuan tertentu, karena para pemegang saham bersedia menginvestasikan dananya di perseroan karena yakin dengan apa yang menjadi maksud dan tujuan dari pada perseroan tersebut sesuai dengan bisnis yang dikehendakinya. Jadi harus ada persesuaian antara maksud dan tujuan bisnis perseroan dengan keyakinan dan kepercayaan para pemegang saham terhadap perseroan tersebut. Doktrin ultra vires ini berpedoman kepada 2 dua teori yang berbeda, yang pertama menganut pengertian bahwa suatu perseroan berwenang melakukan sesuatunya sepanjang anggaran dasar tidak melarangnya. Jadi perseroan dapat melakukan tindakan apapun yang tidak dilarang oleh anggaran dasarnya. Teori kedua berpendapat bahwa perseroan hanya berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang telah diberi kewenangan oleh anggaran dasar 253 Fred BG Tumbuan dalam Gunawan Widjaya, op.cit. h.22 perseroan, sehingga apabila anggaran dasar tidak menentukan bahwa perseroan dapat melakukan perbuatan tertentu maka perseroan tidak dapat melakukannya. Dalam Pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 2007UUPT telah diatur bahwa perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh direksi atas nama perseroan haruslah sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan. Dari ketentuan tersebut jelas perseroan tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang tidak sejalan dengan maksud dan tujuan perseroan. Jika perseroan melalui tindakan para direksi melakukan perbuatan yang berada di luar lingkup maksud dan tujuan perseroan ultra virec, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang illegal. Hal ini juga telah ditegaskan dalam KUHPerdata, bahwa perseroan tidak dapat melakukan perjanjian yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan. Kegiatan atau transaksi yang dilakukan oleh perseroan dengan melanggar ketentuan Pasal 2 UUPT itu tidak memenuhi ketentuan Pasal 1320 ayat 4 jo. Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata, dimana sahnya perjanjian memerlukan causa yang tidak dilarang oleh Undang-Undang dan tidak merugikan atau melanggar kepentingan umum, maka putusan pengadilan atas gugatan pihak-pihak dengan dalil melanggar Pasal 2 UUPT ini, harus menyatakan transaksi itu batal demi hukum tidak sah sejak semula. 254 f. Actio Pauliana 254 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 435 Actio Pauliana adalah tuntutan melakukan tindakan pembatalan atas perbuatan debitor yang beritikad buruk bad faith yang merugikan kreditor. Undang-undang Kepailitan memberi hak kepada kurator untuk memintakan permohonan pembatalan atas perbuatan-perbuatan hukum debitor pailit, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan yang bersifat merugikan harta pailit secara keseluruhan maupun kerugian terhadap para kreditor. Perjanjian atau perbuatan hukum tersebut adalah bersifat dapat dibatalkan dan bukan batal demi hukum. Prinsip dasar suatu perjanjian adalah memenuhi syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu sebagaimana dirumuskan Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 1341 KUHPerdata. Perjanjian atau perbuatan hukum yang dapat dibatalkan adalah perjanjian yang tidak memenuhi syarat kecakapan dan atau tidak adanya kesepakatan, serta perjanjian yang tidak diwajibkan yang dibuat tidak dengan itikad baik yang merugikan kepentingan kreditor. Undang-Undang Kepailitan memberi hak kepada kurator untuk membatalkan perjanjian dan atau perbuatan hukum debitor pailit yang dilakukan sebelum pernyataan pailit diputuskan tetapi belum sepenuhnya diselesaikan pada saat pernyatan pailit dikeluarkan. Juga untuk meminta pembatalan atas suatu perbuatan hukum yang telah selesai dilakukan sebelum pernyataan pailit dikeluarkan. Pemberian hak untuk pembatalan ini sangat berarti bagi perlindungan kepentingan kreditor secara keseluruhan, terutama untuk menghindari perbuatan yang beritikad buruk bad faith dari debitor nakal dengan pihak-pihak tertentu yang bertujuan untuk merugikan kepentingan dari satu atau lebih kreditor yang beritikad baik good faith ataupun kepentingan harta pailit keseluruhan. Untuk dapat membatalkan suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh debitor pailit dengan pihak ketiga sebelum pernyataan pailit diucapkan yang merugikan harta pailit, undang-undang mensyaratkan bahwa pembatalan terhadap perbuatan hukum tersebut hanya dimungkinkan jika dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan tersebut dilakukan debitor dan dengan pihak siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor, kecuali apabila perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan hukum yang wajib dilakukan berdasarkan perjanjian dan atau undang-undang Pasal 41 ayat 2, 3 UU No. 37 Tahun 2004 UUK dan PKPU. Dari ketentuan tersebut perbuatan hukum yang tidak wajib atau yang secara finansial merugikan kepentingan keuangan debitor yang dinyatakan pailitlah yang dapat dibatalkan. Untuk adanya kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan pihak ketiga di luar kreditor seperti pihak penerima kebendaan yang diberikan oleh debitor, Pasal 42 UUK dan PKPU menegaskan bahwa selama perbuatan hukum yang merugikan para kreditor tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitor yang dinyatakan pailit, maka kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Menurut Fred BG Tumbuan, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar dapat dilakukan actio paulina tindakan pembatalan menurut Pasal 41 sampai dengan Pasal 46 UU Kepailitan adalah : 255 1 Debitor telah melakukan suatu perbuatan hukum. 2 Perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitor. 3 Perbuatan hukum dimaksud telah merugikan kreditor. 4 Pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut debitor mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan merugikan kreditor dan 5 Pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan, pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Apabila pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan, hanya debitor saja yang mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor, sedang pihak dengan siapa perbuatan itu dilakukan ternyata beritikad baik, hal ini tidak diatur dalam ketentuan UUK dan PKPU pada hal seharusnya pihak yang beritikad baik dilindungi oleh undang- undang. Perlindungan pihak ketiga yang beritikad baik ini hanya dapat dilakukan dengan bercermin pada Pasal 42 tersebut yang menegaskan bila perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam jangka waktu l satu tahun sebelum pernyataan pailit dikeluarkan, sedang perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan kecuali dapat dibuktikan sebaliknya dan debitor serta pihak ketiga dianggap mengetahui dan patut mengetahui perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi kreditor dalam hal perbuatan-perbuatan sebagaimana diterangkan dalam Pasal 42 point a sampai dengan g UUK dan PKPU. Dari ketentuan tersebut di atas seo1ah-olah dalam 255 Fred BG Tumbuan dalam Rudhy A. Lontoh et.al, Penyelesaian Utang Piutang melalui Pailit atau PKPU, Bandung : Alumni, 2001, h. 129 Pasal 42 ini pihak ketiga yang beritikad baik tidak diperlindungi lagi, atau dengan perkataan lain itikad baik pihak ketiga telah dihilangkan oleh syarat-syarat perbuatan butir a sampai dengan butir g dalam Pasal 42 UUK dan PKPU tersebut. Oleh karena itu yang menjadi tugas debitor dan pihak ketiga adalah untuk membuktikan bahwa perbuatan hukum yang dilakukan olehnya tersebut adalah perbuatan hukum yang wajib dilakukan oleh debitor pailit dan perbuatan hukum tersebut tidak mengakibatkan kerugian bagi para kreditor. J.B. Huizink berpendapat: “Undang-undang Kepailitan melindungi pihak yang diuntungkan yang beritikad baik, dengan meniadakan daya laku pembatalan sepanjang pihak-pihak yang diuntungkan menunjukkan bahwa ia pada saat pernyataan kepailitan dikeluarkan tidak diuntungkan oleh perbuatan itu, untuk dipersyaratkan bahwa pihak yang diuntungkan itu tidak tahu atau tidak seharusnya mengetahui bahwa perbuatan itu akan merugikan para kreditor” 256 Segala tuntutan hukum yang meminta pembatalan maupun pengembalian atas segala sesuatu yang telah diserahkan oleh debitor pailit kepada pihak ketiga, harus dimajukan sendiri oleh kurator ke pengadilan Pasal 47 ayat 1 UUK dan PKPU, yakni berdasarkan kapasitasnya sebagai pengurus harta pailit dan untuk kepentingan harta pailit. Dengan demikian para kreditor tidak dapat meminta pembatalan tersebut secara langsung, namun diberikan hak kepada kreditor untuk membantah tuntutan kurator Pasal 47 ayat 2 UUK dan PKPU Lembaga actio pauliana ini diciptakan untuk melindungi para kreditor agar tidak diperdaya oleh debitornya yakni orang atau badan hukum maupun persekutuan yang dinyatakan 256 J.B. Huizink, Insolventie, Alih Bahasa Linus Doludjawa, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi, FH UI, 2004, h. 120 pailit. 257 Kurator mempunyai tugas untuk mencari informasi apakah orang, pengurus badan hukum yang bertanggung jawab secara tanggung renteng dengan semua harta pribadinya dalam hal perseroan PT yang dipimpinnya karena kesalahannya atau kelalaiannya telah dinyatakan pailit, telah berusaha menjual, menghibahkan, menjaminkan, menyewakan, menukarkan atau melakukan tindakan lain dengan maksud untuk memperdayai kreditor atau para kreditornya. Dalam hal permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor berbentuk PT, maka direksi hanya dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan niaga agar perseroan dinyatakan pailit haruslah berdasarkan keputusan RUPS, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 89 ayat 1 UUPT. Demikian juga permohonan PKPU yang diajukan debitor berbentuk PT, karena dapat berakhir dengan kepailitan perseroan dimaksud, maka permohonan PKPU oleh direksi PT juga harus berdasarkan keputusan RUPS. 258 Dari hasil penelitian di lima Pengadilan Niaga, permohonan Actio Pauliana ada diajukan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Pengadilan Niaga Semarang, sedang di Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Surabaya, dan Pengadilan Niaga Makasar hingga penelitian ini dilakukan belum ada permohonan Actio Pauliana diajukan. Berdasarkan Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 37 Tahun 2004 dan Penjelasannya, permohonan Actio Pauliana adalah menjadi wewenang Pengadilan Niaga untuk memeriksanya dengan hukum acara yang sama berlaku bagi perkara permohonan pernyataan pailit. “Actio Pauliana tidak 257 Robintan Sulaiman et.al., Lebih jauh tentang Kepailitan UU No. 4 tahun 1998 Karawaci : F.H Univ Pelita Harapan, 2000, h. 44 258 Fred BG Tumbuan dalam Rudhy A. Lontoh et.al., Penyelesaian utang piutang melalui pailit atau PKPU, Bandung : Alumni, 2001, h. 245 terbuka untuk upaya hukum, karena kalau terbuka akan lama proses penyelesaiannya, oleh karena itu Actio Pauliana bersifat serta merta. Memang ada keraguan atau sedikit kerancuan dengan renvooi procedure apakah bersifat serta merta atau tidak”. 259 Dalam prakteknya permohonan Actio Pauliana diajukan dan diperiksa pada tingkat Kasasi hingga tingkat Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung, sehingga permohonan ini terbuka untuk upaya hukum dan sama seperti permohonan pernyataan pailit. Untuk jelasnya dikemukakan dari data perkara Actio Pauliana pada Tabel 1 dan Tabel 2 dapat disimpulkan : Dari 8 delapan permohonan Actio Pauliana yang diajukan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, dan 1 satu permohonan di Pengadilan Negeri Semarang, sebanyak 8 delapan permohonan tidak dikabulkan dan 1 satu permohonan dikabulkan sebahagian, sebagai putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap dari masing-masing alasan dan pertimbangan hukum baik di tingkat pertama di Pengadilan Niaga, tingkat Kasasi maupun di tingkat Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Di bawah ini dikemukakan 2 dua putusan atas permohonan Actio Pauliana yang hasil akhirnya tidak dikabulkan yakni sebagai berikut : Putusan Mahkamah Agung Nomor 15 KN2000 jo. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 01Actio Pauliana2000PN.Niaga Jkt.Pst. 260 Kasus Posisi : 259 Eliyana, dalam Kewajiban dan Standard Pelaporan dalam Kepailitan dan Perlindungan Kurator, dan Harta Pailit, Editor : Emmy Yuhasrie et.al., Lokakarya, Jakarta 18-19 Nopember 2003, h. 94-95. 260 Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung dalam Perkara Kepailitan, jilid 6, Jakarta : PT. Tatanusa, 2000, h. 75-95. William E Daniel Pemohon selaku Kurator PT Ometraco Multi Artha telah mengajukan permohonan Pembatalan Perbuatan Debitor Actio Pauliana terhadap : a. PT. Ometraco Multi Artha dalam kepailitan sebagai Termohon I b. PT. Duta Trada Internusa sebagai Termohona II, dengan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut : − Bahwa PT. Ometraco Multi Artha PT. OMA telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 13 Nopember 1998 dengan putusan nomor 03PKPU1998PN Niaga Jkt.Pst., sehingga sejak tanggal tersebut Kurator berwenang untuk melaksanakan tugas kepengurusan dan atau pemberesan atas harta PT. OMA tersebut. − Bahwa PT. Duta Trada Internusa PT. DTI adalah salah satu perseroan yang telah mendapat pinjaman dari PT. OMA berupa fasilitas anjak piutang untuk keperluan modal kerja. − Bahwa PT. OMA dan PT. DTI telah terikat dalam beberapa perjanjian anjak piutang atau factoring sebagai berikut : 1 Perjanjian Factoring No. F197-K-026 dengan jumlah fasilitas sebesar Rp. 31.627.144.468 yang jatuh tempo pada tanggal 23 Februari 1998. 2 Perjanjian Factoring No. F197-K-036 dengan jumlah fasilitas sebesar Rp. 4.350.888.460 yang jatuh tempo pada tanggal 23 Februari 1998. 3 Perjanjian Factoring No. F197-K-045 dengan jumlah fasilitas sebesar Rp. 6.423.240.197 yang jatuh tempo pada tanggal 26 Januari 1998. 4 Perjanjian Factoring No. F197-K-046 dengan jumlah sisa tunggakan fasilitas sebesar Rp. 1.575.393.849 yang jatuh tempo pada tanggal 10 Maret 1998. − Bahwa berdasarkan perjanjian-perjanjian tersebut di atas, kewajiban PT. DTI kepada PT. OMA adalah sejumlah Rp. 43.976.666.974 empat puluh tiga milyar sembilan ratus tujuh puluh enam juta enam ratus enam puluh enam ribu sembilan ratus tujuh puluh empat rupiah. − Bahwa pada tanggal 20 April 1998 PT. DTI telah menegaskan bahwaPT. DTI belum dapat melunasi kewajibannya kepada PT. OMA dan bermaksud memberikan obligasi PT. Ciputra Surya I dengan nilai sebesar Rp. 31.000.000 dan obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dengan nilai sebesar Rp. 12.006.000.000 sebagai jaminan atas pelunasan kewajibannya tersebut. − Bahwa pada tanggal 3 Mei 1998, PT. OMA telah setuju untuk menerima obligasi PT. Ciputra Surya I dan Obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dengan syarat dibuatkan gadai dan surat kuasa menjual atas obligasi tersebut dan segera menyerahkan surat-surat aslinya, maka pada tanggal 2 Juli 1998 PT. OMA telah menerima kupon obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dengan nilai total sebesar Rp. 12.006.000.000 berikut dengan kupon bunga sejumlah Rp. 132.232.750 dan kupon obligasi PT. Ciputra Surya I dengan nilai total Rp. 31.000.000,- berikut dengan kupon bungan sejumlah Rp. 775.000.000 atau secara keseluruhan bernilai Rp. 43.913.232.750. − Bahwa mengingat saat jatuh tempo pembayaran hutang PT. DTI kepada PT. OMA sudah terlewati tanpa ada penyelesaian, maka pada tanggal 7 Agustus 1998 Debitor telah mengajukan surat peringatan kepada PT. DTI untuk segera menyelesaikan seluruh kewajibannya serta mengingatkan akan melakukan eksekusi atas jaminan berupa gadai obligasi. − Bahwa pada tanggal 18 Agustus 1998 PT. OMA memberitahukan kepada PT. DTI tentang telah dieksekusinya obligasi PT. Ciputra Surya I senilai Rp. 9.000.000.000 sebagai dimohonkan oleh PT. DTI dan peringatan untuk membayar sisa tunggakan sebesar Rp. 34.976.666.974,- walaupun pada kenyataannya pada tanggal 18 Agustus 1998 tersebut PT. OMA tidak pernah menjual atau mengalihkan obligasi tersebut sebagai eksekusi atas jaminan PT. DTI. − Bahwa pada tanggal 25 Agustus 1998 PT. OMA telah mengajukan surat peringatan kepada PT. DTI untuk segera menyelesaikan seluruh sisa kewajibannya sebesar Rp. 34.976.666.974,- sekaligus peringatan untuk mengeksekusi jaminan dari PT. DTI. − Bahwa pada tanggal 3 September 1998 PT. OMA memberitahukan kepada PT. DTI tentang telah dieksekusinya obligasi PT. Ciputra Surya I berikut kupon bunganya dengan nilai seluruhnya sebesar Rp. 20.775.000.000,- dan memberi peringatan agar membayar sisa tunggakan sebesar Rp. 14.201.666.974,- walaupun pada kenyataannya pada tanggal 3 September 1998 tersebut PT. OMA tidak pernah menjual atau mengalihkan obligasi tersebut sebagai eksekusi atas jaminan PT. DTI. − Bahwa pada tanggal 9 September 1998 PT. OMA telah mengajukan surat peringatan kepada PT. DTI untuk segera menyelesaikan seluruh sisa kewajibannya sebesar Rp. 14.201.666.974,- dan pada tanggal 14 September 1998 PT. DTI telah meminta PT. OMA atau Debitor untuk hanya mengeksekusi obligasi PT. Ciputra Surya I sebesar Rp. 2.000.000.000,- dan obligasi PT. Ekagunatama Mandiri sebesar Rp. 12.006.000.000,- ditambah bunga yang belum diuangkan sebesar Rp. 132.231.750,- sebagai pelunasan sisa tagihan PT. DTI. − Bahwa pada tanggal 16 September 1998 Direksi PT. OMA telah membuat Berita Acara Pelunasan Hutang atas nama PT. DTI yang pada intinya mempertimbangkan dan menyetujui pelunasan hutang PT. DTI dengan mengeksekusi gadai obligasi PT. Ciputra Surya I dan PT. Ekagunatama Mandiri berikut kupon bunganya dengan nilai seluruhnya sebesar Rp. 14.138.232.750,- sehingga masih tersisa tunggakan sebesar Rp. 63.434.224,- sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Pelunasan atas nama PT. DTI tertanggal 16 September 1998, dan pada tanggal yang sama PT. OMA diwakili oleh Direksinya telah menyetujui penghapusan Write Off atas sisa tunggakan hutang factoring PT. DTI sebesar Rp. 63.434.224,- tanpa ada alasan yang mendasarinya. − Bahwa walaupun pada tanggal 16 September 1998 telah dilakukan pelunasan Writer Off atas sisa tunggakan hutang PT. DTI sebesar Rp. 63.434.224,- tetapi pada tanggal 17 September 1998 PT. OMA mengajukan surat No. 080OMA-MKT-KPNO.IX1998 kepada PT. DTI yang pada intinya merupakan surat penagihan atas sisa tunggakan hutang tersebut di atas di samping pemberitahuan tentang telah dieksekusinya obligasi PT. Ciputra Surya I dan obligasi PT. Ekagunatama Mandiri berikut dengan kupon bunganya dengan total Rp. 14.138.232.750,- yang pada kenyataannya eksekusi tersebut tidak pernah dilakukan PT. OMA. − Bahwa 2 dua bulan setelah disetujuinya pelunasan atas kewajiban PT. DTI kepada PT. OMA, PT. OMA dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 13 Nopember 1998 melalui putusan Nomor 03PKPU1998PN Niaga Jkt.Pst. yang menunjuk Pemohon sebagai Kurator untuk melaksanakan tugas pengurusan atau pemberesan atas harta pailit. − Bahwa dalam rangka tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit, pada tanggal 27 April 1999 dan 27 Mei 1999 pemohon atau Kurator atas persetujuan panitia kreditor dari PT. OMA telah melakukan penjualan obligasi PT. Ekagunatama Mandiri melalui broker PT. Citramas Securindo dengan harga Rp. 2.887.182.750,- dan penjualan obligasi PT. Ciputra Surya I melalui broker PT. Sentra Investindo dengan harga Rp, 5.270.000.000,- sehingga seluruhnya berjumlah Rp. 8.157.182.750,- − Bahwa setelah mendapatkan hasil penjualan obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dan PT. Ciputra Surya I yang ternyata bernilai jauh dari nilai yang dijaminkan oleh PT. DTI, maka Pemohon atau Kurator berkewajiban untuk menyelidiki kembali tindakan PT. OMA sehubungan dengan pelunasan sisa tunggakan hutang PT. DTI mengingat hasil penjualan obligasi yang diterima PT. OMA sebagai pelunasan tunggakan hutang PT. DTI sebesar Rp. 43.976.666.974,- pada kenyataannya hanya bernilai Rp. 8.157.182.750,- sehingga jelas terbukti tindakan pelunasan tunggakan hutang yang dilakukan secara sepihak oleh PT. OMA terhadap hutang PT. DTI pada kenyataannya telah menyebabkan kerugian, yang dalam hal ini telah merugikan kepentingan para kreditor PT. OMA. − Bahwa Pemohon berkeyakinan apabila PT. OMA tidak memberikan pernyataan pelunasan tunggakan hutang PT. DTI sebelum obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dan PT. Ciputra Surya I benar-benar dieksekusi atau dijual dan diketahui hasil penjualannya, maka PT. OMA tidak akan kehilangan piutangnya yang berjumlah milyaran rupiah tersebut. − Bahwa dari dokumentasi yang dipelajari oleh Pemohon dengan jelas dapat diduga bahwa tindakan PT. OMA yang memberikan pelunasan hutang kepada PT. DTI dengan menyatakan bahwa PT. OMA telah mengeksekusi obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dan PT. Ciputra Surya I untuk melunasi hutang PT. DTI adalah salah dan keliru bahkan terkesan terburu-buru. Hal ini dapat diyakini mengingat pada kenyataannya PT. OMA belum melakukan eksekusi atas obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dan PT. Ciputra Surya I sebagaimana dimaksud dalam surat PT. OMA no. 080OMAMKT-KPNOIX1998 tertanggal 107 September 1998. − Bahwa seharusnya PT. OMA dan PT. DTI mengetahui dan sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum PT. OMA pada tanggal 14 Agustus 1998, 2 September 1998 dan 16 September 1998 yang memberikan pelunasan dan write off atas hutang PT. DTI akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor PT. OMA mengingat pada saat pemberian pelunasan itu dilakukan PT. OMA sedang menghadapi tuntutan pailit dan bahkan berencana untuk mengajukan permohonan PKPU yang dibuktikan dengan diberikannya kuasa kepada kuasa hukumnya pada tanggal 17 September 1998 untuk mengajukan permohonan PKPU melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat atas permohonan kepailitan yang diajukan oleh sebagian kreditor PT. OMA. − Bahwa mengingat tindakan hukum PT. OMA yang menghapuskan hutang PT. DTI tersebut dilakukan kurang lebih 2 dua bulan sebelum debitor dinyatakan pailit atau pada saat PT.OMA seharusnya dan sepatutnya telah mengetahui dan menyadari keadaan keuangan PT. OMA yang dipertanyatakan oleh para kreditor PT. OMA bahkan pada saat itu PT. OMA sedang menghadapi permasalahan hukum akibat tuntutan dari para kreditornya untuk pelunasan hutang PT. OMA, maka sudah seharusnya dan sepatutnya PT. OMA dan PT. DTI mengetahui dan menyadari bahwa tindakan hukum PT. OMA yang menghapuskan hutang PT. DTI tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi para kreditor PT. OMA. − Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 42 point a jo. Pasal 41 ayat 2, debitor telah dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakannya yang menghapuskan hutang PT. DTI adalah merugikan kepentingan para kreditor PT. OMA. Berdasarkan hal-hal yang dikuraikan tersebut di atas, Pemohon mohon kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk memutuskan pada pokoknya sebagai berikut : − Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya − Menyatakan sah Perjanjian-perjanjian anjak piutang Termohon yaitu : Factoring No. F197-K-026, Factoring No. F197-K-036 dan Factoring No. F197-K-045. − Menyatakan bahwa tindakan PT. OMA yang menghapuskan hutang PT. DTI secara bertahap seluruhnya Rp. 43.976.666.974,- pada tanggal 14 Agustus 1998, 2 September 1998 dan 16 September 1998 adalah batal. − Menyatakan bahwa surat-surat di bawah ini adalah batal dan tidak sah : Berita Acara Pelunasan an PT DTI tertanggal 14 Agustus 1998, tertanggal 2 September 1998, tertanggal 16 September 1998, Berita Acara Penghapusan write off an PT. DTI tertanggal 14 September 1998, Surat PT.OMA no. 062OMA-MKT-KPNOVIII1998 tertanggal 18Agustus 1998, Surat PT. OMA No. 079OMA-MKT-KPNOIX1998 tertanggal 3 September 1998, Surat PT. OMA No. 080OMA-MKT-KPNOIX1998 tertanggal 17 September 1998, Surat PT. OMA kepada PT. DTI tanggal 25 Agustus 1998 dan tanggal 9 September 1998. − Menyatakan bahwa sah tindakan Kurator dalam rangka pemberesan harta pailit yang telah mengeksekusi obligasi PT. Ciputra Surya I dan PT. Ekagunatama Mandiri pada tanggal 27 April 1999 dan tanggal 27 Mei 1999 dengan harga seluruhnya sebesar Rp. 8.157.182.750,- − Menyatakan bahwa PT. DTI berhutang kepada Budel Pailit PT.OMA dan karenanya memberitahukan PT. DTI untuk segera melunasi seluruh kewajiban hutangnya sekurang-kurangnya Rp. 35.819.484.224,- atau merupakan selisih antara jumlah seluruh hutang PT. DTI sebesar Rp. 43.976.666.974,- dengan harga jual obligasi PT. Ciputra Surya I dan PT. Ekagunatama Mandiri sejumlah Rp. 8.157.182.750,- ditambah dengan denda akibat keterlambatan sebesar 5 perbulan sebagaimana yang telah diperjanjikan dalam Perjanjian- perjanjian Anjak Piutang. Pengadilan Niaga : Bahwa selanjutnya terhadap permohonan Actio Pauliana tersebut Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah mengambil putusan tanggal 2 Maret 2000 No.01Actio Pauliana2000PNNiaga Jkt.Pst yang amarnya sebagai berikut : − Menolak eksepsi Termohon − Menolak Permohonan Pemohon − Membebankan biaya perkara kepada Pemohon Bahwa selanjutnya pihak Pemohon telah mengajukan Kasasi dengan mengajukan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut : − Bahwa yudex factie kurang teliti dalam melihat pokok permasalahan serta tidak mempertimbangkan hal-hal yang menjadi dasar permohonan Actio Pauliana Pemohon yang telah diuraikan dalam permohonan pemohon. − Bahwa yudex factie telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian, sebab yang menjadi dasar permohonan Actio Pauliana dari pemohon Kasasi adalah Pasal 41 jo. Pasal 42 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang menyebutkan bahwa atas perbuatan yang dilakukan sebelum lewat 1 satu tahun sebelum kepailitan, maka yang harus membuktikan bahwa perbuatan itu tidak atau bukan perbuatan melawan hukum dan tidak merugikan bagi budel pailitkreditor adalah pihak lawan, ternyata dalam putusan Nomor 01Actio Pauliana2000PN Niaga.Jkt.Pst, bahwa hakim yudex factie telah memeriksa bukti-bukti Pemohon Kasasi tanpa sedikitpun membebankan pembuktian kepada Termohon. Tingkat Kasasi : Bahwa atas keberatan-keberatan kasasi tersebut Mahkamah Agung pada pokoknya berpendapat sebagai berikut : − Bahwa ternyata pada tanggal 13 Nopember 1998 PT. OMA dinyatakan pailit. Pemohon sebagai Kurator ternyata telah menjual atau mengeksekusi obligasi- obligasi tersebut di bawah harga melalui broker PT. Citramas Securindo dan broker PT. Sentra Investindo seharga Rp. 8.157.182.750,- pada tanggal 27 Mei 1999 untuk obligasi PT. Ciputra Surya I dan tanggal 27 April 1999 untuk obligasi PT. Ekagunatama Mandiri sehingga harga tidak sesuai dengan harga yang disetujui baik oleh PT. OMA maupun PT. DTI yang mengakibatkan kerugian bagi para kreditor PT. OMA. Seharusnya Pemohon sebagai Kurator memberitahukan terlebih dahulu kepada PT. OMA maupun PT. DTI sebelum menjual obligasi-obligasi tersebut. Atau seharusnya Pemohon mengembalikan obligasi-obligasi tersebut kepada Termohon atau menunggu sampai obligasi tersebut jatuh tempo, sehingga akan terlihat apakah tindakan PT. OMA dan PT. DTI merugikan kreditor-kreditor PT. OMA atau tidak dan bukannya mengajukan Actio Pauliana setelah Kurator sendiri menjual obligasi-obligasi tersebut. Sehingga apa yang dilakukan Debitor, PT.OMA beserta PT. DTI tidak terbukti telah merugikan kepentingan kreditor. Berdasarkan pertimbangan tersebut Hakim Kasasi dalam keputusan Mahkamah Agung nomor 15KN2000 tanggal 16 Mei 2000 telah memberi keputusan sebagai berikut : − Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi William E. Daniel, selaku Kurator PT. Ometraco Multi Artha Dalam Kepailitan − Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar ongkos perkara Terhadap putusan Kasasi Mahkamah Agung ini tidak diajukan Peninjauan Kembali, oleh karena itu putusan ini telah menjadi putusan akhir dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menegaskan bahwa permohonan pembatalan perbuatan debitor Actio Pauliana yang diajukan Kurator terhadap Debitor PT. Ometraco Multi Artha Termohon I dan pihak ketiga PT. Duta Trada Internusa Termohon II, tidak dikabulkan. Selanjutnya di bawah ini adalah putusan terhadap permohonan Actio Pauliana yang hasil akhirnya menyatakan bahwa permohonan dinyatakan tidak dapat diterima Niet Ontvankelijk Verklaard. Putusan Mahkamah Agung No. 12 PKN2000 jo. Putusan Mahkamah Agung No. 16 KN2000 jo. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 03Actio Paulina2000PN Niaga Jkt.Pst. 261 Kasus Posisi: Tuti Simarangkir Pemohon, selaku Kurator dari PT Fiskaragung Perkasa Tbk. dalam pailit telah mengajukan permohonan Actio Pauliana terhadap: a. PT Fiskaragung Perkasa Tbk. di Jakarta dalam pailit, termohon I 261 Ibid, h. 377-398 b. PT Catnera International Ltd, Hongkong, Termohon II dengan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut: − Bahwa PT Fiskaragung Perkasa Tbk. Fiskar adalah suatu Perseroan Terbatas terbuka dan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 26 Nopember 1999 dengan putusan No. 38Pailit1999PN.Niaga Jkt.Pst. jo. pustusan No, 6PKPU1999PN Niaga Jkt.Pst., dan menurut Pasal 12 Undang-Undang Kepailitan sejak tanggal tersebut Kurator berwenang untuk melaksanakan tugas kepengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit Fiskar. − Bahwa setelah Pemohon Kurator melakukan pemeriksaan seksama atas seluruh aset maupun dokumen perjanjian yang dibuat antara Fiskar dengan pihak ketiga, timbul kecurigaan yang sangat beralasan bahwa Fiskar telah melakukan tindakan atau perbuatan yang merugikan harta pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Kepailitan. − Bahwa Fiskar debitor dan PT Catnera International Ltd. Catnera sebagai kreditor telah menandatangani perjanjian utang untuk pokok sejumlah US 3.000.000,- pada tanggal 1 Maret 1999 dan telah didaftarkan di Kantor Notaris Abdul Majid di Jakarta di bawah nomor: 7980WaarIII1999 tertanggal 16 Maret 1999 dan Fiskar telah memberikan jaminan-jaminan kepada Catnera. − Bahwa sebelumnya Fiskar telah menerbitkan Medium Term Note MTN yang jatuh tempo dan wajib dibayar pada tanggal 15 Mei 1998 dengan pokok seluruhnya berjumlah US 29.000.000,- dan telah dibeli oleh pihak-pihak yang dalam perkara No. 38pailit1999PN Niaga Jkt. Pst. jo. Perkara No. 6PKU1999 PN Niaga Jkt.Pst yaitu para pemohon pailit: Hanil Leasing Finance HK Ltd., Kokmin Bank, Hanmi Leasing Finance HK Ltd., KEB Leasing Finance Ltd, CBK Leasing Finance HK Ltd., AMMB International, First Citicorp Leasing HK Ltd., KDLC Leasing, ORIX Asia Ltd., Kyongnam Bank. − Bahwa dalam persyaratan yang tercantum dalam setiap MTN yang diterbitkan oleh Fiskar tersebut terdapat ketentuan yang berbunyi: Selama masih ada MTN yang belum dibayar perseroan maupun anak-anak perusahaanya tidak akan memberikan ataupun menjadikan adanya suatu gadai, tanggungan, hipotek, kuasa memasang hipotek atau beban sebagaimana tersebut dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 atau memberikan sebagai jaminan untuk kepentingan pemegang efek atau kreditor lain atas seluruh atau sebagian properti atau asetnya yang ada sekarang atau kemudian hari. − Bahwa Fiskar dan The Sanwa Bank Ltd., telah menandatangani, Revolving Loan Agreement tanggal 27 Oktober 1997, dimana Fiskar telah menyanggupi untuk tidak akan memberikan asetnya sebagai jaminan dengan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari The Sanwa Bank Ltd. − Bahwa Fiskar dan The Sanwa Bank Ltd., telah menandatangani, Facility Agreement tanggal 27 Nopember 1997, dimana fiskar telah menyanggupi untuk tidak menjaminkan asetnya. − Bahwa berdasarkan ketiga perjanjian tersebut di atas telah terbukti dengan sempurna dan tidak dapat disangkal lagi bahwa Fiskar telah berjanji dan karenanya berkewajiban untuk tidak memberikan jaminan apapun kepada kreditor siapapun sebelum utang-utangnya berdasarkan ketiga perjanjian tersebut di atas telah dilunasi. − Bahwa ternyata Fiskar telah tidak mentaati dan melanggar janji yang dibuat sendiri dengan telah menandatangani perjanjian-perjanjian jaminan dengan Catnera. − Bahwa tindakan Fiskar sebagaimana diuraikan di atas adalah jelas merupakan suatu perbuatan curang yang amat merugikan harta pailit dan tentunya sangat merugikan para kreditor lainnya. − Bahwa tindakan Fiskar dan Catnera tersebut adalah merupakan suatu tindakan yang merugikan kepentingan harta pailit dan para kreditor lainnya dan sesuai dengan Pasal 41 dan Pasal 42 UU Kepailitan beralasan apabila terhadap tindakan Fiskar dan Catnera tersebut di atas dimintakan Pembatalan dengan alasan sebagai berikut. − Bahwa tindakanperbuatan hukum antara Fiskar dan Catnera tersebut di atas dilakukanditandatangani pada tanggal 1 Maret 1999, berarti ditandatangani dalam kurun waktu sebelum 1 satu tahun sejak Fiskar dinyatakan pailit yaitu tanggal 26 Nopember 1999, dan karenanya Fiskar dan Catnera dianggap mengetahui bahwa tindakanperbuatan hukum mereka tersebut akan merugikan kreditor lainnya. − Bahwa dibuatditandangani perjanjian-perjanjian jaminan oleh Fiskar bukan merupakan hal yang wajib dilakukan oleh Fiskar. − Bahwa perjanjian-perjanjian jaminan merupakan Pemberian Jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo, karena tanggal jatuh tempo perjanjian utang adalah 12 bulan sejak perjanjian utang ditandatangani yaitu tanggal 1 maret 2000. Berdasarkan hal-hal yang telah diuaraikan tersebut di atas Pemohon memohonkan antara lain agar: − Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. − Menyatakan tidak sah dan batal perjanjian-perjanjian antara Fiskar debitor dan Catnera kreditor, beripa Loan Agreement, Hak Tangguangn, Jaminan fiducia. − Menyatakan bahwa seluruh aset yang dijaminkan adalah merupakan bagian dari harta kepailitan. Pengadilan Niaga: Terhadap permohonan ini Pengadilan Niaga Jakarta pusat telah mengeluarkan putusan tertanggal 26 April 2000, Nomor 03Actio Paulina2000P Niaga Jkt.Pst dengan amar sebagai berikut: − Menolak permohonan pembatalan perbuatan hukum yang tidak diwajibkan Actio Paulina dari pemohon tersebut. − Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara. Tingkat Kasasi: Terhadap putusan Nomor 03Actio Paulina2000 P Niaga Jkt. Pst tersebut telah diajukan Kasasi oleh Pemohon dengan alasan dan dalil-dalil yang dikemukakan dalam permohonan kasasi tersebut. Atas permohonan kasasi tersebut, Hakim kasasi telah mengeluarkan putusan tertanggal 8 Juni 2000, nomor 016 KN2000 dengan amar putusan antara lain sebagai berikut: − Menolak permohonan pembatalan perbuatan hukum yang tidak diwajibkan Actio Paulina dari pemohon tersebut. − Menghukum pemohon kasasi untuk membayar ongkos perkara. Tingkat Peninjauan Kembali PK: Terhadap putusan kasasi nomor 016 KN2000 tersebut, Pemohon telah mengajukan PK dengan alasan-alasan dan dalil-dalil antara lain sebagai berikut: − Bahwa Majelis Hakim Agung dalam tingkat kasasi telah melakukan kesalahan berat dalam menerapkan hukum, dimana Majelis dalam tingkat kasasi telah menolak permohonan pembatalan perbuatan hukum yang tidak diwajibkan Actio Paulina dari Pemohon tanpa mempertimbangan pokok perkara. − Bahwa Majelis Mahkamah Agung belum memeriksa pokok perkara akan tetapi baru memeriksa persyaratan formal atas permohonan kasasi dari Pemohon kasasi, berarti dalam hal belum diperiksanya pokok perkara maka Majelis Hakim Agung tidak dapat menolak suatu permohonan, melainkan hanya dapat menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima. Bahwa selanjutkan Mahkamah Agung telah mempertimbangkan alasan-alasan PK dari Pemohon dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut: a. Bahwa oleh karena permohonan yang diajukan oleh Pemohon adalah permohonan pembatalan perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit dengan pihak ketiga Actio paulina, maka dengan belum diperiksanya pokok perkara seharusnya Mahkamah Agung menyatakan permohonan Pemohon tersebut tidak dapat diterima. b. Bahwa selain itu, sesuai dengan pasal 280 ayat 2 PERPU No. 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang- Undang No. 4 Tahun 1998, kewenangan Pengadilan Niaga hingga saat ini adalah memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU, serta permohonan lain yang berkaitan dengan permohonan pernyataan pailit. c. Bahwa pembatalan perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit dengan pihak ketiga Actio Paulina, seperti halnya dengan pembatalan perbuatan hukum dilakukan melalui suatu gugatan sengketa yang penyelesaiannya harus dilakukan melalui suatu gugatan perdata di Pengadilan Negeri, sedangkan suatu permohonan seperti halnya permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaiatan tidak merupakan sengketa. d. Bahwa oleh karena itu permohonan pembatalan perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 41 PERPU No. 1 Tahun 1998 jo. UU Nomor 4 Tahun 1998, tidak dapat diajukan ke Pengadilan Niaga, melainkan ke Pengadilan Negeri menurut ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi Pengadilan Negeri. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan PK dari pemohon dan membatalkan putusan Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi Nomor 016 KN2000 tanggal 8 Juni 2000 tersebut serta mengadili kembali perkara ini dengan amar putusan : Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima Niet Ontvankelijk Verklaard. Terhadap putusan tersebut di atas akan dikemukakan hasil wawancara dengan seorang KuratorPengacara dalam pengalamannya menangani perkara gugatanpermohonan Actio Paulina yang mengatakan: “Bahwa semula ada kontroversi di kalangan hakim terhadap Actio Paulina, sebahagian hakim berpendapat memeriksa Actio Paulina bukanlah wewenang Pengadilan Niaga melainkan Pengadilan Negeri, tetapi sebahagian lagi berpendapat haruslah ditangani oleh Pengadilan Niaga.” 262 Kontroversi ini terjadi adalah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yakni Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, dimana dalam pasal 3 ayat 1 Undang-Undang tersebut dalam penjelasannya telah ditegaskan bahwa Actio Paulina adalah wewenang Pengadilan Niaga untuk memeriksanya. 262 Wawancara dengan Ricardo Simanjuntak, Ketua Umum Assosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia AKPI di Jakarta, 19 April 2007. Selanjutnya akan dikemukakan perkara Actio Paulina dimana putusan telah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan Permohonan Pemohom Actio Paulina dikabulkan untuk sebagian. Putusan Mahkamah Agung Nomor 013 PKN2003 tanggal 22 Desember 2003 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 22 KN2003 tanggal 10 Sepetember 2003 jo. Putusan Pengadilan Niaga, Jakarta Pusat Nomor 02 Actio Paulina2003PN Niaga Jkt. Pst tanggal 8 Juli 2003, 263 dimana MA berpendapat bahwa pengalihan hak atas tanah debitor pailit kepada pihak ketiga tidak sah karena dilakukan 3 tiga bulan sebelum debitor dinyatakan pailit dengan pertimbangan bahwa debitor pailit maupun pihak ketiga kreditor mengetahui atau patut mengetahui adanya kreditor-kreditor lainnya dan sebidang tanah adalah satu-satunya harta pailit. Selengkapnya kasus tersebut diuraikan sebagai berikut dibawah ini : Kasus Posisi: R. Astuti Sitanggang, Kurator Debitor pailit Eddy Ondrawinata, sebagai Pemohon telah mengajukan permohonan Actio Paulina terhadap: Susanto Soetrisno, bertempat tinggal di Jakarta Selatan sebagai Termohon, dengan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut: − Bahwa Sdr. Eddy Ondriwinata telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan putusan Nomor 27Pailit2002 PN Niaga Jkt. Pst tanggal 263 Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung dalam Perkara Kepailitan, Jilid 15, Jakarta : PT. Tatanusa, 2003, h. 367-382 9 Oktober 2002, sehingga sejak tanggal tersebut Kurator berwenang untuk melakukan tugas pemberesan atas harta Debitor. − Bahwa antara Debitor pailit dengan Susanto Soetrisno telah terjadi hubungan pinjam uang dengan bunga 4,5 per bulan sehingga jumlah hutang pokok dan bunga sebesar Rp 1.400.000.000,- dengan jaminan 3 tiga lembar bilyet giro Bank Central Asia dan Debitor menjaminkan pula sebidang tanah dengan memberi kuasa kepada Susanto Soetrisno dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah dan bangunan Perumahan “Taman Permata Buana.” − Bahwa Susanto Soetrisno membuat surat pernyataan tidak akan melaksanakan kuasa tersebut sebelum tanggal 9 Januari 2003 yang dilegalisir oleh Notaris. − Bahwa Rudi Budi Satrio telah mengajukan permohonan pailit terhadap Eddy Ondrawinata yang telah diputus oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan Putusan Nomor 27Pailit2002Pn Niaga Jkt.Pst. − Bahwa selaku Kurator yang ditunjuk dalam melaksanakan tugasnya Pemohon mendata kewajiban sebesar Rp 4.815.208,- dan harta Eddy Ondrawinata yang hanya berupa sebidang tanah “Taman Permata Buana” tersebut yang sudah diserahkan kepada Susanto Soetrisno sebagai jaminan pembayaran yang jatuh tempo tanggal 9 Januari 2003. − Bahwa tindakan debitor pailit menambah jaminan dan memberi kuasa kepada Susanto Soetrisno adalah tidak diwajibkan dan merugikan bagi para kreditor lainnya karena Susanto Soetrisno maupun debitor pailit mengetahui atau patut megetahui adanya kreditor-kreditor lainnya dan sebidang tanah di “Taman Permata Buana” satu-satunya harta pailit. − Bahwa sebenarnya tidak ada kewajiban atau keharusan bagi debitor pailit untuk melakukan kewajiban kepada Susanto Soetrisno sebelum tanggal 9 Januari 2003, dimana pada tanggal 26 Juli 20025 Susanto Soetrisno telah menggunakan Surat Kuasa, membuat dan menandatangi Surat Pemindahan Hak, Surat Persetujuan Pengalihan hak dan Surat Pernyataan Eddy Ondrawinata debitor Pailit, yang seluruhnya ditandangani oleh Susanto Soetrisno tanggal 26 Juli 2002. − Bahwa tindakan hukum debitor pailit yang menghapus hutang Susanto Soetrisno tersebut dilakukan kurang lebih 3 tiga bulan sebelum debitor dinyatakan pailit, sudah seharusnya dan sepatutnya debitor pailit dan Susanto Soetrisno mengetahui dan menyadari bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi para kreditor lainnya. Berdasarkan alasan-salasan tersebut Pemohon memohonkan agar pengadilan Niaga Jakarta Pusat memberi putusan yang pada pokonya sebagai berikut: − Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya. − Menyatakan tidak sah atau tidak mengikat surat persetujuan dan pernyataan yang dilegalisir Notaris, Surat Kuasa untuk mengurus dan untuk menjual sebidang tanah “Taman Permata Buana” yang dilegalisir oleh Notaris. − Menyatakan batal dan tidak sah surat pemindahan hak atas bidang tanah di “Taman Permata Buana”, dan Surat Persetujuan Pengalihan dan Surat Pernyataan Debitor yang seluruhnya ditanda tangani Susanto Soetrisno tanggal 26 Juli 2002. − Menyatakan sebidang tanah di “Taman Permata Buana” merupakan bagian dari harta pailit, dan menyatakan Pemohon selaku Kurator berhak mengalihkan harta pailit berupa sebidang tanah tersebut untuk pembayaran kewajiban debitor kepada para kreditornya. − Memerintahkan kepada Susanto Soetrisno untuk menyerahkan kepada Kurator asli Surat Perjanjian Pengikatan jual beli tanah dan bangunan “Taman Permata Buana” dan surat-surat yang berhubungan dengan tanah tersebut. Terhadap permohonan Pemohon tersebut Pengadilan Niaga Jakarta pusat telah mengambil putusan yakni Nomor 02Actio Paulina2003PN Niaga Jkt.Pst yang amarnya antara lain sebagai berikut: − Menolak permohonan Actio Pauliana dari Pemohon. − Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara. Terhadap putusan Pengadilan Niaga tersebut Pemohon telah mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan Nomor 022 KN2003 yang amarnya antara lain sebagai berikut: − Membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 02Actio Paulina2003PN Niaga Jkt.PSt. − Mengabulkan permohonan Pemohon sebahagian. − Menyatakan tidak sah atau tidak mengikat surat persetujuan dan pernyataan yang dilegalisir Notaris surat pemindahan hak atas bidang tanah di “Taman Permata Buana”, dan surat persetujuan pengalihan dan surat pernyataan debitor yang seluruhnya ditandatangani Susanto Soetrisno tanggal 26 Juli 2002. − Menyatakan permohonan Pemohon selebihnya tidak dapat diterima. − Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara. Setelah putusan kasasi tersebut berkekuatan hukum tetap, kemudian Susanto Soetrisno telah mengajukan permohonan PK dengan alasan-alasan pada pokok-pokoknya sebagai berikut: − Bahwa Pengadilan Niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum yang termuat dalam pertimbangan hukum putusan Yudex YurisMahkamah Agung dengan alasan-alasan yang termuat dalam permohonan PK tersebut. Selanjutnya Mahkamah Agung telah mempertimbangkan alasan-alasan dalam permohonan PK tersebut sebagai berikut: − Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena di dalam putusan Mahkamah Agung yang dimohonkan PK tersebut tidak terdapat kesalahan berat dalam penerapan hukum sebagaimana dimaksud oleh Pasal 286 ayat 2 b Undang-Undang Kepailitan. − Berdasarkan hal-hal yang dipertimbangkan di atas, maka permohonan PK yang diajukan oleh Susanto Soetrisno tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak. Untuk itu dalam tingkat PK Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan Nomor 013 PKN2003 tanggal 22 Desember 2003 yang amarnya pada pokoknya sebagai berikut: − Menolak permohonan PK yang diajukan oleh Susanton Soetrisno tersebut. − Menghukum permohon PK untuk membayar ongkos perkara. Dari putusan Mahkamah Agung Nomor 013 PKN2003 jo. putusan Mahkamah Agung Nomor 022 KN2003 jo putusan Nomor 02 Actio Pauliana2003PN Niaga Jkt.Pst., maka sebagai putusan yang berlaku dan berkekuatan hukum tetap adalah Putusan Kasasi tertanggal 10 September 2003 Nomor 022 KN2003, dimana sebagaimana tercantum dalam amar permohonan Actio Paulina dari Pemohon R. Astuti Sitanggang selaku Kurator debitor pailit Eddy Ondrawinata, telah dikabulkan untuk sebahagian.

C. Sifat Hukum Publik dari Hukum Kepailitan