Hubungan tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dengan keterampilan berkomunikasi, integritas pribadi, dan minat belajar siswa: survei pada siswa kelas XII IIS di SMA N 1 Wates, SMA N 2 Wates, dan

(1)

ABSTRAK

HUBUNGAN TINGKAT KETERLAKSANAAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL PADA MATERI AKUNTANSI BERDASARKAN KURIKULUM 2013 DENGAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI,

INTEGRITAS PRIBADI, DAN MINAT BELAJAR SISWA

Survei pada siswa kelas XII IIS di SMA N 1 Wates, SMA N 2 Wates, dan SMA N 1 Sentolo di Kabupaten Kulon Progo

Sisilya Putri Anugrah Universitas Sanata Dharma

2016

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan positif: 1) tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dan keterampilan berkomunikasi siswa; 2) tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dan integritas pribadi siswa; 3) tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dan minat belajar siswa.

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional di 3 SMA Negeri jurusan ilmu-ilmu sosial kelas XII di Kabupaten Kulon Progo. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2016. Populasi pada penelitian ini sebanyak 177 responden dengan jumlah sampel sebanyak 156 responden. Teknik penarikan sampel menggunakan teknik Cluster Sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan menggunakan korelasi Spearman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) terdapat hubungan positif antara tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dan keterampilan berkomunikasi peserta didik (Spearman rho = (+) 0,386; sig (1-tailed) = 0,000 < α = 0,01); 2) terdapat hubungan positif antara tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dan integritas pribadi peserta didik (Spearman rho = (+) 0,273; sig (1-tailed) = 0,000 < α = 0,01); 3) terdapat hubungan positif antara tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dan minat belajar peserta didik (Spearman rho = (+) 0,574; sig (1-tailed) = 0,000 < α = 0,01).


(2)

ABSTRACT

CORRELATION BETWEEN CONTEXTUAL LEARNING FULFILLMENT LEVEL IN ACCOUNTING BASED ON 2013 CURRICULUM AND COMMUNICATION SKILLS, PERSONAL INTEGRITY, AND STUDENT

LEARNING INTEREST

A Survey on the twelfth Grade of IIS’s students of SMAN 1 Wates, SMA N 2 Wates and SMA N 1 Sentolo, Kulon Progo Regency

Sisilya Putri Anugrah Sanata Dharma University

2016

This study aims to examine correlation between: 1) the fulfillment level of contextual learning in accounting based on 2013 curriculum and communication skills; 2) fulfillment level of contextual learning in accounting based on 2013 curriculum and personal integrity; 3) ) fulfillment level of contextual learning in accounting based on 2013 curriculum and student learning interest.

This study is a correlation research. It was carried out on Social Department students of the twelfth grade who studied in 3 different State High Schools, in January 2016. The population of this research were 177 respondents and 156 respondents as the samples. The sampling technique of this research was cluster sampling, and questionaire was used as the collecting data technique. The data were analyzed by applying correlation of Spearman.

The result shows that: 1) there is a positive correlation between fulfillment level contextual learning in accounting based on 2013 curriculum and communication skills (Spearman rho = (+) 0,386; sig (1-tailed) = 0,000 < α = 0,01); 2) there is a positive correlation between fulfillment level contextual learning in accounting based on 2013 curriculum and personal integrity (Spearman rho = (+) 0,273; sig (1-tailed) = 0,000 < α = 0,01 ; 3) there is a positive correlation between fulfillment level contextual learning in accounting based on 2013 curriculum and student learning interest (Spearman rho = (+) 0,574; sig (1-tailed) = 0,000 < α = 0,01).


(3)

HUBUNGAN TINGKAT KETERLAKSANAAN

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL PADA MATERI

AKUNTANSI BERDASARKAN KURIKULUM 2013 DENGAN

KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI, INTEGRITAS

PRIBADI, DAN MINAT BELAJAR SISWA

Survei pada Siswa Kelas XII IIS di SMA N 1 Wates, SMA N 2 Wates, dan SMA N 1 Sentolo di Kabupaten Kulon Progo

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Ekonomi Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Akuntansi

Disusun Oleh : Sisilya Putri Anugrah

NIM: 121334043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI BIDANG KEAHLIAN KHUSUS PENDIDIKAN AKUNTANSI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

HUBUNGAN TINGKAT KETERLAKSANAAN

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL PADA MATERI

AKUNTANSI BERDASARKAN KURIKULUM 2013 DENGAN

KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI, INTEGRITAS

PRIBADI, DAN MINAT BELAJAR SISWA

Survei pada siswa kelas XII IIS di SMA N 1 Wates, SMA N 2 Wates, dan SMA N 1 Sentolo di Kabupaten Kulon Progo

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Ekonomi Bidang Keahlian Khusus Pendiikan Akuntansi

Disusun Oleh : Sisilya Putri Anugrah

NIM: 121334043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI BIDANG KEAHLIAN KHUSUS PENDIDIKAN AKUNTANSI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

iv

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk: Kedua orang tuaku, Bp Santoso dan Ibu Agata Kristiwartini Almamaterku, Universitas Sanata Dharma


(8)

v

MOTTO

Hidup bukan untuk mencari perhentian, namun untuk

melakukan perjalanan


(9)

(10)

(11)

viii ABSTRAK

HUBUNGAN TINGKAT KETERLAKSANAAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL PADA MATERI AKUNTANSI BERDASARKAN KURIKULUM 2013 DENGAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI,

INTEGRITAS PRIBADI, DAN MINAT BELAJAR SISWA

Survei pada siswa kelas XII IIS di SMA N 1 Wates, SMA N 2 Wates, dan SMA N 1 Sentolo di Kabupaten Kulon Progo

Sisilya Putri Anugrah Universitas Sanata Dharma

2016

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan positif: 1) tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dan keterampilan berkomunikasi siswa; 2) tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dan integritas pribadi siswa; 3) tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dan minat belajar siswa.

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional di 3 SMA Negeri jurusan ilmu-ilmu sosial kelas XII di Kabupaten Kulon Progo. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2016. Populasi pada penelitian ini sebanyak 177 responden dengan jumlah sampel sebanyak 156 responden. Teknik penarikan sampel menggunakan teknik Cluster Sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan menggunakan korelasi Spearman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) terdapat hubungan positif antara tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dan keterampilan berkomunikasi peserta didik (Spearman rho = (+) 0,386; sig (1-tailed) = 0,000 < α = 0,01); 2) terdapat hubungan positif antara tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dan integritas pribadi peserta didik (Spearman rho = (+) 0,273; sig (1-tailed) = 0,000 < α = 0,01); 3) terdapat hubungan positif antara tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dan minat belajar peserta didik (Spearman rho = (+) 0,574; sig (1-tailed) = 0,000 < α = 0,01).


(12)

ix ABSTRACT

CORRELATION BETWEEN CONTEXTUAL LEARNING FULFILLMENT LEVEL IN ACCOUNTING BASED ON 2013 CURRICULUM AND COMMUNICATION SKILLS, PERSONAL INTEGRITY, AND STUDENT

LEARNING INTEREST

A Survey on the twelfth Grade of IIS’s students of SMAN 1 Wates, SMA N 2 Wates and SMA N 1 Sentolo, Kulon Progo Regency

Sisilya Putri Anugrah Sanata Dharma University

2016

This study aims to examine correlation between: 1) the fulfillment level of contextual learning in accounting based on 2013 curriculum and communication skills; 2) fulfillment level of contextual learning in accounting based on 2013 curriculum and personal integrity; 3) ) fulfillment level of contextual learning in accounting based on 2013 curriculum and student learning interest.

This study is a correlation research. It was carried out on Social Department students of the twelfth grade who studied in 3 different State High Schools, in January 2016. The population of this research were 177 respondents and 156 respondents as the samples. The sampling technique of this research was cluster sampling, and questionaire was used as the collecting data technique. The data were analyzed by applying correlation of Spearman.

The result shows that: 1) there is a positive correlation between fulfillment level contextual learning in accounting based on 2013 curriculum and communication skills (Spearman rho = (+) 0,386; sig (1-tailed) = 0,000 < α = 0,01); 2) there is a positive correlation between fulfillment level contextual learning in accounting based on 2013 curriculum and personal integrity (Spearman rho = (+) 0,273; sig (1-tailed) = 0,000 < α = 0,01 ; 3) there is a positive correlation between fulfillment level contextual learning in accounting based on 2013 curriculum and student learning interest (Spearman rho = (+) 0,574; sig (1-tailed) = 0,000 < α = 0,01).


(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat karunia dan berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Tingkat Keterlaksanaan Pembelajaran Kontekstual pada Materi Akuntansi Berdasarkan Kurikulum 2013 dengan Keterampilan Berkomunikasi, Integritas Pribadi, dan Minat Belajar Siswa” dengan lancar. Penulisan skripsi disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Ekonomi Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Akuntansi. Selama penyusunan dan penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu demi terseleseikannya skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Ignatius Bondan Suratno, S.Pd., M.Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ketua Program Studi Pendidikan Ekonomi Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Akuntansi, Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Natalina Premastuti Brataningrum, S.Pd., M.Pd. selaku Dosen Pembimbing, ibu terima kasih untuk doa, bimbingan, serta bantuannya selama ini. Terima kasih pula untuk motiasi, nasihat, kesabaran, dan perhatian yang telah ibu berikan kepada saya.


(14)

xi

4. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Akuntansi yang telah memberikan banyak ilmu dan bekal pengetahuan dalam proses perkuliahan.

5. Staf dan karyawan kesekretariatan Program Studi Pendidikan Ekonomi Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Akuntansi yang telah banyak membantu dalam pengurusan admistrasi.

6. Kedua orang tua, Bapak Santoso dan Ibu Agata Kristiwartini yang selalu memberikan dukungan dan semangat, doa, serta kasih sayang selama proses perkuliahan sampai dengan penyelesaian skripsi ini.

7. Kakak dan adik, Terry Awan Setia dan Februarno yang selalu memberikan dukungan dan kepercayaan untuk saya bisa menyelesaikan studi.

8. Sahabat terbaik sekaligus pacar, Yosep Jati Anugrah Pangestu terimakasih atas perhatian dan dukungannya.

9. Jasmani dan rohani saya yang selalu bekerjasama dengan baik dalam menyelesaikan skripsi ini, terimakasih karena selalu sehat dan berusaha selalu semangat dalam mengerjakan skripsi.

10.Albertin Nopi Yundari, sahabat dan juga partner penelitian. Terimakasih karena selalu menemani dan memberikn dukungan selama proses penelitian dan penulisan skripsi.

11.Sahabat dan saudara dalam naungan satu dosen pembimbing: Dilla, Sopi, Ella, Giselle, Helen, Albeta, Nopi, Boru, Adys. Terimakasih atas bantuan dan diskusi yang hangat dan sangat berarti.


(15)

(16)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACK ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Kajian Teori ... 12

1. Kurikulum 2013 ... 12

2. Pendekatan Kontekstual ... 17


(17)

xiv

4. Integritas Pribadi (Kejujuran) ... 39

5. Minat Belajar ... 46

B. Kerangka Berpikir ... 52

C. Hipotesis Penelitian ... 54

D. Paradigma Penelitian ... 55

BAB III METODE PENELITIAN... 57

A. Jenis Penelitian ... 57

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 58

C. Subjek dan Objek Penelitian ... 58

D. Populasi Penelitian ... 59

E. Operasionalisasi Variabel dan Pengukuran ... 60

F. Teknik Pengumpulan Data ... 68

G. Pengujian Instrumen Penelitian ... 68

H. Teknik Analisis Data ... 82

BAB IV GAMBARAN UMUM ... 92

A. SMA N 1 Wates ... 92

B. SMA N 2 Wates ... 96

C. SMA N 1 Sentolo ... 99

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 103

A. Deskripsi Data ... 103

B. Pengujian Prasyarat Analisis Data ... 110

C. Pengujian Hipotesis ... 112

D. Pembahasan ... 116

BAB VI PENUTUP ... 127

A. Kesimpulan ... 127

B. Keterbatasan ... 128

C. Saran ... 129

DAFTAR PUSTAKA ... 133


(18)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Nama dan Alamat Lokasi Penelitian ... 58

Tabel 3.2 Populasi Penelitian ... 59

Tabel 3.3 Operasionalisasi Variabel Pembelajaran Kontekstual ... 61

Tabel 3.4 Operasionalisasi Variabel Keterampilan Berkomunikasi ... 63

Tabel 3.5 Operasionalisasi Variabel Integritas Pribadi ... 64

Tabel 3.6 Operasionalisasi Minat Belajar Akuntansi ... 65

Tabel 3.7 Sebagian dari r Tabel... 70

Tabel 3.8 Hasil Pengujian Validitas Instrumen Variabel Tingkat Keterlaksanaan Pembelajaran Kontekstual ... 70

Tabel 3.9 Hasil Pengujian Validitas Instrumen Variabel Keterampilan Berkomunikasi ... 72

Tabel 3.10 Hasil Pengujian Ulang Validitas Instrumen Variabel Keterampilan Berkomunikasi ... 73

Tabel 3.11 Hasil Pengujan Validitas Instrumen Variabel Integritas Pribadi ... 74

Tabel 3.12 Hasil Pengujian Ulang Validitas Instrumen Variabel Integritas Pribadi ... 76

Tabel 3.13 Hasil Pengujian Ulang ke-2 Validitas Instrumen Variabel Integrias Pribadi ... 77

Tabel 3.14 Hasil Pengujian Ulang ke-3 Validitas Instrumen Variabel Integritas Pribadi ... 78

Tabel 3.15 Hasil Pengujian Ulang ke-4 Validitas Instrumen Variabel Integritas Pribadi ... 79

Tabel 3.16 Hasil Pengujian Validitas Instrumen Variabel Minat Belajar ... 79


(19)

xvi

Tabel 3.18 Tingkat Penguasaan Kompetensi ... 83

Tabel 3.19 Tingkat Keterlaksaan Pembelajaran Kontekstual ... 85

Tabel 3.20 Keterampilan Berkomunikasi ... 86

Tabel 3.21 Integrias Pribadi ... 87

Tabel 3.22 Minat Belajar Siswa ... 87

Tabel 3.23 Tingkat Korelasi dan Kekuatan Arah Hubungan ... 90

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Berdasarkan Asal Sekolah ... 103

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Berdasarkan Status Sekolah... 104

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin ... 104

Tabel 5.4 Perhitungan dan Interpretasi Penilaian Tingkat Keterlaksanaan Pembelajaran Kontekstual ... 105

Tabel 5.5 Perhitungan dan Interpretasi Penilaian Keterampilan Berkomunikasi ... 107

Tabel 5.6 Perhitungan dan Interpretasi Penilaian Integritas Pribadi ... 108

Tabel 5.7 Perhitungan dan Interpretasi Penilaian Minat Belajar... 109

Tabel 5.8 Hasil Uji Normalitas Mengenai Tingkat Keterlaksanaan Pembelajaran Kontekstual dengan Keterampilan Berkomunikasi .... 110

Tabel 5.9 Hasil Uji Normalitas Mengenai Tingkat Keterlaksanaan Pembelajaran Kontekstual dengan Integritas Pribadi ... 111

Tabel 5.10 Hasil Uji Normalitas Mengenai Tingkat Keterlaksanaan Pembelajaran Kontekstual dengan Minat Belajar ... 111

Tabel 5.11 Hasil Uji Korelasi Tingkat Keterlaksanaan Pembelajaran Kontekstual dengan Keterampilan Berkomunikasi ... 113

Tabel 5.12 Hasil Uji Korelasi Tingkat Keterlaksanaan Pembelajaran Kontekstual dengan Integrias Pribadi ... 114


(20)

xvii

Tabel 5.13 Hasil Uji Korelasi Tingkat Keterlaksanaan Pembelajaran


(21)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Kuesioner Instrumen Penelitian ... 137

Lampiran II Data Dinas ... 152

Lampiran III Data Induk Penelitian ... 155

Lampiran IV Tabel r ... 168

Lampiran V Uji Validitas ... 170

Lampiran VI Uji Reliabilitas ... 182

Lampiran VII Uji Normalitas ... 185

Lampiran VIII Uji Korelasi ... 187

Lampiran IX Surat Ijin Penelitian ... 190


(22)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Era globalisasi merupakan saat dimana manusia dapat mengakses beragam informasi serta memanfaatkan segala kemajuan yang ada. Salah satu perkembangan yang dapat dinikmati manusia adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di jaman yang serba canggih seperti saat ini, tentu saja manusia dapat dengan mudah memperoleh berita atau perkembangan terkini tentang suatu bidang tertentu. Misalnya saja perkembangan teknologi komunikasi, sekarang manusia dapat dengan mudah berkomunikasi dengan orang yang berada di benua yang berbeda sehingga hal ini membuat hidup manusia semakin mudah.

Kemudahan yang ditawarkan era globalisasi mendatangkan banyak manfaat bagi manusia, namun globalisasi juga telah membuat persaingan menjadi lebih sengit. Kita tidak hanya bersaing dengan orang di negara kita sendiri, tetapi juga dengan orang di seluruh dunia. Setiap individu harus dapat bersaing dan berlomba-lomba untuk menjadi pribadi yang unggul dibanding yang lain. Dengan adanya persaingan ini, kita perlu memiliki nilai tambah atau kemampuan yang lebih unik dibandingkan orang lain untuk dapat bersaing. Salah satu cara untuk memperoleh kemampuan tersebut adalah melalui pendidikan.


(23)

Pendidikan sebagaimana dipahami adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pembelajaran. Kegiatan pengajaran tersebut diselenggarakan pada semua satuan dan jenjang pendidikan yang meliputi wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Dunia pendidikan memegang peranan penting dalam memajukan sebuah tatanan kenegaraan dan menciptakan insan yang siap bersaing di dunia saat ini. keberhasilan dunia pendidikan dalam mendidik insan bangsa, tentu akan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, yang mampu bersaing dengan yang lainnya dalam dunia yang semakin maju. Keberhasilan proses pendidikan juga menjadi tujuan utama bangsa Indonesia, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD tahun 1945 alinea ke empat yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Dalam prosesnya, pembelajaran yang dilakukan di setiap jenjang pendidikan membutuhkan suatu acuan dan pedoman tertentu agar kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pedoman yang dimaksud adalah kurikulum, yang merupakan salah satu komponen pendidikan yang memiliki peran yang sangat penting. Kurikulum, seperti yang sudah disebutkan akan menjadi acuan dan pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran harus dapat memenuhi tuntutan dari dunia yang secara terus-menerus mengalami perubahan menuju arah yang lebih canggih. Kurikulum diharapakan menjadi salah satu jalan agar peserta didik dapat mengembangkan diri mereka secara dinamis, sesuai dengan


(24)

perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, maupun perkembangan yang lain secara global. Dalam merancang suatu kurikulum yang dapat menjawab tantangan tersebut, pemerintah telah berupaya untuk memenuhinya dengan mengambangkan kurikulum dari waktu ke waktu. Kurikulum terbaru yang dikembangkan pemerintah adalah Kurikulum 2013.

Kurikulum 2013 merupakan pengembangan dari kurikulum sebelumnya, yaitu KTSP 2006 yang saat ini juga masih diterapkan oleh sekolah-sekolah di Indonesia. Jika dalam KTSP pembelajaran masih dipusatkan kepada guru sebagai sumber utama belajar siswa, maka berbeda dengan kurikulum 2013 yang menjadikan guru hanya sebagai fasilitator bagi para peserta didik. Pola pembelajaran yang dulunya pasif berubah menjadi pembelajaran yang kritis. Kegiatan pembelajaran dalam Kurikulum 2013 diarahkan untuk memberdayakan semua potensi yang dimiliki peserta didik agar mereka dapat memiliki kompetensi yang diharapkan. Kurikulum 2013 dirancang dengan berbagai karakteristik (Permendikbud No. 69 tahun 2013), diantaranya adalah (1) mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spriritualitas, rasa ingin tahu, kreativitas, kerjasama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik, (2) mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan, serta menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat, (3) sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar terencana, dimana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar.


(25)

Belajar dipahami sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik, bukan suatu kegiatan yang dilakukan kepada peserta didik, sedangkan proses belajar mengajar adalah suatu interaksi yang dilakukan oleh guru dan peserta didik untuk mempelajari suatu materi tertentu. Sesuai dengan hal tersebut maka keberhasilan pembelajaran dipengaruhi oleh dua pemeran utama dalam pembelajaran yaitu faktor guru dan faktor peserta didiknya, meskipun masih ada beberapa faktor lainnya yang bisa mempengaruhi. Keberhasilan pembelajaran yang diharapakan mampu memberikan pengetahuan dan ilmu bagi para peserta didik merupakan suatu tujuan yang diharapkan oleh guru. Guru yang profesional tidak hanya cukup dengan menguasai bahan atau materi ajar, tetapi guru perlu memperhatikan hal-hal yang mendukung keberhasilan pembelajaran. Pendukung keberhasilan yang dimaksud yaitu pemilihan pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran. Pendekatan yang dipilih harus sesuai dengan materi pokok yang akan dipelajari, selain daripada itu pemilihan pendekatan pembelajaran juga harus sesuai dengan kurikulum yang sedang diberlakukan.

Pembelajaran yang dilaksanakan dalam Kurikulum 2013 lebih menekankan kepada pendekatan ilmiah, yang lebih dikenal dengan nama pendekatan saintifik. Untuk memperkuat pembelajaran dengan pendekatan saintifik sangat disarankan untuk menerapakan strategi pembelajaran yang sesuai, dimana salah satunya adalah pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual adalah suatu strategi pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif untuk dapat menemukan dan memahami materi pembelajaran serta


(26)

mendorong siswa untuk mampu mengkaitkan materi pembelajaran yang diperolehnya dari kegiatan belajar tersebut dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan Permendikbud No. 65 tahun 2013, bahwa pembelajaran kontekstual dimaksudkan untuk membelajarkan peserta didik mengenai sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang akan diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karakter sikap yang dimaksud mulai dari menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, hingga mengamalkan apa yang di dapat dalam aktivitas pembelajaran. Pengetahuan dimiliki melalui aktivitas mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, hingga mencipta. Keterampilan sendiri diperoleh melalui kegiatan mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta.

Dalam struktur Kurikulum 2013 juga ditetapkan 4 kompetensi inti yang dirancang seiring dengan meningkatnya usia peserta didik pada kelas tertentu. Rumusan tentang kompetensi inti untuk jenjang Sekolah Menengah Atas (Permendikbud No.69 tahun 2013) adalah mengenai (1) kompetensi inti sikap spiritual, (2) kompetensi inti sikap sosial, (3) kompetensi inti pengetahuan, dan (4) kopetensi inti keterampilan. Dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan menurut Kurikulum 2013, strategi apapun yang diterapakan harus mampu melaksanakan 4 kompetensi inti yang ditetapkan.

Sesuai dengan ke empat kompetensi tersebut penulis berfokus kepada penerapan pembelajaran kontekstual untuk mewujudkan Kompetensi Inti-2 mengenai sikap sosial, dimana dalam uraiannya peserta didik harus mampu menghayati dan mengamalkan salah satu sikap sosial yaitu perilaku jujur.


(27)

Perilaku atau sikap jujur menjadi penting untuk dilakukan karena kejujuran merupakan suatu etika, dimana etika merupakan prinsip-prinsip aturan yang menentukan tingkah laku seseorang dan mengarahkannya dalam mengambil keputusan. Seseorang yang jujur pada diri sendiri akan timbul sikap yang tidak selalu bergantung pada orang lain, atau dalam kata lain akan menumbuhkan sikap mandiri pada diri seseorang.

Kejujuran harus ditanamkan dalam diri setiap peserta didik karena kejujuran merupakan salah satu kunci keberhasilan, namun sangat disayangkan ketika masih banyak peserta didik yang melakukan tindak ketidakjujuran dalam kehidupan mereka sehari-hari. Menurut penelitian yang dilakukan terhadap siswa SMA/SMK di Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Munawaroh, dkk (2013: 86-94), tindak ketidakjujuran masih menunjukkan persentase yang tinggi. Sebanyak 511 responden dalam penelitian, yang menyatakan melakukan ketidakjujuran sebesar 248 responden (48,5%), kadang-kadang 226 responden (44,2%), dan tidak pernah melakukan ketidakjujuran hanya 37 resonden (7,3%). Tindak ketidakjujuran yang dilakukan oleh peserta didik antara lain mencontek saat ulangan atau ujian (36,2%), berbohong dalam hal tugas atau PR (24,3%), ijin keluar kelas hanya untuk membuka HP atau ke kantin (24,3%), dan dalam hal kecil adalah ketika ditanya mengenai pelajaran sudah membaca dan paham atau belum menjawab sudah padahal belum paham (15,2%). Hal ini tentu menjadi sesuatu yang memprihatinkan dan dibutuhkan perhatian khusus untuk dapat menumbuhkan perilaku jujur dikalangan peserta didik.


(28)

Kompetensi Inti lainnya yang menjadi fokus adalah Kompetensi Inti-4 mengenai kompetensi inti keterampilan, dimana peserta didik dituntut untuk mampu mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan abstrak terkait dengan pengembangan dari apa yang dipelajari. Dalam kegiatan pembelajaran, peserta didik selalu dituntut aktif dalam mengumpulkan berbagai macam informasi yang berkaitan dengan materi pembelajaran. Tidak hanya berhenti sampai pada pengumpulan informasi, namun peserta didik juga dituntut untuk mampu menyampaikan apa yang telah didapatnya kepada pihak lain, baik itu kepada guru maupun teman-temannya agar mereka juga dapat saling bertukar informasi. Untuk dapat melakukan kompetensi ini peserta didik dituntut untuk dapat menguasai keterampilan berkomunikasi dengan baik. Strategi pembelajaran yang dipilih dalam kegiatan pembelajaran harus mampu membantu peserta didik menguasai keterampilan berkomunikasi yang baik agar mereka mampu menyampaikan atau menyajikan apa yang diperolehnya dengan jelas.

Keberhasilan dari kegiatan pembelajaran tidak hanya berhenti dengan pencapaian terhadap penanaman tindak kejujuran sebagai kunci keberhasilan maupun dengan dimilikinya keterampilan berkomunikasi oleh setiap siswa, atau bahkan pencapaian terhadap keempat kompetensi inti. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan juga harus mampu membuat peserta didik merasa senang dengan apa yang mereka lakukan agar mereka juga dapat menghayati apa yeng telah mereka peroleh dan melaksanaknnya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai hal itu maka perlu diimbangi dengan


(29)

minat peserta didik agar kegiatan belajar-mengajar dapat berjalan dengan baik dan membangkitkan motivasi peserta didik untuk belajar dengan perasaan senang. Hal demikian juga disampaikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar-Menengah, Anies Baswedan. Dalam sambutannya yang diakses dari salah satu media (http://news.liputan6.com/read/2133540/menteri-anies-pendidikan-harus-jadi-sesuatu-yang-membahagiakan), beliau menyatakan bahwa pendidikan harus menjadi sesuatu yang membahagiakan. Jika pendidikan masih dianggap sebagai sesuatu yang menyulitkan, maka negara tidak dapat melahirkan generasi penerus yang handal. Harus dimunculkan suatu konsep dan metode yang memberikan pemahaman bahwa pendidikan itu menyenangkan, mencerahkan. Pendidikan bukan sesuatu yang membebani.

Pembelajaran kontekstual yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran berdasarkan Kurikulum 2013 diharapkan mampu menjawab tantangan untuk dapat mengembangkan perilaku jujur, keterampilan berkomunikasi, dan minat belajar pada peserta didik. Tujuh komponen utama yang dimiliki oleh pembelajaran kontekstual yaitu konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik harus dapat dilaksanakan dengan baik agar peserta didik mampu mengembangkan dirinya secara utuh, sehingga dengan demikian setiap peserta didik akan memiliki sikap jujur, keterampilan berkomunikasi, dan menumbuhkan minat belajar yang tinggi.


(30)

Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan, penulis bermaksud untuk melihat dan meneliti hubungan tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 serta hubungannya dengan keterampilan berkomunikasi, integritas pribadi (kejujuran), dan minat belajar siswa dengan judul “Hubungan Tingkat Keterlaksanaan Pembelajaran Kontekstual Pada Materi Akuntansi Berdasarkan Kurikulum 2013 Dengan Keterampilan Berkomunikasi, Integritas Pribadi, dan Minat Belajar Siswa”.

B. Batasan Masalah

Penelitian ini berfokus pada hubungan implementasi pendekatan kontekstual dalam pembelajaran akuntansi dengan keterampilan siswa mengkomunikasikan ide, mengembangkan karakter siswa (integritas pribadi), dan belajar sebagai kebutuhan (minat belajar).

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dituliskan, penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut:

1. Apakah ada hubungan positif tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dengan keterampilan berkomunikasi?

2. Apakah ada hubungan positif tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dengan integritas pribadi?


(31)

3. Apakah ada hubungan positif tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dengan minat belajar?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Hubungan positif tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dengan keterampilan berkomunikasi siswa.

2. Hubungan positif tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dengan integritas pribadi siswa.

3. Hubungan positif tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dengan minat belajar siswa. E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai evaluasi bagi sekolah mengenai kesiapan guru-guru dalam melaksanakan pembelajaran kontekstual di dalam proses pengajaran.

2. Manfaat Bagi Guru

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi guru-guru selama menerapkan pembelajaran kontekstual khususnya untuk materi akuntansi. Cakupan evaluasi adalah sejauh mana efektivitas tingkat


(32)

keterlaksanaan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran dan hubungannya dengan keterampilan berkomunikasi, integritas pribadi, dan minta belajar siswa.

3. Manfaat bagi peneliti

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sarana aktualisasi pengetahuan yang telah didapatkan penulis selama melaksanakan studi, dan juga sebagai bahan perbandingan antara teori dan dengan fakta tentang tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual dalam kurikulum 2013

4. Manfaat bagi penelitian selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti faktor-faktor mana yang menjadi kesulitan guru dalam pelaksanaan pembelajaran kontekstual dan faktor-faktor apa saja yang perlu dikembangkan dalam pelaksanaan pembelajaran kontekstual berdasarkan kurikulum 2013.


(33)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Kurikulum 2013

Indonesia telah berupaya untuk memenuhi tuntutan perkembangan dunia yang semakin cepat dan pesat. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah dengan menyusun kurikulum pembelajaran yang baru. Melalui Kemendikbud pemerintah berusaha menyusun, mengembangkan, dan menetapkan sebuah kurikulum yang berlaku pada tahun ajaran 2013/2014. Kurikulum ini baru diperkenalkan oleh pemerintah dengan sebutan kurikulum 2013.

a. Pengertian

Kurikulum menurut Fadlillah (2014: 16) merupakan sebuah wadah yang akan menentukan arah pendidikan. Berhasil dan tidaknya sebuah pendidikan tergantung pada kurikulum yang diterapkan, dengan perkembangan zaman maka diperlukan adanya pembaharuan kurikulum yang mampu menjawab tantangan-tantangan globalisasi. Kurikulum adalah ujung tombak bagi terlaksananya kegiatan pendidikan. Tanpa adanya kurikulum mustahil pendidikan akan dapat berjalan dengan baik, efektif, dan efisien sesuai dengan yang diharapkan.


(34)

Menurut Hosnan (2014:34), pendekatan saintifik merupakan proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengkonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengomunikasikan konsep, hukum, atau prinsip yang ditemukan. Dalam pendekatan saintifik siswa diharapkan dapat mencari tahu pembelajaran dari berbagai sumber melalui observasi, dan bukan hanya diberi tahu.

Dalam implementasi kurikulum 2013, pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam seluruh pembelajaran pada setiap bidang studi yang terdapat dalam kurikulum. Melalui implementasi dalam kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi sekaligus berbasis karakter, dengan pendekatan tematik dan kontekstual diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.


(35)

b. Indikator-indikator

Menurut Mulyasa (2013: 11) keberhasilan implementasi Kurikulum 2013 juga dapat dilihat dari indikator-indikator perubahan sebagai berikut:

1) Adanya lulusan yang berkualitas, produktif, kreatif, dan mandiri

2) Adanya peningkatan mutu pembelajaran

3) Adanya peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan dan pendayagunaan sumber belajar

4) Adanya peningkatan perhatian serta partisipasi masyarakat 5) Adanya peningkatan tanggung jawab sekolah

6) Tumbuhnya sikap, keterampilan, dan pengetahuan secara utuh di kalangan peserta didik

7) Terwujudnya pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM)

8) Terciptanya iklim yang aman, nyaman, dan tertib, sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan

9) Adanya proses evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan. c. Keunggulan dan kelemahan kurikulum 2013

Kurikulum 2013 pada dasarnya memberikan pengalaman kepada peserta didik dan dalam memperoleh pengalaman tersebut harus menggunakan metode ilmiah secara mandiri. Kurikulum


(36)

2013 mulai dilaksanakan pada tahun ajaran 2013-2014 pada sekolah yang ditunjuk oleh pemerintah, maupun sekolah yang siap melaksanakannya. Menurut Kurniasih (2014: 40) Terdapat beberapa hal penting dari perubahan atau penyempurnaan kurikulum 2013, yaitu keunggulan dan kekurangannya yang diuraikan sebagai berikut:

1) Kelebihan kurikulum 2013

a) Siswa lebih dituntut untuk aktif, kreatif, dan inovatif dalam setiap pemecahan masalah yang mereka hadapi di sekolah

b) Adanya penilaian dari semua aspek

c) Munculnya pendidikan karakter dan pendidikan budi pekerti yang telah diintegrasikan ke dalam semua program studi

d) Adanya kompetensi yang sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional

e) Kompetensi yang dimaksud menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan f) Standar penilaian mengarahkan pada penilaian berbasis

kompetensi seperti sikap, keterampilan, dan pengetahuan secara proporsional

g) Mengaharuskan adanya remediasi secara berkala h) Sifat pembelajaran sangat kontekstual.


(37)

2) Kekurangan kurikulum 2013

a) Guru banyak salah kaprah, karena beranggapan dengan kurikulum 2013 guru tidak perlu menjelaskan materi kepada peserta didik dan beranggapan guru hanya mendampingi, padahal banyak mata pelajaran yang harus tetap ada penjelasan dari guru

b) Banyak guru yang belum siap secara mental dengan kurikulum 2013

c) Kurangnya pemahaman guru dengan konsep pendekatan saintifik

d) Kurangnya keterampilan guru dalam merancang RPP e) Guru tidak banyak yang menguasai penilaian autentik. d. Tujuan dan fungsi kurikulum 2013

Mengenai tujuan dan fungsi Kurikulum 2013 secara spesifik mengacu pada Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang Sisdiknas ini disebutkan bahwa fungsi kurikulum ialah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara tujuannya adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang


(38)

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta tanggung jawab.

Menurut Fadlillah (2014: 25), tujuan kurikulum 2013 secara khusus diuraikan menurut sebagai berikut:

1) Meningkatkan mutu pendidikan dengan menyeimbangkan hard skill dan soft skill melalui kemampuan sikap, keterampilan, dan pengetahuan dalam rangka menghadapi tantangan global yang terus berkembang

2) Membentuk dan meningkatkan sumber daya manusia yang produktif, kreatif, dan inovatif sebagai modal pembangunan bangsa dan negara Indonesia

3) Meringankan tenaga pendidik dalam penyampaian materi dan menyiapkan administrasi mengajar

4) Meningkatkan peran serta pemerintah pusat dan daerah serta warga masyarakat secara seimbang dalam menentukan dan mengendalikan kualitas dalam pelaksanaan kurikulum di tingkat satuan pendidik

5) Meningkatkan persaingan yang sehat antar-satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.

2. Pendekatan Kontekstual

a. Pengertian Keterlaksanaan Pembelajaran Kontekstual

Keterlaksanaan berasal dari kata laksana, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:627) berarti sifat, laku, atau


(39)

perbuatan. Imbuhan keter-an menyatakan sesuatu hal atau peristiwa yang telah terjadi. Dengan demikian keterlaksanaan berarti sesuatu hal yang sudah dapat dilaksanakan. Dalam konteks ini sesuatu hal yang sudah dilaksanakan tersebut adalah pembelajaran kontekstual pada Sekolah Menengah Atas.

Pembelajaran kontekstual menurut Komalasari (2011:7), merupakan pendekatan pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata siswa sehari-hari, baik dalam lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, maupun warga negara. Tujuan dari pembelajaran ini adalah untuk menemukan makna materi tersebut bagi kehidupannya.

Menurut Rusnan (2011: 187), pembelajaran kontekstual adalah usaha untuk membuat siswa aktif dalam memompa kemampuan diri tanpa merugi dari segi manfaat. Siswa berusaha mempelajari konsep sekaligus mengkaitkan dan menerapkannya dalam dunia nyata.

Hal yang sedikit berbeda mengenai pengertian pembelajaran kontekstual disampaikan oleh Sanjaya (2006: 255), pembelajaran kontekstual dipahami sebagai suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan yang nyata, sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan keseharian mereka.


(40)

Pembelajaran kontekstual menurut Hosnan (2014:267), merupakan konsep belajar di mana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan dan ketrampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkontruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.

Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterlaksanaan pembelajaran kontekstual adalah suatu strategi pembelajaran yang yang telah dilaksanakan sekolah dengan melibatkan siswa secara aktif. Siswa dilatih untuk dapat menemukan dan memahami materi pembelajaran serta mendorong siswa untuk mampu mengkaitkan materi pembelajaran yang diperolehnya dari kegiatan belajar tersebut dengan kehidupan sehari-hari.

b. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual

Berdasarkan pengertian dari pembelajaran kontekstual, maka menurut Sanjaya (2006:256), ada 5 karakteristik penting dalam pembelajaran kontekstual, yaitu:

1) Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan sebelumnya, dengan


(41)

demikian pengetahuan yang diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh.

2) Pembelajaran dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru ini diperoleh dengan cara mempelajari secara keseluruhan terlebih dahulu, kemudian baru memperhatikan detailnya.

3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan hanya sekedar dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini.

4) Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman (applying knowledge). Siswa harus mampu mempraktikan pengetahuan dan pengalaman belajarnya dalam kehidupan sehari-hari mereka, sehingga akan ada perubahan perilaku yang mereka tunjukkan setelah proses belajar.

5) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Kegiatan ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan srtategi.

Karakteristik pembelajaran kontekstual juga dikemukakan oleh Fellows (2000) dalam Komalasari (2011: 10-11), dimana ada enam karakteristik yang diuraikan sebagai berikut:

1) Berbasis masalah (problem-based), dimana siswa dituntut untuk meggunakan kemampuan berpikir kritis serta


(42)

menggunakan beragai disiplin ilmu untuk mengkaji dan memecahkan suatu masalah atau isu yang berkaitan dengan kehidupan siswa dalam keluarga, sekolah, ataupun masyarakat. 2) Penggunaan berbagai konteks (using multiple contexts), pengalaman peserta didik diperkaya ketika mereka belajar ketrampilan di dalam berbagai konteks, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.

3) Penggambaran keanekaragaman siswa (drawing upon student diversity), peserta didik harus mampu bekerjasama dan menghormati perbedaan dan sejarah masing-masing, meluaskan perspektif, dan membangun keterampilan inter-personal.

4) Pendukung pembelajaran pengaturan diri (supporting self-regulated), dalam pembelajaran kontekstual perlu mempertimbangkan prinsip trial-error, menyediakan waktu dan struktur untuk refleksi, dan menyediakan cukup dukungan untuk membantu siswa pindah dari ketergantungan kepada belajar mandiri.

5) Penggunaan kelompok belajar yang saling ketergantungan (using interdependent learning groups), dalam praktiknya harus ada belajar kelompok atau masyarakat belajar untuk memperoleh berbagai pengetahuan, memusatkan pada tujuan,


(43)

dan memberi kesempatan semua anggota untuk saling belajar dan mengajar.

6) Memanfaatkan penilaian asli (employing authentic assessment), pembelajaran kontekstual dimaksudkan untuk membangun pengetahuan dan ketrampilan yang penuh makna dengan melibatkan para siswa dalam konteks kehidupan nyata, maka dalam penilaiannya juga harus autentik, sepanjang proses pembelajaan dan terhadap hasil pembelajaran.

Menurut Muslich (2007: 42), 7 karakteristik pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut:

1) Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran yang diarahkan pada ketercapaian keterampilan dalam konteks kehidupan nyata atau pembelajaran yang dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (learning in real life setting).

2) Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna (meaningful learning).

3) Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa (learning by doing).

4) Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi antarteman (learning in a group).

5) Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan, bekerjasama, dan saling memahami antara satu dengan yang lain secara mendalam (learning to know each other deeply).

6) Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan kerjasama (laerning to ask, to inquiry, to work, together).

7) Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan (learning as an enjoy activity).

Dari berbagai pandangan tentang karakteristik pembelajaran kontekstual yang dimuat dalam bukunya, Komalasari (2011: 13-15),


(44)

juga mengungkapkan pandangannya mengenai karakteristik pembelajaran kontekstual sebagai beriut:

1) Keterkaitan (relating). Dalam hal ini, proses pembelajaran memiliki keterkaitan dengan bekal pengetahuan (prerequisite knowledge) yang telah ada pada diri siswa dan dengan konteks pengalaman kehidupan dunia nyata siswa.

2) Pengalaman langsung (experience). Pembelajaran yang menerapkan pengalaman langsung adalah proses pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengontruksi pengetahuan dengan cara menemukan dan mengalami langsung.

3) Aplikasi (applying). Proses pembelajaran ini menekankan pada penerapan fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang dipelajari dalam situasi dan konteks lain yang berbeda sehingga bermanfaat bagi kehidupan siswa.

4) Kerjasama (cooperating). Proses pembelajaran mendorong kerjasama di antara siswa, antara siswa dengan guru dan sumber belajar. Kerjasama dapat dilakukan dengan kerja kelompok, saling bertukar pikiran, komunikasi interaktif antar sesama teman ataupun guru, dan bahkan juga penghormatan terhadap perbedaan dalam setiap individu.


(45)

5) Pengaturan diri (self-regulating). Proses pembelajaran mendorong siswa untuk mengatur diri dan pembelajarannya secara mandiri.

6) Asesmen autentik (authentic assessment). Pembelajaran mengukur, memonitor, dan menilai semua aspek hasil belajar (kognitif, afektif, psikomotor), baik yang tampak sebagai hasil akhir dari suatu proses pembelajaran maupun berupa perubahan dan perkembangan aktivitas, dan perolehan belajar selama proses proses pembelajaran di dalam kelas ataupun di luar kelas.

c. Prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual

Muslich (2007: 48-48), menyatakan beberapa prinsip dalam pembelajaran kontekstual yang harus diperhatikan oleh guru sebgai berikut:

1) Belajar pada hakekatnya adalah real-world learning, yaitu belajar dari kenyataan yang bisa diamati, dipraktikkan, dirasakan, dan diuji coba.

2) Belajar adalah mengutamakan pengalaman nyata, bukan pengalaman yang hanya diangan-angankan saja, yang tidak bisa dibuktikan secara empiris.

3) Belajar adalah berpikir tingkat tinggi, yaitu berpikir kriti yang mengedepankan siklus inquiry mulai dari mengamati, bertanya, mengajukan dugaan sementara (hipotesis),


(46)

mengumpulkan data, menganilisis data, sampai dengan merumuskan kesimpulan (teori).

4) Kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa, yaitu pembelajaran yang memberikan kondisi yang memungkinkan siswa melakukan serangkaian kegiatan secara maksimal. 5) Kegiatan pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa

untuk aktif, kreatif, dan kritis.

6) Kegiatan pembelajaran menghasilkan pengetahuan bermakna dalam kehidupan siswa.

7) Kegiatan pembelajaran harus dekat dengan kehidupan nyata. 8) Kegiatan pembelajaran harus bisa menunjukkan perubahan

perilaku siswa sesuai dengan yang diinginkan.

9) Kegiatan pembelajaran diarahkan pada praktik, bukan menghafal.

10)Pembelajaran harus bisa menciptakan siswa belajar (learning), bukan guru mengajar (teaching).

11)Sasaran pemebelajaran adalah pendidikan (education), bukan pengajaran (instruction).

12)Pembelajaran diarahkan pada pembentukan perilaku “manusia” yang membudaya.

13)Strategi pembelajaran diarahkan pada pemecahan masalah, sehingga siswa lebih berpikir kritis.


(47)

14)Situasi pembelajaran dikondisokan agar siswa lebih banyak bertindak (acting), sedangkan tugas guru adalah mengarahkan. 15)Hasil belajar diukur dengan berbagai cara, bukan hanya

dengan tes tertulis.

d. Komponen Pembelajaran kontekstual

Pembelajaran kontekstual memiliki 7 komponen utama yang harus dikembangkan. Berikut 7 komponen dalam pembelajaran kontekstual yang dikemukakan Ditjen Dikdasmen (2003: 10-19) dalam Komalasari (2011: 11-13):

1) Konstruktivisme (constructivism).

Kontruktivisme adalah proses membangun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Pembangunan penegetahuan dilakukan sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Manusia harus membangun pengetahuan tersebut, dan memberi makna melalui pengalaman yang nyata dalam kehidupannya. Pengetahuan yang terbangun bukan hanya dari objek yang dipelajari, tetapi juga dari kemampuan siswa sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya.

Piaget dalam Sanjaya (2006: 264), menyatakan hakekat kontruktivisme pengetahuan sebagai berikut:


(48)

a) Pengetahuan merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

b) Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.

c) Struktur konsepsi konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman seseorang.

2) Menemukan (inquiry).

Proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh diharapkan bukan hanya hasil dari mengingat seperangkat fakta, melainkan hasil dari penemuan sendiri. Proses sistematis yang dimaksud adalah: (1) observasi, (2) bertanya, (3) mengajukan dugaan, (4) mengumpulkan data, dan (5) penarikan kesimpulan.

3) Bertanya (questioning).

Penggalian informasi lebih efektif apabila dilakukan melalui kegiatan bertanya. Konfirmasi terhadap apa yang sudah diketahui juga akan lebih efektif melalui kegiatan tanya-jawab.

Menurut Sanjaya (2006: 266), belajar pada hakekatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat


(49)

dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir dan menaggapi suatu masalah.

Menurut Komalasari (2011: 12), kegiatan bertanya bagi guru dipandang sebagai kegiatan untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa bertanya merupakan bagian penting dalam melakukan inquiry, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.

4) Masyarakat belajar (learning community)

Pada komponen ini menyatakan bahwa hasil belajar sebaiknya diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Guru harus membiasakan siswa untuk melakukan kerjasama dan memanfaatkan sumber belajar dari teman-teman belajarnya, yang tentu saja tidak hanya teman kelas tetapi dalam cakupan yang lebih luas atau masyarakat belajar lain di luar kelas.

Hasil belajar dapat diperoleh dengan sharing antarteman, antarkelompok, dan antara yang tahu dan yang tidak tahu, baik di dalam maupun di luar kelas (keluarga dan masyarakat). Ketika siswa dibiasakan untuk menerima dan memberikan pengalan yang luas kepada orang lain, maka saat itu pula siswa akan mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dan nyata.


(50)

5) Pemodelan (modelling)

Pemodelan yang dimaksud adalah dalam proses pembelajaran diperlukan kegiatan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Dalam hal ini guru bisa menjadi model untuk memberikan pemahaman terhadap siswa, misalnya dengan menunjukkan cara mengoperasikan suatu alat. Tetapi guru bukan satu-satunya model, artinya model dapat dirancang dengan melibatkan siswa, atau bahkan mendatangkan seorang ahli tentang suatu materi dari luar sekolah.

Kegiatan pemodelan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang lebih nyata kepada siswa, atau sebagai alternatif untuk mengembangkan pembelajaran agar siswa bisa memenuhi harapannya secara menyeluruh, dan membantu mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh guru.

6) Refleksi (reflection)

Menurut Sanjaya (2006: 268), refleksi adalah proses pengandapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dialami atau dilakukan.

Pada saat refleksi, siswa diberi kesempatan untuk mencerna, menimbang, mambandingkan, menghayati, dan melakukan diskusi dengan dirinya sendiri (learning to be).


(51)

Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari suatu proses yang bermakna pula, yaitu melalui penerimaan, pengolahan, dan pengendapan untuk kemudian dapat dijadikan sandaran dalam menanggapi gejala yang muncul kemudian.

7) Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)

Penilaian keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi perkembangan seluruh aspek. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan semata hasil, dan dengan berbagai cara. Penilaian dapat berupa penilaian tertulis, dan penilaian berdasarkan perbuatan, penugasan, produk, atau portofolio.

Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan selama terus-menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, tekanan penilaian diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.


(52)

3. Komunikasi

a. Pengertian Komunikasi

Untuk dapat memahami suatu pembelajaran diperlukan interaksi baik antara guru dengan murid, maupun murid dengan murid yang lain. Dengan kata lain dibutuhkan komunikasi yang baik untuk mendukung keberhasilan pembelajaran, berikut disajikan beberapa pengertian mengenai komunikasi menurut para ahli.

Menurut Hutagalung (2007: 65-66) komunikasi merupakan suatu arus pesan melalui suatu saluran dari sumber pesan atau informasi menuju penerima pesan. Komunikasi merupakan suatu proses yang rumit meski untuk penyampaian pesan yang sederhana, karena untuk dapat menyampaikan pesan dengan baik komunikasi harus melibatkan seluruh rasa, pengalaman, emosi dan kecerdasan.

Menurut Supratiknya (1995:30), komunikasi adalah setiap bentuk tingkah laku seseorang baik verbal maupun nonverbal yang ditanggapi oleh orang lain. Pengertian ini diperjelas oleh Effendy (2000: 13) dalam Khairani (2015:6), dijelaskan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang-lambang yang bermakna bagi kedua pihak (pengirim dan penerima pesan). Dalam situasi tertentu dalam melakukan komunikasi diperlukan


(53)

penggunaan media tertentu untuk merubah sikap atau tingkah laku seseorang atau sejumlah orang sehingga ada efek tertentu yang diharapkan.

Pengertian yang lebih sederhana disampaikan oleh Handoko (2002: 30) dalam Khairani (2015: 6), disampaikan bahwa komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan, informasi dari seseorang ke orang lain.

Berdasarkan beberapa pengertian komunikasi di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian informasi, ide, maupun gagasan kepada pihak lain, baik secara langsung ataupun menggunakan media pendukung agar pesan tersampaikan sesuai tujuan yang dimaksud oleh pemberi pesan. b. Keterampilan Dasar Berkomunikasi

Agar mampu memulai, mengembangkan dan memelihara komunikasi yang akrab, hangat, dan produktif dengan orang lain seseorang perlu memiliki sejumlah keterampilan dasar berkomunikasi. Menurut Johnson (1981) dalam Supratiknya (1995:11) keterampilan dasar berkomunikasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Mampu saling memahami.

Kemampuan untuk saling memahami akan tumbuh jika seseorang memiliki sikap percaya, pembukaan diri, keinsyafan diri, dan penerimaan diri. Membuka diri


(54)

kepada orang lain dan mendengarkan dengan penuh perhatian ketika orang lain sedang membuka diri kepada kita akan menjadi cara yang paling efektif untuk membangun sebuah komunikasi.

2) Mampu mengkomukasikan pikiran dan perasaan secara tepat dan jelas.

Untuk dapat mengkomunikasikan pikiran dan perasaan dalam sebuah komunikasi diperlukan sikap hangat dan rasa senang serta kemampuan mendengarkan untuk menunjukkan bahwa kita juga memahami lawan berkomunikasi kita

3) Mampu saling menerima dan saling memberikan dukungan atau saling menolong.

Dalam berkomukasi kita juga harus mampu menerima memberikan dorongan kepada lawan komunikasi, agar mereka juga dapat menemukan pemecahan yang konstruktif terhadap masalah yang sedang dikomunikasikan.

4) Mampu memecahkan konflik dan bentuk-bentuk masalah antarpribadi lain yang mungkin muncul dalam komunikasi dengan cara yang konstruktif.


(55)

Pemecahan konflik akan terjadi apabila kita mampu mendekatkan diri dengan lawan komunikasi sehingga komunikasi kita semakin tumbuh dan berkembang. c. Jenis-jenis komununikasi

Burgon dan Huffner (2002) dalam Khairani (2015: 14), membuat klasifikasi jenis komunikasi sebagai berikut:

1) Komunikasi interpersonal, yaitu proses komunikasi yang terjadi di dalam diri individu (internal). Contohnya adalah kegiatan merenung, berpikir, berdialog dengan diri sendiri, baik dalam keadaan sadar maupun tidak.

2) Komunikasi interpersonal, yaitu proses komunikasi yang terjadi antara satu individu dengan individu lain sehingga memerlukan tanggapan (feedback) dari orang lain. Contohnya, perbincangan dengan keluarga, pasanga, teman, rekan kerja, tetangga, dan sebagainya.

3) Komunikasi massa, yaitu proses komunikasi yang dilakukan kepada sekumpulan manusia dimana di dalamnya terdapat proses sosial, baik melalui media massa atau langsung, dan bersifat satu arah (one way communication). Contohnya adalah kegiatan komunikasi (penyebaran informasi) yang terjadi dihadapan sekumpulan massa, melalui televisi, radio, media internet, media cetak, dan lain-lain.

Dalam komunikasi di sekolah yang banyak digunakan adalah jenis komunikasi interpersonal, dimana dibutuhkan feedback dari orang lain. Komunikasi ini bisa terjadi antara guru dengan murid, ataupun antara murid dengan murid untuk saling bertukar informasi dan memberikan pengetahuan.


(56)

Dengan komunikasi orang dapat membentuk saling pengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan ilmu pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Dengan kata lain, komunkasi mempunyai beberapa fungsi tersendiri dalam kehidupan sosial manusia. Khairani (2015: 15-16), mengemukakan beberapa fungsi komunikasi sebagai berikut: 1) Fungsi kendali. Sebagai fungsi kendali, komunikasi bertindak

untuk mengendalikan perilaku anggota dalam beberapa cara. 2) Fungsi motivasi. Komunikasi membantu perkembangan

motivasi dengan mejelaskan kepada orang lain apa yang harus dilakukan, bagaimana mereka harus bertindak dengan baik, dan apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kinerja.

3) Fungsi pengungkapan emosional. Komunikasi yang terjadi dalam suatu kelompok merupakan mekanisme fundamental dimana anggota kelompok dapat menunjukkan dan mengekspresikan emosi mereka, baik itu kekecewaan, kepuasan, ataupun kegembiraan.

4) Fungsi informasi. Dalam hal ini komunikasi memberikan informasi yang diperlukan individu dan kelompok untuk mengambil keputusan dengan meneruskan menggunakan data guna memilah dan menilai beberapa pilihan alternatif.


(57)

Agar komunikasi dapat berjalan dengan baik dan tujuan dari komunikasi dapat tersampaikan ada tiga aspek utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan berkomunikasi. Santrock (2009: 273-283), menyampaikan tiga aspek utama dalam komunikasi adalah keterampilan berbicara, keterampilan mendengarkan, dan komuniksi nonverbal.

1) Keterampilan berbicara

Keterampilan berbicara berarti berhubungan dengan keterampilan seseorang dalam menyampaikan isi pesan (informasi, ide, gagsan, pesan, dll) agar isi pesan tersebut dapat diterima pihak penerima pesan dengan baik, dan tujuan dari pesan tercapai. Menurut Florez (1999) dalam Santrock (2009: 273), beberapa strategi agar seseorang dapat berbicara dengan dengan jelas adalah sebagai berikut:

a) Mengungkapakan tata bahasa yang benar. Isi pesan dalam kegiatan komunikasi haus disampaikan dalam tata bahasa yang benar agar tidak terjadi kesalahan dalam pemahaman, atau terjadi makna yang ambigu dalam isi pesan yang disampaiakan.

b) Memilih kosa kata yang bisa dimengerti dan sesuai untuk level siswa. Pemilihan kosa kata juga harus diperhatikan, gunakan kata yang sederhana dan mudah dimengerti, atau jika menggunakan kata saduran dari bahasa asing pastikan


(58)

bahwa audience atau penerima pesan mengerti kata tersebut dengan baik.

c) Menerapkan strategi guna meningkatkan kemampuan siswa untuk memahami apa yang dikatakan, seperti menekankan kata kunci, menyususn ulang kata-kata, atau memantau pemahaman siswa

d) Berbicara pada kecepatan yang sesuai. Dalam melakukan komunikasi untuk menyampaikan pesan maka harus bisa mengkontrol kecepatan dalam berbicara, artinya tidak terlalu cepat dan tidak juga terlalu lambat.

e) Benar dalam komunikasi dan menghindari sesuatu yang tidak jelas.

f) Menggunakan perencanaan dan keterampilan berpikir logis yang baik, sebagai fondasi berbicara secara jelas di kelas. 2) Keterampilan mendengarkan

Dalam komunikasi kegiatan mendengarkan juga menjadi aspek penting untuk menentukan keberhasilan proses komunikasi. Dengan mendengarkan secara aktif, yaitu memberikan perhatian penuh kepada pembicara, berfokus pada isi intelektual dan emosional dari pesan, maka seseorang akan mendapatkan banyak manfaat dari pelajaran dan akan memiliki hubungan sosial yang lebih baik.


(59)

Berikut adalah beberapa strategi untuk mengembangkan keterampilan mendengarkan:

a) Memperhatikan orang yang berbicara. Dengan memperhatikan berarti menujukkan sikap bahwa kita tertarik dengan apa yang disampaikan oleh pembicara. Pertahankan kontak mata dan condongkan badan ke depan ketika orang lain berbicara.

b) Memparafrasakan. Ini berarti sebagai pendengar harus juga menyatakan apa yang baru saja dikatakan orang lain dalam kata-kata kita sendiri, untuk menegaskan sesuatu yang penting.

c) Mensintesiskan tema dan pola. Sebagai pendengar aktif yang baik perlu juga menyatukan ringkasan tema utama dan perasaan yang diungkapakan oleh pembicara selama percakapan tersebut cukup panjang.

d) Memberikan umpan balik dengan cara yang kompeten. Menjadi pendengar yang baik harus mampu memberikan umpan balik dengan cepat, jujur, jelas, dan informatif. Umpan balik yang diberikan bisa berupa umpan balik verbal maupun nonverbal. Hal ini bertujuan untuk memberikan pembicara ide tentang seberapa banyak kemajuan yang dibuat pembicara dalam mengkomunikasikan suatu poin dengan jelas.


(60)

3) Komunikasi nonverbal

Komunikasi nonverbal akan mendukung komunikasi verbal, atau dapat juga menggantikan komunikasi verbal sendiri. Berikut beberapa contoh komunikasi nonverbal yang sering dilakukan seseorang:

a) Mengangkat alis, sebagai tanda perasaan ragu atau tidak percaya

b) Mendekap lengan untuk mengasingkan atau melindungi diri

c) Mengedipakan mata untuk menunujukkan kehangatan atau persetujuan

d) Mengangkat bahu ketika merasa tidak tertarik e) Memukul dahi ketika lupa akan sesuatu f) Mengangguk sebagai tanda persetujuan 4. Integritas Pribadi (Kejujuran)

a. Pengertian Integritas Pribadi (Kejujuran)

Yaumi (2014:67), Integritas adalah suatu konsep tentang konsistensi tindakan, nilai-nilai, metode, ukuran, prinsip-prinsip, harapan, dan hasil. Dalam hubungannya dengan etika, integritas selalu dirujuk pada kejujuran, kepercayaan, atau ketepatan. Integritas adalah keselarasan antara etika dan moralitas, semakin terintegrasi, semakin tinggi level integritas yang ada. Dengan demikian, integritas dapat menghasilkan sifat keteladanan seperti


(61)

kejujuran, etika, dan moral. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:437), integritas merupakan mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan. Integritas juga diartikan sebagai kejujuran.

Berdasarkan pengertian interitas di atas, penelitian ini berfokus pada salah satu sifat keteladanan dalam integritas yaitu kejujuran. Kejujuran merujuk pada suatu karakter moral yang mempunyai sifat-sifat positif, penuh kebenaran, dan lurus sekaligus tiadanya bohong, curang, ataupun mencuri. Kejujuran saat ini menjadi barang langka baik dalam dunia pendidikan, politik, perdagangan, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya kejujuran diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari seperti di sekolah agar siswa mempunyai pribadi yang baik dan tidak mau untuk merugikan orang lain, seperti: korupsi atau mendapatkan nilai ujian yang bagus dengan cara mencontek.

Menurut Kodsinco (2011:1-2) dalam Yaumi (2014: 65-66), menguraikan beberapa hakikat dari kejujuran, sebagai berikut:

1) Ketika kita mengatakan benar, kita sedang melakukan kejujuran.

2) Kita melakukan kejujuran ketika kita bertindak sesuai dengan yang dipikirkan.


(62)

3) Kita jujur ketika mengatakan yang benar sekalipun orang lain tidak setuju.

Menurut Kesuma, dkk (2011: 16), jujur merupakan keputusan seseorang untuk mengungkapkan bahwa realitas yang ada tidak dimanipulasi dengan cara berbohong atau menipu orang lain untuk keuntungan dirinya. Ungkapan tersebut dapat berupa ungkapan dalam bentuk perasaan, kata-kata, dan perbuatan.

Pengertian tentang kejujuran sendiri diungkapakan oleh Rachman dan Sofan (2012:388) dalam Yaumi (2014:87), yang berpendapat bahwa jujur adalah kesesuaian ucapan yang dikemukakan dengan kenyataan atau fakta, dikemukakan dengan kesadaran dari dalam hati.

Kejujuran menurut Yaumi (2014: 87-89) sendiri diartikan sebagai kesesuaian antara ucapan lisan dengan perbuatan. Kejujuran juga dapat diyakini sebagai suatu kesesuaian antara yang lahir dan yang batin. Jujur adalah perilaku seseorang yang menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka makna kejujuran adalah sebagai berikut:

1) Kesesuaian antara yang lahir dan yang batin

2) Perkataan, tindakan, dan pekerjaan dapat dipercaya 3) Perbuatan tulus, ikhlas, benar, setia, adil, dan lurus.


(63)

4) Pikran, perasaan, dan perbuatan yang benar

5) Sesuatu yang benar yang dikemukakan dengan kesadaran dari dalam hati.

Ciri-ciri orang jujur menurut Kesuma, dkk (2011: 17), adalah sebagai berikut:

1) berinisiatif untuk melakukan sesuatu, tekadnya adalah kebenaran

2) berkata tidak berbohong (benar apa adanya)

3) adanya kesamaan antara yang dikatakan hatinya dengan apa yang dilakukannya.

b. Karakter-karakter yang Baik

Mengacu pada teori “Virtues” Lickona (2014: 74-87) pengembangan nilai kejujuran pada diri siswa dimulai dari proses pemahaman tentang nilai-nilai kejujuran (moral knowing), kemudian mampu merasakan nilai-nilai kejujuran (moral feeling), dan akan melahirkan tindakan/perbuatan jujur (moral action). Adapun penjelasan tentang nilai-nilai kejujuran tersebut antara lain: 1) Pengetahuan Moral (moral knowing)

Ada beragam pengetahuan moral yang dapat dimanfaatkan untuk menjadi tujuan pendidikan karakter:

a) Kesadaran moral

Kesadaran moral adalah tanggung jawab untuk menggunakan akal dan melihat kapan sebuah situasi


(64)

membutuhkan penilaian moral kemudian memikirkan dengan cermat pertimbangan apakah yang benar untuk tindakan tersebut.

b) Mengetahui nilai-nilai moral

Nilai moral seperti menghormati kehidupan dan kemerdekaan, bertanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keadilan, toleransi, sopan santun, disiplin diri, integritas, belas kasih, kedermawanan, dan sopan santun adalah faktor penentu dalam membentuk pribadi yang baik. c) Pengambilan perspektif

Pengambilan perspektf adalah kemampuan untuk mengambil sudut pandang orang lain, melihat situasi dari sudut pandang orang lain, membayangkan bagaimana mereka berpikir, bereaksi, dan merasa.

d) Penalaran moral

Penalaran moral adalah memahami makna sebagai orang yang bermoral dan mengapa kita harus bermoral.

e) Membuat keputusan

Keterampilan pengambilan keputusan reflektif adalah mampu memikirikan langkah yang mungkin akan diambil seseorang yang sedang menghadapi persoalan moral.


(65)

f) Memahami diri sendiri

Memahami diri sendiri merupakan pengetahuan moral yang paling sulit dikuasai, tetapi penting bagi pengembangan karakter. Untuk menjadi orang yang bermoral diperlukan kemampuan mengulas perilaku diri sendiri dan mengevaluasi secara kritis.

2) Perasaan Moral (moral feeling)

Ada beberapa aspek moral emosional berikut ini, antara lain:

a) Hati nurani

Hati nurani memiliki dua sisi yaitu sisi kognitif dan sisi emosional. Sisi kognitif menuntun kita dalam menentukan hal yang benar, sedangkan sisi emosional menjadikan kita merasa berkewajiban untuk melakukan hal yang benar. b) Penghargaan diri (self-esteem)

Dalam pengembangan penghargaan diri yang positif harus berdasarkan nilai-nilai seperti tanggung jawab, kejujuran, dan keluhuran budi, serta keyakinan terhadap kapasitas untuk menjadi orang baik.

c) Empati

Empati adalah kemampuan mengenali, atau merasakan, keadaan yang tengah dialami orang lain.


(66)

Ciri lain dari bentuk karakter yang tertinggi adalah ketertarikan murni, yang tidak dibuat-buat ada kebaikan. Jika orang mencintai kebaikan, mereka akan merasa senang melakukan kebaikan.

e) Kontrol diri

Kontrol diri merupakan pekerti moral yang penting. Kontrol diri dapat menjadi pengendali emosi, karena jika tidak dapat mengontrol diri, emosi dapat menghanyutkan akal.

f) Kerendahan hati

Kerendahan hati merupakan pekerti moral yang kerap diabaikan padahal pekerti ini merupakan bagian penting dari karakter yang baik. Kerendahan hati adalah bagian dari pemahaman diri.

3) Tindakan Moral (moral action)

Dalam tindakan moral terdapat tiga aspek yaitu kompetensi, kemauan, dan kebiasaan.

a) Kompetensi

Kompetensi moral adalah kemampuan mengubah pertimbangan dan perasaan moral ke dalam tindakan moral yang efektif.

b) Kemauan

Kemauan diperlukan untuk menjaga emosi agar tetap terkendali oleh akal. Kemauan juga dibutuhkan untuk


(67)

melihat dan memikirkan suatu keadaan melalui seluruh dimensi moral.

c) Kebiasaan

Kebiasaan merupakan faktor pembentuk perilaku moral. 5. Minat Belajar

a. Pengertian minat

Salah satu kunci keberhasilan pembelajaran terletak pada peserta didik yang menjadi pusat dari kegiatan belajar-mengajar, dimana diperlukan minat untuk dapat mendorong peserta didik mengikuti pembelajaran dengan baik.

Menurut Slameto (2010: 180), minat diartikan sebagai suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Selanjutnya dituliskan bahwa pada dasarnya minat adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, maka semakin besar minat yang dimiliki.

Secara lebih sederhana minat menurut Syah (2003:151) adalah kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa dalam bidang-bidang studi tertentu.

Menurut Khairani (2015: 90), minat adalah gejala psikologis yang menunukkan adanya pengertian subjek terhadap objek yang menjadi sasaran. Objek tersebut menarik perhatian dan


(68)

menimbulkan perasaan senang sehingga cenderung kepada subjek tersebut.

Hurlock (1978:114), minat merupakan sumber motivasi yang mendorong orang untuk melakukan apa yang mereka inginkan bila mereka bebas memilih. Bila mereka melihat bahwa sesuatu akan menguntungkan, mereka merasa berminat. Ini kemudian mendatangkan kepuasan. Bila kepuasan berkurang, minat pun berkurang. Sebaliknya, kesenangan merupakan minat yang sementara. Sehingga minat tidak bersifat permanen, tetapi minat bersifat sementara atau dapat berubah-ubah. Minat merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan yang nantinya dapat mendatangkan kepuasan, yang mana kepuasan itu akan mempengaruhi kadar minat seseorang.

Minat menurut Winkel (2007:212) lebih diartikan sebagai kecenderungan subjek yang menetap, untuk merasa tertarik pada bidang studi atau pokok bahasan tertentu. Subjek akan merasa merasa senang mempelajari materi itu.

Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa minat adalah suatu gejala psikologis yang mendorong seseorang untuk mengungkapkan perasaan ketertarikan terhadap sesuatu. Ungkapan tersebut akan dilakukan secara sadar dan menimbulkan perasaan senang serta seseorang akan mendalami sesuatu yang menjadi objek dari minat tersebut.


(69)

b. Aspek-aspek Minat

Hurlock (1978:116-118). Semua minat mempunyai aspek, yaitu aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif didasarkan atas konsep yang dikembangkan anak mengenai bidang yang berkaitan dengan minat sedangkan aspek afektif adalah aspek yang dinyatakan dalam sikap terhadap kegiatan yang ditimbulkan oleh minat

c. Faktor-faktor yang Mempenggaruhi Minat

Menurut Hurlock (1978: 114-117), terdapat berbagai faktor yang menyebabkan perubahan dalam minat pada sekolah atau pendidikan. Faktor yang mempenggaruhi minat terdiri dari faktor

internal dan faktor eksternal.

1) Faktor internal

a) Perasaan Senang

Seorang siswa yang memiliki perasaan senang atau suka terhadap suatu mata pelajaran, maka siswa tersebut akan terus mempelajari ilmu yang disenanginya. Tidak ada perasaan terpaksa pada siswa untuk mempelajari bidang tersebut.

b) Perasaan gembira

Seorang siswa yang memiliki perasaan gembira dalam setiap kegiatan yang dilakukan. Para siswa akan merasa


(70)

lebih menyenangkan dalam melakukan setiap kegiatan dan merasa tidak sopan.

c) Merasa terpenuhi kebutuhannya

Setiap minat memuaskan suatu kebutuhan dalam kehidupan para siswa. Jadi semakin kuat kebutuhan ini, semakin kuat dan bertahan pada minat tersebut.

d) Kepuasan pribadi

Jika seorang siswa merasa mengikuti kegiatan dengan senang dan tidak membosankan dan siswa tersebut merasa kegiatan tersebut memberikan keuntungan pribadi atau kepuasan, maka akan muncul minat terhadap kegiatan tersebut.

e) Rasa keingintahuan

Bila para siswa terus-menerus bertanya mengenai sesuatu, minatnya pada hal tersebut lebih besar daripada minatnya pada hal yang hanya sekali-kali ditanyakan.

f) Rajin membaca

Jika para siswa rajin membaca dan memilih buku untuk dibaca atau dibacakan, anak memilih yang membahas topik yang menarik minatnya.


(71)

g) Mengekpresikan apa yang diinginkan

Jika seorang siswa sering menggambarkan atau melukis secara spontan dan seberapa sering mereka mengulangnya ini menunjukkan bahwa mereka berminat terhadap apa yang mereka gambarkan.

2) Faktor eksternal

Kondisi yang mempenggaruhi minat anak pada sekolah Hurlock (1978:139), antara lain:

a) Pengalaman dini di sekolah

Para siswa yang secara fisik dan intelektual telah siap untuk kelas satu mempunyai sikap yang lebih positif terhadap sekolah dibandingkan anak yang belum siap untuk sekolah. Pengalaman di kelompok bermain dan taman kanak-kanak mempermudah penyesuaian dan menjadikan pengalaman dini di sekolah lebih menyenangkan.

b) Pengaruh orang tua

Orang tua mempengaruhi sikap anak terhadap sekolah secara umum dan juga sikap mereka terhadap pentingnya pendidikan, belajar, terhadap berbagai mata pelajaran, dan terhadap para guru.


(72)

Saudara kandung yang lebih besar mempunyai pengaruh yang sama pada sikap anak terhadap sekolah seperti orang tua. Sebaliknya, sikap saudara kandung yang lebih muda relative tidak penting.

d) Sikap teman sebaya

Minat dan sikap terhadap sekolah secara umum dan terhadap berbagai kegiatan sekolah sangat diarahkan oleh teman sebaya.

e) Penerimaan oleh kelompok dan teman sebaya

Karena bagian hari-hari sekolah yang disukai berpusat kegiatan ekstrakurikuler dengan teman sebaya, hubungan yang baik dengan guru dan nilai yang bagus tidak dapat mengimbangi kurangnya penerimaan oleh teman sebaya. f) Keberhasilan akademik

Besarnya pengaruh keberhasilan akademik pada sikap anak terhadap sekolah akan bergantung pada besarnya nilai keberhadilan akademik dalam kelompok teman sebaya.


(73)

Anak yang dibesarkan oleh orang tua yang berpendapat bahwa masa kanak-kanak harus bahagia dan bebas, biasanya mengembangkan sikap negatif terhadap setiap kegiatan yang menyerupai pekerjaan.

h) Hubungan guru dan murid

Banyak atau sedikitnya minat anak terhadap sekolah dipengaruhi sikapnya terhadap guru.

i) Suasana emosional sekolah

Suasana emosional sekolah dipengaruhi sikap guru dan jenis disiplin yang digunakan.

B. Kerangka Berpikir

1. Hubungan antara tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dengan keterampilan berkomunikasi.

Pembelajaran kontekstual berdasarkan karakteristik dan komponen utamanya menuntut siswa untuk memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik. Apabila pelaksanaan pembelajaran kontekstual berjalan dengan baik, strategi pembelajaran ini akan semakin mengasah keterampilan berkomunikasi. Hal ini didasarkan pada kegiatan pembelajaran kontekstual yang berfokus kepada siswa yang menjadi tokoh utama dalam pembelajaran. Untuk dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber dan menyampaikan


(74)

temuannya, mau tidak mau siswa harus selalu mengasah keterampilan komunikasi dalam dirinya.

2. Hubungan antara tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dengan integritas pribadi.

Pembelajaran kontekstual menuntut dan mengajarkan peserta didik untuk selalu jujur dalam kegiatan pembelajaran. Dalam setiap kegiatannya sikap jujur harus ditonjolkan baik dalam proses perolehan informasi, penyampaian materi, sampai pada pembuatan refleksi pembelajaran. Peserta didik senantiasa diajarkan untuk bersikap jujur kepada diri sendiri dan orang lain, agar apa yang dipelajarinya dapat dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari dengan baik. Hal ini juga berkaitan dengan penilaian autentik yang dilaksanakan dalam pembelajaran kontekstual, peserta didik akan dinilai berdasarkan proses dari awal hingga akhir yang mengajarkan peserta didik untuk jujur agar hasil penilaian selalu sinkron antara proses dan hasil akhirnya.

3. Hubungan antara tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dengan minat belajar.

Pembelajaran kontekstual yang senantiasa mengkaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa akan mendukung dan merangsang tumbuhnya minat belajar siswa. Dengan


(75)

pembelajaran semacam ini, peserta didik akan dengan mudah memahami materi yang sedang di bahas karena pengetahuan yang didapat tidak hanya bersifat abstrak. Dengan demikian peserta didik akan merasa senang mengikuti jalannya kegiatan pembelajaran. Hal lain yang dapat menumbuhkan minat belajar siswa dalam pembelajaran kontekstual adalah dengan adanya pemodelan, hal ini akan membuat peserta didik menjadi tidak bosan karena sumber informasi tidak hanya didapat dari membaca buku tetapi dengan melihat, mendengar, dan bahkan bisa menyentuh dan melakukan hal yang sedang dipelajari.

C. Hipotesis Penelitian Hipotesis 1

H01 = Tidak ada hubungan positif tingkat keterlaksanaan pembelajaran

kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dengan keterampilan berkomunikasi.

Ha1 = Ada hubungan positif tingkat keterlaksanaan pembelajaran

kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dengan keterampilan berkomunikasi.

Hipotesis II

H02 = Tidak ada hubungan positif tingkat keterlaksanaan pembelajaran

kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dengan integritas pribadi.


(1)

193 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

(3)

195

LAMPIRAN X

Surat Keterangan Selesai Penelitian


(4)

(5)

197 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(6)

Dokumen yang terkait

Hubungan tingkat keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi Akuntansi dengan kecerdasan emosional dan keterampilan berpikir kreatif siswa : survey pada siswa kelas XII IIS SMA di wilayah Kabupaten Bantul yang menerapkan kurikulum 2013.

0 0 165

Hubungan tingkat keterlaksanaan pembelajaran aktif pada materi Akuntansi dengan kecerdasan emosional dan keterampilan berpikir kreatif siswa : survei pada siswa kelas XII IIS di SMA N 1 Wates, SMA N 2 Wates, dan SMA N 1 Sentolo di Kabupaten Kulonprogo.

0 18 171

Hubungan tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2006 dengan keterampilan berkomunikasi, integritas pribadi, dan minat belajar siswa.

0 0 2

Hubungan tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi Akuntansi berdasarkan kurikulum 2006 dengan keterampilan berkomunikasi, integritas pribadi dan minat belajar peserta didik : survei pada lima SMA di wilayah Kota Yogyakarta.

0 2 199

Hubungan tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2006 dengan keterampilan berkomunikasi, integritas pribadi, dan minat belajar siswa.

0 2 229

Hubungan tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada Materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2006 dengan keterampilan berkomunikasi, integritas pribadi, dan minat belajar peserta didik : survei pada lima SMA di Kabupaten Gunungkidul.

0 0 211

Hubungan tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dengan keterampilan berkomunikasi, integritas pribadi, dan minat belajar siswa: survei pada siswa Kelas XII IIS SMA Negeri di Kabupaten Bantul.

0 0 232

Hubungan tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2013 dengan keterampilan berkomunikasi, integritas pribadi, dan minat belajar siswa.

5 14 226

Hubungan tingkat keterlaksanaan pembelajaran kontekstual pada materi akuntansi berdasarkan kurikulum 2006 dengan Keterampilan berkomunikasi, integritas pribadi, dan minat belajar siswa.

0 0 205

Hubungan antara persepsi siswa tentang kompetensi guru akuntansi dan kepuasan belajar siswa : survai pada siswa di SMA Negeri 1 Wates, Negeri 2 Wates, dan BOPKRI 1 Wates tahun ajaran 2012/2013.

0 3 186