sebagai suami isteri tentu kesempatan baru untuk punja anak jang betul² titisan darah kita masih ada.”
Aku memperhatikan wadjah Oom Djon tadjam². Dia mengerti lalu katanja: “Tunggu dulu. Djangan terus marah. Aku tidak bermaksud mentjemoohkan
perkawinanmu. Tjuma kalau aku seperti kau, supaja anak jang dilahirkan isteriku adalah anak titisan darahku jang sebenarnja, itu sadja maksudku.”
Kulihat dari tjaranja dia bersandar keterali kapal dan gelagatnja bicara, djelas dia sudah agak banjak minum dan mulai mabuk. PB:132
Kegagalan Oom Djon mengatasi masalahnya menempatkan Oom Djon sebagai subjek individual. Oom Djon, Ibu Ratna, Pakcik Fat, dan Makcik Fat
merupakan orang-orang yang gagal menjadi subjek transindividual dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Hal itu tidak terjadi dalam aktivitas tokoh Aku yang
mampu mengatasi masalah diri sendiri, keluarga, dan masyarakatnya. Bahkan, tokoh Aku sebagai subjek transindividual yang melaksanakan berbagai fakta sosial merasa
senasib dan sepenanggungan dengan masyarakat untuk memulihkan keadaan kota dari amuk bencana tanah longsor.
4.4.4 Pandangan Dunia
Tokoh-tokoh dalam novel PB karya Bokor Hutasuhut merupakan penduduk Kota Sibolga dan perantau yang telah beradaptasi dengan keadaan penduduk Kota
Sibolga. Tokoh Aku sebagai perantau yang semula bermaksud menuruti nasihat dokter agar beristirahat di daerah yang tenang, akhirnya terlibat dengan persoalan
penduduk setempat. Bahkan, tokoh Aku menjadi penduduk setempat karena menikahi Fat yang sedang mengandung janin hasil pemerkosaan terhadap dirinya.
Perbuatan tokoh Aku menikahi Fat tanpa upacara adat dianggap tidak sah. Apalagi tokoh Aku adalah orang Toba. Orang Toba memiliki kepatuhan terhadap
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
hukum adat. Oleh karena itu, begitu ibunya datang, maka ibunya langsung mengutarakan niat untuk mengadati perkawinan anak laki-lakinya itu. Hal ini terekam
dalam kutipan berikut ini. Kupanggil ibu dan sekaligus diiringi ayah, paktjik dan maktjik. Ibu tjepat²
mendapatkan Fat dan mengatakan: ”Akulah mertuamu perempuan. Kau akan sehat kembali. Kau akan kubawa ke-Toba. Perkawinan kalian akan kami adati
sekaligus menamai tjutjuku . Karena itu, tjepat-tjepatlah sembuh,” dan ibu berusaha menjunggingkan senjum dibibirnja. PB:140
Di dalam pandangan dunia Batak Toba, perkawinan yang dilakukan oleh tokoh Aku tidak sah sebelum diadakan pesta adat, mangadati. Bagi orang Batak,
perkawinan merupakan lembaga sosial yang sakral karena perkawinan dianggap orang Batak sebagai awal memulai kehidupan. Pada akhirnya, perkawinan itu akan
menempatkan seseorang pada usaha yang sah untuk meraih hamoraon, hasangapon, dan hagabeon dalam kehidupannya, baik kehidupan rumah tangga maupun kehidupan
bermasyarakat. Misi 3H hamoraon, hasangapon, dan hagabeon dalam aktivitas sosial tokoh
Aku terlihat dalam persoalan kekayaan, penerimaan jabatan, dan perebutan anak laki- laki. Perkawinan tokoh Aku dengan Fat merupakan penyatuan kekayaan dua keluarga
terpandang di bekas Keresidenan Tapanuli tersebut. Hal ini menempatkan tokoh Aku sebagai orang terpandang yang membekali diri dengan pendidikan formal, sehingga
masyarakat memberi jabatan sekretaris organisasi buruh kepadanya. Penerimaan tokoh Aku terhadap jabatan tersebut menimbulkan konflik pada orang lain yang
memandang jabatan sebagai alat untuk memperoleh kekayaan dan kehormatan dalam
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
bermasyarakat. Kutipan berikut ini memperlihatkan kemarahan Pak Ali karena tokoh Aku tidak mendukung kepemimpinannya selama ini.
“Besar kepala, lagi bodoh. Kau mengatakan didalam rapat anggota, bahwa selama ini kerdjaku bukan memimpin, tapi tengkulak. Kau menuduh aku
dengan kata² kotor. Kau harus tahu, tidak ada tengkulak. Tapi jang ada pemimpin, dan pemimpin itu ialah aku. Bukan orang lain. Aku jang selama ini
memadjukan penawaran upah buruh kepada agen-kapal dan kalau perlu kepada nachoda. Sekarang tugas kepemimpinanku tu kau rebut, tanpa idjinku.
Kau merampasnja. Dan adalah tugas bagiku mempertahankannja.” PB:117- 118
Akhirnya, novel PB karya Bokor Hutasuhut menampatkan harga diri sebagai laki-laki yang bertanggung jawab sebagai pandangan dunia yang penting dalam
kehidupan orang Batak. Oom Djon yang gagal membujuk tokoh Aku menggugurkan kandungan Fat akhirnya menempatkan harga diri sebagai ayah bagi anak yang
dilahirkan Fat. Anak laki-laki yang dilahirkan oleh Fat menjadi ikon penyadaran dan pembangkitan harga diri laki-laki untuk menerima tanggung jawab atas perbuatannya.
Akan tetapi, Tuhan yang Maha Esa memberi keberuntungan kepada tokoh Aku sebagai protagonis yang luar biasa baiknya dengan cara menewaskan Oom Djon dan
Ibu Ratna dalam bencana tanah longsor di kota pantai barat itu. Dari segi semiotik dan strukturalisme genetik maka, realitas fiksi dalam novel
PB memiliki hubungan yang erat dengan novel TK dan PUD. Ketiga novel ini menampilkan indeks tanah sebagai tempat tinggal, sumber penghidupan, dan tempat
penciptaan suasana yang harmonis. Indeks tanah memunculkan dominasi laki-laki atas perempuan yang semakin lama semakin memperlihatkan kesetaraan gender, baik
di Tanah Batak maupun di tanah perantauan. Hal ini disebabkan kehadiran subjek
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
transindividual dalam diri Ronggur PUD, Bonar TK, dan Tokoh Aku PB yang mengutamakan kepentingan umum dalam menjaga keseimbangan hidup, mengambil
keputusan, dan menegakkan hukum. Subjek transindividual novel karya Bokor Hutasuhut tersebut menjadi perwujudan orang Batak yang teguh pendirian, baik
dalam mewujudkan gagasannya maupun melaksanakan keputusan musyawarah adat Batak Toba.
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
BAB V DESKRIPSI REALITAS FAKTUAL NILAI BUDAYA BATAK TOBA
5.1 Pengantar Hasil Temuan Realitas Faktual
Batak merupakan kosakata yang diberikan masyarakat kepada orang-orang yang berasal dan atau bertempat tinggal di Pegunungan Bukit Barisan, Provinsi
Sumatera Utara. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘batak’ dibedakan
dengan huruf kapital pada awal kata [Batak] dan huruf kecil pada awal kata [batak]. Makna kata ‘batak’ sebagai [Batak] mengandung arti ‘suku bangsa di daerah
Sumatera Utara’ sedangkan makna kata ‘batak’ sebagai [batak] mengandung arti dari bahasa Sansekerta yakni ‘petualang atau pengembara’ Tim, 2005:111. Berkaitan
dengan kuda yang digunakan sebagai alat transportasi pengembara maka dikenal kata ‘mamatak hoda’ yang artinya ‘menunggang kuda’ sehingga kata ‘Batak’ diartikan
sebagai ‘si penunggang kuda’ Siahaan, 2005:390. Di dalam Kamus Saku Bahasa Indonesia kata ‘batak’ mengandung arti ‘nama
suku bangsa di Sumatera Utara. Kata ini menurunkan kata ‘membatak’ yang berarti ‘merampok’ Reksosiswoi, dkk., 1952:17. Pemaknaan yang sama terdapat dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia yang menampilkan penelusuran kata ‘batak’ pada
sastra lama dengan makna ‘petualang atau pengembara’. Kata ‘batak’ tersebut menurunkan kata ‘membatak’ dan ‘pembatak”. Kata ‘membatak’ berarti
mengembara, bertualang, atau gelandangan tetapi dapat juga berarti merampok, menyamun, atau merampas sedangkan kata ‘pembatak’ berarti perampok atau
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008