dipimpin oleh Tuanku Rao telah meninggalkan trauma yang sulit dihapus dari ingatan orang Batak Toba. Bahkan, sampai hari ini bila orang-orang tua di Tanah Batak
hendak menggambarkan sesuatu yang sangat bengis dan tak beradab, orang Batak Toba mengatakan ‘seperti di masa Pidari’ di tinggi ni Pidari.
5.2.7 Hamoraon
Menurut hasil penelitian terhadap ungkapan tradisional Batak Toba yang dilakukan oleh Harahap dan Hotman M. Siahaan 1987:134, “Hamoraon, kaya raya
menjadi salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak, khususnya orang Toba, untuk mencari harta benda yang banyak.” Secera lebih luas,
hamoraon merupakan tujuan hidup untuk menyejahterakan dan menjadi sumber penting otoritas.
Hasselgren 2008:68 mengatakan bahwa, “Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup adalah menyejahterakan. Secara tradisional, kesejahteraan
dianggap sama dengan memiliki banyak istri dan anak, ladang-ladang yang luas dan banyak ternak dan babi. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki
sahala.” Sebaliknya, Vergouwen 2004:164 melihat bahwa hamoraon merupakan sumber otoritas kesuksesan dan kedermawanan seorang raja sejati sebagaimana
tersebut di bawah ini. Hamoraan kekayaan juga merupakan sumber penting otoritas. Ia
mencerminkan kehidupan yang sukses, mujur dalam permainan, menang perang, untung dalam perdagangan, nasib baik dalam bercocok tanam, dan
keberhasilan dalam berternak. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan kekuasaan seseorang menjadi kuat di dalam lingkungannya: pada masa dulu, berdasarkan
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
kekayaan seseorang dapat menjalankan perang dalam waktu lama, dan saat sekarang ia memungkinkan orang mendapatkan uang emas yang lebih tinggi
dari seorang putri yang dikawinkan, dan dengan demikian affina yang berpengaruh. .... Namun, wujud utama hamoraan adalah pangalangon atau
partamueon senang menjamu; kedermawanan akan menunjukkan kadar kualitas seorang kepala yang sejati.
Untuk mencapai hamoraon, orang Batak Toba menjalankan sistem ekonomi
dan moneter yang khas. Untuk mengatur stabilitas ekonomi dan moneternya, orang Batak memperkuat parenggerengge di sektor perdagangan dan membungakan uang
di sektor perbankkan. Menurut Harahap dan Hotman M. Siahaan 1987:180, di dalam laporan Richard Burton dan N.M. Ward dari English Baptist Mission Society
yang memasuki pedalaman Tanah Batak antara 30 April sampai 13 Mei 1824, disebutkan antara lain bahwa perilaku ekonomi berupa membungakan uang dengan
bunga 100 telah membudaya dalam kehidupan orang Batak. Akibatnya, perang antar huta dan budaya rentenir telah mendorong merajalelanya perbudakan di Tanah
Batak. Hal ini disebabkan tawanan perang dan orang yang tidak dapat membayar utang akan ditawan dan dijadikan budak.
Masalah perbudakan di Tanah Batak memunculkan popularitas Sisingamangaraja I hingga Sisingamangaraja XII karena tindakannya yang kongkret
mengenai masalah perbudakan dan tawanan hatoban dan taban-tabanan. Orang Batak memberi rasa hormat yang tinggi kepada Sisingamangaraja karena tindakannya
memerdekakan orang yang sedang terpasung dibeangkon, baik karena hutang maupun alasan lain. Bahkan, ke mana saja Si Singamangaraja pergi dia menanyakan,
“Adakah orang yang sedang dipasung?” Pada tahun 1865, untuk memerdekaan budak
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
dan tawanan tersebut harus menebus dengan harga f 60,- “Menurut informasi dalam naskah BakkaraVan der Tuuk dan R. Buntal dapat dilihat betapa Si Singamangaraja I
sendiri menjadi miskin, karena usaha menolong orang berhutang, agar mereka tidak dijadikan budak atau tawanan.” Sidjabat, 2007:94
Perbudakan dalam adat Batak Toba merupakan akibat dari kegagalan memperoleh hamoraon. Di dalam konteks perbudakan ini, secara tradisional, adat
Batak Toba membedakan hatoban dan taban-tabanan sebagai istilah yang ditujukan kepada para budak dan tawanan.
Hatoban dan taban-tabanan tidaklah sama. Seorang hatoban berada dalam situasi yang sudah parah, sedangkan taban-tabanan, secara etimologis dan
dalam prakteknya ialah seorang yang tertawan karena perang, perkelahian, kalah main judi, kalah dalam perkara dan lain sebagainya. Dan bilamana ada
yang menebus seorang taban-tabanan tawanan –biasanya dari kalangan keluarga atau teman yang sangat akrab- yang iba hatinya atau yang memakai
wibawanya untuk melepaskannya, maka ia akan dilepaskan menjadi manusia yang sepenuhnya merdeka lagi. .… Tetapi bilamana seorang taban-tabanan
tidak dapat ditebus oleh pihaknya, maka ia akan menjadi hatoban. Orang seperti ini dapat diikat, dipasung atau kemudian dibiarkan jadi hamba sahaya.
Dia dapat disuruh sekehendak tuannya. Dia bukan dirinya lagi, tetapi dia sudah menjadi milik tuannya sepenuhnya. Sidjabat, 2007:86-87
Menurut Siahaan 2005:400, di dalam kebudayaan Batak Toba, seseorang
menjadi budak disebabkan beberapa hal, di antaranya: i lahir dari orang tua yang berstatus budak; ii menjadi budak karena tidak sanggup melunasi utang; iii karena
melakukan kejahatan, dihukum menjadi budak; iv ditawanan sewaktu perang; v ditangkap musuhnya dan dijadikan budak; dan, vi dihukum karena melanggar
peraturan adat. Perbudakan di daerah sekitar Danau Toba dilarang oleh pemerintah
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Hindia Belanda sejak tahun 1876 sedangkan di Pulau Samosir baru setelah tahun 1914.
Akibat yang ditimbulkan dari perbudakan tidak hanya dirasakan pada masa perbudakan itu berlangsung, bahkan dapat ditemukan pada masa sekarang. Menurut
Sidjabat 2007:84-84, seorang gadis remaja yang cukup cantik di Pematang Siantar menjadi gila tahun lima puluhan. Kegilaan itu disebabkan karena tidak jadi menikah
dengan lelaki pilihan hatinya. Parahnya, lelaki itu membatalkan pernikahannya karena mendapat bisikan bahwa gadis itu adalah keturunan hatoban dari garis ibunya.
Pernikahan itupun dibatalkan pihak lelaki karena takut nanti akan mendapat cap keturunan hatoban atau ”keturunan yang bertangga genap”.
Ciri pengenal keturunan hatoban dalam sistem budaya Batak Toba adalah marga sebagaimana dijelaskan berikut ini.
Di dalam wilayah hunian orang Batak di sekeliling Danau Toba, seseorang yang tampil tanpa marga di belakang namanya akan diperhitungkan sebagai
halak na so raja atau bukan keturunan raja. Bahasa yang digunakan sebenarnya jauh lebih kasar pengertiannya. Halak na so raja berarti seseorang
yang tergolong anak haram atau bisa juga keturunan budak. Budak dalam bahasa Batak disebut hatoban atau partangga gonap. Dalam kehidupan suku
Batak, orang seperti ini paling rendah martabatnya. Malau, 1994:18 Secara tradisional, keturunan budak dibatasi hak dan ruang geraknya. Bahkan,
seorang budak tidak diperkenankan untuk berbicara dan berpendapat sehingga hanya mengikuti kehendak majikannya. Berikut ini deskripsi pembatasan hak para budak
dalam sistem budaya tradisional Batak Toba. Sudah barang tentu bahwa keturunan budak dalam masyarakat Batak kuno
tidak diperkenankan memakai ulos ragi idup, raja dari segala ulos, terutama di kalangan masyarakat sekitar Danau Toba. Cukuplah baginya memakai ulos
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
sibolang atau suri-suri dalam upacara-upacara keluarganya. Seorang budak atau tawanan tak diizinkan pula sama-sama menari dengan orang lain pada
upacara resmi. Ia juga tak akan mendapat jambar juhut daging atau jambar hata dalam pesta atau upacara resmi. Budak dan tawanan hanya menyimak
dan menuruti saja yang ditentukan. Sidjabat, 2007:84 Bagi orang Batak, selain tidak boleh menggunakan ulos ragi idup, para budak
tidak boleh mempunyai anak tangga ganjil. Di samping itu, mereka juga tidak diizinkan mengadakan pesta dengan gendang, memotong kerbau, lembu atau
memakai kuda yang diikat di depan rumah sementara pesta besar berlangsung. Bahkan di Samosir, budak memiliki status berjenjang. Budak disebut huting kucing
apabila sudah keturunan ketiga dalam status budak dan memiliki keharusan mengeong seperti kucing apabila ada tamu Raja Lontung datang ke rumahnya.
Keturunan budak huting disebut babi. ”Dan selanjutnya kalau ada tamu yang datang, maka ia harus mengeluarkan suara seperti babi dalam kandang.” Sidjabat, 2007:84-
85 Pada hakikatnya, perilaku hamoraon dalam kehidupan orang Batak Toba
didasari oleh religi yang kuat, secara serempak pula diusahakan meraih hagabeon. Menurut Harahap dan Hotman 1987:181, ”Dalam perjuangan meraih keduanya
dinamika konflik serentak pula mewarnai perjuangannya.” Persaingan yang maduma dengan yang maduma, yang mamora dengan yang mamora atau yang maduma
dengan yang mamora terwujud dalam segala aspek kehidupan orang Toba, termasuk dalam persaingan mendirikan tugu yang paling megah untuk mengenang dan
menghormati nenek moyang. Ini terutama menyangkut perilaku hamoraon kalangan Batak rantau yang telah berjaya maduma atau mamora di luar wilayah Tanah Batak.
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
5.2.8 Hasangapon