Religi Nilai Budaya Batak Toba .1 Kekerabatan

yang bersifat patrilokal, seorang istri harus menjaga harga dirinya dengan jalan bekerja keras dalam kehidupan keluarga atau lingkungan kerabat suaminya.” Itulah sebabnya perempuan ibu-ibu dari Tanah Batak tampak tidak segan-segan bekerja berat untuk menegakkan harga diri dan keluarganya, misalnya untuk kepentingan kemajuan pendidikan anak-anaknya dan menjadi pedagang yang dikenal dengan istilah parenggerengge. Lebih lanjut Setiawan 2004:197 mengatakan, “Wanita seperti itulah yang diidam-idamkan dalam budaya Batak. Lalu bagaimana dengan kaum laki-laki atau sang suami? Jawaban atas pertanyaan ini sering diungkapkan: “Suami biasanya duduk-duduk bersantai di kedai tuak.” Akan tetapi, hal tersebut tidak sepenuhnya benar karena keberhasilan yang dicapai masyarakat Batak dewasa ini bukan hanya hasil kerja keras para istri saja, melainkan hasil kerja sama yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.

5.2.2 Religi

Nilai budaya Batak yang paling fundamental dalam kehidupan masyarakat Batak Toba adalah mengikuti adat. Menurut Hesselgren 2008:64, “Adat memiliki asal-usul keilahian dan merupakan seperangkat norma yang diturunkan dari nenek- moyang.” Asal-usul keilahian dalam adat Batak Toba inilah yang dimaksudkan peneliti sebagai sistem religi dalam kebudayaan Batak. Menurut hasil penelitian Harahap dan Hotman M. Siahaan 1987:133, “Religi mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian yang Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungannya.” Pendapat di atas sejalan dengan hasil penelitian Past. Dr. A.B. Sinaga dalam lampiran Sangti 1977:16-19 yang mengatakan bahwa, “Bangsa Batak tradisional termasuk homo religiosus “manusia-beragama” dan mengemban suatu sikap agama tertentu dalam menilai dan menghargai hidup. Bagi mereka, seluruh alam semesta atau hanya lingkungan hidup mereka ‘sanggup menjadi sakral’.” Lebih lanjut dia menyimpulkan bahwa, “Allah tertinggi orang Batak Toba disebut: Mulajadi Na Bolon.” Paganisme Batak meyakini bahwa Mulajadi Na Bolon menciptakan langit, bumi, dan segala isinya. Bahkan, menurut Siahaan 2005:15, Debata Mulajadi Na Bolon dapat menjelma sebagai Debata Na Tolu Dewa Benua Bawah, Dewa Banua Tengah, dan Dewa Benua Atas. Pemujaan terhadap kemahakuasaan Debata Mulajadi Na Bolon menyatu dengan pemujaan terhadap tondi, sahala, dan begu. Siahaan 2005:19-23 menjelaskan hal itu sebagai berikut. 1 tondi adalah roh atau “daya hidup” yang terdapat pada makhluk hidup dan yang menghidupkan segala sesuatu yang ada di bumi. Tondi menentukan nasib manusia yang ditempatinya karena dia dapat bersahabat tetapi juga bermusuhan terhadap tubuh yang didiaminya; 2 sahala adalah keunggulan yang diberikan Tuhan kepada seseorang dan untuk setiap pribadi berbeda kualitas maupun jumlahnya. Semakin tinggi sahala seseorang semakin berwibawa orang tersebut; Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 3 begu roh orang yang sudah meninggal dunia yang jika disembah dan diberi sesajen bisa dibujuk untuk memberikan berkat duniawi. Berdasarkan ungkapan sehari-hari orang Batak yang menyatakan bahwa, “Begu ima tondi ni na mate” yang artinya begu adalah roh orang yang sudah meninggal, maka tondi dapat berubah menjadi begu. Hubungan adat yang berwujud pemujaan terhadap Mulajadi Na Bolon, tondi, sahala, dan begu dengan religi yang berwujud dalam pelaksanaan ajaran Kristen tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Menurut Harahap dan Hotman M. Siahaan 1987:152, “Sekali pun kebanyakan orang Toba merupakan penganut agama Kristen Protestan, namun perilaku religinya tetap banyak diwarnai oleh agama nenek moyang. Perilaku religi ini tidak sedikit yang ditentang keras oleh agama Kristen Protestan.” Salah satu perilaku religi yang berkembang hingga sekarang adalah mendirikan tugu peringatan nenek moyang. Tugu-tugu tersebut dibangun oleh orang-orang yang kaya, berpendidikan tinggi, bahkan pejabat dan orang-orang berpangkat yang berhasil dalam perantauan di kota-kota di luar Tanah Batak. Hal ini menjadi bukti bahwa religi dalam kehidupan masyarakat Batak Toba menyatu dengan adat sehingga adat dan religi memiliki hak hidup yang sama dalam kebudayaan Batak Toba. Perilaku adat yang menyatu dengan keilahian tersebut tertera pada hasil penelitian berikut ini. Perilaku religi membangun tugu sebagai penghormatan bagi roh nenek moyang erat hubungannya dengan hakekat hidup dan persepsi masyarakat Toba terhadap waktu. Waktu dipandang sangat menguasai kehidupan manusia. Waktu diatur oleh Debata Mulajadi Na Bolon. Nenek moyang sebagai wakil Debata Mulajadi Na Bolon, juga sangat besar pengaruhnya Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 terhadap perjalanan hidup orang Toba. Oleh karena itu, pemujaan terhadap roh nenek moyang terus dilakukan sebagai perilaku religi kultural. .... Pelanggaran terhadap petuah nenek moyang, akan menyebabkan kemurkaan roh nenek moyang. Dengan kata lain, kesetiaan dan kecintaan kepada roh-roh nenek moyang orang Batak Toba merupakan perilaku religius. Itu pula sebabnya, masakini dan masadepan harus senantiasa mendapat acuan masalampau yaitu kehidupan nenek moyang. Harahap dan Hotman M. Siahaan, 1987:153 Penyatuan adat dan religi dalam kebudayaan Batak Toba terdapat pada laporan perjalanan Richard Burton dan N.W. Ward ke pedalaman Tanah Batak 1824. Richard dan Ward dalam Harahap dan Hotman M. Siahaan 1987:152 memberi simpulan bahwa mungkin orang Batak adalah satu-satunya suku bangsa di dunia yang percaya semua benda berisi roh. Oleh karena itu, mereka mengirim surat kepada Gubernur Michiels 1848 yang berisi peringatan bahwa penyebaran agama Kristen di Tanah Batak akan menghadapi tantangan keras dari penduduk setempat. Peringatan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa pendeta Munson dan Henry Lyman dari Boston Amerika Serikat pada tanggal 28 Juli 1834 dibunuh oleh rakyat yang dipimpin Raja Panggalamei di huta Sisangkak Lobupining.

5.2.3 Hagabeon