pada keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah benar. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut ini.
Sambil tersenjum aku katakan: “Kupikir persoalan itu tidak perlu kita bitjarakan berpandjang-pandjang. Kau dapat membuktikan rasa sajangku
padamu dengan tjara lain. Antjaman jang mengintjar pasti tidak ada. Kita berada dipihak jang benar.” PB:124
Meskipun tokoh Aku melakukan berbagai aktivitas sosial yang benar menurut
ukuran ilmu pengetahuan, tokoh Aku tidak dapat menghindarkan diri dari perilaku libinalnya. Perilaku libinal ini terlihat dalam relasi gender tokoh Aku dengan Ratna di
ruang terbuka pantai pada dimensi waktu senja. Tokoh Aku tidak dapat menahan hasrat seksual, sehingga melakukan tindakan yang cenderung pornoaksi, berpelukan
dan berciuman. Akan tetapi, fakta individual ini memiliki kesejajaran dengan fakta sosial yang berlaku di pelabuhan, terutama pada saat kedatangan kapal besar. Pada
saat itu, nakhoda, anak buah kapal, buruh pelabuhan, wanita cantik, dan orang-orang kaya berdansa dan meminum minuman yang memabukkan di atas kapal. Dengan
demikian, aktivitas individu yang dilakukan oleh tokoh Aku tidak bertentangan dengan fakta sosial sehingga tokoh Aku tetap terpandang sebagai simbol laki-laki
yang bertanggung jawab dalam menjaga harmoni sosial di pelabuhan Sibolga tersebut.
4.4.3 Subjek Kolektif
Novel PB karya Bokor Hutasuhut menempatkan tokoh Aku sebagai subjek transindividual meskipun terdapat tokoh-tokoh cerita yang lain dalam novel tersebut.
Tokoh Aku yang seharusnya menjadi subjek individual dalam subjek kolektif
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
berubah menjadi subjek transindividual dalam totalitas subjek kolektif. Di Sibolga, masih terdapat Ibu Ratna, Oom Djon, dan Pakcik Fat yang berpotensi menjadi subjek
transindividual. Akan tetapi, ketiga orang itu terjebak pada kesibukan masing-masing, sehingga mengabaikan persoalan hidup masyarakat sekitarnya. Bahkan, mereka tidak
mampu mengatasi masalah keluarganya sendiri. Hal seperti inilah yang berhasil diatasi oleh tokoh Aku, sehingga dia dapat memberi pencerahan pemikiran kepada
Ratna dan keluarganya, serta dapat memulihkan kepercayaan diri Fat sebagai wanita korban pemerkosaan.
Dua peristiwa berikut memberi gambaran kegagalan penduduk asli Kota Sibolga mengatasi masalah keluarganya. Peristiwa pertama memperlihatkan Ibu
Ratna yang tetap menjadi subjek individual meskipun berpotensi menjadi subjek transindividual. Peristiwa kedua menampilkan Pakcik Fat yang tidak mempunyai
anak dan tidak berhasil memulihkan rasa percaya diri kemanakannya, Fat. Padahal, baik Ibu Ratna maupun Pakcik Fat berasal dari keluarga kaya dan terhormat sehingga
pantas menjadi tokoh pengayom, subjek transindividual. Peran sosial inilah yang mereka biarkan beralih pada tokoh Aku,, sehingga seolah-olah tanpa kehadiran tokoh
Aku tidak terwujud keseimbangan sosial di kota tersebut. Peristiwa pertama, Ibu Ratna yang menyesali nasib buruk keluarganya.
Aku menatapi Ratna. Dia tertunduk. Kakinja menggaris-garis lantai. Disaat itu perempuan tua itu melihat kearahku. Kemudian berpindah kearah Ratna,
lantar mulutnja mengatakan: “O, berangkali aku kurang pantas mengadjukan pertanjaan begitu padamu. Karena ada tamu, jaitu tamumu sendiri. Memang
setiap kau pulang kerumah setiap itu kau dapat membawa tamu. Tapi kau akan tidak dapat membawa nasib baru walaupun nasib baru itu menurut
pendapatku adalah milik orang² muda. Sedang orang² tua berada diluarnja.
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Aku tahu itu. Aku djuga pernah berpendapat begitu dulu. Tapi sekarang? Apa jang kumiliki ditangan hidupku sendiri? Suamiku meninggal dunia dan
perusahaannja mengalami kemerosotan. Adikku Djon puntung kakinja. Dan kau?” PB:24
Peristiwa kedua, Pakcik Fat dan Makcik Fat yang sibuk mengurus
pekerjaannya. ATAS BANTUAN PAKTJIK AKU DITERIMA BEKERDJA
DIPERUSAHAAN mereka. Sedang paktjik dan maktjik beberapa minggu kemudian pindah ke G. Paktjik ditugaskan memimpin tjabang perusahaan
jang baru dibuka disana. Aku antarkan mereka kepelabuhan. Sebelum tongkang merenggang dari
pangkalan, maktjik mendekatiku dan mengatakan: ”Djagalah Fat baik². Aku pertjaja padamu. Dan djaga pula dirimu sendiri.” PB:98
Di dalam kemelut hidup yang dialami penduduk Kota Sibolga, muncul subjek individual dalam diri Oom Djon. Oom Djon yang seharusnya bertanggung jawab
dalam proses pelahiran keseimbangan hidup ternyata telah mengabaikan harmoni sosial, sehingga mengganggu subjek transindividual dalam diri tokoh Aku. Gangguan
pertama diperlihatkan oleh Oom Djon dengan melepaskan tanggung jawab terhadap kehamilan Fat sehingga tokoh Aku mengambilalih tanggung jawab tersebut.
Gangguan kedua dilakukan Oom Djon dengan bertanya tentang kehamilan Fat kepada tokoh Aku sehingga tokoh Aku mulai curiga ada yang tidak beres dalam
peristiwa tersebut. Gangguan ketiga terjadi di kapal, dalam keadaan mabuk, Oom Djon meminta tokoh Aku menggugurkan kandungan Fat. Permintaan itu terekam
dalam kutipan berikut ini. “Umpamanja,” dia memulai, “kalau aku mengawini seorang perempuan jang
sudah mengandung, dan kutahu anak jang dikandungnja bukan taburan benihku, maka jang pertama kuminta pada perempuan itu sebelum aku
mengawininja ialah supaja dia menggugurkan kandungannja. Kemudian – ja,
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
sebagai suami isteri tentu kesempatan baru untuk punja anak jang betul² titisan darah kita masih ada.”
Aku memperhatikan wadjah Oom Djon tadjam². Dia mengerti lalu katanja: “Tunggu dulu. Djangan terus marah. Aku tidak bermaksud mentjemoohkan
perkawinanmu. Tjuma kalau aku seperti kau, supaja anak jang dilahirkan isteriku adalah anak titisan darahku jang sebenarnja, itu sadja maksudku.”
Kulihat dari tjaranja dia bersandar keterali kapal dan gelagatnja bicara, djelas dia sudah agak banjak minum dan mulai mabuk. PB:132
Kegagalan Oom Djon mengatasi masalahnya menempatkan Oom Djon sebagai subjek individual. Oom Djon, Ibu Ratna, Pakcik Fat, dan Makcik Fat
merupakan orang-orang yang gagal menjadi subjek transindividual dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Hal itu tidak terjadi dalam aktivitas tokoh Aku yang
mampu mengatasi masalah diri sendiri, keluarga, dan masyarakatnya. Bahkan, tokoh Aku sebagai subjek transindividual yang melaksanakan berbagai fakta sosial merasa
senasib dan sepenanggungan dengan masyarakat untuk memulihkan keadaan kota dari amuk bencana tanah longsor.
4.4.4 Pandangan Dunia