Batak Toba meninggalkan kampungnya adalah untuk menghindari kemiskinan serta untuk meningkatkan kesejahteraannya.
5.2.6 Konflik
Menurut hasil penelitian terhadap ungkapan tradisional Batak Toba yang dilakukan oleh Harahap dan Hotman M. Siahaan 1987:134, “Konflik dalam
kehidupan orang Toba lebih tinggi kadarnya dibandingkan dengan yang ada pada orang Angkola-Mandailing.” Sumber konflik pada orang Angkola-Mandailing
terutama dalam kehidupan kekerabatan sedangkan pada orang Toba menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya, antara lain hamoraon yang mau tidak
mau merupakan sumber konflik yang abadi bagi orang Toba. Menurut Siahaan 2005:139-140, konflik dan bahkan perkelahian dalam
kehidupan orang Batak Toba dapat terjadi karena persoalan kecil hingga permasalahan yang lebih besar. Perselisihan sepele yang tidak ada artinya seperti
perasaan tersinggung, utang judi yang belum dibayar, batas tanah yang tidak jelas, perkelahian anak-anak atau pencurian sering menjadi pemicu perkelahian. Selain
alasan itu, ada juga raja yang ingin meluaskan daerahnya tetapi dihalang-halangi oleh raja yang lain. Bagi orang yang tidak mampu membayar utang maka si empunya
utang akan menangkap atau menculik siapa saja dari kampung orang yang berutang, lalu dipasung dan tidak dilepaskan sebelum utang yang bersangkutan dilunasi.
Pada hakikatnya, orang Toba tidak mau lari dari konflik. Hal ini disebabkan sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu memiliki mekanisme untuk menyelesaikan
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
setiap konflik melalui musyawarah keluarga dekat, rapat adat, ataupun rapat warga. Penyelesaian konflik dalam kebudayaan Batak Toba digambarkan oleh Harahap dan
Hotman M. Siahaan 1987:178 sebagai-berikut. Konflik pada orang Toba umumnya lahir dari perlakuan tidak adil sehingga
ada pihak yang menderita atas perbuatan itu. Penyelesaian secara kekeluargaan yang terbuka di forum keluarga dekat dengan forum Dalihan Na
Tolu menghadirkan pihak yang berkonflik. Kepada kedua itu diberikan kesempatan untuk berbicara tentang asal muasal konflik. Dengan demikian
pihak yang menengahi konflik ini mengetahui dengan pasti sumber konflik, proses kejadian konflik, akibat-akibat konflik untuk jadi bahan pertimbangan
mencari jalan keluar dari konflik itu. Pihak penengah yang biasanya terdiri dari hulahula, sesepuh atau tokoh masyarakat, menekankan agar kedua pihak
yang berkonflik mawas diri dengan mengungkapkan betapa pentingnya kerukunan dalam kekerabatan.
Secara tradisional, apabila musyawarah adat gagal menyelesaikan konflik
maka raja memutuskan akan berperang. Setelah raja memutuskan berperang maka masing-masing orang sesuai dengan status sosial dalam kampung mempersiapkan
diri. Tembok yang mengelilingi kampung diperkuat dengan bambu duri dan gerbang masuk kampung dilapisi dengan gerbang penguat. Orang yang akan masuk ke
kampung hanya dapat melalui terowongan kecil dengan jalan merangkak. Selama berperang, pihak yang berseteru harus patuh pada patik dohot uhum seperti: i Tidak
boleh melibatkan wanita dalam perang dan juga tidak boleh mencederai; ii Tidak diperkenan menyerang musuh pada malam hari. iii Senjata yang digunakan haruslah
tombak yang panjang serta besar dan tidak boleh dibubuhkan racun pada ujung senjata. iv Orang yang terluka kena tombak tidak boleh ditombak untuk kedua
kalinya dan orang yang luka atau jatuh ke dalam lubang, sumur atau ke dalam jurang tidak boleh dikejar Siahaan, 2005:147-149.
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Kemampuan orang Batak Toba dalam berkonflik dan berperang telah terbukti dengan pemunculan Sisingamangaraja XII melawan penjajahan Belanda di Tanah
Batak. Hal ini berkaitan dengan latar belakang historis perang antarhuta dan vitalitas kebatakan yang berdaya juang tinggi. Bahkan menurut Harahap dan Hotman M.
Siahaan 1987:172, “Sejak kecil dalam keluarga batih, anak telah terbiasa melihat, mendengar, terlibat, atau dilibatkan bahkan melibatkan diri dalam konflik.” Hal lain
yang memberi kekuatan orang Batak menghadapi konflik hingga sampai berperang berkaitan dengan menu yang dimakan oleh orang Batak Toba.
Vitalitas orang Toba yang kuat ditampilkan dalam daya juang yang tinggi. Penampilan seperti itu selain didorong oleh missi budaya yang berlandaskan
nilai-nilai budaya Batak, juga ikut dibentuk oleh menu orang Toba. Makanan yang pedas, pahit dan getir menggigit seperti cabai, garam dan tuak ditambah
protein hewani yang dimakannya, pasti ikut membentuk wataknya yang keras. Harahap dan Hotman M. Siahaan, 1987:172
Hukum perang yang menjadi pedoman orang Batak Toba dalam penyelesaian
konflik tetap terjaga hingga penyerbuan tentara Paderi ke Bakkara. Menurut Siahaan 2005:150-151, “Dalam penyerbuan ke Toba, tentara Padri membakar berpuluh-
puluh rumah; menawan dan membunuh penduduk tanpa memperdulikan apakah mereka wanita, anak-anak atau orang tua yang tak berdaya.” Sejak peristiwa tersebut,
hukum perang yang terdapat dalam Patik dohot Uhum mengalami perubahan. Akibatnya, “Pasukan Scheltens sangat terkejut sewaktu mereka secara tiba-tiba
diserang oleh pengikut Si Singamangaraja pada malam hari.” Belanda pun sadar bahwa hukum perang dalam adat Batak Toba telah mengalami pergeseran dari nilai-
nilai luhur patik dohot uhum. Hal ini disebabkan penyerbuan tentara Paderi yang
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
dipimpin oleh Tuanku Rao telah meninggalkan trauma yang sulit dihapus dari ingatan orang Batak Toba. Bahkan, sampai hari ini bila orang-orang tua di Tanah Batak
hendak menggambarkan sesuatu yang sangat bengis dan tak beradab, orang Batak Toba mengatakan ‘seperti di masa Pidari’ di tinggi ni Pidari.
5.2.7 Hamoraon