napsu liar itu adalah tugas mereka jang dapat menguasai diri.” Seketika Tiur berhenti dan melirik wadjah Bonar. TK:111
Bahkan, pembangkitan nafsu liar dalam diri manusia menjadi modal yang
besar untuk membangkitkan semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Hal inilah yang dijaga oleh Ayah Poltak dari dalam diri para pemuda sebagaimana
terlihat dalam kutipan berikut ini. „Kau djuga harus sadar, bahwa napsu jang meliar itu adalah dorongan dari
hati jang tertekan selama ini. Bukan bawaan lahir. Dasarnja tetap sumber tjahaja, rasa kemanusiaan. Rasa kemanusiaan ini jang dibangkitkan ajah si
Poltak. Hingga mereka dapat lagi dikendalikan. Djadi tidak mematikan kemauan mereka dan kesanggupan mereka bertindak. Tapi diarahkan kepada
sasarannja jang benar.” TK:112 Pertarungan Bonar sebagai simbol penyelamat bangsa dan Kepala Negeri
sebagai simbol pengkhianat bangsa telah menciptakan fakta individual dan fakta sosial. Fakta individual muncul dari perilaku Kepala Negeri yang ingin memperistri
Tiur dan menguatkan kedudukannya sebagai Kepala Negeri dengan mengandalkan kerja sama dengan Jepang dan Belanda. Fakta sosial muncul dari perilaku Bonar yang
ingin memohon restu orang tua untuk memperistri Tiur, menyembunyikan hasil panen, dan mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda.
4.3.3 Subjek Kolektif
Novel TK karya Bokor Hutasuhut menampilkan subjek transindividual yang mampu mengatasi persoalan hidupnya. Bonar sebagai tokoh protagonis menjadi
subjek transindividual yang mampu mengatasi rintangan dan bahkan, mengorbankan kepentingan diri sendiri. Hal ini diperlihatkan Bonar dengan menyelamatkan Kepala
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Negeri dari penganiayaan yang dilakukan penduduk. Demikian juga dengan kesediaannya menjadi komandan pasukan gerilya, sehingga harus meninggalkan
istrinya yang sedang mengandung anak pertamanya. Perilaku Bonar tersebut merupakan perilaku subjek transindividual, yakni subjek yang mampu mengatasi
kepentingan diri sendiri dan menganggap diri sendiri sebagai bagian dari masyarakatnya.
Pemunculan subjek transindividual dalam diri Bonar tidak datang dengan tiba- tiba. Bonar harus menghadapi kepentingan pribadi dan kepentingan orang lain dalam
satu insiden. Hal itu sudah dapat terlihat ketika Bonar menyelesaikan pekerjaan Pak Maurid di sawah. Akan tetapi, kualitas subjek transindividual ini masih lebih dekat
dengan indeks subjek individual, karena Bonar pada saat itu sedang menjalin hubungan cinta dengan Tiur, putri Pak Maurid. Hal itu dapat diidentifikasi dalam
kutipan berikut ini.
Pak Maurid tidak kembali lagi kiranja kesawah hari ini, kata Bonar kediri sendiri. „Dan kenapa?” tanjanja pula melandjut. Tanja ini didjawabnja
sendiri: Barangkali ada urusannja jang mendadak setelah selesai menghadap Kepala Negeri. Diusahakannja agar tidak timbul djuga jang
tidak mengenakkan perasaan. Kerbau Pak Maurid dan kerbaunja sendiri sudah dimandikannja dikali ketjil dekat persawahan. Kerbau² itu sekarang mentjari
rerumputan dipematang jang langsung mendjadi bedeng sungai itu. Dia akan mengarak kerbau itu pulang kerumah pak Maurid. Dan dia akan dapat
berdjumpa dengan Tiur. TK:50 Subjek transindividual melekat erat dalam kepribadian Bonar setelah Jepang
menyerah kalah kepada Sekutu. Hal ini ditandai oleh peristiwa penyelamatan Kepala Negeri dari penganiayaan penduduk. Bonar menampilkan subjek transindividual
menghadapi pengkhianatan Kepala Negeri terhadap masyarakatnya. Pada peristiwa
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
tersebut Bonar tidak larut dalam emosi penduduk, tetapi mengendalikan emosi penduduk terhadap kepatuhan penegakan hukum. Di sinilah, Bonar memperlihatkan
subjek transindividual yang paling mendasar dari rasa kemanusiaan, sehingga Kepala Negeri menyadari sendiri kesalahannya. Hal itu terlihat dalam dialog Kepala Negeri
dengan Bonar berikut ini. Dengan berusaha menahan isaknja, Kepala Negeri menatapi Bonar. Lalu:
„Kenapa kau membantuku, kenapa kau berusaha menjelamatkan diriku, sedang semua manusia jang ada dilingkungan kampung ini menginginkan
kemusnahanku, djustru karena aku adalah sumber malapetaka.” Lama Bonar menatapi bidji mata Kepala Negeri: „Aku sendiri tidak tahu
dengan pasti. Tapi aku tidak dapat melihat daging manusia dirobek-robek tangan manusia lainnja, daging manusia jang sudah kalah. Tidak punja tenaga
lagi.” TK:108 Dialog di atas memperlihatkan rasa kemanusiaan dalam diri Bonar. Di dalam
hal ini, subjek transindividual dalam kepribadian Bonar membawa simbol penyelamat bangsa untuk menyadarkan subjek individual dalam kepribadian Kepala Negeri.
Setelah itu, Bonar memberi penyadaran berdasarkan fakta sosial yang mereka alami dari kekejaman Jepang. Hal itu dapat diidentifikasi dalam kutipan berikut ini.
Kembali Kepala Negeri menelungkupkan wadjahnja ketiang rumah. Kembali tersedu: „Sebenarnja, dengan sikapmu jang ramah ini, hatiku lebih banjak
dirobek. Robekannja lebih lebar dan dalam. Kenapa dapat kau menguasai hati jang mendendam?”
„Aku memang membentji tingkah lakumu selama ini. Aku mendendam padamu. Tapi akupun tahu, kaupun adalah anak manusia seperti aku. Satu saat
bisa sadja membuat kesalahan, tapi berhak pula punja kesempatan untuk memperbaikinja. Dan sedjak kau kulihat digiring Nippon dari markas Fhuko-
gantjo tadi siang, tidak ada kulihat kekuatan ditanganmu, kekuatan jang selama ini kau pergunakan menjuburkan dendam dihati manusia lain.
Kekuatan jang mendjadikan kau sanggup berbuat jang menjakitkan hati orang lain.” TK:108-109
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Fakta kemanusiaan yang ditampilkan oleh Bonar adalah fakta yang didorong oleh arus penyadaran dari subjek transindividualnya. Arus penyadaran dalam
kepribadian Bonar telah memunculkan sikap antiperang, karena perang melahirkan pembunuhan terhadap sesama manusia. Apabila diminta untuk memilih, Bonar lebih
suka bertani daripada berperang. Oleh karena itu, Ketua Komite Dewan Nasional yang membentuk pertahanan rakyat semesta di Tapanuli terus-menerus mengobarkan
semangat indeksional subjek transindividual dalam kepribadian Bonar. Kutipan berikut ini memperlihatkan Ketua Komite menghadapi keinginan Bonar untuk
meletakkan jabatan sebagai komandan pasukan pemuda dalam perang gerilya. Agak lama orang setengah baja itu menatapi wadjah Bonar. Lalu: „Bapak
mengerti nak, bapak mengerti perasaanmu. Bapak djuga sebenarnja tidak sangggup dan tidak mampu memikul tugas seperti jang dibebankan masa
dipundakku. Tapi bapak harus menerima dan harus berani memikul risikonja. Kau tahu, bapak adalah seorang petani jang tjinta pada tanah. Sedjak ketjil
bapak telah diadjari mentjintai tanah. Bila bapak mengerdjakan tanah itu, sudah tentu memerlukan kedamaian. Tapi sekarang bapak dihadapkan pada
kenjataan, ada usaha untuk merampas tanah jang bapak tjintai dari tangan bapak. Adakah kita akan tinggal diam sadja? Tapi dalam pembitjaraan kita
selalu mengatakan tanah itu kita tjintai, tapi kita biarkan dia dirampas orang dari kita untuk diindjak-indjak?” TK:130
Ketepatan Ketua Komite menampilkan ikon petani untuk menyamakan nasib
yang menimpa dirinya dengan nasib yang menimpa diri Bonar telah melemahkan kekuatan subjek individual dalam diri Bonar. Peristiwa berikut ini memberi pertanda,
bahwa arus penyadaran dalam subjek transindividualnya terjadi di masa perang. Oleh karena itu, simbol penyelamat bangsa dalam diri Bonor semakin diperkuat oleh Ketua
Komite, sebagaimana terlihat pada ikonitas peristiwa berikut ini.
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Terdiam Bonar mendengarkan. Kepalanja tertunduk. Menatapi lantai jang dipidjaknja. Sedang orang tua itu menatapnja lama². Ada juga perasaan
kasihan menjelinap kedada orang tua itu, tapi perasaan itu harus ditekannja. Lalu orang tua itu melandjutkan: „Kita harus berani membela martabat diri
kita, kalau perlu tidak ada djalan lain, membunuh orang lain jang hendak mengindjak-indjak martabat kita. Untuk itu kau adalah pedjuang, bukan
pembunuh.” TK:130 Berdasarkan realitas fiksi di atas, subjek transindividual harus dapat
mengatasi faktor ego dalam kepribadian subjek individual. Faktor ego dapat disebabkan oleh aspek nafsu seksual dan rasa kasihan. Hal inilah yang dihadapi oleh
Bonar, sehingga dia harus didampingi oleh subjek kolektif yang berprofesi sama dan lebih berpengalaman dalam menghadapi subjek individual, yakni Ketua Komite
Dewan Nasional di Tapanuli. Dengan demikian, Bonar dapat menjalankan tugas sebagai simbol penyelamat bangsa.
4.3.4 Pandangan Dunia