Terdiam Bonar mendengarkan. Kepalanja tertunduk. Menatapi lantai jang dipidjaknja. Sedang orang tua itu menatapnja lama². Ada juga perasaan
kasihan menjelinap kedada orang tua itu, tapi perasaan itu harus ditekannja. Lalu orang tua itu melandjutkan: „Kita harus berani membela martabat diri
kita, kalau perlu tidak ada djalan lain, membunuh orang lain jang hendak mengindjak-indjak martabat kita. Untuk itu kau adalah pedjuang, bukan
pembunuh.” TK:130 Berdasarkan realitas fiksi di atas, subjek transindividual harus dapat
mengatasi faktor ego dalam kepribadian subjek individual. Faktor ego dapat disebabkan oleh aspek nafsu seksual dan rasa kasihan. Hal inilah yang dihadapi oleh
Bonar, sehingga dia harus didampingi oleh subjek kolektif yang berprofesi sama dan lebih berpengalaman dalam menghadapi subjek individual, yakni Ketua Komite
Dewan Nasional di Tapanuli. Dengan demikian, Bonar dapat menjalankan tugas sebagai simbol penyelamat bangsa.
4.3.4 Pandangan Dunia
Novel TK karya Bokor Hutasuhut memunculkan pandangan dunia masyarakat di Tanah Batak, terutama di zaman penjajahan Jepang dan agresi militer Belanda.
Masyarakat pada konteks ini merupakan ikon penduduk dan orang-orang yang terdapat dalam novel TK. Masyarakat Batak yang bermukim di tepi Danau Toba itu
digambarkan sebagai masyarakat yang ingin melepaskan diri dari penjajahan, baik Jepang Nippon maupun Belanda. Jepang dan Belanda dalam pandangan orang
Batak yang bermukim di kota kecil tepi Danau Toba adalah penjajah yang harus disingkirkan dari Tapanuli. Mereka hanya menimbulkan kesengsaraan dan
memperlakukan masyarakat seperti budak belian yang sangat hina dalam kehidupan
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
orang Batak. Pandangan dunia orang Batak terhadap penjajahan Jepang dan Belanda terlihat dalam kutipan berikut ini.
Pak Maurid semakin bersatu dengan kediamannja. Kerut merut diwadjahnja semakin njata.Poltak sudah tertidur. Dia tidak ikut mendengarkan
pembitjaraan itu. Kemudian Bonar melanjutkan: „Nippon datang, kita harus membajar padjak. Semasa Belanda kita djuga harus membajar padjak. Setiap
kesulitan mereka harus kita jang memikulnja. Seolah tanah jang kita kerdjakan ini bukanlah milik kita. Seolah kita hanjalah budak² belian saja.
Hasilnja untuk mereka.” TK:33 Di Tapanuli, masyarakat semula mengira Jepang adalah saudara yang ingin
membebaskan mereka dari penjajahan Belanda. Perkiraan itu ternyata keliru karena Jepang bertindak tidak jauh berbeda dengan Belanda, menyengsarakan masyarakat.
Oleh karena itu, mereka yang semula mendukung kedatangan Jepang lebih memilih diam daripada melanggar kesepakatan membantu Jepang menyingkirkan Belanda.
Akan tetapi, secara diam-diam mereka menyetujui penyeludupan hasil bumi dari Tapanuli ke Sumatera Timur. Penyeludupan itu akhirnya dapat digagalkan Jepang
sebagaimana terlihat dalam peristiwa berikut ini. Pada wadjah masing² muntjul warna kesedihan. Tanpa utjapan kata. Namun
tiap orang jang melihat dan jang dilihat, telah dapat meraba hati masing². Bahwa orang jang digiring Nippon itu adalah orang² jang berusaha
menjelundupkan sebagian dari padi mereka kedaerah Sumatera Timur. Dari sana berusaha membawa dua tiga tepek garam, ikan asin serta keperluan
hidup lainnja jang susah diperoleh didaerah mereka sendiri. TK:74-75 Keteguhan prinsip orang Batak terhadap penguasaan tanah memberi dimensi
ruang dan waktu kepada laki-laki, baik untuk mengolah tanah maupun mempertahankan tanah. Kutipan berikut ini memperlihatkan pandangan dunia
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
masyarakat Batak yang membanggakan karakter kelelakian dan mengagungkan perlawanan terhadap penjajahan.
“Telah tiba saatnja,” kata seseorang dengan suara jang pasti dan tegas. „Bila organisasi kita terbongkar, kita harus mengadakan perlawanan jang terang-
terangan pada pendudukan Nippon. Telah tjukup lama kita tenggelam kegenangan air kotor jang mentjekik djalan pernapasan. Kita sudah harus
bangkit. Kalau organisasi ini terbongkar kematian berada didepan kita. Bagiku adalah lebih djantan mati melawan daripada mati berserah diri. Darah setiap
pemuda harus disiram kembali dengan napas djantan.” TK:79-80 Perang melawan penjajahan memerlukan pengorbanan. Bonar telah
mengorbankan profesinya sebagai petani untuk menjadi komandan pasukan pemuda dalam perang gerilya melawan Belanda. Sulung telah mengorbankan rasa cinta pada
kekasihnya di kota untuk bergerilya di hutan. Bahkan, Pak Maurid bersedia dikirim sebagai sinyoto dan gugur dalam pertempuran melawan penduduk yang berpihak
kepada Belanda. Para pemuda pejuang dari Tapanuli sadar bahwa perang memerlukan pengorbanan dan pengorbanan seorang pejuang lebih berharga daripada
pengorbanan seorang pengkhianat. Hal tersebut terlihat dalam dialog Sulung dengan Bonar berikut ini.
Dengan suara getir Sulung mengatakan: „Begitulah selalu, untuk mentjapai inti kehidupan itu, inti kemanusiaan itu, terkadang orang jang kita sajangi pun
djatuh djadi korban. Dia telah mendirikan kebenaran itu dengan njawanja sendiri.”
„Begitu banjak jang dituntut masa dari kita,” kata Bonar. „Dan akan lebih banjak lagi, mungkin besok adalah kita sendiri,” sahut
Sulung. „Tapi arti kematian pak Maurid berbeda dengan arti kematian sipengkhianat.” TK:177
Bagi orang Batak, pengkhianatan merupakan perbuatan tercela. Bahkan, orang
yang berkhianat sah untuk dihukum mati di depan umum. Akan tetapi, penetapan
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
hukuman mati tersebut harus memberi kesempatan kepada orang yang berkhianat untuk membela diri, minimal mengungkapkan alasan pengkhianatannya. Hal inilah
yang menjadi perdebatan antara Bonar dengan Sulung untuk menetapkan hukuman Kepala Negeri yang mengkhianati mereka. Bonar mendasarkan hukuman pada kadar
kesalahan atau kesalahan yang dibebankan kepada pengkhianat, sedangkan Sulung mendasarkan hukuman pada hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Batak
terhadap pengkhianat. Di dalam adat Batak, seorang pengkhianat sah dihukum mati sebagaimana tuntutan Sulung dalam kutipan berikut ini.
„Tapi jang penting lagi, kesalahan apa jang kita bebankan kepadanja, lalu menimpakan hukuman atas kesalahan itu menurut hukum repolusi. Apakah
kau berani memerintahkan hukuman mati umpamanja padanja bila dapat dia ditjulik? Perlu ditentukan sekarang, agar ada pendorong semangat
mentjuliknja.” „Hukumannja soal nanti, setimpal dengan kesalahannja,” sahut Bonar.
TK:164 Berdasarkan deskripsi realitas fiksi di atas, novel ini memberikan keteladanan
dalam mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Kepentingan umum itu tidak dapat diwujudkan dengan sewenang-wenang, melainkan berdasarkan
hukum yang berlaku, baik hukum adat maupun hukum modern. Ketentuan hukum inilah yang dilanggar oleh Jepang dan Belanda selama berada di Tapanuli, sehingga
menimbulkan perlawanan, pengkhianatan, dan peperangan antarsesama orang Batak. Konflik tersebut akhirnya dapat diselesaikan dengan pemunculan ikon penyelamat
bangsa menghadapi ikon pengkhianat bangsa dengan kemenangan berada di pihak Bonar sebagai simbol penyelamat bangsa, khususnya orang Batak di Tapanuli.
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
4.4 Novel Pantai Barat Karya Bokor Hutasuhut 4.4.1 Struktur Novel