Pandangan Dunia Novel Penakluk Ujung Dunia Karya Bokor Hutasuhut .1 Struktur Novel

”Ronggur, itulah tanahmu. Ronggur, itulah tanah habungkasanmu. Ronggur, itulah yang ditunjukkan mimpi dan perkataan gaib dalam mimpimu. Dia telah membawamu ke tanah habungkasan yang maha luas.” PUD:143 Dengan demikian, subjek transindividual dalam novel PUD adalah Ronggur. Sebaliknya, subjek individual dalam novel ini adalah Datu Bolon Gelar Guru Marlasak. Ronggur yang semula dianggap mementingkan diri sendiri karena terpaksa harus melanggar kepercayaan warga, ternyata menjadi subjek transindividual yang potensial. Ronggur yang melepaskan semua simbolisasi kebesaran seorang raja muda memberikan hasil penemuannya kepada semua orang Batak, baik berasal dari marganya maupun dari marga yang lain. Dengan demikian, simbol perlawanan dan pembebas perbudakan dalam diri Ronggur terhadap adat di Kerajaan Marga merupakan perwujudan subjek transindividual dalam kehidupan warga di tepi Danau Toba.

4.2.4 Pandangan Dunia

Pandangan dunia dalam novel PUD karya Bokor Hutasuhut dapat dikelompok atas dua bagian, yaitu pandangan dunia yang sempit dan pandangan dunia yang luas. Pandangan dunia ini merupakan hasil perwujudan kesadaran subjek kolektif terhadap sesama manusia dan alam sekitarnya. Prinsip kesadaran yang mungkin terwujud adalah usaha mencapai keseimbangan hidup. Kesadaran yang mungkin terwujud dalam konteks pandangan dunia sempit terlihat dari sikap para raja yang didukung oleh warga Kerajaan Marga terhadap keterbatasan ruang dan waktu manusia menjalani kehidupannya. Pandangan dunia ini merupakan perwujudan dari kepatuhan Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 dan religiositas warga yang secara turun-temurun bertempat tinggal di tepi Danau Toba. Pandangan dunia terhadap alam sekitar dan kepercayaan kepada Mulajadi Na Bolon itu terlihat dalam kutipan berikut ini. ”Usulmu memang bagus,” sahut Raja Panggonggom mengatasi dengung suara itu. Tapi, ke mana kita harus mencari tanah garapan baru? Sekitar kita, melingkar gunung batu yang tandus lagi tinggi. Kita tidak tahu, berakhir di mana gunung ini. Kita tidak dapat tahu, apakah masih ada tanah datar di seberang pegunungan ini. Pegunungan ini berlapis-lapis, pagar alam yang sengaja dibuat para dewata, supaya kita tidak melintasi dan melewatinya. Tiap puncak dijaga para dewata, yang menjelma menjadi binatang buas. Penjaga ini tidak senang pada orang yang berani melintas di sana, karena mengganggu ketenteraman para dewata yang tidak tampak oleh mata kita. Binatang buas akan membunuh tiap orang tanpa ampun. Siapa yang mau membunuh diri dengan pekerjaan sia-sia itu? Karena itu, bagaimanapun, kita harus mempertahankan tiap jengkal dan tiap tapak tanah yang kita pusakai dan kuasai. Dan, harus berusaha pula meluaskannya. Caranya terserah pada kekuatan kita. Habis perkara.” PUD:17 Meskipun Ronggur dianggap oleh raja dan warga Kerajaan Marga sebagai orang yang tidak beradat dan tidak beragama, tetapi Ronggur tetap yakin bahwa tindakannya benar. Ronggur menjadi subjek transindividual masyarakat yang bertempat tinggal di tepi Danau Toba. Perilaku Ronggur ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, Ronggur telah membaca pustaka nenek moyang. Kedua, Ronggur mengamati secara langsung lahan permukiman dan pertanian yang menjadi sumber kehidupan masyarakatnya. Ketiga, Ronggur menganalisis kegagalan mantan datu bolon kerajaan yang mengakibatkan ayahnya tewas setelah memasuki pangkal Sungai Titian Dewata di celah dinding batu gunung yang curam dan berkabut tebal. Berdasarkan ketiga hal tersebut di atas, Ronggur sebagai simbol perlawanan dan pembebas perbudakan merumuskan pandangan dunianya. Baginya, pegunungan Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 dan sungai bukan sesuatu yang membatasi ruang dan waktu dalam mobilitas kehidupan manusia. Justru, manusia harus berani menanggung risiko dalam usahanya menjaga keseimbangan hidup antarsesama manusia dan antara manusia dengan alam sekitarnya. Hal ini terlihat dalam ucapan Ronggur kepada Tio berikut ini. “Kalau tidak salah, sudah ada tiga gelombang peperangan antara marga yang satu dengan marga lain. Dan, peperangan itu akan bertambah banyak lagi timbul di masa mendatang. Jadi, sebelum masa itu tiba, harus ada usaha mencari tanah habungkasan. Orang yang berani dan bertanggung jawab akan masa datang, harus mulai sekarang memulai kerja ke arah itu, merintis jalan, dengan berani menantang segala aral-melintang, berani menantang segala cerita yang bersifat menakut-nakuti. Berani menantang sesuatu yang dirasakan ialah satu kepercayaan bagi kebanyakan orang. Karena aku merasakan persoalan itu, kupikir, aku harus turut memikul bebannya, walaupun nyawaku sendiri menjadi taruhannya.” PUD:44 Ronggur memulai hidup dengan pandangan dunia yang baru setelah menemukan kenyataan, bahwa Sungai Titian Dewata tidak berakhir di ujung dunia. Sungai itu berarus kuat karena membentur batu gunung dan menuju air terjun yang sangat tinggi di balik pegunungan yang mengelilingi Danau Toba. Orang yang tidak dapat mengendalikan cadik atau perahu di arus sungai yang kuat menuju air terjun memiliki kemungkinan tidak akan selamat. Untuk mewujudkan rasa terima kasih atas kesediaan Tio menemani perjalanannya dan untuk mengukuhkan perilakunya yang tidak memperlakukan seorang budak sebagai layaknya warga memperlakukan budak beliannya, maka Ronggur membuang gelang sebagai simbol budak yang melingkar di pergelangan tangan Tio. Hal itu terekam dalam kutipan berikut ini. Perlahan, kembali Ronggur mengangkat dagu Tio. Mendudukkannya. Ditatapnya lama biji mata yang sayu itu. Jari jemarinya meraba pergelangan Tio. Lalu dengan hentakan kasar, direnggutnya gelang yang dipakai Tio, pertanda dia seorang budak belian. Gelang itu dicampakkan Ronggur sekuat Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 tenaga. Jauh-jauh. Tio sudah merdeka kembali. Berhadapan dengan kenyataan ini hatinya jadi bersorak gembira. Air mata yang menggenangi pelupuk matanya tidak bersumber dari kepiluan dan ketakutan lagi. Tapi, bermula dari perasaan gembira. PUD:135 Ronggur ternyata memiliki pandangan dunia yang luas bahwa tanah dan segala isinya bukan milik perseorangan meskipun orang itu yang pertama menemukan tanah tersebut. Tanah dan segala isinya adalah anugerah Tuhan, Mulajadi Na Bolon, milik semua orang yang ingin memilikinya. Sudah tentu, kepemilikan itu harus menghormati orang-orang yang telah bermukim di tempat itu. Hal itu terlihat dalam peristiwa penemuan tanah pertanian di perbatasan Tanah Batak dengan Tanah Melayu tersebut sebagaimana terekam dalam kutipan berikut ini. Mereka bersujud ke arah matahari. Perlahan, Ronggur menegakkan Tio dari sujudnya. Setelah memberi kecupan pada bibirnya, dia mengatakan pula, “Itu bukan tanahku, Istriku. Tapi, juga tanahmu. Tanah kita berdua. Tanah anak kita. Tanah keturunan kita, yang pasti banyak dan akan terus berkembang. Tapi, juga tanah orang lain, yang mau bungkus ke sana. PUD:143 Berdasarkan pembahasan di atas, maka Ronggur merupakan protagonis yang memiliki pandangan dunia lebih luas dibandingkan dengan pandangan dunia para raja dan datu Kerajaan Marga. Para raja dan datu kerajaan hanya berpandangan, bahwa ruang dan waktu kehidupan manusia dibatasi oleh pegunungan yang mengelilingi tempat tinggalnya. Sebaliknya, Ronggur berkeyakinan bahwa di seberang pegunungan terdapat tanah habungkasan sebagai tempat perluasan marga. Bahkan, dalam soal kepercayaan beragama, Ronggur mengkaji kembali keyakinan warga – masyarakat- dengan membaca pustaka nenek moyang sedangkan para raja dan datu hanya mengandalkan pengalaman hidupnya. Dengan demikian, segala sesuatu yang Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 belum teruji kebenarannya haruslah diupayakan penelitian dan pembuktian kebenarannya, sehingga kebenaran yang muncul dapat dibuktikan oleh orang lain dengan yang hasil yang sama benarnya. Hal inilah yang membelenggu kehidupan orang Batak di tepi Danau Toba dan Sungai Titian Dewata Sungai Asahan pada zaman perang antarmarga. 4.3 Novel Tanah Kesayangan Karya Bokor Hutasuhut 4.3.1 Struktur Novel