Pengantar Analisis Penjelasan Konteks Historis

BAB VI PANDANGAN DUNIA MASYARAKAT BATAK TOBA BERDASARKAN

REALITAS FIKSI DAN REALITAS FAKTUAL

6.1 Pengantar Analisis Penjelasan Konteks Historis

Analisis semiotik dan strukturalisme genetik terhadap pandangan dunia masyarakat Batak Toba akan menggabungkan realitas fiksi dalam novel dengan realitas faktual dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba. Realitas fiksi didasarkan pada peristiwa kehidupan dalam novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut. Sebaliknya, realitas faktual didasarkan pada hasil penelitian para ahli terhadap nilai budaya Batak Toba. Dengan demikian, penggabungan realitas fiksi dengan realitas faktual akan memberikan rumusan yang kongkret terhadap pandangan dunia masyarakat yang melatarbelakangi penulisan novel tersebut. Penetapan konteks historis realitas fiksi novel karya Bokor Hutasuhut tersebut pada penamaan masyarakat Batak Toba didasarkan atas tiga faktor. Pertama, struktur ruang mengacu pada penamaan kota dan wilayah Afdeling Bataklanden di Keresidenan Tapanuli. Kedua, struktur waktu kejadian dalam realitas fiksi memiliki kesejajaran dengan konteks histroris dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Ketiga, perilaku masyarakat dalam realitas fiksi memiliki homologi dengan peradaban Batak Toba yang tercermin dalam nilai budayanya. Dengan demikian, ketiga novel karya Bokor Hutasuhut menggambarkan tahapan peradaban Batak Toba. Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Novel PUD karya Bokor Hutasuhut menggambarkan peradaban Batak Toba sebagai sebuah realitas, baik realitas fiksi maupun realitas faktual. Masyarakat yang digambarkan pengarang dalam novel ini berada di Kabupaten Toba Samosir, tepatnya Kecamatan Balige. Dari kawasan Balige ini, masyarakat sebagaimana diikonitaskan pada pergerakan perahu yang dikayuh Ronggur dan Tio memerlukan waktu dua hari untuk sampai di Sungai Titian Dewata yang sekarang bernama Sungai Asahan. Hal itu disebabkan perahu tersebut mereka desain dengan haluan yang tumpul dan dasar yang lebih datar dari perahu biasa, sehingga menjadi berat dan tidak dapat berlayar cepat. Dari kawasan perbukitan sekitar Balige ini pula, masyarakat sebagaimana diikonitaskan oleh Ronggur dan Tio dapat menatap teluk tempat bermula Sungai Titian Dewata. Kawasan itu dideskripsikan dengan cara sebagai berikut. Dari tempat ketinggian, mereka menatap ke sekitar. Pandang bebas diarahkan ke mana suka, hanya ke arah belakang yang kandas pada pegunungan. Barat, melalui tingkatan dinding teluk, didasarnya hutan yang mereka tuju. Utara, danau yang biru. Beriak-riak. Dari sana tampak lebih jelas lagi, di teluk mana Sungai Titian Dewata bermula. PUD:60 Di aliran Sungai Titian Dewata terdapat ikon tempat yang bernama Porsea, Sampuran Harimau, dan Tangga. Pencantuman nama tempat itu sebagai latar cerita masih diikuti oleh penggunaan nama tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Tuktuk Sigaol, dan Tuktuk Tarabunga sebagai latar utama realitas fiksi, serta Parhitean, Tiga Dolok, Dairi, dan Simalungun sebagai nama-nama tempat pengembaraan yang tertulis dalam novel tersebut. Dengan penggunaan tempat yang mengacu pada realitas faktual, maka novel ini memiliki hubungan yang menyatu dengan masyarakat Batak Toba. Kutipan Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 berikut ini memperlihatkan religiositas masyarakat Batak Toba di pangkal Sungai Titian Dewata yang sekarang bernama Porsea. Kemudian rombongan lain bertambah banyak menuju tanah habungkasan. Selalu mereka mengadakan upacara di pangkal sungai, mempertebal keyakinan bahwa mereka akan dituntun para dewata dan arwah nenek moyang ke tanah habungkasan. Baik melalui jalan darat. Sejak itu, nama tempat itu mereka sebut Porsea. PUD:197 Novel TK karya Bokor Hutasuhut tidak menyebut nama kota atau perkampungan secara definitif. Novel ini hanya menyebutkan bahwa struktur ruang peristiwa berada di perkampungan dan kota kecil yang terletak di tepi Danau Toba. Tempat berlangsungnya peristiwa dalam novel TK hanya dituliskan berhadapan dengan bukit utara dan berada setelah kota T, AN, P, dan L. Inisial nama kota ini merujuk pada penamaan kota Tebing Tinggi, Aek Nauli, Parapat, dan Laguboti sebagai lintasan yang akan digunakan pasukan Belanda pada Agresi Militer di Tapanuli. Berdasarkan ikonitas inisial nama kota pada realitas fiksi tersebut, maka ikon kota tempat berlangsungnya cerita mengacu pada daerah yang bernama Balige. Novel PB karya Bokor Hutasuhut semakin mempersempit peneraan ikon kota tempat peristiwa berlangsung. Inisial nama kota hanya terdapat dua, yaitu M dan G. Selebihnya, hanya menyebutkan kota pantai barat. Inisial M mengacu pada Kota Medan sedangkan G mengacu pada Kota Gunung Sitoli. Kota M merupakan kota tempat protagonis bersekolah sedangkan kota G menjadi tempat Pakcik Fat membuka usaha dagang. Penetapan Kota Sibolga sebagai latar peristiwa kehidupan dalam novel ini diperkuat oleh pemunculan ikon kota pantai barat dan pelabuhan di pantai barat. Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Di Sumatera Utara atau Keresidenan Tapanuli, ikon kota pantai barat hanya mengacu pada satu pelabuhan, yakni Sibolga. Peristiwa kehidupan dalam ketiga novel ini juga mencerminkan tahapan peradaban masyarakat Batak Toba. Peradaban itu berada di kawasan Balige dan Sibolga. Peradaban dalam novel PUD mengambil masa kehidupan Batak Toba kuno sebelum orang Batak menemukan tanah perluasan marga, mengikuti aliran Sungai Titian Dewata atau Sungai Asahan untuk kemudian menetap Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun. Peradaban dalam novel TK mengambil hari-hari terakhir penjajahan Jepang dan agresi militer Belanda ke Tapanuli. Agresi militer Belanda berakhir dengan penarikan pasukan Belanda setelah Komisi Tiga Negara yang dibentuk oleh PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta Belanda menarik pasukannya dari daerah yang dikuasai Republik Indonesia. Tapanuli merupakan daerah yang berpihak kepada Republik Indonesia. Sebaliknya, peradaban dalam novel PB mengambil latar pascaperang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman Belanda dan gerakan separatisme pada Orde Lama di Kota Sibolga. Penduduk pelabuhan ini lebih banyak dihuni oleh anak-anak dan orang-orang tua yang miskin. Di kota inilah orang-orang Toba membangun pusat peradaban Batak Toba yang terdekat dengan tanah kelahirannya. Meskipun kehidupan yang ditampilkan pengarang dalam ketiga novel itu dihadapkan pada kesengsaraan, tetapi pengarang tetap menampilkan karakter Batak Toba yang pantang menyerah dalam mencapai cita-citanya. Hal inilah yang diperlihatkan oleh Ronggur dalam PUD, Bonar dalam TK, dan Tokoh Aku dalam Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 PB. Ketiga tokoh cerita ini merupakan perwujudan indeks pemuda Batak Toba yang mampu mengatasi superegonya dan bertanggung jawab terhadap keseimbangan hidup masyarakatnya. Dengan demikian, protagonis dalam novel karya Bokor Hutasuhut menjadi simbol laki-laki yang bertanggung jawab. Kemampuan protagonis dalam realitas fiksi karya Bokor Hutasuhut untuk mewujudkan gagasannya berkaitan erat dengan kemampuan adaptasi dan organisasinya. Ronggur, Bonar, dan tokoh Aku melakukan asimilasi dan akomodasi dalam setiap aktivitas sosialnya, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan pandangan hidup masyarakatnya. Setelah melakukan asimilasi dan akomodasi, maka ketiga protagonis tersebut mulai menyesuaikan berbagai aktivitas individu dan aktivitas kolektif masyarakat kepada sistem aktivitas yang sesuai dengan nilai budaya Batak Toba. Proses penyesuaian diri untuk menjaga keseimbangan hidup bermasyarakat ini sejalan dengan pendapat berikut ini. “Pieget beranggapan bahwa setiap organisme hidup dilahirkan dengan dua kecenderungan fundamental, yaitu kecenderungan untuk adaptasi dan kecenderungan untuk organisasi.” Adaptasi merupakan kecenderungan bawaan setiap organisme untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Proses adaptasi dapat dilakukan dengan asimilasi dan akomodasi. Asimilasi yaitu kecenderungan organisme untuk mengubah lingkungan guna menyesuaikan dengan dirinya sendiri sedangkan adaptasi yaitu kecenderungan organisme untuk mengubah dirinya sendiri guna menyesuaikan diri dengan lingkungan. Sebaliknya, kecenderungan organisasi merupakan kecenderungan bawaan setiap organisme untuk mengintegrasi proses-proses sendiri menjadi sistem- sistem yang koheren. Proses adaptasi melalui asimilasi dan akomodasi tidak dapat lepas dari proses organisasi sehingga memunculkan prinsip ekuilibrium, sebuah proses interaksi yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan. Monks dan Siti Rahayu Haditono, 2002:209-212 Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Keberhasilan Ronggur, Bonar, dan tokoh Aku melakukan asimilasi, akomodasi, dan organisasi dalam kehidupan masyarakat tidak terlepas dari sikap toleran yang mereka perlihatkan. Hal ini sesuai dengan peringatan yang diberikan Koentjaraningrat 1986:256 terhadap kemungkinan hambatan yang muncul. “Dari berbagai proses asimilasi yang pernah diteliti oleh para ahli terbukti bahwa hanya dengan pergaulan antara kelompok-kelompok secara luas dan intensif saja, belum tentu terjadi suatu proses asimilasi, kalau di antara kelompok-kelompok yang berhadapan itu tidak ada sikap toleransi dan simpati satu terhadap yang lain.” Oleh karena itu, ketiga protagonis memperlihatkan toleransi dan simpati yang terus- menerus terhadap keadaan masyarakat sekitarnya, sehingga mereka memperoleh dukungan dari masyarakat tertentu untuk mengubah peradaban masyarakatnya. Dengan cara seperti ini, identitas protagonis sebagai orang Batak Toba tetap melekat dalam kepribadian masing-masing. Sejalan dengan paparan di atas, ketiga protagonis dalam novel karya Bokor Hutasuhut ini mengutamakan tanah sebagai harta pusaka yang harus dijaga dan diolah hasil buminya. Hal ini terlihat dalam sikap Ronggur terhadap akar konflik yang terjadi di Kerajaan Marga sebagai perwujudan harajaon dalam kehidupan orang Batak Toba. Kutipan berikut ini memperlihatkan akar konflik yang menjadi sentral tema novel karya Bokor Hutasuhut berikut ini. “Kuhormati kepahlawanan Ama ni Boltung,” sahut Ronggur, “tapi yang paling perlu kita pikirkan sekarang, mula atau sebab timbulnya perkelahian itu. Dari keterangan Paduka Raja, dapat diketahui bahwa soalnya timbul karena pembagian air dan perbatasan sawah. Soal yang sudah terlalu sering menimbulkan pecahnya perang antara satu marga dengan marga yang lain, Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 antara satu luhak dengan luhak yang lain. Yang menjadi pokok persoalan sekarang menurut pendapatku, hendaknya kita menelaah, kenapa persoalan begitu rupa tambah sering kita hadapi. Tambah sering mengganggu ketenteraman hidu? Mengganggu kerukunan hidup di pantai Danau Toba ini?” PUD:16 Ketergantungan masyarakat Batak Toba terhadap tanah juga dialami oleh masyarakat Indonesia yang lain. Menurut Soekanto 2007:137, “Pada umumnya penduduk pedesaan di Indonesia ini, apabila ditinjau dari segi kehidupan, sangat terikat dan sangat tergantung dari tanah earth-bound. Karena sama-sama tergantung pada tanah, kepentingan pokok juga sama sehingga mereka juga akan bekerja sama untuk mencapai kepentingan-kepentingannya.” Akibat dari pengutamaan tanah dalam kehidupan, maka muncul perang perebutan tanah beserta segala isinya dalam konteks historis Batak Toba. Hal ini memberi dampak lain terhadap sistem pembagian kerja dengan mengutamakan laki-laki dan bukan berdasarkan keahlian. Penempatan tanah dan laki-laki sebagai bagian yang menyatu dalam kepribadian masyarakat Batak Toba telah melahirkan pandangan dunia yang khas terhadap kemajuan dan sistem kekerabatan. Pandangan dunia dalam kemajuan dan kekerabatan berkaitan dengan pandangan dunia terhadap nilai budaya yang lain. Pandangan dunia masyarakat Batak Toba dalam konteks realitas fiksi mengacu pada pergerakan peradaban, baik sesuai dengan struktur ruang maupun struktur waktu. Hal ini sesuai dengan konsep pandangan dunia yang berlaku dalam sistem nilai budaya yang menyatakan, bahwa pandangan dunia suatu masyarakat hanya dapat ditentukan dari sekelompok masyarakat yang meyakini segi tertentu dari sistem nilai budaya masyarakat tersebut. Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Suatu sistem nilai budaya sering juga berupa pandangan hidup atau world view bagi manusia yang menganutnya. Namun istilah “pandangan hidup” sebaiknya dipisahkan dari konsep nilai budaya. Pandangan hidup biasanya mengandung sebagian dari nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, yang dipilih secara selektif oleh para individu dan golongan-golongan dalam masyarakat. Dengan demikian, apabila “sistem nilai” itu merupakan pedoman hidup yang dianut oleh sebagian besar warga masyarakat, “pandangan hidup” itu merupakan suatu sistem pedoman yang dianut oleh golongan-golongan atau lebih sempit lagi, individu-individu khusus dalam masyarakat. Karena itu, hanya ada pandangan hidup golongan atau individu tertentu, tetapi tak ada pandangan hidup seluruh masyarakat. Koentjaraningrat, 1986:193-194 Berdasarkan pemaparan di atas, maka analisis semiotik dan strukturalisme genetik terhadap pandangan dunia masyarakat Batak Toba berdasarkan pendekatan hermeneutika historis, tetap mengutamakan kehidupan dalam realitas fiksi dan hasil penelitian terhadap realitas faktual, kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba. Analisis semiotik akan mengambil segi tertentu dari ikon, indeks, atau simbol yang berlaku dalam sistem kekerabatan, religi, hagabeon, hukum, kemajuan, konflik, hamoraon, hasangapon, dan pengayoman yang terdapat dalam realitas fiksi dan realitas faktual. Kemudian, hasil analisis semiotik akan dihomologikan terhadap konteks historis yang melatarbelakangi pemunculan penanda dan petanda tersebut dalam realitas fiksi dan realitas faktual. Dengan demikian, pandangan dunia masyarakat Batak Toba dapat dirumuskan dengan cermat sesuai dengan relasi gender dalam konteks historis realitas faktual dan konteks strukturasi novel karya Bokor Hutasuhut. Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 6.2 Analisis Pandangan Dunia Masyarakat Batak Toba 6.2.1 Pandangan Dunia tentang Kekerabatan