Pandangan Dunia tentang Pengayoman

aku sebagaimana aku mengenal mereka. Dikota ketjil begini hampir setiap orang saling kenal-mengenal, apalagi kami jang sudah agak tua dan penghuni lama dari kota ini.” PB:36 Pandangan dunia masyarakat Batak Toba terhadap hasangapon ternyata tidak didasarkan pada raihan jabatan formal. Jabatan yang mengabaikan tondi dan sahala dalam aktivitas sosial yang beradab akan mengakibatkan malapetaka bagi pemangku jabatan tersebut. Sebaliknya, jabatan yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan memperoleh kewibawaan dan kemuliaan bagi pemangku jabatan tersebut. Hal inilah yang diterima oleh Ronggur, Bonar, dan tokoh Aku dalam realitas fiksi novel karya Bokor Hutasuhut.

6.2.9 Pandangan Dunia tentang Pengayoman

Pengayoman dalam novel Bokor Hutasuhut tidak sama antara satu novel novel yang lain. Pada novel PUD, pengayoman dari Raja Panggonggom tergoyahkan oleh kegigihan Ronggur menemukan tanah habungkasan. Raja Panggonggom sebagai bagian dari dongan sabutuha Ronggur tidak menjadi pengayom bagi pemenuhan indeks mimpi tanah habungkasan. Pengayoman itu justru datang dari Ibu Ronggur dan Mantan datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan yang membangkitkan kualitas tondi, sahala, dan mengusir begu dalam diri Ronggur dan Tio. Kutipan berikut memperlihatkan upacara pemberkatan perjalanan menemukan indeks tanah habungkasan, di mana pisau gajah dompak, yang juga dimiliki Raja Panggonggom, sebagai simbol sahala harajaon dan sahala hasangapon Batak Toba diberikan ibunya kepada anak laki-laki tunggalnya. Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Ibunya menyelipkan pisau gajah dompak ke pinggang Ronggur, pisau pusaka turun-temurun. Yang berukirkan kakek kesatuan keturunan mereka yang langsung. Di tengah malam buta, Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan datang ke sana. Dia menjampi Ronggur dan Tio, agar selamat dalam perjalanan. Supaya terhindar dari godaan setan. Kemudian pada Ronggur diberikan ajimat yang terbuat dari besi putih, diukir dengan huruf Batak. Juga pada Tio diberi ajimat, terbuat dari jalinan benang berwarna tujuh. PUD:98 Pisau gajah dompak dalam realitas faktual merupakan simbol kewibawaan tertinggi Si Singamangaraja I hingga XII. Pemegang senjata pusaka ini setara dengan kepemilikan keris dan stempel dalam kesultanan Aceh yang menjadi sahabat Si Singamangaraja. Menurut Sidjabat 2007:368, ”Kewibawaan tertinggi dari Sultan disimbolisasikan dengan dua cara, yaitu oleh ‘keris’ dan ‘stempel’.” Masyarakat Batak Toba memiliki pandangan dunia bahwa pemegang pisau gajah dompak merupakan pemegang kekuasaan dan kewibawaan yang menjadi simbol pengayoman Batak Toba. Perlakukan dongan sabutuha yang menolak indeks mimpi dan tanah habungkasan memunculkan sikap mandiri, sehingga hanya dalam keadaan terdesak orang Batak Toba meminta pengayoman dari hula-hula atau dongan sabutuha. Bahkan, Tokoh Aku sebagai perwujudan orang Batak Toba yang merantau dalam novel PB harus mengambil keputusan sendiri dalam proses asimilasi dan akomodasinya. Tokoh Aku tidak mau memberikan beban berat kepada hula-hulanya setelah menikah dengan Fat yang menjadi korban pemerkosaan. Tokoh Aku sebagai perantau disadarkan oleh lingkungan agar lebih cerdas dalam beradaptasi, sehingga dapat dijadikan masyarakat sebagai bagian dari lingkungan mereka sendiri. Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Aku lantas teringat pada ajah, ibu. Biasanja mereka selalu mengadjak aku membitjarakan persoalan² jang sedang dihadapi keluarga. Tapi sekarang tidak ada orang jang mengadjak aku walau aku ingin turut membitjarakannja. PB:62 Pengayoman terlihat berjalan dengan baik dalam novel TK di mana tampil pihak hula-hula Pak Maurid beserta dongan sabutuha Ketua Komite, Ayah Ojak, dan Ayah Poltak yang memberi pengayoman kepada pemuda. Hasilnya, masyarakat hidup dengan tenteram walaupun kota kecil tempat tinggal mereka mendapat serangan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia itu sendiri mendapat dukungan dari Kepala Negeri dan teman-temannya yang juga pernah menjadi pendukung utama Jepang di Tapanuli. Meskipun terdapat pengkhianatan dalam perjuangan masyarakat Batak Toba melawan penjajahan, orang Batak Toba tetap berpandangan bahwa pengayom yang menjalankan fungsinya dengan benar akan mendapat keselamatan sedangkan pengayom yang mengabaikan fungsinya akan memperoleh kegagalan dan kesengsaraan dalam kehidupannya. Hal tersebut terbukti dari ketidakberuntungan Kepala Negeri yang seharusnya menggunakan jabatan sebagai pengayom tetapi berbalik menggunakan jabatan untuk kepentingan dirinya sendiri. Secara keseluruhan, pengayoman yang berasal dari hula-hula tidak dapat terwujud dalam realitas fiksi novel karya Bokor Hutasuhut. Hal ini disebabkan orang tua Tio sebagai hula-hula Ronggur dan orang tua Fat sebagai hula-hula tokoh Aku mengalami krisis keluarga. Orang tua Tiur tewas dalam perang melawan marga yang disandang oleh Ronggur sedangkan orang tua Fat tewas dalam pergolakan daerah Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 pada masa pemerintahan Orde Lama. Sebaliknya, orang tua Tiur sebagai hula-hula Bonar bersama Bonar terlibat dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Untuk mengatasi ketiadaan pengayoman dari hula-hula yang berkedudukan sebagai ayah dan ibu kandung dari pihak istri, maka adat Batak Toba memberi solusi dengan menempatkan semua dongan sabutuha pihak istri sebagai hula-hula. Peran ini pun hanya terjadi pada realitas fiksi novel TK dan PB. Hal ini disebabkan dongan sabutuha pihak istri Ronggur dalam novel PUD telah jatuh martabatnya sebagai orang Batak Toba. Keluarga marga yang disandang oleh Tio kalah perang dengan keluarga marga yang disandang oleh Ronggur, sehingga keluarga marga yang disandang oleh Tio menjadi tawanan perang, budak, dan menyembunyikan diri dari keramaian masyarakat. Sebaliknya, Bonar dalam TK yang tinggal sekampung dengan Tiur mendapat pengayoman dari orang tua Tiur dan dongan sabutuhanya, seperti Ketua Komite, Ayah Ojak, dan Ayah Poltak. Demikian juga dengan tokoh Aku dalam PB mendapat pengayoman dari Pakcik Fat dan Makcik Fat, baik dalam memandang masalah perkawinan maupun masalah perdagangan. Pengayoman tidak berjalan dengan baik pada masa penjajahan, baik penjajahan Jepang maupun Belanda. Bonar terpaksa menikah dengan Tiur pada saat Jepang mengambil hasil bumi penduduk dan Belanda bersiap menjajah Indonesia kembali. Pada masa itu, masyarakat Batak Toba mengalami kemiskinan dan ketakutan, sehingga pengayoman tidak berjalan normal. Pengayoman hanya terjadi dari ketua atau komandan kepada bawahannya atau dari orang tua kepada anaknya. Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Hal inilah yang disadari oleh Ibu Bonar dalam memenuhi permintaan Pak Maurid yang akan menjadi hula-hula Bonar sebagaimana tertera dalam kutipan berikut ini. Masih lama Bonar terdiam. Tapi kemudian, dengan terpatah-patah Bonar mengatakan: „Pak Maurid mengharapkan, agar aku dan Tiur menikah sebelum dia berangkat.” Ibunya terdiam mendengarkan. Angin malam dari danau mengusapi dada mereka. „Sebenarnja ibu sudah lama ingin mendengar berita baik ini. Sajang sekali bahwa dalam keadaan seperti sekarang kita dihadapkan padanja.” „Itulah pesan dan harapan pak Maurid.” „Sepantasnja kita berusaha memenuhinja,” kata ibunya. TK:63-64 Di samping pengayoman secara tatap muka sebagaimana penjelasan di atas, maka terdapat simbolisasi pengayoman yang dilakukan orang tua terhadap anak dan menantunya. Bentuk pengayoman itu adalah pemberian ulos sebagai simbol pengayoman dan pengesahan orang tua terhadap perkawinan anaknya, terutama ulos dari ibu dari pihak suami kepada menantunya, istri dari putranya. Hal ini terlihat dari perlakuan ibu tokoh Aku kepada Fat yang disampaikan oleh ayah tokoh Aku berikut ini. Aku mendjindjing koper dan langkah kami pertjepat menudju rumah. Sebuah bungkusan ketjil dikepit ajah diketiaknja. Tidak diberikannja aku membawa. Ajah mengatakan: “Bungkusan ini adalah kiriman ibumu untuk isterimu. Aku harus langsung memberikannja. Ulos untuk menaungi batin isterimu. Salah satu cara pemberian adat, nak.” PB:108 Pemberian ulos ini juga dilakukan oleh Ibu Ronggur kepada Ronggur dan Tio. Pemberian ulos kepada Tio yang masih berstatus budak belian memberi pertanda bahwa Ibu Ronggur merestui Tio sebagai pendamping hidup Ronggur, anak laki- lakinya. Hal itu terlihat dalam peristiwa berikut ini. Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Pada leher Ronggur membelit ulos batak ragi purada yang dibelitkan ibunya. Begitu juga pada leher Tio, dibelitkan ulos batak ragi purada yang diiringi kata, “Belitkanlah pada tubuhmu, di kala dingin mencekam. Pengganti tangan bunda….” PUD:99 Realitas fiksi dan realitas faktual pengayoman dalam kehidupan masyarakat Batak Toba memperlihatkan sebuah keharusan pelaksanaannya. Apabila hula-hula tidak berfungsi akibat krisis keluarga, maka dongan sabutuha menggantikan kedudukan hula-hula. Bahkan, pengayoman tidak hanya berbentuk perkataan tetapi juga dapat berbentuk benda, yakni ulos. Ulos menjadi simbol pengayoman yang paling umum terjadi dalam berbagai upacara adat Batak Toba, baik dalam realitas fiksi novel karya Bokor Hutasuhut maupun dalam realitas faktual kehidupan sehari- hari masyarakat Batak Toba.

6.3 Kontekstualisasi