akulturasi merupakan “proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing
dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu sendiri.” Tokoh Aku mulai menetap di kota pantai barat ini sebagai orang Toba. Dia pun disambut oleh orang Pesisir yang memahami adat
Batak Toba, sehingga menyambut kedatangan tokoh Aku dengan cara Toba, yakni menanyakan asal dan marga, sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut ini.
KERAMAHAN PAKTJIK DAN MAKTJIK MEMBUAT AKU KERASAN tinggal dirumah itu. Maktjik selalu mengadju tanja padaku: “Darimana asalku.
Siapa keluargaku. Apa margaku. Sudah kawin atau belum.” PB:39 Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dalam realitas fiksi dan realitas faktual,
maka indeks pagar pegunungan dan Sungai Titian Dewata menjadikan Tanah Batak terasing dan terbelakang. Penemuan indeks tanah habungkasan telah mengubah pola
pikir masyarakat Batak Toba untuk bermigrasi dalam usaha memperoleh kemajuan dan kemudahan pemenuhan kebutuhan. Dengan demikian, kemajuan masyarakat
Batak Toba tidak ditentukan oleh orang lain tetapi ditentukan oleh keberanian mengubah pola pikir orang Batak Toba itu sendiri.
6.2.6 Pandangan Dunia tentang Konflik
Konflik tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan orang Batak Toba. Pada zaman Batak kuno, konflik muncul antara dua kekuatan yang menginginkan dan yang
tidak menginginkan perang memperebutkan tanah perluasan marga, dengan cara
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
mengalahkan marga yang lain. Orang yang tidak menginginkan perang harus tunduk pada ketentuan raja sebelum orang tersebut menemukan kebenaran dari
keyakinannya. Hal inilah yang menjadi pandangan hidup masyarakat Batak Toba di muara Sungai Titian Dewata sebagaimana tergambar dalam novel PUD karya Bokor
Hutasuhut. Akar konflik dalam kehidupan masyarakat Batak Toba kuno adalah persoalan
tanah. Hal itu terungkap pada saat sidang kerajaan berkaitan dengan pembunuhan Ama ni Boltung. Pada saat itu muncul Ronggur memberikan jalan keluar untuk
mengatasi perang antarmarga. Jalan keluar yang diberikan adalah menemukan indeks tanah habungkasan. Indeks ini berbenturan langsung dengan sistem religi masyarakat
sehingga untuk menemukan indeks tersebut harus mengubah aturan dan hukum adat Batak Toba. Realitas fiksi waktu itu menetapkan indeks pagar pegunungan dan
Sungai Titian Dewata sebagai batas struktur ruang dan waktu yang bisa dijalani oleh masyarakat. Kepercayaan ini menjadi mitos pengukuhan karena raja dan datu bolon
kerajaan dengan setia menjaga kebenaran kepercayaan ini. Kepercayaan inilah yang terpaksa harus dilanggar oleh Ronggur dalam usaha mencapai hamoraon dan
hamajuon marganya, baik untuk kebutuhan masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Realitas fiksi dalam novel PUD memperlihatkan bahwa penyelesaian konflik atas tanah tidak terselesaikan dengan bijaksana. Setiap saat konflik yang mengarah
pada peperangan tersebut dapat muncul akibat ada orang yang tidak mengikuti peraturan dan hukum yang berkaitan dengan tanah. Hal itu menjadi sebab kematian
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Ama ni Boltung, warga Kerajaan Marga. Secara adat, perang dapat dihindarkan apabila marga yang membunuh menerima dan mau berunding dengan utusan marga
yang berduka cita. Akan tetapi, cara penyelesaian damai ini ditolak oleh marga yang membunuh sehingga terjadilah kebuntuan penyelesaian konflik. Pihak marga yang
berduka cita pun mengadakan musyawarah untuk mengesahkan penyelesaian konflik dengan cara perang antarmarga. Peristiwa berikut ini memperlihatkan cara
penyelesaian konflik dalam sidang kerajaan dalam realitas fiksi. Raja Panggonggom kembali berbicara, ”Kita tadi dengan sengaja membuka
satu percakapan yang cukup panjang. Tapi, percakapan itu tidak langsung penyebab kita berkumpul di sini, saat ini. Lihat, pisau yang tergenggam di
tangan kiriku ini. Darah Ama ni Boltung masih melekat di sini, masih basah malah. Alangkah sia-sia, suatu kemurtadan, kalau kita tidak menuntut balas,
kalau kita tidak menghapus corengan arang yang dibuat orang di wajah marga kita. Karena kita tidak mau disebut orang murtad, orang yang dikutuk arwah
nenek moyang, terutama pula setelah orang suruhan kita diusir oleh marga yang membunuh Ama ni Boltung itu, sidang kerajaan hari ini memutuskan:
mengumumkan perang dengan marga yang membunuh Ama ni Boltung” PUD:19
Selama berlangsung peperangan, maka peraturan perang pun berlaku.
Masyarakat Batak Toba tetap berusaha mempertahankan peraturan perang, seperti tidak diperkenankan menyerang kampung pada malam hari, terkecuali sudah
diberitahukan terlebih dahulu. Oleh karena itu, pasukan marga dalam PUD berhenti perang bila senja tiba dan kembali berperang bila pagi telah tiba, sebagaimana terlihat
dalam kutipan berikut ini. Bila senja tiba, kedua pasukan marga itu saling meninggalkan daerah
pertempuran. Mereka disambut gendang dan tortor para orang tua, para perempuan, para gadis di induk kampung. Faging babi, tuak, terus diedarkan
membakar semangat bertempur. Datu Bolon terus-menerus menjampi. Lalu, memberi nasihat.
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Dan, bila fajar terbit lagi, mereka kembali terjun ke daerah pertempuran. PUD:27
Indeks peraturan perang yang berlaku dalam kehidupan orang Batak Toba
mengalami pergeseran setelah tentara Paderi menyerang Tanah Batak. Perang ini mengakibatkan tewasnya Sisingamangaraja XI itu berlangsung tanpa batasan struktur
ruang dan waktu.. Setelah perang tersebut, peraturan perang pun berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang menguntungkan pihak yang paling cerdik. Menurut
Siahaan 2005:150, “Dalam penyerbuan ke Toba, tentara Padri membakar berpuluh- puluh rumah; menawan dan membunuh penduduk tanpa mempedulikan apakah
mereka wanita, anak-anak atau orang tua yang tak berdaya.” Perbuatan tentara Paderi tersebut melanggar Patik Dohot Uhum, peraturan dan hukum dalam adat Batak Toba,
termasuk peraturan perang. Konflik yang muncul akibat perebutan hak atas tanah dalam kehidupan orang
Batak Toba tidak hanya terjadi antarorang Batak Toba. Realitas faktual telah membuktikan bahwa Sisingamangaraja XII menjadi Pahlawan Nasional Indonesia
karena memimpin perlawanan rakyat Batak melawan Belanda. Realitas fiksi dalam novel TK memperlihatkan cara orang Batak Toba melawan penjajahan Jepang dan
Belanda. Konflik antara orang Batak Toba dengan Jepang lebih disebabkan karena peraturan Jepang yang semula mereka duga akan membebaskan masyarakat dari
Belanda ternyata menyengsarakan masyarakat. Masyarakat yang menyambut kedatangan Jepang pada akhirnya memusuhi dengan cara tidak mau bekerja sama,
bahkan di antara mereka harus tewas karena tertangkap menyeludupkan hasil bumi ke
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Sumatera Timur. Realitas fiksi penyambutan orang Batak Toba terhadap Jepang terlihat dalam kutipan pembicaraan Poltak dengan Bonar berikut ini.
Mereka terdiam lagi. Suara desau angin perlahan jang berkerisik didedaunan, seperti lagu dari negeri djauh: „Ayah bagi-bagikan teh susu pada tentara
Nippon. Dikibarkannja Hinomaru. Aku waktu itu menghajalkan dengan gairah ditempat pengungsian, ajah berdiri dengan tegapnja disisi tentara
Nippon, menikmati suasana kemenangan dan harum wewangian jang timbul darinja.” TK:67
Orang Batak Toba memiliki pandangan dunia bahwa Belanda adalah musuh
utamanya. „Ja, abang jang memberitahukannja. Ajah sengaja tidak ikut mengungsi. Agar
dapat menjambut kedatangan bala-tentara Nippon jang mengusir Belanda. Menurut pendapat ajah Belandalah sumber malapetaka atas kita semua. Kalau
ada jang mengusirnja, harus dibantu karena akan membawa kebahagiaan.” TK:66
Bahkan, konflik Batak Toba dengan Belanda telah membangkitkan semangat
perlawanan sebagaimana diperlihatkan oleh Sisingamangaraja XII dalam mempertahankan kemerdekaan Tanah Batak. Hal tersebut terungkap dalam dialog
Ayah Poltak dengan hadirin yang menghadiri pidato pemberitahuan kekalahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia di lapangan berikut ini.
„Jang dulunja djuga adalah musuh dari Ompu Si Singamangaraja.” „Djadi Belanda?”
„Laknat mereka. Hantjurkan batok kepalanja.” „Ja, saudara², pada kita telah dianugerahkan Tuhan kemerdekaan. Adalah
tugas kita mendjaganja. Kalau tidak, kita akan mendjadi orang jang menjia- njiakan karuniaNja, dan kita adalah orang jang sia². Tentu kita tidak mau
kehilangan karunia itu, bukan?” „Tiap orang jang hendak merampas tanah kami, lalau menimbulkan
kesusahan didadanja bakal kami tantang,” suara gemuruh dari kelompok jang banjak. TK:120-121
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Si Singamangaraja menjadi simbol perlawanan masyarakat Batak Toba terhadap Belanda, sehingga semangat perlawanan masyarakat Batak Toba melebihi
perlawanan yang mereka perlihatkan kepada Jepang. Orang Batak Toba mengharapkan laki-laki Batak Toba memiliki ikon, kesamaan dengan profil
kepahlawanan Si Singamangaraja. Ikon seperti ini diperlihatkan Tiur dengan membawa potret Bonar untuk menemani bayinya dalam pengungsian akibat perang
melawan Belanda. Ikon Bonar menjadi sahala bagi keselamatan bayi dan istrinya sebagaimana terdapat dalam peristiwa berikut ini.
Tandu pengusung Tiur dengan bayinya telah dikeluarkan dari dalam rumah, diatasnja Tiur dan anaknja. Setiba dihalaman Tiur berkata: „Tolong ambilkan
gambar ajah anak ini, jang tersangkut dekat tjermin katja.” Disuruh selimuti bajinja baik². Dan disana sini meledak serapahan kepada Belanda. TK:147
Sebaliknya, konflik orang Batak Toba dalam novel PB disebabkan oleh laki-
laki yang tidak bertanggung jawab, baik terhadap tindak pidana pemerkosaan maupun terhadap perlakuan yang buruk kepada buruh pelabuhan. Konflik tersebut terjadi di
daerah migrasi Batak Toba sehingga tidak dapat diselesaikan dengan cepat sesuai adat Batak Toba. Meskipun demikian, tokoh Aku tetap mengikuti setiap pembicaraan
yang terjadi, baik dalam keluarga, perdagangan, maupun perburuhan. Di dalam setiap pembicaraan, tokoh Aku memperlihatkan kemajuan pola pikir sebagai hasil
pendidikan di Kota Medan yang multietnik, sehingga dapat memberi jalan keluar berbagai masalah penduduk kota pantai barat tersebut. Masalah besar yang dihadapi
penduduk waktu itu adalah jatuhnya harga karet alam. Hal ini memberi gagasan brilyan pada tokoh Aku sebagimana terungkap dalam dialog berikut ini.
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
“Memang kita tidak dapat melepaskan diri dari persoalan luar-negeri dan kita sendiripun adalah sebahagian dari mereka. Djalan jang dapat ditempuh untuk
menjelamatkan usaha² rakjat jang agraris itu ialah supaja kita tidak tergantung pada luar negeri,” kataku.
“Bagaimana tjaranja?” tanja pak Umar tjepat² dengan suara jang tjukup kuat. “Kita harus mengolah sendiri hasil alam kita, termasuk karet dan kemenjan.”
“Apa maksudmu?” kembali dia bertanja dan sekaligus memotong pembitjaraanku.
“Kita harus meningkatkan kegiatan didalam negeri ketingkatan industrialisasi.” PB:56
Berdasarkan realitas fiksi dan realitas faktual di atas, orang Batak Toba memandang konflik merupakan hal yang lumrah dalam usaha mencapai nilai budaya
yang lain. Penyelesaian konflik dalam adat Batak Toba harus melalui musyawarah, sehingga menghasilkan keputusan yang mengikat semua masyarakat. Pelaksanaan
keputusan itu sendiri tidak boleh sembarangan tetapi melalui ketentuan adat yang menghormati martabat orang lain. Dengan demikian, konflik dalam adat Batak Toba
dapat muncul secara bervariasi tetapi penyelesaian konflik harus melalui musyawarah dan mufakat.
6.2.7 Pandangan Dunia tentang Hamoraon