Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis

(1)

NOVEL KARYA BOKOR HUTASUHUT:

PENDEKATAN HERMENEUTIKA HISTORIS

TESIS

Oleh

ROSLIANI

077009023/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

NOVEL KARYA BOKOR HUTASUHUT:

PENDEKATAN HERMENEUTIKA HISTORIS

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ROSLIANI

077009023/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : NOVEL KARYA BOKOR HUTASUHUT: PENDEKATAN HERMENEUTIKA HISTORIS Nama Mahasiswa : Rosliani

Nomor Pokok : 077009023 Program Studi : Linguistik

Konsentrasi : Analisis Wacana Kesusastraan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.) (Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 27 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. Anggota : 1. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si

2. Prof. Ahmad Samin Siregar, S.S. 3. Syaifuddin, M.A., Ph.D.


(5)

ABSTRAK

Penelitian yang menggunakan teori semiotik dan strukturalisme genetik ini merupakan bagian dari pendekatan hermeneutika hitoris, khususnya menemukan homologi peristiwa dalam karya sastra dengan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba. Dengan demikian, tergambar ikon, indeks, dan simbol yang ikut menentukan segenap kejadian dalam kehidupan masyarakat tersebut.

Tiga buah novel karya Bokor Hutasuhut menjadi sampel penelitian melalui uji teks dengan uji kepustakaan. Setiap teks diidentifikasi atas struktur novel, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia yang dijadikan landasan hidup tokoh cerita. Hasil identifikasi yang terpisah dalam tiga teks dihomologikan kepada nilai budaya yang dijadikan pedoman hidup masyarakat Batak Toba. Dari pelacakan terhadap realitas fiksi dan realitas faktual tersebut dirumuskan pandangan dunia Batak Toba terhadap kekerabatan, religi, hagabeon, hukum, kemajuan, konflik, hamoraon, hasangapon, dan pengayoman dalam kehidupan zaman perang antarmarga, penjajahan Jepang, agresi militer Belanda, dan keadaan masyarakat pada masa Orde Lama.

Masyarakat Batak Toba dapat melaksanakan sebagian dari pandangan dunia yang terkandung dari nilai budaya Batak Toba karena ketentuan Mulajadi Na Bolon, Tuhan yang Maha Esa, bahwa tetap ada krisis keluarga, peperangan, bencana alam, bahkan pengkhianatan yang mengganggu realisasi pandangan dunia Batak Toba secara paripurna.


(6)

ABSTRACT

The use of semiotic and genetic structuralism theories in this research is part of historical hermeneutic approach, espesially in finding homology event of literature in relation to the daily life of Batak Toba society. Therefore, icon, index, and symbol which determined the whole events in the life of that society are depicted.

Three novels by Bokor Hutasuhut become the samples of this research are through text and literature tests. Every text is identified on a novel structure, hermeneutical facts, collective subject, and world view which are applied as life foundation for story figures. The identification results are devided into three texts and are homologized to the cultural values which are applied as the philosophy of Batak Toba society life. The observation through the fiction and the factual realities are formulated world view of Batak Toba on the relationship, religion, hagabeon, law, improvement, conflicts, hamoraon, hasangapon, and protection in the area of civil war, and Japanese colonization, Netherland military agression, and the sociopolitical of old order period.

Batak Toba society could perform a part of world view which is contained in the values of Batak Toba culture because of the Mulajadi Na Bolon’s provisions, the Almighty God, that there are always family crisis, war, natural disaster, even the betrayal which completely disturb the realization of Batak Toba word view.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur bagi Allah yang telah memberi kemudahan dan kemurahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Tesis ini penulis beri judul “Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis”. Tesis ini membicarakan nilai budaya Batak Toba sebagai realitas fiksi dan realitas faktual yang menjadi konteks historis peristiwa kehidupan dalam novel Penakluk Ujung Dunia, Tanah Kesayangan, dan Pantai Barat karya Bokor Hutasuhut. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masyarakat Batak Toba tetap menunjukkan sikap religius dalam usaha merealisasikan nilai budayanya. Kepercayaan religi itu diperlihatkan masyarakat sesuai dengan keyakinan masing-masing, baik terhadap ajaran Mulajadi Na Bolon, Kristen, maupun Islam. Setiap sistem religi memiliki masa pertumbuhan dan persebaran yang menjaga harmoni sosial dalam diri setiap orang Batak Toba.

Penyelesaian tesis ini telah diusahakan keilmiahannya oleh penulis dengan bantuan materi dari berbagai pihak. Kelemahan atau kesalahannya tetap menjadi tanggung jawab penulis. Untuk itu, penulis menerima kritik dan saran untuk lebih menyempurnakan tesis ini.

Medan, Juni 2009 Penulis,


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam menempuh perkuliahan dan penyelesaikan tesis ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun material. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada pihak-pihak berikut ini.

1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H., Sp.A (K) selaku Rektor USU (Universitas Sumatera Utara), Medan.

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc. selaku Direktur Pascasarjana USU beserta Staf Akademik dan Administrasinya.

3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Drs. Umar Mono, M. Hum. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Linguistik Konsentrasi Analisis Wacana Kesusastraan USU beserta Dosen dan Staf Administrasinya.

4. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing Utama dan Kepala Balai Bahasa Medan yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini serta memberikan dorongan dan motivasi untuk terus melanjutkan pendidikan. 5. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Dosen Pembimbing yang telah

mengajarkan banyak hal tentang sastra, mitra berdiskusi selama perkuliahan dan penyelesaian tesis ini, serta bersedia meminjamkan buku-bukunya.

6. Dr. Dendy Sugono selaku Kepala Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional RI, yang telah melegalisasi pemberian beasiswa selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU Medan.


(9)

7. Dr. Sugiono selaku Dosen dan Kepala Bagian Pengembangan Pusat Bahasa yang telah memberikan dorongan dan motivasi dalam menyelesaikan perkuliahan dan tesis ini.

8. Syaifuddin, M.A., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang menjabat Dekan Fakultas Sastra USU Medan.

9. Bapak Bokor Hutasuhut selaku sastrawan yang menulis novel bahan penelitian ini.

10. Prof. Ahmad Samin Siregar, S.S. dan para sastrawan yang meluangkan waktu membantu penulis melacak keberadaan novel Pantai Barat terbitan Marwilis, Malaysia.

11. Orang tua penulis, Ayahanda Parnak dan Ibunda Giyah yang dengan tulus mengalirkan doa dan kasih sayangnya.

12. Keluarga penulis yaitu suami tercinta Saiful, S.S. yang banyak mentransformasikan dan mendiskusikan ilmu sastra dengan perhatian dan kasih sayang, kedua anak penulis yaitu ananda terkasih Farah Oktavia Hidayat dan ananda tersayang Muhammad Farhan Hidayat yang selalu berdoa dan penuh kasih sayang memotivasi penulis untuk mencapai kesuksesan dalam karier dan pendidikan.

13. Keluarga besar penulis yaitu mertua, ipar, kakak-kakak beserta adik-adik yang banyak memberikan motivasi dan bantuan dalam menyelesaikan pendidikan. 14. Sahabat mahasiswa Program Studi Magister Linguistik, Sekolah Pascasarjana


(10)

15. Teman seprofesi penulis di Balai Bahasa Medan dan Pusat Bahasa Jakarta.

16. Staf Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Jakarta, yang membantu penulis melengkapi dokumen tentang Bokor Hutasuhut dan karyanya.

17. Staf Administrasi Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU dan semua pihak yang telah membantu dan berpartisipasi kepada penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tesis ini

Semoga Allah SWT memberikan kemurahan rezeki dan kemudahan jalan hidup bagi kita. Amin.


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Rosliani

Tempat, Tanggal Lahir : Dolok Sinumbah, 6 Desember 1972 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jalan Sumber Bangun, Gang Langgar No. 92, Harjosari II, Marindaldalam, Medan Amplas 20147 Pendidikan Formal :

1. SD Negeri No. 4 (091578) Dolok Sinumbah, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun (Tamat 24 Mei 1985)

2. SMP Swasta PTP VII Dolok Sinumbah, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun (Tamat 11 Juni 1988)

3. SMEA Negeri Pematangsiantar, Kabupaten Simalungun (Tamat 1 Juni 1991) 4. Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan (Tamat 29 Juni 1996) 5. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Sejak 2007)

Pendidikan Nonformal :

1. Diklusemas Komputer Tingkat Paket Perkantoran di Pusat Pendidikan dan Pelatihan SDM Abad-21, Medan (2002)

2. Diklat Prajabatan Golongan III Departeen Dalam Negeri Angkatan V Tahun 2004 di Medan (2004)

3. Pembekalan Calon Peneliti Pusat Bahasa dan Balai/Kantor Bahasa (Angkatan I) di Jakarta (2006)

4. Pelatihan Metodologi Penelitian bagi Tenaga Peneliti Bidang Pendidikan Pusat dan Daerah di Bogor (2006)

5. Pelatihan Penyusunan Eksiklopedia Sastra Indonesia Wilayah Barat di Palembang (2007)


(12)

Pekerjaan :

1. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Pesantren Ahmad Syarif, Medan (1996-1998)

2. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMK Swasta Medan Area (1997-1999) 3. Kepala Tata Usaha SMA Swasta Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, Medan

(1998)

4. Asisten Dosen Luar Biasa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan (1996-1999)

5. Pengajar Bahasa Indonesia di Akademi Teknik Elektro Medik, Yayasan Binalita Sudama, Medan (Sejak 2002)

6. Pengajar Bahasa Indonesia di Akademi Kesehatan Lingkungan, Yayasan Binalita Sudama, Medan (2002-2005)

7. PNS Balai Bahasa Medan (Sejak 2003)

8. Pengajar Bahasa Indonesia di Akademi Perawat, Yayasan Binalita Sudama, Medan (Sejak 2006)


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH... iv

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ……… 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Akademis ... 6

1.3.2 Tujuan Praktis ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 8

1.4.2 Manfaat Praktis ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL ... 10

2.1 Kajian Pustaka ... 10

2.1.1 Kepustakaan Penelitian ... 10

2.1.2 Kepustakaan Konseptual ... 13


(14)

2.3 Landasan Teori ... 20

2.3.1 Semiotik ... 20

2.3.2 Strukturalisme Genetik ... 24

2.4 Model Penelitian ... 33

BAB III METODE PENELITIAN ... 39

3.1 Metode Penelitian ... 39

3.2 Lokasi Penelitian ... 42

3.3 Sumber Data ... 42

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 44

3.5 Teknik Analisis Data ... 45

3.6 Keabsahan Penelitian ... 45

BAB IV DESKRIPSI REALITAS FIKSI NOVEL KARYA BOKOR HUTASUHUT ... 47

4.1 Pengantar Hasil Temuan Realitas Fiksi ... 47

4.2 Novel Penakluk Ujung Dunia Karya Bokor Hutasuhut ... 50

4.2.1 Struktur Novel ... 50

4.2.2 Fakta Kemanusiaan ... 73

4.2.3 Subjek Kolektif ... 79

4.2.4 Pandangan Dunia ……… 83

4.3 Novel Tanah Kesayangan Karya Bokor Hutasuhut ……… 87

4.3.1 Struktur Novel ... 87

4.3.2 Fakta Kemanusiaan ... 105

4.3.3 Subjek Kolektif ... 108

4.3.4 Pandangan Dunia ... 112

4.4 Novel Pantai Barat Karya Bokor Hutasuhut ... 116

4.4.1 Struktur Novel ... 116


(15)

4.4.3 Subjek Kolektif ... 140

4.4.4 Pandangan Dunia ... 143

BAB V DESKRIPSI REALITAS FAKTUAL NILAI BUDAYA BATAK TOBA ... 147

5.1 Pengantar Hasil Temuan Realitas Faktual ... 147

5.2 Nilai Budaya Batak Toba ... 155

5.2.1 Kekerabatan ... 155

5.2.2 Religi ... 161

5.2.3 Hagabeon ... 164

5.2.4 Hukum ... 166

5.2.5 Kemajuan ... 167

5.2.6 Konflik ... 172

5.2.7 Hamoraon ... 175

5.2.8 Hasangapon ……… 180

5.2.9 Pengayoman ……… 182

BAB VI PANDANGAN DUNIA MASYARAKAT BATAK TOBA BERDASARKAN REALITAS FIKSI DAN REALITAS FAKTUAL ... 186

6.1 Pengantar Analisis Penjelasan Konteks Historis ... 186

6.2 Analisis Pandangan Dunia Masyarakat Batak Toba ... 194

6.2.1 Pandangan Dunia tentang Kekerabatan ... 194

6.2.2 Pandangan Dunia tentang Religi ... 203

6.2.3 Pandangan Dunia tentang Hagabeon ... 210

6.2.4 Pandangan Dunia tentang Hukum ... 213

6.2.5 Pandangan Dunia tentang Kemajuan ... 218

6.2.6 Pandangan Dunia tentang Konflik ... 227

6.2.7 Pandangan Dunia tentang Hamoraon ... 233


(16)

6.2.9 Pandangan Dunia tentang Pengayoman ... 241

6.3 Konstekstualisasi ... 246

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 249

7.1 Kesimpulan ... 249

7.2 Saran ………. 252


(17)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman 1. Indeksional Perangkat Kebesaran Raja dan Pemuka Masyarakat di

Kerajaan Marga Berdasarkan Nama/Gelar, Ciri-ciri, dan Jabatan ... 67 2. Kronologi Rangkaian Peristiwa Berkaitan dengan Indeks Mimpi

Ronggur ... 76 3. Ikonitas Struktur Naratif Novel PB Karya Bokor Hutasuhut Berdasarkan

Hari Kedatangan dan Peristiwa di Kota Sibolga ... 133 4. Alasan Pindah Orang Batak Menurut Faktor Pendorong dari Daerah


(18)

DAFTAR BAGAN

No Judul Halaman 1. Model Aplikasi Semiotik dan Strukturalisme Genetik dengan

Pendekatan Hermeneutika Historis Terhadap Novel Karya Bokor Hutasuhut ... 35 2. Hermeneutika Historis Hans Georg Gadamer ... 41


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Biografi dan Foto Bokor Hutasuhut ... 259

2. Halaman Sampul Depan Novel Karya Bokor HutasuhutSurat Marwilis Publisher kepada Bokor Hutasuhut ... 266

3. Surat Marwilis Publisher kepada Bokor Hutasuhut ... 267

4. Surat H.B. Jassin kepada Bokor Hutasuhut ... 269

5. Surat Bokor Hutasuhut kepada H.B. Jassin ... 270

6. Surat Bokor Hutasuhut kepada Ras Siregar ... 271


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.5Latar Belakang Penelitian

Novel berjudul Penakluk Ujung Dunia, Tanah Kesayangan, dan Pantai Barat adalah tiga buah novel karya Bokor Hutasuhut yang terbit dalam bentuk buku. Novel Penakluk Ujung Dunia (selanjutnya disingkat PUD) sebenarnya adalah novel kedua Bokor Hutasuhut yang selesai ditulisnya pada 1960 dan diterbitkan PT Pembangunan, Jakarta (1964). Novel PUD diterbitkan kembali oleh PT Pustaka Karya Grafika Utama, Jakarta (1988). Novel pertama karya Bokor Hutasuhut adalah Tanah Kesayangan (selanjutnya disingkat TK) yang selesai ditulisnya pada 1958. Novel ini ditulis kembali pada 1963 tetapi dua tahun kemudian baru diterbitkan PT Pembangunan, Jakarta (1965). Novel ketiga Bokor Hutasuhut adalah Pantai Barat (selanjutnya disingkat PB) yang selesai ditulisnya pada 1963. Novel PB semula diterbitkan majalah Sastra (Jakarta) sebagai cerita bersambung dan mendapat Hadiah Kedua Cerita Bersambung Terbaik majalah tersebut. Pada 1963, cerita bersambung PB ditulis kembali oleh pengarangnya sebagai sebuah penerbitan novel. Akan tetapi, novel ini tidak pernah terbit di Indonesia sehingga pengarang setuju novel PB diterbitkan oleh Marwilis Publisher & Distributor Sdn. Bhd., Shah Alam, Malaysia (1988).


(21)

Pemunculan Bokor Hutasuhut sebagai sastrawan melanjutkan dominasi sastrawan Sumatera Utara di Indonesia. Sastrawan yang berasal dari Sumatera Utara merupakan peletak dasar kesusastraan modern Indonesia, baik dalam menghadirkan novel susastra maupun novel roman picisan. Novel yang ditulis Merari Siregar, S. Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Mochtar Lubis memberi corak baru susastra Indonesia sedangkan novel yang ditulis oleh Matu Mona, Joesoef Sou’yb, Hamka, dan A. Damhoeri memberi corak baru roman picisan Medan. Novel susastra dan roman picisan tersebut menggambarkan realitas fiksi dan realitas faktual dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik dalam lingkungan pedesaan maupun perkotaan.

Ketertarikan sastrawan pada permasalahan hidup yang dihadapi masyarakatnya diakui oleh ahli sastra Indonesia. Menurut Sumardjo (1999:87), “Yang menarik para pengarang adalah persoalan pribadi itu sendiri. Persoalan pribadi ini diangkat menjadi persoalan umumnya manusia, baik yang ada kaitannya dengan situasi sosial-budaya-politik zamannya maupun yang sama sekali universal.” Bahkan, secara khusus harus diamati kehadiran novel-novel yang berlatar luar Jawa seperti berlatar Tanah Batak dalam novel karya Bokor Hutasuhut. Untuk itu, Sumardjo (1983:28) mengingatkan, “…novel-novel yang mengambil tempat kejadian di luar pulau Jawa, terutama di desa dan hutan-hutannya, tidak selamanya bernada tenang. Tentu saja ada permasalahan hanya saja sifatnya sangat lokal dan tidak sampai menjadi masalah nasional.”


(22)

Kedekatan realitas fiksi dengan realitas faktual menjadikan novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut sebagai novel susastra yang penting dalam era otonomi Provinsi Sumatera Utara. Apalagi, Bokor Hutasuhut termasuk sastrawan yang peduli mengungkapkan kultur Batak dengan tetap mengutamakan estetika sastra dalam karyanya. Hal itu diakui oleh W.S. Rendra pada pengantar cetakan kedua novel PUD, “Ia sangat sadar bahwa ia sedang menyelami dan melukiskan kehidupan masyarakat Batak yang unik tradisional kepada pembaca sastra modern pada umumnya. Ketelitiannya di dalam melukiskan detail-detail ia gabungkan dengan rasa harmoni seni dalam bercerita mengenai watak manusia, plot, segi memandang persoalan sebagai sastrawan modern.” Oleh karena itu, novel karya Bokor Hutasuhut, ”…bukanlah sekedar laporan anthtropolis-akademis, tetapi suatu karya sastra segar dengan latar belakang pengaruh tradisi kebudayaan Batak.”

Realitas fiksi dalam novel PUD, TK, dan PB sejalan dengan pengakuan Bokor Hutasuhut dalam wawancara dengan Mahmud (1986:42), “Sebagian besar hasil karya saya berlatar budaya subkultur atau warna lokal, tapi tidak semua! Dalam pengolahan warna lokal ke dalam hasil karya sudah tentu saya berusaha semampu mungkin menghayati dan menyerapnya agar dapat berbicara melalui sukma, dari dalam, tidak dari luar sebagaimana sifat seorang turis.” Hal itu semakin diperkuat oleh lingkungan Bokor Hutasuhut, sejak dari Balige, Medan, dan Jakarta yang dekat dengan keluarga Batak. Latar belakang kehidupan ini memberi keuntungan dalam proses kreatif, seperti dikatakan Sumardjo (2003a:11), “Sebagai sastrawan yang dibesarkan di tanah


(23)

Batak, maka pengalaman masa kecil dan kehidupan daerah zamannya menjadi sumber yang subur untuk diceritakan.”

Sejalan dengan pendapat di atas, maka kehidupan dalam novel karya Bokor Hutasuhut berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat Batak di wilayah yang pada masa kolonial bernama Keresidenan Tapanuli. Kehidupan tersebut ditampilkan pengarang dengan berbagai persoalan kehidupan yang berkaitan dengan nilai budaya Batak, sehingga novel tersebut dapat menjadi dokumentasi sosial masyarakat Batak. Novel PUD umpamanya, menurut Sumardjo (2003b:10), “Novel ini bukan berisi khayalan tentang daerah-daerah ‘perawan’ di tanah Batak. Ini laporan pengalaman dengan meminjam kisah mitos.” Dengan demikian, penelitian terhadap homologi realitas fiksi dalam novel karya Bokor Hutasuhut dengan realitas faktual masyarakat Batak menjadi penting untuk direalisasikan dalam penelitian ini.

Sejalan dengan penjelasan di atas, Bokor Hutasuhut dan novel-novelnya dikenal dekat dengan Batak. Masyarakat Batak yang bertempat tinggal di Pegunungan Bukit Barisan tersebut merupakan masyarakat yang suka bermigrasi untuk memperoleh kemakmuran. Sebaliknya, mereka yang tidak mau bermigrasi akan menghadapi kemiskinan, pengangguran, kesulitan memperoleh lahan pertanian, dan berkarakter yang keras bahkan cenderung kasar. Kesenjangan sosial ini dapat teratasi dengan sistem adat dalihan na tolu untuk menjaga keseimbangan hidup bermasyarakat. Kesenjangan sosial dalam realitas faktual ini terlihat pula dalam novel karya Bokor Hutasuhut sehingga pengungkapan pandangan hidup masyarakat Batak dalam novel tersebut penting untuk dianalisis dan diproyeksikan secara ilmiah.


(24)

Akan tetapi, penelitian yang representasif terhadap homologi realitas fiksi (kenyataan hidup dalam karya sastra) dengan realitas faktual (kenyataan hidup dalam kehidupan sehari-hari) dalam konteks novel karya Bokor Hutasuhut dengan Batak tidak ditemukan dalam penerbitan yang dilakukan oleh ahli sastra Indonesia, baik di Kota Medan maupun di Kota Jakarta. Bahkan, Jakob Sumardjo yang mengulas kondisi masyarakat Indonesia dalam Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977 hanya mencatat penerbitan novel PUD dan TK tanpa menjadikan novel tersebut sebagai bagian dari pembahasannya. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa penelitian terhadap novel karya Bokor Hutasuhut merupakan sesuatu yang penting untuk mengungkap kehidupan masyarakat Batak di dalam novel tersebut.

Meskipun terdapat kesulitan untuk melacak penerbitan ulasan yang lengkap terhadap novel karya Bokor Hutasuhut, pemahaman dan penjelasan terhadap penerbitan novel PUD, TK, dan PB yang lengkap masih terdapat pada tulisan H.B. Jassin di Mimbar Indonesia, Jakarta (1966). Akan tetapi, ulasan yang dilakukan oleh H.B. Jassin belum menyentuh aspek pandangan dunia tokoh-tokoh cerita dalam ketiga novel tersebut. H. B. Jassin lebih menitikberatkan ulasan terhadap tema, latar, dan watak tokoh cerita dalam ketiga novel tersebut dengan menggunakan bahasa jurnalistik. Dengan demikian, pengungkapan pandangan dunia dalam novel karya Bokor Hutasuhut dengan menggunakan kaidah ilmiah dalam penelitian ini merupakan paradigma baru dalam memahami dan menjelaskan novel karya Bokor Hutasuhut.

Pemahaman dan penjelasan yang tepat terhadap novel karya Bokor Hutasuhut merupakan salah satu usaha membangkitkan estetika sastra di Kota Medan, Provinsi


(25)

Sumatera Utara. Oleh karena itu, penggunaan pendekatan hermeneutika historis yang mendasari analisis semiotik dan strukturalisme genetik dalam penelitian ini memberi dimensi ilmiah yang sesuai dengan nilai budaya masyarakat yang menjadi latar belakang kelahiran novel tersebut. Dengan demikian, penelitian ini merupakan bagian dari usaha untuk memajukan perkembangan sastra di Kota Medan dan menghasilkan ulasan yang berkaitan erat dengan pandangan hidup masyarakat Sumatera Utara, khususnya masyarakat Batak.

1.6Rumusan Masalah Penelitian

Permasalahan yang muncul dalam menganalisis novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut dapat dirumuskan sebagai berikut.

(1) Bagaimanakah realitas fiksi yang membangun keutuhan novel Bokor Hutasuhut?

(2) Bagaimanakah realitas faktual yang melatarbelakangi kehidupan masyarakat Batak dalam novel Bokor Hutasuhut?

(3) Bagaimanakah pandangan dunia tokoh cerita dalam novel karya Bokor Hutasuhut pada konteks historis pandangan dunia masyarakat Batak?

1.7Tujuan Penelitian 1.7.1 Tujuan Akademis

Secara akademis, penelitian ini bertujuan untuk menerapkan teori yang berkembang dalam ilmu sastra terhadap novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut. Tujuan itu dapat dirumuskan sebagai berikut.


(26)

(1) Mendeskripsikan realitas fiksi dalam membangun keutuhan novel karya Bokor Hutasuhut dengan menggunakan teori semiotik dan strukturalisme genetik.

(2) Mendeskripsikan nilai-nilai budaya Batak yang melatarbelakangi kehidupan masyarakat dalam novel karya Bokor Hutasuhut dengan menggunakan teknik analisis dokumen.

(3) Menganalisis pandangan dunia, vision du monde, dalam kehidupan masyarakat Batak di Tapanuli sebagaimana tergambar pada teks novel karya Bokor Hutasuhut dengan menggunakan teori semiotik dan strukturalisme genetik.

1.7.2 Tujuan Praktis

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menjelaskan isi novel karya Bokor Hutasuhut sebagai salah seorang sastrawan Indonesia yang berasal dari Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan pemahaman terhadap kehidupan dalam novel karya Bokor Hutasuhut itu akan dijelaskan homologinya dengan pandangan dunia masyarakat Batak. Pandangan dunia tersebut akan diinterpretasikan dengan pendekatan hermeneutika historis serta kaidah-kaidah yang berlaku dalam teori semiotik dan strukturalisme genetik. Hasil analisis semiotik dan strukturalisme genetik terhadap novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut ini dapat menjadi produk kepustakaan dan model penelitian sastra yang menampilkan kehidupan masyarakat Sumatera Utara.


(27)

1.8Manfaat Penelitian 1.8.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis yang diharapkan dari hasil penelitian terhadap novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut meliputi tiga hal berikut ini.

(1) Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah penerapan pendekatan hermeneutika historis dengan menggunakan teori semiotik dan strukturalisme genetik dalam sastra Indonesia, khususnya pada novel karya sastrawan yang berasal dari Sumatera Utara.

(2) Hasil penelitian ini dapat menjadi model penerapan teori semiotik dan strukturalisme genetik untuk mengungkapkan pandangan dunia masyarakat Batak berdasarkan nilai-nilai budaya Batak yang menjadi dasar pandangan dunia masyarakat Batak, terutama berdasarkan novel karya sastrawan yang berasal dari Sumatera Utara.

(3) Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelitian, baik penelitian ilmu sastra maupun penelitian ilmu-ilmu lain yang memerlukan realitas fiksi dalam memaparkan kehidupan faktual manusia, terutama manusia Batak.

1.8.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian terhadap novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut diharapkan dapat bermanfaat dalam kehidupan manusia, antara lain dalam tiga aspek berikut ini.


(28)

(1) Hasil penelitian ini memberikan informasi kepada masyarakat tentang pola hidup masyarakat Batak di wilayah yang pada masa kolonial bernama Keresidenan Tapanuli, khususnya wilayah yang menjadi latar novel karya Bokor Hutasuhut, yakni Kabupaten Toba Samosir dan Kota Sibolga.

(2) Hasil penelitian ini dapat dipergunakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara untuk mengoptimalkan potensi sumber daya manusia Batak untuk keberhasilan pembangunan nasional dalam era otonomi daerah.

(3) Hasil penelitian ini memberi informasi tentang karakter manusia Batak yang memiliki potensi besar untuk mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian, baik kepada para peneliti maupun para pengusaha.


(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Kepustakaan Penelitian

H.B. Jassin sebagai kritikus dan dokumentator sastra Indonesia menempatkan novel Penakluk Ujung Dunia, Tanah Kesayangan, dan Pantai Barat karya Bokor Hutasuhut sebagai novel yang penuh dengan gambaran kehidupan masyarakat Batak. H.B. Jassin termasuk sastrawan yang memperoleh kesempatan pertama menerima novel-novel yang ditulis oleh Bokor Hutasuhut. Setelah membaca novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut, H.B. Jassin menemukan persoalan tanah dan ekonomi sebagai masalah utama dalam kehidupan tokoh cerita novel-novel tersebut.

Hasil penelitian H.B. Jassin terhadap novel karya Bokor Hutasuhut terbit sebagai artikel “Bokor Hutasuhut Pengarang Romantik” pada Lembaran Seni dan Kebudayaan Mimbar Indonesia, Jakarta (1966). Pada novel PUD dan TK, H.B. Jassin menemukan kesamaan persoalan yang dihadapi tokoh-tokoh ceritanya, yakni masalah tanah. Jassin (1966:22) mengatakan, “Dan tidaklah kebetulan apabila Bokor dalam kedua novelnja, Penakluk Udjung Dunia dan Tanah Kesajangan, mengambil tanah sebagai pokok persoalan.”

Khusus novel TK dan PB, H.B. Jassin menemukan perbedaan penceritaan. Apabila novel PUD menceritakan mitos dalam kehidupan masyarakat Batak maka novel TK menceritakan perlawanan masyarakat Batak terhadap kolonialisasi. Dalam


(30)

hal ini Jassin (1966:22) mengatakan, “Tjerita Tanah Kesajangan bermain dimasa Djepang, tatkala perang Dai Tooa, dikalangan nelajan dan petani, disuatu kampung dinegeri Batak, dengan orang²nja jang penuh vitalita.”

Di dalam novel PB, H.B. Jassin menemukan persoalan ekonomi mendasari kehidupan tokoh cerita novel tersebut. Tentang novel ketiga Bokor Hutasuhut ini, Jassin (1966:24) mengatakan, “Diluar sudut masalah hubungan antara manusia, Bokor djuga menjoroti latar belakang hubungan ekonomi daerah Barat (Sibolga-Tapanuli) dan daerah Timur (Medan-Sumatra Timur). Daerah Barat tambah lama kian mundur, karena saingan daerah Timur, para buruh jang muda² pindah dari Barat ke Timur.” Menurut H.B. Jassin, cerita novel ini bermain kira-kira masa pemberontakan PRRI-Permesta dengan menghadirkan trauma pembunuhan dan pemerkosaan oleh gerombolan di satu sisi dan di sisi lain menceritakan perjuangan kaum buruh untuk mendapat legitimasi politis dan kesejahteraan dari para tengkulak.

Novel PUD menjadi satu-satunya novel karya Bokor Hutasuhut yang mengalami cetak ulang. Penerbitan kedua novel ini mendapat sorotan Taufik Abriasyah dalam resensinya di harian Jayakarta (1989). Resensi ini menyoroti keunggulan gender dengan penokohan laki-laki yang superior. Menurutnya, melalui novel ini, kita dapat melihat sikap Bokor Hutasuhut ada pada sifat kelakian yang dimiliki Ronggur, si pemuda Batak, seperti dinyatakan dalam kutipan berikut ini. “Seorang lelaki berani mengatakan maksudnya. Tapi dapat disebut jantan, bila berani tidak mengingkari janji. Jadilah, anakku sulung anakku bungsu, seorang lelaki berhati jantan! Ibumu ini tidak mau anak lelaki berhati betina.” (Abriasyah, 1989:6).


(31)

Kemudian, Taufik Abriasyah menilai novel PUD mengandung banyak pesan Bokor Hutasuhut yang sarat petuah. Pesan-pesan yang menyiratkan pandangan dunia tentang bahaya judi, kemerdekaan hati, dan tekad yang membaja terdapat dalam novel ini. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut ini. “Kalau berjudi bagimu sangat baik. Agar kau tahu dan menyadari bahaya main judi. Pesanku padamu janganlah dulu bunuh diri. Kelak aku membawa berita padamu bahwa tanah habungkasan telah kutemui. Kau boleh pindah ke sana dan kau kembali menjadi orang merdeka.” (Abriasyah, 1989:6).

Bokor Hutasuhut sebagai pengarang memberikan latar belakang penulisan novelnya. Dari proses kreatif yang terdapat pada sampul belakang novel PUD terbitan kedua dapat diketahui bahwa novel tersebut merupakan hasil dari kebiasaan Bokor Hutasuhut mengikuti ayahandanya sebagai mubaliq Islam di Tanah Batak. Pada halaman belakang novel PUD yang menjelaskan proses kreatif itu tertulis penegasan, “Dia suka ikut menyusup hutan belantara, mendaki bukit dan lembah Bukit Barisan. Menyusup melewati Pintu Pohan, Parhitean, naik ke Tangga dan tembus ke Simalungun. Juga kembali melalui Dairi ke Tanah Samosir.”

Keberadaan novel PUD karya Bokor Hutasuhut dalam sejarah sastra Indonesia menempati posisi penting. Novel ini menjadi novel yang menceritakan kehidupan masyarakat Batak yang percaya pada mitos-mitos kepahlawanan Batak. Hal itu diungkapkan oleh Djakob Sumardjo ketika menulis profil Bokor Hutasuhut dan membahas karya-karya pada suplemen “Kaki Langit” majalah sastra Horison. Sumardjo (2003a:12) menegaskan bahwa, “Penakluk Ujung Dunia berisi kisah mitos


(32)

Batak tentang kepahlawanan Ronggur yang membuka daerah-daerah baru bagi rakyatnya, yakni di Asahan Labuhan Batu. Ini sekali lagi menunjukkan kecintaan Bokor Hutasuhut atas akar budayanya sendiri.”

2.1.2 Kepustakaan Konseptual

Teori strukturalisme genetik yang menjadi fokus utama penelitian ini memperoleh tempat dalam analisis teks sastra Indonesia. Publikasi terapan teori dengan fokus analisis pandangan dunia ditemukan pada penelitian Puji Santoso (2006). Peneliti Pusat Bahasa ini menerbitkan hasil analisis pandangan dunia Darmanto Jatman berdasarkan kumpulan puisi Sori Gusti terbitan LIMPAD, Semarang (2002). Dengan memusatkan perhatian hanya pada aspek vision du monde, Puji menemukan pandangan dunia Darmanto dalam aspek maut, tragedi, cinta, harapan, kekuasaan, loyalitas, makna dan tujuan hidup, serta hal-hal yang transendental. Delapan pandangan hidup sebagai dasar kehidupan itu berkaitan dengan lakuan tokoh yang tercatat dalam sejarah keimanan dan dongengan, terutama berdasarkan pandangan dunia Nasrani dan Jawa.

Penerapan teori strukturalisme genetik dalam penelitian ini akan diperkuat oleh teori semiotik dalam realitas fiksi dan realitas faktual. Penerapan teori semiotik yang berkaitan dengan mitos dalam kehidupan masyarakat ditemukan pada penelitian Beny H. Hoed (2008). Menurut penelitiannya, mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, seperti mitos gotong-royong, aja dumeh, reformasi, bangsa Indonesia yang ramah tamah, dan mahasiswa sebagai kekuatan moral menjadi mitos


(33)

yang tertanam kuat sebagai bagian dari karakter manusia Indonesia. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa mitos gotong-royong semakin lama semakin kehilangan mitosnya karena tidak dilandasi oleh nilai solidaritas sosial; mitos aja dumen, jangan mentang-mentang, menjadi penghambat kemajuan; mitos reformasi dan reformis terus berjuang mengubah mitos-mitos lama; mitos bangsa Indonesia yang ramah tamah dalam realitas faktual berubah jadi tidak ramah; dan, mitos mahasiswa sebagai kekuatan moral ternyata terancam pudar dalam kehidupan modern Indonesia.

Sejalan dengan sistem penerapan yang berlaku pada strukturalisme genetik dan semiotik, maka penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutika historis sebagai landasan filosofi penafsiran bahasa dan teks. Hasil penerapan hermeneutika ini terlihat pada disertasi Mudjia Raharjo (2008) di Universitas Airlangga. Mudjia menggunakan hermeneutika Gadamerian untuk memberi makna tindakan verbal Gus Dur selama menjadi Presiden Republik Indonesia. Pemaknaan dilakukan dengan penelusuran penafsiran dalam wacana politik pesaing-pesaingnya, seperti Amien Rais, Akbar Tandjung, dan Megawati Soekarnoputri. Hasil penelusuran itu memperlihatkan, bahwa wacana politik Gus Dur untuk membubarkan dan membekukan Partai Golkar merupakan faktor pembenar terpenting bagi Akbar Tandjung dan Amien Rais untuk memberhentikan Gus Dur sebagai Presiden RI. Wacana politik itu bagi Megawati justru ditanggapi dengan gaya feminim-minimalis dan terkesan rendah hati, karena kalau dia menjadi presiden, dia berharap dihormati dan dipatuhi sesuai dengan konstitusi NKRI.


(34)

2.2 Konsep Dasar

Bahasa, teks, sastra, dan hermeneutika merupakan rangkaian istilah yang menyatu dan tidak dapat terpisahkan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, penggunaan filosofi yang tepat merupakan hal mendasar untuk memahami dan menjelaskan rangkaian istilah tersebut. Di dalam hal ini, pemaknaan terhadap bahasa, teks, dan sastra akan menjadi seperangkat konsep dasar pendekatan hermeneutika historis. Konsep dasar inilah yang akan mendasari penerapan teori strukturalisme genetik terhadap novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut.

Bahasa menjadi kata kunci pertama dalam konsep dasar penerapan strukturalisme genetik terhadap novel karya Bokor Hutasuhut. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa secara linguistik mengandung makna sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Tim, 2005:88). Secara operasional, Roger Fowler dkk. memandang bahasa sebagai sistem klasifikasi. Mereka mengatakan, “Bahasa menggambarkan bagaimana realitas dunia dilihat, memberi kemungkinan seseorang untuk mengontrol dan mengatur pengalaman pada realitas sosial. Akan tetapi, sistem klasifikasi ini berbeda-beda antara seseorang atau satu kelompok dengan kelompok lain.” (Eriyanto, 2008:134). Untuk mengatasi perbedaan itu, terdapat konsep bahasa yang mengutamakan pemahaman yang kontekstual. Konsep itu dikembangkan Gadamer (2004:467) dengan pernyataan, “Masalah hermeneutika bukan penguasaan yang benar terhadap bahasa, tetapi pemahaman yang tepat terhadap sesuatu yang terjadi melalui media bahasa.”


(35)

Bahasa yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini merupakan bahasa dalam teks-teks tertulis. Teks itu merupakan teks-teks hasil kreativitas pengarang yang mengandung pandangan dunia masyarakatnya. Teks pada konteks ini ditempatkan dalam terminologi sastra dan kondisi sosial budaya yang menyertai kelahiran karya tersebut. Pada konteks ini, “Teks ialah ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, dan pragmatik merupakan satu kesatuan. Dalam praktek ilmu sastra, kita membatasi diri pada teks-teks tertulis.” (Luxemburg, dkk., 1989:86). Hal ini semakin dipertegas oleh Chatman yang menyatakan bahwa, ”Objek ilmu sastra (poetica) adalah cerita atau teks, termasuk di dalamnya bahasa.” (Ratna, 2004:257).

Sejalan dengan pemahaman terhadap bahasa dan teks maka sastra merupakan hasil kreativitas sastrawan yang berasal dari kondisi sosial budaya masyarakatnya. Menurut Gadamer (2004:193), “Sastra adalah sebuah fungsi dari pemeliharaan intelektual dan tradisi, dan oleh karena itu memunculkan sejarahnya yang tersembunyi ke setiap masa.” Pandangan ini memiliki relevansi dengan pandangan Thomas Warton (1774) yang menyatakan bahwa, “Sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban, terutama sejarah bangkit dan runtuhnya semangat kesatriaan.” (Wellek dan Austin Warren, 1989:111-122). Dengan demikian, novel sebagai salah satu jenis sastra dapat menjadi model kehidupan masyarakat. Di dalam hal ini, Teeuw (2003:187) mengatakan, “Roman bertindak sebagai model lewat mana masyarakat membayangkan diri sendiri, penuturan dalam dan lewat mana disendikannya dunia.”


(36)

Kedudukan sastra yang penting dalam sejarah peradaban membuat penafsiran terhadap sastra harus diletakkan pada konteks historis. Di dalam hal ini, novel sebagai salah satu jenis karya sastra tampil sebagai sesuatu yang otonom dan tidak terikat dengan kehendak penulisnya lagi. Hal ini menjadi bagian awal pemahaman sastra secara hermeneutik sebagaimana ditegaskan oleh Gadamer yang menyatakan, ”Makna sesebuah karya sastera tidaklah dibatasi oleh hasrat penulis; apabila karya itu berpindah daripada konteks budaya atau sejarah kepada yang lain, makna-makna baru yang mungkin tidak dijangkaukan oleh penulis atau audien sezamannya timbul.” (Eagleton, 1988:78).

Penempatan bahasa, teks, dan sastra dalam proses pemaknaan telah memasukkan novel sebagai salah satu jenis sastra pada konsep hermeneutika. Hermeneutika itu sendiri mengandung tiga pengertian yang menyatu dalam proses penafsiran karya sastra. Menurut Palmer (2003:15), makna yang terkandung dari istilah hermeunitika adalah: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya, “to say”; (2) menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi; (3) menerjemahkan, seperti di dalam transliterasi bahasa asing. Di dalam penelitian ini, proses pengungkapan, penjelasan, dan penerjemahan bahasa teks berdasarkan aturan hermeneutik yang menyatakan bahwa kita harus memahami keseluruhan berdasarkan yang detail dan yang detail berdasarkan keseluruhan. Menurut Gadamer (2004:351), “Gerakan pemahaman secara tetap berasal dari keseluruhan ke bagiannya dan kembali ke seluruhan. Keselarasan dari semua detail dengan keseluruhan adalah kriteria pemahaman yang


(37)

benar. Kegagalan untuk mencapai keselarasan ini berarti kegagalan dan pemahaman itu.”

Proses penafsiran teks sastra berdasarkan pendekatan hermeneutika historis menjadikan kedudukan pengarang atau penulis teks sejajar dengan penafsir teks. Penempatan penafsir, pengarang, dan teks sastra seperti ini berdasarkan pada kenyataan bahwa sebenarnya sastrawan yang menciptakan novel, karya sastra, bukanlah penafsir ideal terhadapnya. Dengan tegas Gadamer (2004:232) mengatakan, “Sebagai seorang penafsir, dia tidak mempunyai prioritas otomatik sebagai otoritas terhadap orang yang hanya menerima karyanya. Dia, sejauh dia mencerminkan pada karya sendiri, adalah pembaca itu sendiri. Makna yang dia, sebagaimana pembaca, berikan pada karyanya tidak otomatif. Satu-satunya kriteria penafsiran adalah makna dari penciptaannya, apa yang ia maksudkan.” Akan tetapi, “Pengarang dilihat dalam konteks teori ini haruslah memiliki tanggung-jawab moral terhadap masyarakatnya.” (Sikana, 2009:269).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengarang diposisikan sebagai penafsir teks dalam hermeneutika historis. Dengan demikian, pengarang dalam menafsirkan teks memiliki posisi yang sama dengan penafsir, di mana seorang penafsir mempersiapkan berbagai pengetahuan untuk memahami kebenaran isi teks. Hal itu berarti, pengarang tidak ditempatkan sebagai individu tetapi disamakan dengan wakil kondisi historis teks yang ditulisnya. Posisi pengarang seperti ini menyamakan posisi pengarang dalam teori strukturalisme genetik. Goldmann menolak bahwa teks-teks adalah ciptaan jenius individual dan menyatakan bahwa


(38)

teks-teks itu didasarkan pada, “...struktur-struktur mental trans-individual’ milik kelompok-kelompok (atau kelas-kelas) khusus.” (Selden, 1991:37).

Dengan menempatkan pengarang atau penulis teks sebagai penafsir teks maka penafsir dan teks merupakan unsur utama dalam proses penafsiran teks. Gadamer mengatakan di dalam proses penafsiran ini telah, “...terjadi interaksi antara penafsir dan teks, di mana penafsir mempertimbangkan konteks historisnya bersama dengan prasangka-prasangka sang penafsir, seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan budaya.” (Rahardja, 2008:93). Akan tetapi, Gadamer mengingatkan penafsir untuk berusaha melepaskan diri dari prasangka dengan menjaga jarak estetis antara penafsir dengan teks, terutama teks yang memiliki kedekatan emosional dengan penafsir teks. Secara filosofis, Gadamer (2004:592) mengatakan bahwa, “...tidak ada pemahaman yang bebas dari semua prasangka-prasangka, betapapun kehendak pengetahuan kita harus diarahkan untuk menghindari perbudakan mereka.”

Dari penjelasan di atas dapat ditarik simpulan bahwa bahasa, teks, sastra, dan hermeneutika merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan seorang penafsir dalam proses penafsiran teks novel. Di dalam menafsirkan bahasa sebagai suatu sistem tanda yang terdapat dalam karya sastra, maka penafsir memiliki kebebasan untuk menggunakan pengetahuannya dalam menafsirkan isi teks. Bahkan, hermeneutika dalam pandangan Hans Georg Gadamer memberikan keleluasaan kepada penafsir untuk menguji secara langsung penemuan-penemuannya dalam konteks historis yang relevan dengan penemuan tersebut. Hal ini disebabkan hermeneutika historis tidak menempatkan tujuan pengarang sebagai tujuan dalam


(39)

proses penafsiran teks. Dengan demikian, penafsir memiliki ruang untuk menghadirkan kebaruan dan kebenaran sebagai hasil proses pemahaman bahasa teks sebuah karya sastra.

2.3 Landasan Teori 2.3.1 Semiotik

Novel berjudul PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut yang menjadi pusat penelitian ini menggambarkan kehidupan masyarakat dengan menggunakan bahasa Indonesia, kecuali novel PB yang terbit dalam edisi bahasa Malaysia. Hal ini sejalan dengan prinsip umum kajian sosiologi sastra yang menyatakan bahwa, “Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa.” (Wellek dan Austin Warren, 1989:109). Dengan demikian, pemahaman awal terhadap isi karya sastra tetap berkaitan dengan kemampuan menafsirkan bahasa dalam karya sastra –novel- tersebut. Bidang ini menjadi bidang kajian semiotik sebagaimana ditegaskan dalam pernyataan berikut ini, “Titik perhatian linguistik adalah bahasa [verbal], sedangkan semiotik memusatkan perhatiannya pada tanda yang mencakupi aspek verbal [bahasa] dan nonverbal [misalnya gambar, warna, gerak tubuh, dan gejala alam].” (Hoed, 2008:75)

Semiotik dalam proses penafsiran isi novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut didasarkan oleh pandangan para ahli terhadap bahasa sastra. Menurut Lotman (1977), “Bahasa sastra sebagai sistem bahasa kedua, metafora, konotasi, dan ciri-ciri penafsiran ganda lainnya, bukanlah bahasa biasa, melainkan sistem


(40)

komunikasi yang telah sarat dengan pesan kebudayaan.” (Ratna, 2004:111). Pesan kebudayaan tersebut menempatkan semiotik sebagai salah satu teori yang digunakan peneliti untuk mengungkapkan pandangan dunia masyarakat Batak dalam novel karya Bokor Hutasuhut. Penggunaan semiotik dalam mendekati pemahaman teks sastra ini sesuai pendapat Jonathan Culler (1981) dalam Teeuw (2003:118) yang menyatakan bahwa, “Tugas semiotik bukanlah mendeskripsikan tanda-tanda tertentu, melainkan ‘to describe those convention that underlie evens the most ‘natural’ modes of behavior and representation” (memberikan konvensi-konvensi yang melandasi ragam perilaku dan pembayangan yang paling ‘wajar’ sekalipun). Dengan demikian, ilmu sastra yang sejati harus bersifat semiotik, yaitu harus menganggap sastra sebagai sistem tanda.

Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori semiotik yang dikembangkan Charles Sanders Pierce. Pierce merumuskan perbedaan tiga sistem tanda dalam hubungan pemaknaan antara pembaca dengan hal yang ditunjukkannya. Ketiga sistem tanda itu adalah ikon, indeks, dan simbol sebagaimana dijelaskan oleh Eagleton (1988:111), Ratna (2004:114-115), Sukada (1987:36), dan, Zoest (1990:8-9) berikut ini.

(1) Ikon, yakni suatu tanda yang menggunakan kesamaan atau ciri-ciri bersama dengan apa yang dimaksudkannya. Menurut Zoes, “Jika melalui kemiripan, dia merupakan tanda yang menggambarkan, sebuah ikon.” Contoh ikon adalah denah atau gambar grafis yang digunakan sebagai petunjuk jalan. Demikian juga kalimat, “Ia masuk, duduk, lalu melihat sekelilingnya” bersifat


(41)

ikonis, artinya urutan tersebut sesuai dengan urutan gerakan yang ditunjukkannya. Akan tetapi, apabila urutan itu dibalik maka lenyaplah ikonitas berurutannya. Singkatnya, menurut Eagleton, dalam ikonik terdapat lambang yang menyerupai benda yang diwakilinya (misalnya, foto seseorang).

(2) Indeks, yakni suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya, baik berkaitan dengan dunia luar sebagai intertekstual maupun sebagai intratekstual. Contoh indeksional adalah asap sebagai tanda adanya api. Bahkan, semua tanda yang menyebabkan kita menoleh, yang mengejutkan, menggoncangkan, menyentuh, melukai, menggerakkan hati kita, atau membuat kita marah termasuk tanda indeksikal. Dengan kata lain, indeks merupakan lambang yang melalui cara-cara tertentu dihubungkan dengan benda yang diwakilinya (misalnya, bintik dengan campak).

(3) Simbol, yakni hubungan antara item penanda dengan item yang ditandainya, yang tidak bersifat alamiah, melainkan berupa kesepakatan masyarakat dan bergantung dari penggunaannya. Menurut Zoest, sistem morse merupakan contoh yang jelas dari simbol. Akan tetapi, kita harus mempelajari kodenya, sistem konvensi yang membuat tanda bersangkutan menjadi tanda. Perbedaan ikon dengan simbol dapat dirumuskan bila tanda ikonis dapat dianggap mendasar, primitip, maka simbol dianggap canggih, berbudaya. Di dalam proses penafsiran teks, menurut Eagleton, simbol dapat dihubungkan secara kesewenangan atau secara kebiasaan kepada referennya. Menurut Santoso


(42)

(1993:120), hal ini disebabkan, “Tanda yang berubah menjadi simbol dengan sendirinya akan dibubuhi sifat-sifat kultural, situasional, dan kondisional.” Penafsiran terhadap simbol –di samping ikon dan indeks yang relevan- akan mendasari analisis strukturalisme genetik. Artinya, setiap pemahaman terhadap fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia dalam novel karya Bokor Hutasuhut tetap didasarkan pada konvensi simbol yang digunakan masyarakat Batak. Hal ini relevan dengan pendekatan hermeneutika historis yang memandang ungkapan dalam sastra secara semiotik, “…tidak dapat dipandang sebagai tanda (sign) dalam arti yang lazim dipahami orang, tetapi tanda simbolik, artinya tanda yang menyiratkan makna yang lebih dalam dan tinggi dari makna yang dapat ditangkap dengan pemahaman bersahaja.” (Abdul, 2004:93).

Gelang yang dipakai tokoh Tio dalam novel PUD karya Bokor Hutasuhut, umpamanya, merupakan simbolisasi perbudakan dalam kebudayaan Batak. Gelang yang dipakai oleh Tio inilah yang dicampakkan oleh Ronggur sehingga Tio tidak diperlakukan lagi sebagai budak belian. Simbol “gelang” ini dalam analisis semiotik akan menjadi salah satu dasar analisis strukturalisme genetik untuk mengungkapkan pandangan dunia masyarakat Batak. Secara khusus, pandangan dunia tersebut akan ditempatkan dalam sistem nilai budaya yang mendasari kehidupan masyarakat Batak, baik pada konteks realitas faktual maupun realitas fiksi dalam novel karya Bokor Hutasuhut.

Berdasarkan penjelasan ketiga sistem tanda di atas dapat diketahui bahwa penerapan teori semiotik melibatkan dua tahapan, yaitu menjelaskan karya sastra


(43)

sebagai struktur dan kaitan antara pengarang, realitas, karya sastra, dan pembaca (Sukada, 1987:44). Pengarang dan pembaca pada konteks pendekatan hermeneutika historis ditempatkan pada konteks penafsir di luar teks sehingga kaitan yang akan dijelaskan adalah kaitan antara realitas dan sastra. Dengan demikian, proses penafsiran tetap mendahulukan pemahaman teks sebagai sebuah struktur. Model penafsiran teks ini sejalan dengan proses penafsiran dengan menggunakan teori strukturalisme genetik yang tetap mengutamakan pemahaman struktur teks sebelum menganalisis pandangan dunia dalam konteks historis masyarakatnya.

2.3.2 Strukturalisme Genetik

Strukturalisme genetik merupakan teori sastra yang menolak analisis strukturalisme murni. Analisis strukturisme murni dianggap terlalu kaku, hanya memperlakukan karya sastra sebagai subjek otonom, sehingga melepaskan karya sastra dari dimensi sosial budayanya. Oleh karena itu, Lucien Goldmann mengembangkan teori genetic structuralism dalam bukunya Method in the Sociology of Literature (1980). Model teori sastra ini menggabungkan strukturalisme dengan sosiologi, sehingga tetap menempatkan model analisis struktural sebelum menggunakan model analisis sosiologis.

Teori strukturalisme genetik bermula dari pandangan Aristoteles yang menyatakan bahwa sebuah karya sastra harus merupakan sebuah keseluruhan yang mempunyai struktur yang konsisten dan koheren, di mana setiap bagian merupakan unsur esensial dan menempati tempat yang layak dan wajib (Teeuw, 1983:23-24).


(44)

Pandangan Aristoteles ini dipadukan oleh Goldmann dengan pandangan Georg Lukács (1962) yang memperlakukan karya sastra sebagai refleksi dari sistem yang terbuka dan berprinsip bahwa, “Novel mencerminkan realitas, tidak dengan melukiskan wajah yang hanya tampak pada permukaan, tetapi dengan memberikan kepada kita sebuah pencerminan realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik.” (Selden, 1991:27). Bagi Lukács (1976) dalam Sikana (2009:264), ”Tugas pengkritik sastra bukan semata-mata menunjukkan sama ada realitas dalam sesebuah karya sastera sama dengan realisme yang di luar sastera itu, tetapi melihat bagaimana ia berbeza dan sebagainya.” Dengan demikian, sebuah novel akan mencerminkan realitas masyarakat karena pengarang memiliki tugas melibatkan diri dalam masalah yang dihadapi masyarakatnya.

Pandangan Aristoteles yang mengutamakan struktur karya sastra dan pandangan Lukács yang mengutamakan refleksi dalam karya sastra telah melahirkan teori strukturalisme genetik. Filosofi teori ini mulai ditemukan oleh Taine yang menyatakan bahwa, ”Karya sastra tidak sekedar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan dapat merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya dilahirkan.” (Endraswara, 2003:55). Pandangan Taine ini diperjelas oleh Goldmann dalam Endraswara (2003:57) bahwa karya sastra harus ditempatkan pada konteks historis tempat asal pandangan dunia masyarakat yang digambarkan dalam karya sastra. Goldmann berpendapat bahwa karya sastra mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan konteks historis berkaitan dengan sistem pemikiran dan pandangan hidup masyarakat. Karya sastra juga mempunyai


(45)

kaitan dengan sistem pemerintahan dan gejolak politik yang melahirkan karya-karya tersebut. Bahkan, menurut Sikana (2009:260), dari konteks historis kehidupan masyarakat itu, ”Hipotesis Goldmann sebenarnya memperkenalkan satu unsur baru dalam pembicaraan tentang hubungan antara gejala sastera dengan fenomena ekonomi.”

Pengutamaan struktur karya sastra dan konteks historis dalam strukturalisme genetik bertujuan untuk melihat pandangan dunia sesuai dengan realitas fiksi dan realitas faktual dalam konteks historisnya. Menurut Teeuw (2003:126), hal ini didasarkan pada kenyataan, “…bagi Goldmann pun studi sastera harus dimulai dengan analisis struktur.” Hal ini disebabkan, teks sastra mempunyai structure significative yang bersifat otonom dan imanen, berada dalam kesadaran. Struktur kemaknaan itu mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu, melainkan sebagai wakil golongan masyarakatnya. Atas dasar analisis vision du monde tersebut si peneliti dapat membandingkannya dengan data empiris keadaan sosial masyarakat yang bersangkutan. “Dalam arti ini karya sastera dapat dipahami asalnya dan terjadinya (genetic!) dari latar belakang sosial tertentu.” (Teeuw, 2003:127). Akan tetapi, “Goldmann tidak secara langsung menghubungkan karya sastra dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial yang dominan.” (Ratna, 2004:122).

Untuk mengungkapkan homologi sastra dengan struktur sosial yang melatarbelakangi pemunculannya, Goldmann mengembangkan strukturalisme genetik dengan lima kategori yang saling berkaitan satu sama lain. Kategori itu adalah


(46)

strukturasi, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia, serta pemahaman dan penjelasan.

(1) Strukturasi merupakan pemahaman terhadap keseluruhan antarberbagai isi dalam struktur karya sastra yang koheren dan terpadu. Hal ini terungkap dalam The Epistemology of Socioloy (1981), Goldmann memandang karya sastra sebagai ekspresi pandangan dunia secara imajiner dan untuk mengekspresikan pandangan dunia itu, pengarang menciptakan tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Oleh karena itu, konsep struktur Goldmann bersifat tematik dengan pusat perhatian relasi antartokoh dan tokoh dengan objek sekitarnya (Faruk, 1994:17). Goldmann menggunakan konsep struktur (keseluruhan hubungan antarberbagai unsur isi), mengkhususkan hipotesisnya yang lebih umum, dan menyatakan bahwa ada homologi antara struktur novel klasik dan struktur pertukaran dalam perekonomian bebas. Struktur novel yang akan dideskripsikan sebagai sebuah struturasi pada penelitian ini terdiri atas struktur plot, struktur relasi gender, struktur ruang dan waktu, struktur naratif, dan struktur tematik. Konsep struktur yang menjadi landasan strukturasi dalam strukturalisme genetik ini berdasarkan pada teori struktur fiksi Robert Stanton (2007), struktur naratif Seymour Chatman (1980), dan penerapan strukturalisme terhadap sastra pascakolonial yang dilakukan Faruk (2007). Kelima struktur tersebut akan dijelaskan peneliti menurut urutan penerbitan novel dalam bentuk buku karya Bokor Hutasuhut.


(47)

(2) Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta kemanusiaan dapat berbentuk fakta individual dan fakta sosial. Fakta individual merupakan perilaku libinal sedangkan fakta sosial mempunyai peranan dalam sejarah. Fakta tersebut merupakan hasil usaha manusia mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitar. Di dalam hal ini, Goldmann sejalan dengan teori psikologi Pieget yang menyatakan, ”Manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi timbal-balik yang saling bertentangan tetapi sekaligus saling isi-mengisi.” Akan tetapi, dalam usaha mencapai keseimbangan pada psoses asimilasi dan akomodasi tersebut dapat mencapai kegagalan apabila berhadapan dengan rintangan. Goldmann mengidentifikasi tiga rintangan berikut ini: (i) kenyataan bahwa sektor kehidupan tertentu tidak menyandarkan dirinya secra integratif dalam struktur yang dielaborasikan; (ii) semakin lama penstrukturan dunia eksternal semakin sukar bahkan semakin tidak mungkin dilakukan; dan (iii) individu-individu dalam kelompok yang bertanggung jawab bagi lahirnya proses keseimbangan telah mentransformasikan lingkungan sosial dan fisiknya sehingga mengganggu keseimbangan dalam proses strukturasi itu (Faruk, 1994:12-14).

(3) Subjek kolektif merupakan subjek fakta kemanusiaan yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu subjek individual sebagai subjek fakta individual dan subjek kolektif sebagai subjek fakta sosial. Goldmann berpandangan bahwa yang melaksanakan fakta kemanusiaan bukan subjek individual melainkan subjek transindividual.


(48)

“Subjek trans-individual adalah subjek yang mengatasi individu, yang di dalamnya individu hanya merupakan bagian. Subjek trans-individual bukanlah kumpulan individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan, satu kolektivitas.” (Faruk, 1994:14-15).

(4) Pandangan dunia merupakan inti dari teori strukturalisme genetik. Goldmann percaya adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat karena keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama (Faruk, 1994:15). Akan tetapi, Goldmann tak percaya kepada hubungan langsung (=one-to-one-correspondence) antara unsur dalam novel dan unsur dalam realitas sosial. Hubungan yang ada ialah antara pandangan dunia dalam novel dengan pandangan dunia dalam realitas. Pandangan dunia dalam novel hanya dilihat melalui penyelidikan struktural dan ini dihubungkan secara dialektik dengan pandangan dunia dalam realitas (Junus, 1984:60). Pandangan dunia memiliki makna menyeluruh dari gagasan-gagasan, inspirasi-inspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan mempertanyakannya dengan kelompok sosial lain. Pandangan dunia dalam strukturalisme genetik dapat berkembang sebagai suatu hasil dari situasi sosial ekonomi yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya (Endraswara, 2003:58). Goldmann menyatakan dalam Pour une sociologie du roman (Paris, 1964) bahwa, di sini ia mengandaikan adanya hubungan langsung antara sistem ekonomi dan bentuk sastra. Bahkan, Goldmann mengkhususkan hipotesisnya yang lebih umum dan menekankan bahwa ada homologi antara


(49)

struktur novel klasik dan pertukaran dalam perekonomian bebas (Fokkema dan Ibsch, 1998:166). Pandangan dunia itu sendiri merupakan kesadaran yang mungkin yang tidak setiap orang dapat memahaminya. Kesadaran yang mungkin adalah kesadaran yang menyatakan suatu kecenderungan kelompok ke arah suatu koherensi menyeluruh, perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam sekitarnya. Kesadaran yang mungkin ini berbeda dengan kesadaran yang nyata karena kesadaran yang nyata adalah kesadaran yang dimiliki oleh individu-individu yang ada dalam masyarakat (Faruk, 1994:16).

(5) Dialektika pemahaman-penjelasan merupakan bagian akhir dari analisis strukturalisme genetik. “Yang dimaksud dengan pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari.” Sebaliknya, ”Penjelasan adalah usaha menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar.” Dengan kata lain, “Pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk mengerti makna bagian itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar.” (Faruk, 1994:21). Dengan demikian, pemahaman bertujuan untuk mendeskripsikan realitas fiksi sedangkan penjelasan bertujuan untuk menempatkan realitas fiksi pada realitas faktual dalam konteks historis. Penempatan realitas faktual berupa pandangan dunia dalam proses penafsiran novel karya Bokor Hutasuhut berdasarkan pada nilai budaya masyarakat Batak. Batak dalam konteks ini mengacu pada Batak Toba. Menurut Harahap dan Hotman M. Siahaan (1987:133-134) nilai budaya Batak Toba mengandung sistem


(50)

sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat sehingga memiliki aspek keseluruhan hidup. Aspek keseluruhan hidup dalam strukturalisme genetik merupakan hal penting untuk memahami bagian-bagian dalam kehidupan yang bersatu padu menjelaskan pandangan dunia suatu masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman dan penjelasan pandangan dunia dalam penelitian ini mengacu pada realitas fiksi dan realitas faktual nilai budaya Batak Toba yang berkaitan dengan masalah kekerabatan, religi, hagabeon, hukum, kemajuan, konflik, hamoraon, hasangapon, dan pengayoman. Kesembilan nilai budaya Batak Toba tersebut berasal dari ungkapan tradisional yang mendasari kehidupan masyarakat Batak, baik Batak Toba maupun Batak Angkola-Mandailing.

Teori strukturalisme genetik yang dirumuskan oleh Goldmann di atas didasarkan pada pemenuhan lima kategori, yakni strukturasi, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia, serta pemahaman dan penjelasan. Di antara kelima kategori tersebut maka pandangan dunia menjadi inti dalam pemahaman dan penjelasan sebuah novel dalam hubungannya dengan realitas faktual masyarakatnya sehingga, ”...mengukuhkan adanya hubungan sastra dengan masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya.” (Faruk, 1994:43). Bahkan, setelah meneliti keunggulan dan kelemahan strukturalisme genetik dapat disimpulkan bahwa, ”Melalui kualitas pandangan dunia inilah karya sastra menunjukkan nilai-nilainya, sekaligus memperoleh artinya bagi masyarakat.” Atau dengan kata lain, ”...mengetahui pandangan dunia suatu kelompok tertentu berarti mengetahui


(51)

kecenderungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang mendasari perilaku sosial sehari-hari.” (Ratna, 2004:126).

Berdasarkan sejarah dan kategori-kategori dalam strukturalisme genetik yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan prinsip dasar strukturalisme genetik. Prinsip ini terdiri atas dua hal yang relevan dengan filosofi hermeneutika historis. Menurut Sikana (2009:269), kedua prinsip tersebut adalah: (i) kritikannya bersifat historis, artinya makna yang muncul dapat ditelusuri dari sejarah makna karya tersebut; dan, (ii) adanya konsep tentang pandangan dunia. Kedua prinsip dasar strukturalisme genetik tersebut hanya akan terwujudkan apabila penafsir karya sastra menemukan keseluruhan kehidupan dalam analisis strukturalisme. Dengan demikian, penerapan strukturalisme genetik dimulai dari analisis strukturalisme hingga konteks historis pandangan dunia yang dilakukan dengan lima tahapan sebagaimana diungkapkan oleh Ratna (2004:127) berikut ini: a) meneliti unsur-unsur karya sastra; b) hubungan unsur karya sastra dengan totalitas karya sastra; c) meneliti unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesis karya sastra; d) hubungan unsur-unsur masyarakat dengan totalitas masyarakat; dan, e) hubungan karya sastra dengan masyarakat secara keseluruhan.

Kelima tahapan dalam strukturalisme genetik akan memperoleh penguatan dari analisis semiotik terhadap ikon, indeks, dan simbol yang terdapat dalam novel karya Bokor Hutasuhut. Sejalan dengan teori yang dikembangkan Goldmann ini, maka pendekatan hermeneutika historis yang dikembangkan oleh Gadamer pun menghubungkan kondisi kekinian dalam teks dengan konteks historis masyarakatnya.


(52)

Dengan demikian, pendekatan hermeneutika historis yang mendasari penerapan teori strukturalisme genetik terhadap novel karya Bokor Hutasuhut dapat menghasilkan pemahaman yang tepat dan kebenaran yang hakiki terhadap pandangan dunia masyarakat Batak di wilayah yang pernah dinamakan Keresidenan Tapanuli.

Kehadiran strukturalisme genetik yang ditopang oleh analisis strukturalisme dan semiotik dalam memahami dan menjelaskan pandangan dunia manusia Batak menjadi inti dari penelitian terhadap ketiga novel karya Bokor Hutasuhut. Bokor Hutasuhut, sebagai sastrawan Indonesia yang berasal dari Tanah Batak, merupakan sastrawan yang lahir dan memiliki kedekatan dengan kultur Batak, sehingga pandangan dunia tersebut memiliki hubungan erat dengan nilai-nilai budaya masyarakatnya, baik sebagai bagian dari etnik sastrawannya maupun sebagai latar belakang kehidupan tokoh cerita dalam novel-novelnya. Pandangan dunia masyarakat Batak tersebut pada hakikatnya tetap menjadi pandangan hidup yang memiliki kedekatan dengan sastrawannya. Dengan demikian, analisis semiotik dan strukturalisme genetik terhadap novel karya Bokor Hutasuhut tidak dapat dihindarkan dalam khasanah sastra Indonesia dan dalam kehidupan manusia Batak sebagai bagian yang menyatu dengan etnik sastrawannya.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian terhadap teks novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut akan dijelaskan dengan bagan aplikasi teori dan pendekatan. Aplikasi teori dan pendekatan menjelaskan kedudukan dan hubungan antara pendekatan


(53)

hermeneutika historis dengan teori semiotik dan strukturalisme genetik dalam mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan dunia manusia Batak. Pandangan dunia itu didasarkan pada realitas fiksi dalam novel karya Bokor Hutasuhut dan realitas faktual nilai budaya masyarakat Batak.


(54)

Bagan 2.1: Model Aplikasi Semiotik dan Strukturalisme Genetik dengan Pendekatan Hermeneutika Historis Terhadap Novel Karya Bokor Hutasuhut

Tradisi Kepentingan Praktis

Bahasa Kultur

Pemahaman Kebenaran

P

TEKS

NOVEL

Pemahaman Realitas Fiksi Strukturasi Fakta Kemanusiaan Subjek Kolektif Pandangan Dunia Ikon, Indeks, Simbol Penjelasan Realitas Faktual Kekerabatan Religi Hagabeon Hukum Kemajuan Hamoraon Hasangapon Konflik Pengayoman Ikon, Indeks, Simbol


(55)

Keterangan:

Hubungan langsung dalam Penafsir yang memiliki proses memahami teks

P

kedudukan setara dengan

penulis teks

Hubungan langsung dalam Faktor penghubung teks proses menerima kebenaran dengan setiap unsur pemahaman teks intrinsik dan ekstrinsik

Ikon, Indeks, Simbol

Hubungan langsung dalam Ruang lingkup wilayah proses homologi pandangan pemahaman dan

dunia penjelasan

Berdasarkan bagan penerapan teori semiotik dan strukturalisme genetik terhadap novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut maka peneliti sebagai penafsir memiliki tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan kultur yang berasal dari pengalaman hidup, kajian pustaka, dan wawancara terhadap pengarang novel tersebut. Penafsir dalam hermeneutika historis dan strukturalisme genetik memiliki kedudukan yang setara dengan novelis dalam menafsirkan isi teks novelnya. Hal ini disebabkan setelah novelis menerbitkan novelnya, maka novelis itu menjadi pembaca/penafsir novel tersebut. Dengan kata lain, penafsiran baru memiliki kemungkinan besar untuk muncul dalam proses penafsiran novelis terhadap karyanya


(56)

sehingga kedudukan novelis tersebut dapat disejajarkan dengan kedudukan pembaca/penafsir dalam menafsirkan sebuah novel.

Penafsir dalam mendekati teks berupa novel memiliki dua kepentingan, yaitu kepentingan pemahaman dan kepentingan kebenaran dalam hermeneutika historis. Pemahaman novel yang ditentukan oleh strukturasi bagian dan keseluruhan isi teks yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran isi teks. Untuk itu, penafsir menggunakan teori semiotik yang mendasarkan diri pada analisis ikon, indeks, dan simbol yang tersedia dalam novel. Analisis ketiga sistem tanda ini akan mengawali analisis strukturalisme genetik terhadap novel karya Bokor Hutasuhut, baik dalam pemahaman realitas fiksi maupun penjelasan realitas faktual.

Analisis pertama berkaitan dengan pemahaman realitas fiksi berupa strukturasi, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia. Setiap kategori yang akan dideskripsikan dalam proses pemahaman isi teks akan dimulai oleh analisis ikon, indeks, dan simbol yang relevan dengan kategori yang akan dideksripsikan penafsir. Dengan demikian, deskripsi strukturasi, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia dalam novel memperoleh acuan sistem tanda yang representatif. Deskripsi strukturasi, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia, dan sistem tanda yang menjadi acuan keempat kategori strukturalisme genetik tersebut harus memperoleh penjelasan dalam konteks historis yang melatarbelakanginya. Untuk itu, penafsir melakukan analisis dokumen untuk mempelajari sistem tanda yang berkaitan dengan pandangan dunia masyarakat Batak, seperti kultur kekerabatan, religi, hagabeon, hukum, kemajuan, konflik, hamoraon,


(57)

hasangapon, dan pengayoman. Berdasarkan keberadaan kultur Batak dalam konteks historis maka homologi antara realitas fiksi dengan realitas faktual dapat dijelaskan oleh penafsir. Dari homologi realitas fiksi dan realitas faktual inilah pendekatan hermeneutika historis akan menemukan pandangan dunia masyarakat Batak yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat, terutama masyarakat Batak.


(58)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian terhadap novel karya Bokor Hutasuhut akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. “Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya.” (Ratna, 2004:47). Metode kualitatif yang digunakan dalam strukturalisme genetik mengadopsi tawaran Albrecht dalam Faruk (1988), yaitu metode sosial historis atau metode sejarah dengan tipe deskriptif (Endraswara, 2003:56). Metode sejarah digunakan untuk menjelaskan pandangan dunia masyarakat Batak dalam konteks historis sedangkan metode deskriptif digunakan untuk memahami struktur karya sastra.

Metode penelitian sejarah atau metode sosial historis merupakan metode penelitian yang mempertimbangkan relevansi teks -karya sastra- sebagai dokumen sosial. Dengan hakikat imajinasi karya sastra adalah wakil zamannya dan dengan demikian merupakan refleksi zamannya (Ratna, 2004:66). Metode penelitian ini berfungsi untuk mempelajari dokumen-dokumen masa lampau, barang-barang peninggalan, dan mewawancarai orang-orang yang masih hidup yang mengalami peristiwa masa lampau. Dengan kata lain, “penelitian historis ialah pengumpulan dan penilaian data secara sistematik untuk mendeskripsikan, menerangkan, dan dengan


(59)

demikian supaya dapat memahami tindakan-tindakan atau peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa waktu yang lampau.” (Sigit, 2003:243).

Sebaliknya, metode penelitian deskriptif hanya melaporkan keadaan yang sesungguhnya ada. Penelitian deskriptif yang tipikal ialah untuk mengetahui sikap, pendapat (opini), informasi demografi, keadaan, dan prosedur (Sigit, 2003:223-224). Dengan demikian, “Penelitian deskriptif menentukan dan melaporkan keadaan sekarang. Seperti penelitian sejarah tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol hal-hal yang telah terjadi, demikian pula penelitian deskriptif tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol hal-hal yang sementara terjadi, dan hanya dapat mengukur apa yang ada (exists).” (Sevilla, dkk., 2006:71).

Untuk memperlancar perealisasian metode historis dan deskriptif tersebut, maka penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutika historis. Pendekatan ini mengutamakan ketepatan memahami bahasa teks dalam koteks penafsir dan konteks historis pemakai bahasa tersebut. Proses penafsiran teks berdasarkan pendekatan hermeneutika historis dapat dipahami dari bagan yang ditulis oleh Maulidin (2003) dalam “Sketsa Hermeneutika” yang diterbitkan Gerbang (Rahardjo, 2008:93). Bagan ini menempatkan penafsir dan teks dalam jarak estetis di mana penafsir harus membekali diri dengan tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan kultur yang relevan dengan teks yang akan dipahamai kebenarannya dalam konteks kekinian dan konteks historisnya.


(60)

Tradisi

Kepentingan Praktis Bahasa Kultur

Pemaknaan

KEBENARAN

TEKS

P

A

Konteks Historis

Bagan 3.1 : Hermeneutika Historis Hans Georg Gadamer

Berdasarkan bagan di atas, maka metode penelitian deskriptif menjadi metode penelitian yang digunakan dalam proses pemahaman terhadap realitas fiksi dalam teks novel. Realitas fiksi yang akan dideskripsikan adalah struktur novel, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia. Setelah penafsir memahami isi teks dan menemukan kebenaran di dalam proses pemahamannya maka kebenaran fakta kemanusiaan, subjek kolektif, dan pandangan dunia harus diaplikasikan penafsir dalam konteks historisnya. Di dalam konteks ini, Gadamer (2004:374-375) mengatakan, “Tesis kita adalah bahwa hermeneutika historis juga mempunyai tugas aplikasi untuk melaksanakan, karena ia juga memberikan kesahihan makna, di mana ia secara eksplisit dan secara sadar menjembatani jurang pemisah waktu yang memisahkan penafsir dari teks dan mengatasi alienasi makna yang dialami teks.” Dengan demikian, tujuan dari proses penafsiran teks adalah untuk menemukan


(61)

kebenaran yang tepat terhadap teks novel karya Bokor Hutasuhut sesuai dengan konteks historisnya.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terhadap novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut dipusatkan di dua kota sebagai pusat kesastraan pengarangnya. Kedua kota tersebut adalah Medan dan Jakarta.

(1) Kota Medan. Tempat yang menjadi lokasi penelitian adalah Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Balai Bahasa Medan, dan Perpustakaan Wilayah Sumatera Utara.

(2) Kota Jakarta. Tempat yang menjadi lokasi penelitian adalah Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin dan Perpustakaan Pusat Bahasa.

3.3 Sumber Data

Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer berupa novel sedangkan sumber data skunder berupa sumber-sumber tertulis yang membicarakan karya-karya Bokor Hutasuhut dan keadaan masyarakat Batak. Dari kedua sumber data itu maka sumber data primer menjadi acuan utama dalam menemukan pandangan dunia masyarakat Batak. Sumber data primer tersebut terdiri atas tiga buah novel karya Bokor Hutasuhut.

(1) Novel Penakluk Ujung Dunia karya Bokor Novel PUD yang menjadi sumber data penelitian ini adalah novel terbitan PT Pustaka Karya Grafika Utama,


(62)

Jakarta (1988). Novel ini terbit dalam seri “Pustaka Kita” sebagai novel cetakan kedua. Cetakan pertama novel ini diterbitkan oleh PT Pembangunan, Jakarta (1964). Sumber data penelitian ini menggunakan novel PUD cetakan kedua yang diberi kata pengantar oleh W.S. Rendra dan desain kulit oleh Sriwidodo. Novel ini berukuran 13 x 19,8 cm dan terdiri atas 200 halaman, termasuk delapan halaman bagian pengantar dan dua halaman bagian akhir buku yang memuat daftar makna istilah bahasa Batak yang terdapat dalam novel tersebut.

(2) Novel Tanah Kesayangan karya Bokor Hutasuhut. Novel TK yang menjadi sumber data penelitian ini adalah novel cetakan pertama yang diterbitkan oleh PT Pembangunan, Jalan Gunung Sahari 84, Jakarta (1965). Akan tetapi, hak cipta novel ini bertahun 1960 sebagai bukti bahwa novel ini telah lama disetujui penerbitannya. Novel ini terbit dalam Seri D-43 sebagai inisial bacaan untuk orang dewasa dan dimulai oleh pernyataan UNTUK BUNDA pada bagian pengantar. Novel ini terbit dengan ukuran 13,7 x 18 cm dan memiliki tebal 188 halaman, termasuk enam halaman bagian pengantar dan empat halaman promosi buku pada bagian akhir buku.

(3) Novel Pantai Barat karya Bokor Hutasuhut. Novel PB memiliki dua versi. Novel PB yang menjadi sumber data penelitian adalah versi pertama. Versi pertama adalah hasil pengetikan pengarangnya yang disimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin sedangkan versi kedua berbentuk buku yang diterbitkan oleh Marwilis Publisher & Distributor Sdn. Bhd., Shah Alam,


(63)

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang berkaitan dengan novel PUD, TK, dan PB karya Bokor Hutasuhut dan pandangan dunia masyarakat Batak dilakukan dengan teknik dokumentary-historical. Teknik pengumpulan data ini hanya memusatkan perhatian pada pengumpulan data berupa data archival, dokumen pribadi (termasuk sejarah pribadi), dokumen privacy (sangat pribadi seperti agenda harian, surat, dan berkas rahasia), dan dokumen publik (media massa dan kepustakaan).

Di samping menggunakan teknik dokumentary-historical, pengumpulan data akan menggunakan teknik wawancara kepada pengarangnya, Bokor Hutasuhut. Teknik wawancara akan dilakukan dengan dua tahap, yakni wawancara secara langsung dan wawancara tertulis. Baik wawancara secara langsung –lisan- maupun wawancara tertulis akan ditampilkan dalam bentuk dokumentary-historical sebagai hasil akhir wawancara.


(1)

dulu, zaman Belanda. Batak Angkola itulah Sidimpuan, Sipirok kemudian Batak Padang Bolak, Padang Bolak Sibuhuan Mandailing. Tapi mereka enggak ngaku Batak. Ya terserah saja lah ya, terutama Z. Pangaduan, bagaimana pun tak mau itu, itulah waktu kami pernah di taman budaya, jadi saya tanya dia, adat istiadat Mandailing itu kok sama dengan adat istiadat di Toba. Terdiam dia. Kemudian tidak ada tulisan Mandailing. Saya bilang aksara Batak yang ada juga Mandailing pake aksara Batak itu. Ya makin apa dia. Ha, yang pokok bung, saya bukan Batak. Ya, itu urusan saudara lah ha ha ha. Apalagi dulu Belanda sengaja memecah belah. Jadi ini ditanamkannya sama orang Mandailing nggak Batak. Kalau kalau ini bersatu payah mereka menguasainya. Jadi yang terus memang apa itupun pernah kami itu di mana lebih dulu ada suku yang menjadi Tapanuli, katakan Toba, alasannya mana ada di Mandailing atau Angkola, kampung yang disebut di Toba apanya itu tuanya yang mempunyai rumah adat rumah bolon, ukiran-ukirannya itu tak ada itu di sana. Itu berarti lebih mudalah kita di sana itu, saya bilang. Nggak ngaku dia. Jadi apa nanti pertandanya, bahwa bangsa ini lebih tua dari bangsa itu. Ha, dia cari-cari alasannya itu kalau kita masuk mulai parapatlah kampung itu kampung tersendiri mempunyai tatanan tersendiri itu.

Bagaimana pandangan orang Batak, termasuk bapak sebagai orang Batak tentang perbudakan yang disimbolkan dengan gelang?

Kalau dulu perbudakan itu di Batak sangat kejam. Itu budak itu dianggap kucing, kalau tuannya makan [dia bersuara kadang-kadang merangkak seperti kucing] iya sisa makanan kita makanannya dan saya masih sempat lihat, dulu itu, rajanya itu punya kereta bendi yang seharusnya diseret kuda. Jadi menunjukkan dia raja yang sebenarnya yang menariknya itu orang manusia, budak, itulah apa 5 orang, apa 7 orang, apa 2 orang, apa 3 orang. Ha, itulah menyeretnya dari kampungnya sampai ke pasar Balige. Balige itukan pusat daripada daerah sekitarnya itu kalau umpamanya hari Jumat, misalnya, pasar, datanglah dari daerah-daerah sekitarnya itu. Jadi


(2)

menunjukkan raja masing-masing kejagoan masing masing lah kan dan dia itu datang dengan diseret ditarik manusia bukan dengan kuda. Itu kejamnya dulu.

Sampai tahun berapa masih ada perbudakan seperti itu, pak?

Zaman Belanda. Sudah masuk Belanda masih ada. Tapi agama lah yang mulai mengapakannya itu, satu. Kedua ya setelah kita merdeka pikiran-pikiran apa itu kan menolaknya. Sampai sekarang itu, kalau tahu kita dia itu keturunan budak dilarang kita bergaul dengannya itu. Di daerah apa sana Sekip, ada namanya itu ada nama khususnya itu alah lupa lupa sudah tua gitulah. Jadi di situ dulu banyak mereka itu [keturunan budak itu] ha, ah, orang-orangnya memang cantik-cantik, tapi, kalau tahu kita kawan kita mau ke sana martandang, kita kasih ingat dulu. Gitu cantik-cantik pula kan, apa mata tak lebar pula kan, ramah-ramah, diingatkan kawan hati-hati kau, ini banyak itu di situ keturunan gitu. Daripada ketabrak sama orang tua segala macam ya kita pun pelan-pelan tarik diri yang bersangkutan sama yang bersangkutan semua kiri kanan ini terlibat nanti.

Tapi budak itu bukan hanya karena kalah judi tapi juga anak raja yang dikalahkan itu juga dianggap rendah, pak?

Ha, iyalah seperti Tio itu [dia kan anak raja] anak raja kalah perang jadi budak, kalau kalah judi tergadai juga sawahnya nanti, jadi nggak punya apa-apa lagi. Dia jadi budaklah dia.

Kemudian, di novel bapak, kalau menyebut tempat mepakai simbol-simbol huruf saja. Menapa bapak menuliskan begitu?

Itu, penyamaranlah itu. Kalau kau baca dulu karangan-karangan kan banyak pakai gitu, umpamanya Gunungsitoli hanya G [tidak ada maksud-maskud tertentu] nggak seperti apalah di pantai barat M Medan [kalau di tanah kesayangan terdapat inisial dari kota T, AN, P, L] ada saya sebut gitu, kalau ada itu Tanah Kesayangan itu di Balige itu.


(3)

Selain sebagai tempat lahir bapak, apakah ada hal menarik sehingga Balige menjadi latar novel Tanah Kesayangan?

Waktu penyerangan apa itu ya romusya itu dan tidak diduga Belanda masuk dari danau, dipotongnya semua itu dari pertahanan mulai dari Lumban Julu, Lumban Lobu, Porsea, Laguboti itu. Malah mereka jadi terjepit dipotong Belanda ke Balige. Belanda sudah merapatkan ini terjepit ini lari ke atas gunung semua gunung itu terjepit itu [tidak diduga dari Parapat mereka naik bot ke Balige] naik bot Belanda. Jadi apanya kalau masa itu ya nggak disadari perang saudara terus terjadi di Balige ini. Balige itu pernah satu hari ganti penguasa beberapa kali. Umpamanya pagi dikuasai tentara Bejo. Jadi, Bejo pula yang Islam lah ya jadi ayah sebagai mubaligh Islam kalau ini menang merasa aman dia. Siangnya masuk lagi apa si Ragin Toba ini Kristen ini, hantam semua. Sorenya lagi masuk siapa orang Batak juga, Simalau, ha. Malamnya masuk lagi si Kadiran, Islam lagi, orang kita Jawa. Berputar-putar itu, jadi setelah tenaganya habis satu sama lain bertempur, datang Belanda melenggang saja Belanda itu. Belanda hanya masuk dengan beberapa kapal-kapal kecil diiringi dengan mustang dari atas, pesawat terbang. Ya, sudah hubar-habir semua dan nanti ini sisa-sisa laskar inilah yang berkumpul nanti di jalan ke Sibolga yang dipimpin Kawilarang. Inilah nanti yang menghadang Jenderal Spur dari situ; Ah, masuknya Jenderal Spur waktu itu masih apa semua, TNI lah yang melawan Belanda. Jadi itulah nanti Belanda apa Jenderal Spur mengatakan atau Belanda mengatakan kepada Komisi Tiga Negara di Indonesia telah aman semua, dibawanya ini dari jalan Sibolga ini bocor rahasia ini kepada tentara gerilya, Kawilarang sengaja dihadang dengan tenaga penuh lah. Waktu lewat itu dibal-ballah sampe waktu mereka pulang tidak benar aman sampai Spur sudah meninggal. Sudah ditekanlah Belanda kasi merdeka itu [panjang ceritanya itu] Enak kali itu ditelusuri jalannya sejarah itu, enak jadi kadang-kadang waktu kita mengarang ini, apalagi kalau sudah berupa novel ini masuk ke pikiran kita [kejadian-kejadian yang apa itu pak]. Ini ikut dimasukkan ke karangan itu jadi bagaimana kita menyeleksinya. [termasuk proses kreatif itu pak]


(4)

Jadi kalau proses kreatif itu kadang-kadang nggak mudah mengucapkannya, jadi bagaimana ini umpamanya seperti Penakluk Ujung Dunia itukan sudah lama lalu beberapa tahun yang lewatlah. Ha, inikan kebetulan ada narasumber yang memang kerjanya mengamen dengan menyanyi-nyanyikan masa-masa lalu ini. Itulah si suke itu jadi sering membuka pengamenan di apa rumah kita di Balige, di teras rumah kita kalau dia sedang apa itu banyaklah orang datang menonton banyaklah minum kopi segala macam

Kemudian pandangan bapak tentang Sungai Titian Dewata?

Itu sungai biasa. Kau pernah dari porsea [saya pernah ke Balige]. Kalau pernah ke Balige pernahlah ke Porsea kan jembatan itu kan panjang itu di bawahnya itu situlah panjang pangkal Sungai Asahan, situlah nanti [berarti ke atasnya itu lah dia dikatakan Sungai Titian Dewata] iyalah dari situlah nanti [nama sungainya apa itu sekarang pak] Sungai Asahan jadi dulu air terjun itu disunglap jadi apa itu penggerak listrik. Jadi sekarang air terjun itu nggak nampak lagi. Belakangan saya ke sana sudah kering dibikin terowongan baru aliran sungai ini jadi terowongan ini bertingkat-tingkat di bawah itulah dibikin pembangkit listrik itu, jadi sudah terowongan-terowongan sebetulnya itu kalau dulu sungai itu makin curam makin jatuh, di daerah itu, kalau kau pernah ke sana, di situlah nampak itu embun merendah [kabut] kabut kabut itukan gelap, kadang-kadang, karena gelapnya matahari nggak nampak. Itulah suasana, itulah dia kawin sama budaknya kan.

Jadi waktu menuliskan cerita itu, apakah sudah ada cerita tentang titian dewata sebelumnya?

Sudah banyak cerita-cerita mengenai adat Titian Dewata.

Jadi sudah ada dongeng mengenai Sungai Titian Dewata? Dongeng ha dongengnya.


(5)

Dulu namanya memang Sungai Titian Dewata?

Namanya Sungai Asahan Titian Dewata, itulah menurut cerita mereka dulu jalan arwah-arwah nenek moyang ke nirwana, sesuai dengan apa dulu ya.

Terus tentang Mulajadi na Bolon? Ini kepercayaan.

Jadi zaman animisme? Pelbegu lah itu.

Di novelnya itu anak laki-laknyai anak tunggal padahal dalam adat batak anak harus banyak?

Kalau kita bikin banyak anak, inikan enggak, tokohnya itu bagaimana ya, itukan penokohan itu bukan hanya itu saja nanti, tapi kalau memang si Rongur lahir meninggal ayahnya.

Tentang pisau gajah dompak, apakah semua orang bisa memikinya?

Itu simbol dari kerajaan, itu tokoh-tokoh adalah gitu yang punya [jadi tidak sembarangan ya pak] nggak.

Peranan kepala negeri itu di Toba waktu dijajah Jepang dan Belanda digambarkan seharusnya mengayomi tapi berpihak pada penjajah?

Ada Kepala Negeri yang baik, kembali kepada persoalan lah ya, ada presiden yang baik ada presiden yang ugal-ugalan. Apa itu, dulu waktu perundingan KMB di Negeri Belanda memang ada satu syarat, jangan diungkit-ungkit lagi yang kerja sama dengan Belanda sama yang tidak. Jadi yang kerjasama dengan Belanda itupun harus dianggap samalah dengan pejuang diri yang berjuang di bukit-bukit sama jenderal Belanda. Jadi waktu nanti tentara laskar-laskar yang tadinya berjuang untuk melawan Belanda masuk menjadi apa tentara republik, dia dibaurkan dengan apa ini tentara-tentara


(6)

Belanda, ini disatukan. Jadi memang ada positifnya ada negatifnya. Ini positifnya ya bagaimanapun lebih banyak laskar yang prorepublik kan, yang probelanda ini lama-lama harus ikut dengan jalan pikiran yang republik.

Kalau kita amati novel Pantai Barat, apakah ada hubungannya dengan PP 10 di mana orang Cina tidak boleh berdagang sampai ke pelosok-pelosok?