Bekas Datu Bolon itu mengatakan pada mereka bahwa yang mengetahui jalan ke tanah habungkasan itu hanyalah Ronggur. Bila Ronggur mati dibunuh
orang yang tidak dapat mendengarkan penemuannya, mana tanah habungkasan itu akan kembali hilang. Mereka semua akan menjadi orang
yang sia-sia turun-temurun. Mereka harus membela Ronggur dan Tio, harus melepaskan mereka dari ancaman maut itu. PUD:188
Dengan demikian, fakta individual yang menghadirkan gagasan dan mimpi
Ronggur berubah menjadi fakta sosial karena kecepatan dan ketepatan menghadapi rintangan. Usaha tidak kenal menyerah dari Ronggur untuk mewujudkan mimpinya
telah memunculkan ego yang luar biasa dalam diri Ronggor, sehingga mampu mengatasi segala rintangan dalam proses asimilasi tanpa mengabaikan keseimbangan
hidup masyarakat. Keberhasilan Ronggur membuktikan kebenaran gagasan dan mimpinya itu pun menggerakkan orang lain menyatukan persepsi. Masyarakat bebas
menghuni dan bercocok tanam di tanah habungkasan sebagai hasil aktivitas sosial Ronggur. Dengan demikian, fakta individu yang memunculkan fakta sosial ini
menjadi fakta kemanusiaan yang mengubah kepercayaan masyarakat terhadap mitologi Pagar Pegunungan dan Sungai Titian Dewata dalam kehidupan masyarakat
Batak di tepi Danau Toba.
4.2.3 Subjek Kolektif
Novel PUD karya Bokor Hutasuhut menampilkan subjek individual dan subjek transinvidual. Subjek individual dalam novel ini melekat dalam diri tokoh
antagonis, Datu Bolon Gelar Guru Marlasak. Hal ini terlihat ketika datu bolon kerajaan menolak kebenaran yang disampaikan oleh Ronggur. Padahal, Ronggur
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
membawa bukti-bukti yang memperkuat fakta bahwa dia telah menemukan tanah habungkasan, seperti membawa hasil pertanian dan hasil perburuan yang tidak
ditemukan di tanah kelahirannya, bahkan dia sendiri telah selamat sampai kembali ke tanah kelahirannya. Orang-orang sebelumnya, termasuk Ayah Ronggur, tewas dalam
usaha mewujudkan keyakinan Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan yang bertentangan dengan kepercayaan masyarakat yang justru ketika itu dipimpin oleh
mantan datu bolon tersebut, sehingga datu bolon tersebut diganti oleh Datu Bolon Gelar Guru Marlasak. Kutipan berikut memperlihatkan keputusan subjek individu
dalam diri Datu Bolon Gelar Guru Marlasak yang mementingkan diri dan jabatan datu kerajaan daripada menyelidiki kebenaran berita yang disampaikan oleh Ronggur.
Kerajaan yang lengkap cepat saja mengadakan sidang. Dalam rapat kerajaan, suara Datu Bolon memegang peranan yang penting.Karena persoalan, soal
kepercayaan. “Kita akan dikutuk para dewata dan arwah nenek moyang, bila kita mau
mendengar cakap dusta ini. Kita dulu memutuskan, akan menangkap si Ronggur, akan menjadikannya budak belian, bila dia kembali ke kampung
halaman ini. Tapi, sekarang tuntutanku tidak sampai di situ. Karena dia telah mendustai kita dan dia telah membebaskan seorang budak marga tanpa
persetujuan sidang kerajaan, tuntutanku: Menangkap dan menghukum si Ronggur bersama budak belian itu. Hukum
mati. PUD:185-186 Sikap individualistik Datu Bolon Gelar Guru Marlasak tidak berubah
meskipun Raja Panggonggom berusaha tampil sebagai simbol pengayom masyarakat dengan bersikap lunak, menawarkan keringanan hukuman apabila Ronggur bersedia
mengubah pendiriannya. Meskipun menawarkan penghapusan hukuman, raja tetap menjadi subjek individual karena tidak berhasil mengatasi rintangan kekuasaannya.
Ronggur tetap bergeming dengan kebenaran fakta-fakta yang disamaikannya di
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
hadapan Raja Panggonggom, Datu Bolon Gelar Guru Marlasak, dan warga Kerajaan Marga yang menyambut kepulangannya. Penawaran Raja Kerajaan Marga dan sikap
Ronggur terlihat dalam kutipan berikut ini. Tidak berapa lama setelah senja berganti malam, Raja Panggonggom bersama
pengiringnya, masih datang menemui Ronggur, mengusulkan agar Ronggur mencabut kembali semua yang telah diucapkan.
Hukuman bisa dientengkan, tak perlu hukuman mati, asal dia mau. Tapi, Ronggur harus bersedia menjadi budak, begitu pula Tio dan anaknya.
Ronggur menolak sarat itu. Malah dikatakannya: “Aku tidak dapat membenarkan yang salah, begitu pula sebaliknya. Yang
benar harus kukatakan benar. Percayalah padaku, Paduka Raja.” PUD:187 Penolakan Ronggur terhadap tawaran bersyarat yang disampaikan oleh Raja
Kerajaan Marga mengukuhkan Ronggur sebagai protagonis yang mampu mengatasi kepentingan diri sendiri. Perilaku Ronggur yang mengutamakan kepentingan umum
menjadikan dia sebagai subjek kolektif, subjek transindividual bagi warga di Kerajaan Marga. Sebelum peristiwa tersebut, Ronggur pun mendukung perang karena
tidak ada orang yang percaya terhadap jalan keluar mencegah perang yang diusulkannya. Akan tetapi, begitu ada orang yang mendukung gagasannya, maka
mimpi itu pun berusaha diwujudkannya. Hal ini dilakukan oleh Ronggur dengan meyakinkan Tio, budak beliannya, bahwa perjalanan mengikuti aliran Sungai Titian
Dewata tidak bertujuan untuk melanggar kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyang, melainkan untuk menemukan tanah habungkasan. Kemudian, mantan datu
bolon kerajaan pun membenarkan keyakinan Ronggur, sehingga ibunya merestui perjalanan Ronggur melanjutkan usaha ayahnya yang gagal. Kebulatan tekad
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Ronggur tersebut dipaparkannya di hadapan sidang kerajaan sebagaimana tertera dalam kutipan berikut ini.
“Paduka Raja, memang padaku diajarkan kepercayaan begitu rupa. Tapi, karena maksud perjalanan ini tidaklah untuk kesenangan perseorangan saja,
tapi bertujuan untuk kepentingan bersama, izinkanlah aku untuk memikul segala risiko itu bila yang kurasakan dan kupikirkan itu salah” PUD:88
Risiko yang diterima Ronggor akibat kepeduliannya terhadap kepentingan umum dapat dilihat dari risiko yang sudah diatur oleh nenek moyang Kerajaan
Marga. Oleh karena itu, Ronggur tidak menolak kehilangan marga. Dia pun merelakan raja mencabut semua hak kemargaan diri dan keluarga, termasuk gelar
Raja Ni Huta Muda dan Hulubalang yang disandangnya. Bahkan, warga yang membantu Ronggur akan menerima hukuman yang sama dengan hukuman terhadap
Ronggur. Ketentuan adat ini berlaku mutlak dan tidak dapat diubah oleh warga dan para raja sebelum ada kejadian luar biasa yang mengubah kebenaran kepercayaan
warga di Kerajaan Marga tersebut. Keputusan Ronggur mengabaikan kepentingan diri sendiri, bahkan ibunya
terpaksa menjadi warga tanggungan kerajaan. Akan tetapi, semua simbol-simbol kebesaran yang melekat pada dirinya sebagai Raja Ni Huta Muda dan Hulubalang
tergantikan setelah dia menemukan kenyataan bahwa Sungai Titian Dewata berakhir pada air terjun yang terus mengalir ke laut. Di sisi sungai itulah terletak tanah
pertanian yang subur. Penemuan indeks tanah habungkasan itu sendiri berfungsi sebagai simbolisasi perjuangan hidup yang tidak kenal menyerah.
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
”Ronggur, itulah tanahmu. Ronggur, itulah tanah habungkasanmu. Ronggur, itulah yang ditunjukkan mimpi dan perkataan gaib dalam mimpimu. Dia telah
membawamu ke tanah habungkasan yang maha luas.” PUD:143 Dengan demikian, subjek transindividual dalam novel PUD adalah Ronggur.
Sebaliknya, subjek individual dalam novel ini adalah Datu Bolon Gelar Guru Marlasak. Ronggur yang semula dianggap mementingkan diri sendiri karena terpaksa
harus melanggar kepercayaan warga, ternyata menjadi subjek transindividual yang potensial. Ronggur yang melepaskan semua simbolisasi kebesaran seorang raja muda
memberikan hasil penemuannya kepada semua orang Batak, baik berasal dari marganya maupun dari marga yang lain. Dengan demikian, simbol perlawanan dan
pembebas perbudakan dalam diri Ronggur terhadap adat di Kerajaan Marga merupakan perwujudan subjek transindividual dalam kehidupan warga di tepi Danau
Toba.
4.2.4 Pandangan Dunia