dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hal inilah yang menjadi
pandangan dunia Batak Toba dalam realitas fiksi dan realitas faktual.
6.2.8 Pandangan Dunia tentang Hasangapon
Kehidupan orang Batak Toba dalam zaman Batak kuno didasarkan atas keinginan meraih jabatan di kerajaan, seperti posisi Raja Ni Huta atau Hulubalang.
Jabatan itu dipandang memberikan kewibawaan dan kemuliaan. Hal inilah yang terjadi dalam kehidupan Ronggur di dalam novel PUD di mana Ronggur melepaskan
jabatan untuk menemukan tanah habungkasan, sehingga sidang kerajaan mencabut semua hak-hak kewibawaan dan kemuliaannya.
Indeks tanah habungkasan yang muncul dalam mimpi dan diperkuat oleh hasil pengamatan mantan datu bolon kerajaan dan dirinya sendiri, telah meyakinkan
Ronggur untuk menemukan kebenaran mimpinya. Dia pun melepaskan jabatan dan gelar kehormatan yang diberikan Kerajaan Marga kepada dirinya. Akan tetapi,
kualitas tondi yang bersemayam dalam dirinya semakin menguatkan sahala harajaon dan sahala hasangaponnya. Oleh karena tondi dan sahala tidak dapat dipisahkan dari
dirinya, maka dia pun memperoleh jabatan dan kemuliaan setelah masyarakat menerima kebenaran indeks mimpi dan tanah habungkasan itu.
Kutipan berikut ini memperlihatkan kualitas tondi dan sahala dalam diri Ronggur, sehingga mampu mengalahkan dan memerintahkan laskar kerajaan yang
mengejarnya untuk memberitakan kebenaran indeks mimpi dan tanah habungkasan. Laskar Kerajaan Marga yang mengejar dan akan membunuh Ronggur berbalik
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
membela Ronggur. Hal itu berarti mereka menciptakan mitos perlawanan terhadap kepercayaan Batak Toba di Kerajaan Marga.
Hulubalang itu menyanggupi akan menyampaikan pesan. Malah dengan sadar dia menambahkan, “Karena aku sendiri telah melihat kebenaran ceritamu,
kebenaran penemuanmu, tanpa sarat itu pun, aku akan bekerja keras menginsafkan orang. Berilah kesempatan padaku, untuk berbakti.”
Lima orang dari anggota yang memburu itu, ditunjuk Ronggur mengiringi Hulubalang menuju kampung halaman. Yang lima orang itu pun telah
bersedia menjadi saksi atas kebenaran penemuan Ronggur. Sedang rombongan Ronggur, ditambah pasukan kerajaan marga yang sudah insaf
menuju ke timur, ke tanah habungkasan. PUD:196-197 Pada novel karya Bokor Hutasuhut yang lain, jabatan menjadi rebutan
sebagaimana terjadi dalam realitas fiksi di mana seseorang yang rela menjadi pengkhianat bangsa untuk menempati jabatannya sebagai Kepala Negeri dalam TK
atau keinginan Pak Ali merebut kembali jabatan Ketua Serikat Buruh Kota Sibolga dalam novel PB. Pernyataan Kepala Negeri kepada Tiur berikut ini memperlihatkan
kualitas hasangapon yang rendah dalam diri seorang Kepala Negeri. „Hanja kau,” kata Kepala Negeri setelah memperbaiki djalan napasnja, „jang
dapat mengobati duka dihatiku. Maukah kau, memberi djasa pada seorang Kepala Negeri jang duka, tapi jang telah banjak mengorbankan tenaga untuk
Dai-Toa? Seorang Kepala Negeri jang tidak pernah mentjitjipi ketenangan hidup dengan istrinja pertama, karena isterinja tidak mau mengerti akan
tugasnja. Tapi sjukurlah, isteri pertama itu sekarang sudah tidak ada lagi. Dipanggil Tuhan tjepat².” TK:19
Orang Batak Toba yang beradab dan berpikiran maju, jabatan tidak memiliki
arti apabila tidak mampu memberi kewibawan dan kemuliaan pemangku jabatan tersebut. Hal ini disebabkan kualitas hasangapon tidak selamanya menetap dalam diri
seseorang, sebagaimana terlihat dalam hasil penelitian berikut ini.
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Naik dan jatuhnya orang yang memerintah; kekayaannya, kekuasaannya, martabatnya, pengaruhnya di luar huta sendiri dilihat sebagai petunjuk
tentang ada tidaknya daya istimewa yang dimiliki tondi seorang kepala, yang dinamakan sahala: dalam hal ini sahala harajaon kualitas kekuasaan yang
bisa menghasilkan sahala hasangapon kualitas untuk dihormati. Sahala hasangapon adalah kualitas yang bersemayam dalam diri seorang kepala dan
yang berkat keberadaannya telah membuat seseorang yang memilikinya punya hak untuk dihormati, dimuliakan, dan sebagai pemangku otoritas untuk
dipatuhi dan dituruti. Vergouwen, 2004:162-163 Kualitas sahala dalam diri orang Batak Toba merupakan hal penting dalam
penguasaan jabatan yang dapat memberi kemuliaan bagi pemangku otoritas publik tersebut. Seseorang dapat saja memiliki sahala harajaon tetapi gagal mewujudkan
sahala hasangapon, demikian pula sebaliknya. Orang yang memiliki kedua sahala tersebut akan memiliki kualitas tondi yang dihormati dan dimuliakan. Hal seperti
inilah yang terjadi dalam kepemimpinan Raja Panggonggom, Datu Bolon Gelar Guru Marlasak, Kepala Negeri, dan Ibu Ratna. Mereka tidak mampu menghadapi kualitas
tondi yang dimiliki Ronggur, Bonar, dan tokoh Aku. Ronggur dalam PUD, Bonar dalam TK, dan tokoh Aku dalam PB memiliki sahala harajaon dan sahala
hasangapon sehingga dapat menguasai keadaan dan menerima rasa hormat. Bahkan, tokoh Aku memancarkan tondi yang kuat, sehingga menjadi tamu terhormat di rumah
Pakcik Fat padahal Fat hanya mengenal tokoh Aku sebagai penumpang bus dalam perjalanannya. Kutipan berikut ini memperlihatkan pesona yang terpancar dari tondi
dan sahala dalam diri tokoh Aku. Sehabis sarapan aku bersiap-siap meminta diri. Tapi waktu itu djuga paktjik
menjembul dipintu depan rumah. Mendjindjing koperku. Sebelum sempat aku menanjakan paktjik sudah lebih dulu mendjelaskan: “Kudjemput dari
penginapan. Kuketahui alamatmu dari papan dimana kuntji kamarmu diikatkan dengan kawat. Pendjaga losmen pertjaja padaku. Mereka mengenal
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
aku sebagaimana aku mengenal mereka. Dikota ketjil begini hampir setiap orang saling kenal-mengenal, apalagi kami jang sudah agak tua dan penghuni
lama dari kota ini.” PB:36 Pandangan dunia masyarakat Batak Toba terhadap hasangapon ternyata tidak
didasarkan pada raihan jabatan formal. Jabatan yang mengabaikan tondi dan sahala dalam aktivitas sosial yang beradab akan mengakibatkan malapetaka bagi pemangku
jabatan tersebut. Sebaliknya, jabatan yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan memperoleh kewibawaan dan kemuliaan bagi
pemangku jabatan tersebut. Hal inilah yang diterima oleh Ronggur, Bonar, dan tokoh Aku dalam realitas fiksi novel karya Bokor Hutasuhut.
6.2.9 Pandangan Dunia tentang Pengayoman