6.2.2 Pandangan Dunia tentang Religi
Masyarakat Batak Toba termasuk dalam kelompok masyarakat yang religius. Hal ini sesuai dengan hasil temuan penelitian dalam realitas fiksi dan realitas faktual.
Dalam realitas fiksi, masyarakat Batak Toba memegang teguh keyakinan agamanya. Keyakinan beragama itu dapat dikelompok atas tiga bagian besar yang masing-
masing kelompok memiliki homologi dengan keyakinan beragama masyarakat Batak Toba dalam realitas faktual. Pertama, keyakinan beragama parmalim yang dijalankan
oleh masyarakat Batak kuno sebelum ditemukan jalan keluar migrasi ke Asahan. Kedua, keyakinan beragama Kristen dalam kehidupan masyarakat di Distrik Tanah
Batak. Ketiga, keyakinan beragama Islam sebagai minoritas dalam kehidupan Batak Toba, baik di tanah kelahiran maupun di perantauan.
Masyarakat Batak Toba memiliki pandangan dunia bahwa kehidupan manusia sudah diatur sedemikian rupa oleh Mulajadi Na Bolon. Mulajadi Na Bolon dalam
realitas faktual menjadi salah satu aliran kepercayaan yang mengatur kehidupan masyarakat Batak. Menurut Sidjabat 2007:380, ”Sebagaimana diketahui,
berdasarkan data dari orang yang mewarisi pengetahuan ini di kalangan masyarakat Batak, demikian juga atas dasar penelitian oleh berbagai sarjana, Mulajadi Nabolon
Yang Menjadikan segala yang ada, Yang Agung ialah nama Tuhan yang asli Batak sebelum dipengaruhi oleh unsur agama lain yang datang dari luar.”
Kepercayaan masyarakat Batak Toba terhadap Mulajadi Na Bolon menjadi indeks yang menggerakkan masyarakat melakukan sesuatu. Bagi orang Batak Toba,
segala sesuatu yang diterima sebagai akibat dari kepercayaan terhadap Mulajadi Na
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Bolon dianggap sebagai nasib, takdir yang tidak dapat dielakkan setiap manusia. Di dalam mitos Batak, pengaturan nasib manusia tersebut tertulis pada sebatang pohon
Hariara Sundung di Langit yang menjulang dari Dunia Bawah sampai Dunia Atas. Menurut Siahaan 2005:18, ”Pada pohon Hariara Sundung di Langit dicatat ‘nasib’
yang akan dijalani oleh masing-masing manusia selama hidupnya. Oleh karena itu pohon itu dikatakan Pohon Hidup.” Dengan demikian, Hariara Sundung di Langit
menjadi simbol pohon kehidupan yang identik dengan Tuhan yang Mahakuasa. Di dalam realitas fiksi novel PUD, kepasrahan perempuan Batak Toba
terhadap nasib yang telah ditakdirkan oleh Mujadi Na Bolon terdapat dalam diri Ibu Ronggur. Di hadapan putranya, Ibu Ronggur tampil penuh percaya diri dan
memberikan semangat kelelakian kepada Ronggur. Akan tetapi, di hadapan mantan datu bolon kerajaan, Ibu Ronggur meratapi nasibnya dengan tetap menampakkan ikon
wanita yang religius dan sabar. Ibu Ronggur menghadapi nasib yang tercatat dalam Hariara Sundung di Langit, nasib yang sama pernah menimpa suami dan sekarang
putranya menempuh jalan yang sama dengan jalan ayahnya. Kutipan berikut ini melambangkan penyerahan diri Ibu Ronggur kepada Tuhan yang Mahakuasa.
Tidak dilihat Ronggur lagi, ibunya mencampakkan diri ke pohon hariara yang besar itu. Tersedu ke sana. Meratap panjang. Bekas Datu Bolon menyabari.
Kemudian menuntunnya pulang ke rumah. “Mereka akan berhasil, mereka akan pulang membawa berita baik dan
menggembirakan,” bujuk bekas Datu Bolon. “Semua yang dikorbankan Ronggur untuk perjalanan ini akan kembali padanya, malah lebih dari itu akan
dipunyainya.” Perempuan tua itu menundukkan kepala, mengiakan, walau sebenarnya dia
tidak dapat meyakini bujukan itu. PUD:1001
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Pandangan dunia Batak Toba yang pasrah dalam menerima takdir sesuai dengan realitas faktual hasil penelitian Harahap dan Hotman M. Siahaan 1987:157.
Mereka mengatakan bahwa, ”Takdir yang ditentukan oleh Debata Mulajadi Na Bolon diterima dengan pasrah. Penderitaan sering dianggap sebagai takdir, dan ada yang
menyerah pada penderitaan itu, dia apatis. […] Apresiasi terhadap takdir, mendidik untuk tabah menghadapi segala cobaan hidup, menyingkirkan sifat sombong,
sekaligus menanamkan rasa kepatuhan kepada orang tua, raja, hulahula, nenek moyang dan Debata Mulajadi Na Bolon.” Oleh karena itu, masyarakat Batak Toba
selalu mengadakan upacara ritual yang dipimpin oleh datu bolon kerajaan seperti terlihat dalam persiapan perang berikut ini.
Gondang pun dipalu, gondang somba-somba. Orang pada berdiri, bersiap-siap mau manortor. Di belakang Datu Bolon, tempat kerajaan baru khalayak ramai.
Kepala mereka menunduk-nunduk, memberi hormat pada arwah halus yang tadi dipanggil, Datu Bolon menemani mereka membasmi musuh. Tangan
yang kedua, dirapatkan di kening, bersujud. PUD:22 Di samping itu, realitas fiksi dalam novel PUD karya Bokor Hutasuhut
memperlihatkan kepercayaan bahwa pegunungan sebagai pagar kehidupan dan Sungai Titian Dewata sebagai arwah menuju tempat bersemayam Mulajadi Na Bolon.
Meskipun hal itu merupakan mitos dalam realitas faktual modern, tetapi masyarakat Batak Toba kuno meyakini ajaran yang dikembangkan oleh datu bolon kerajaan dan
dikukuhkan oleh raja tersebut. Bagi orang Batak Toba, melanggar kepercayaan religi berarti melawan takdir Debata Mulajadi Na Bolon. Hal membatasi ruang dan waktu
kehidupan orang Batak pada masa kerajaan kuno sebagaimana tergambar dalam novel PUD berikut ini.
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
“Syarat ini kami ajukan justru karena kami berpegang pada satu kepercayaan: siapa saja yang mengikuti perjalanan Ronggur, siapa saja yang membantunya
mengharungi Sungai Titian Dewata, jalan para dewata dan para arwah menuju matahari terbit tempat Mula Jadi Na Bolon bersemayam, akan turut dikutuk
oleh dewata. Biarlah kami dan marga kita disebut pengecut, namun melawan dewata kita tidak mau.” PUD:93
Kepasrahan masyarakat Batak Toba terhadap mitos pagar pegunungan dan Sungai Titian Dewata tidak terlepas dari mentalitas petani sawah yang menjadi
profesi orang Batak Toba. Bagi petani, keseimbangan hidup ditentukan oleh terpeliharanya keharmonisan manusia dengan yang mahapencipta dan alam
sekitarnya. Keharmonisan inilah yang diusik oleh Ronggur, sehingga terjadi benturan budaya dalam kehidupan orang Balige di tepi Danau Toba. Mentalitas petani itu
terungkap dalam hasil penelitian berikut ini. Petani siapa pun juga selalu mencari keseimbangan antara apa yang ia
butuhkan bagi keluarga dan apa yang ia butuhkan untuk relasinya di luar lingkungan keluarganya. Ia dapat menghayati keseimbangan itu sebagai suatu
ketertiban kosmis yang menyelamatkannya. Tetapi, mungkin juga, ia menghayati keharmonisan hubungannya sejauh tercermin di dalam
”ketenangan jiwanya” sebagai keselamatannya. Bukan keharmonisan jasmani, melainkan keharmonisan rohani yang lebih dipentingkan. Keseimbangan
psikis, rohani, membentuk suatu partisipasi dalam keilahian. Boelaars, 1984:43
Religiositas orang Batak Toba mengalami perubahan setelah Dr. Ingwer
Ludwig Nommensen Noordstrand [Jerman], 6 Februari 1834-Sigumpar [Indonesia], 23 Mei 1918 melakukan asimilasi dan akomodasi dalam penyebaran agama Kristen
di Tanah Batak. Masa awal penyebaran agama Kristen memperoleh tantangan dari masyarakat Batak Toba karena dua hal pokok. Pertama, masyarakat Batak Toba
menganut kepercayaan Mulajadi Na Bolon sehingga para misionaris harus bekerja
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
keras memisahkan perilaku religius umat Kristen yang menggabungkan unsur adat dengan unsur agama. Bahkan, tradisi minum tuak dalam realitas faktual dianggap
sebagai sesuatu yang setara dengan Tuhan dalam realitas fiksi sebagaimana terungkap dalam kutipan berikut ini.
„Dia telah dihukum tangan jang selama ini disuruhnja menghukum kita,” kata Sulung jang hadir disana. „Demi Tuhan dan tuak atau apa sadja, datang djuga
saat dimana mata pisau kita sendiri menantjap diperut kita, bila mata pisau itu selalu digunakan menusuk tubuh orang lain? Atau akan datang djuga saat,
dimana setiap orang penakut akan digilas arus begitu sadja tanpa perhitungan, dan kematian sipenakut adalah sangat hina?” TK:89
Kedua, agama Kristen memiliki kesamaan dengan agama yang dianut oleh
Belanda. Belanda sendiri telah menjajah Indonesia, termasuk Tanah Batak. Belanda itu sendiri menjadi musuh orang Batak sebagaimana diperlihatkan oleh Si
Singamangaraja XII dalam Perang Batak melawan Belanda 1878-1907. Perang ini menimbulkan kebencian orang Batak terhadap orang asing yang datang ke Tanah
Batak. Oleh karena itu, orang asing yang datang ke Tanah Batak tidak berani mengenalkan diri sebagai orang Belanda tetapi sebagai orang Inggris, Amerika, Aceh,
Bugis, atau sebagai orang Batak. Dampak dari kebencian orang Batak Toba terhadap Belanda terlihat dalam
pernyataan Sidjabat 2007:21, “Tidak dinyana oleh Belanda, tiada berapa lama kemudian perjuangan Si Singamangaraja dilanjutkan oleh pejuang-pejuang
berikutnya, khususnya selama Perang Kemerdekaan Indonesia melawan Belanda tahun 1945-1949.” Pernyataan sejalan dengan pengakuan seorang pendeta dalam
realitas fiksi novel TK karya Bokor Hutasuhut. Pendeta tersebut menyesalkan
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
kedatangan Belanda setelah Tanah Batak merdeka dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan bernada penyesalan itu terungkap dalam kutipan
berikut ini. Seorang lelaki tua, dengan Kitab Indjil dikepit diketiaknja, menatap kearah
kota jang telah ditinggalkan dari tempat ketinggian. […] „Belanda jang harus disalahkan. Kenapa mereka mengganggu kemerdekaan orang lain. Kenapa
mereka harus datang lagi kemari dengan sendjata. Kalau mereka datang dengan Kitab Indjil ditangan, tentu sambutan rakjat akan berbeda.” TK:148
Pernyataan pendeta di atas memperlihatkan bahwa masyarakat Batak Toba
adalah manusia yang religius. Di dalam realitas faktual, penyesalan pendeta tersebut berdasarkan perilaku Si Singamangaraja XII yang bersahabat dengan Nommensen
padahal pada saat bersamaan Si Singamangaraja tidak beragama Kristen, bahkan bermusuhan dengan orang asing, Belanda. Di dalam realitas fiksi, pemunculan orang
Batak Toba yang religius sudah terjadi sejak masa kanak-kanak. Orang Batak Toba berpandangan bahwa anak-anak harus dibekali oleh pelajaran agama sehingga dapat
menempatkan diri dengan baik dalam pergaulan masyarakat. Realitas fiksi novel TK menampilkan Poltak yang gembira dapat belajar Injil di zaman penjajahan Jepang.
Peristiwa itu terlihat dalam dialog berikut ini. Sebelum ibunja pergi, Poltak sempat menegur: „Bu, tahukah ibu? Aku tadi
sudah diterima beladjar agama digeredja. Peladjaran agama untuk anak² mendjelang dewasa akil-balik.”
„Betapa menggembirakan.” „Ibu jang selalu mengatakan, agar dihari-hari Natal aku dapat meleturgi
dengan baik.” „Ja.”
„Kami akan peladjari ajat² Indjil dengan baik. Aku akan dapat marleturgi dengan djiwa jang penuh, membatja ajat² Tuhan. Dan abang Bonar, tentu
gembira mendengarnja bukan?” TK:64
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Orang Batak Toba mengenal agama yang berasal dari kebudayaan asing tidak hanya terhadap agama Kristen tetapi juga terhadap agama Islam. Orang Batak yang
beragama Islam diperlihatkan pengarang dalam novel PB. Latar penceritaan tidak berpusat di Tanah Batak melainkan dipindahkan ke Kota Sibolga. Hal ini memberi
pertanda keterbukaan orang Batak menerima perubahan untuk meraih kemajuan. Kemajuan dalam hal ini ditandai oleh indeks pelabuhan sebagaimana ditemukan
dalam novel PUD di mana Ronggur mengikuti aliran Sungai Titian Dewata sampai ke pantai timur. Di dalam novel PB tokoh Aku bermigrasi ke kota pelabuhan pantai
barat yang berpenduduk Islam dan Kristen. Meskipun demikian, penduduk kota ini menjaga kerukunan hidup antarumat beragama. Mereka berpandangan, agama boleh
berbeda tetapi kerukunan hidup harus diutamakan dalam bermasyarakat sebagai kelanjutan dari penerapan Dalihan Na Tolu.
Tokoh Aku yang berasal dari Toba merupakan orang Batak yang beragama Islam. Di Kota Sibolga, tokoh Aku semakin memperoleh dimensi ruang dan waktu
yang Islami dalam keluarga hula-hulanya yang beragama Islam. Hal ini tentu berbeda dengan suasana religius di Toba yang dalam realitas faktual dan realitas fiksi novel
TK berpenduduk mayoritas Kristen. Suasana Islami tersebut memunculkan pandangan, bahwa setiap manusia berkedudukan sama dan harus mengingat Allah,
Tuhan yang Maha Esa, dalam semua keadaan meskipun pada saat itu sedang gelisah, berduka, dan bahkan berbahagia. Kutipan berikut ini memperlihatkan kepatuhan
hula-hula tokoh Aku untuk menjalankan ibadah agama Islam.
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
“Barangkali masih lama lagi,” kata maktjik achirnja. ”Biarlah kami pulang dulu. Aku mau bertanak nasi.”
”Aku djuga mau sembahjang lohor dulu,” kata paktjik. PB:135 Berdasarkan analisis realitas fiksi dan realitas faktual di atas, masyarakat
Batak Toba merupakan manusia religius. Mereka berpandangan bahwa kepatuhan menjalankan kepercayaan dan kepasrahan menerima takdir akan memberikan
keselamatan dan kebahagiaan, baik dalam kepercayaan Mulajadi Na Bolon, Kristen, maupun Islam. Dengan demikian, kehidupan masyarakat Batak Toba di tanah
kelahiran dan di tanah perantauan sesuai dengan kehendak Tuhan yang Maha Esa.
6.2.3 Pandangan Dunia tentang Hagabeon