Pandangan Dunia tentang Kemajuan

fiksi berupa pengakuan kesalahan dan pencabutan pernyataan yang meresahkan masyarakat. Hal ini dilakukan oleh raja Panggonggom yang bersedia memberikan keringan hukuman bersyarat kepada Ronggur sebagaimana tertulis dalam kutipan berikut ini. Tidak berapa lama setelah senja berganti malam, Raja Panggonggom bersama pengiringnya, masih datang menemui Ronggur, mengusulkan agar Ronggur mencabut kembali semua yang telah diucapkannya. Hukuman bisa dientengkan, tak perlu hukum mati, asal dia mau. Tapi, Ronggur harus bersedia menjadi budak, begitu pula Tio dan anaknya. Ronggur menolak sarat itu. Malah dikatakannya: “Aku tidak dapat membenarkan yang salah, begitu pula sebaliknya. Yang benar harus kukatakan benar. Percayalah padaku, Paduka Raja.” PUD:187 Berdasarkan analisis pandangan dunia Batak Toba terhadap hukum, maka masalah utama yang dihadapi oleh orang Batak Toba adalah peraturan dan hukum dalam Patik Dohot Uhum mengalami pergeseran seiring dengan asimilasi dan akomodasi kebudayaan asing. Meskipun demikian, masyarakat Batak Toba tetap konsisten bahwa mereka harus menjalankan peraturan dan hukum sesuai ketentuan tertulis yang disepakati bersama. Dengan demikian, masyarakat dapat menempatkan kebenaran sebagai kebenaran dan menghukum kesalahan sesuai dengan kualitas kesalahannya.

6.2.5 Pandangan Dunia tentang Kemajuan

Pemekaran kabupaten yang terjadi pada masa reformasi di wilayah hunian utama orang Batak, Keresidenan Tapanuli, memberi harapan hidup yang lebih baik. Masyarakat Batak Toba yang semula berada dalam sistem pemerintahan Kabupaten Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Tapanuli Utara telah mengalami pemekaran menjadi empat kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir, dan Kabupaten Humbang Hasundutan. Dengan pemekaran kabupaten yang menjadi tempat hunian orang Batak, maka masyarakat Batak Toba memiliki kesempatan yang lebih luas untuk mengambil kebijakan dalam memenuhi kebutuhan hidup dan memajukan daerahnya. Usaha memajukan daerah Tanah Batak sudah lama menjadi tekad orang Batak Toba, baik yang berada di kampung leluhur maupun di perantauan. Hal ini disebabkan tipografi tanah yang berbatu-batu dengan kemiringan yang menyulitkan ekstensifikasi pertanian di sekitar Danau Toba. Oleh karena itu, masyarakat yang tidak memiliki tanah bermigrasi keluar Tanah Batak, baik dalam wilayah Keresidenan Tapanuli maupun Keresidenan Sumatera Timur. Migrasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, tidak memiliki sawah, mencari pekerjaan di luar sektor pertanian, meneruskan pendidikan, dan tidak ingin bergantung kepada orang tua. Tujuan migrasi orang Batak Toba untuk meningkatkan taraf hidup, tidak memiliki sawah, mencari pekerjaan di luar sektor pertanian, meneruskan pendidikan, dan tidak ingin bergantung kepada orang tua pada hakikatnya bermaksud untuk menghapus kemiskinan. Kemiskinan tersebut disebabkan berbagai faktor, seperti gagal panen, bencana alam, kalah perang, hingga kalah judi. Kemiskinan yang melanda sebagian masyarakat Batak Toba memiliki kesesuaian dengan identifikasi yang terdeskripsi dalam kutipan berikut ini. Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. [...] Pada masyarakat yang bersahaja susunan dan organisasinya, mungkin kemiskinan bukan merupakan masalah sosial karena mereka menganggap bahwa semuanya telah ditakdirkan sehingga tidak ada usaha- usaha untuk mengatasinya. Mereka tidak akan terlalu memerhatikan keadaan tersebut, kecuali apabila mereka betul-betul menderita karenanya. Faktor- faktor yang yang menyebabkan mereka membenti kemiskinan adalah kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih daripada apa yang telah dimilikinya dan perasaan akan adanya ketidakadilan. Soekanto, 2007:321 Kemiskinan dalam realitas fiksi lebih banyak terjadi dalam novel TK. Novel yang mengambil struktur ruang dan waktu zaman penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan melawan Belanda ini telah menjadikan masyarakat miskin. Padahal, lahan pertanian di kota kecil dan perkampungan sekitar tempat tinggal Bonar dan Tiur adalah lahan yang subur. Bahkan, Tiur dan perempuan lain merupakan orang- orang yang pandai bertenun. Akan tetapi, Jepang dan Belanda mengambil alih hasil usaha penduduk dan meninggalkan sisa hasil usaha yang tidak layak, sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut ini. Gerbang perkampungan. Wadjah para ibu jang duduk dihalaman rumah, begitu djuga wadjah tiap lelaki jang duduk berkerumun sambil berselubungkan kain² tua jang sudah bertambal-tambal hingga hilang warna aslinja, memertjarkan rasa pahit jang getir. Namun mereka tetap menjapa: „Baru kau kembali dari sawah Bonar.” TK:55- 56 Usaha orang Batak Toba untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan sudah dimilai sejak zaman kerajaan Batak kuno. Dalam realitas fiksi, Ronggur memperkenalkan indeks tanah habungkasan kepada raja dan marganya. Akan tetapi, indeks tanah habungkasan tersebut terkalahkan oleh keterbatasan pemikiran Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 masyarakat menerima hal baru. Hal ini disebabkan oleh mitos pengukuhan yang membatasi struktur ruang dan waktu dalam kehidupan masyarakat. Akibat mitos pengukuhan ini sesuai dengan perkiraan Soekanto 2007:286 yang menyatakan bahwa, “Kehidupan terasing menyebabkan sebuah masyarakat tidak mengetahui perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada masyarakat lain yang mungkin akan dapat memperkaya kebudayaannya sendiri. Hal itu juga menyebabkan para warga masyarakat terkungkung pola-pola pemikirannya oleh tradisi.” Keadaan masyarakat yang terasing ini disadari oleh Ronggur sehingga indeks tanah habungkasan memerlukan cara yang lain untuk menciptakan mitos perlawanan. Ronggur tampaknya sadar dengan realitas faktual bahwa, “Dalam masyarakat selalu ada individu yang bersifat “kolot”, yang tidak suka dan lekas menolak hal-hal yang baru, sedang banyak pula individu lain yang “progresif”, yang suka dan lekas menerima hal-hal baru.” Koentjaraningrat, 1986:254. Tanggapan raja dan masyarakat menerima indeks tanah habungkasan untuk hunian orang Batak Toba yang mau bermigrasi. Indeks tanah habungkasan ini juga berfungsi sebagai jalan menghindarkan perang antarmarga dan salah satu cara memajukan kehidupan masyarakat. Akan tetapi, indeks ini muncul pada saat yang tidak tepat sebagaimana terungkap dalam perkataan Raja Panggonggom berikut ini. “Usulmu memang bagus,” sahut Raja Panggonggom mengatasi dengung suara itu. “Tapi, ke mana kita harus mencari tanah garapan baru? Sekitar kita, melingkar gunung batu yang tandus lagi tinggi. Kita tidak tahu, apakah masih ada tanah datar di seberang pegunungan ini. Pegunungan ini berlapis-lapis, pagar alam yang sengaja dibuat para dewata, supaya kita tidak melintasi dan melewatinya. Tiap puncak dijaga para dewata, yang menjelma menjadi binatang buas. Penjaga ini tidak senang pada orang yang berani melintas di Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 sana, karena mengganggu ketenteraman para dewata yang tidak tampak oleh mata kita. Binatang buas akan membunuh tiap orang tanpa ampun. Siapa yang mau membunuh diri dengan pekerjaan sia-sia itu? Karena itu, bagaimanapun, kita harus mempertahankan tiap jengkal dan tiap tapak tanah yang kita pusakai dan kuasai. Dan, harus berusaha pula meluaskannya. Caranya terserah pada kekuatan kita. Habis perkara.” PUD:17 Migrasi, menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa 2005:742 mengandung arti perpindahan penduduk dari satu tempat negara dan sebagainya ke tempat negara dan sebagainya lain untuk menetap atau perpindahan dari satu tempat ke tempat lain bagi burung dan sebagainya karena pergantian musim. Migrasi ini dapat terjadi secara berantai, musiman, maupun paksaan. Migrasi berantai merupakan perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain yang diikuti oleh penduduk daerah asalnya, terjadi apabila rombongan atau orang yang pertama berhasil dan menarik saudara, teman, atau tetangganya dari daerah asal. Perpindahan penduduk seperti itu tidak terjadi pada migrasi musiman dan migrasi paksaan sebab migrasi musiman merupakan perpindahan penduduk yang terjadi pada musim tertentu dan kembali ke tempat asal dalam musim yang lain sedangkan migrasi paksaan merupakan migrasi yang dilakukan karena terpaksa seperti keamanan maupun sumber bahaya yang lain. Cara orang Batak mencapai kemajuan dengan merantau dan menuntut ilmu diperlihatkan secara bertahap dalam novel karya Bokor Hutasuhut. Pada novel PUD ditampilkan asal usul perantauan orang Batak dengan cara melawan mitos, kepercayaan terhadap Sungai Titian Dewata. Hal ini dilakukan oleh Ronggur, sehingga orang-orang Batak yang bermukim di muara Sungai Asahan mulai Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 mengikuti jejak perantau yang pulang membawa hasil. Padi yang bernas yang dibawa oleh Ronggur menjadi indeks tanah habungkasan di seberang pegunungan. Indeks tanah habungkasan bukan lagi indeks mimpi tetapi menjadi realitas faktual sebagaimana terdeskripsi berikut ini. Kemauan mempertahan kan dan melanjutkan kehidupan, sampai bersedia mengorbankan peperangan demi peperangan, yang tidak sedikit mengorbankan nyawa, telah dialihkan semangatnya untuk menaklukkan pundak demi pundak bukit. Menerobos celah pertemuan bukit memanjang, meambah jalan di bawah naungan dedaunan belantara yang menghijau lebat, untuk menemui dataran luas, dataran lain, berhutan subur, dan punya binatang buruan yang jinak lagi banyak. Untuk menemui danau yang maha luas, yang menyimpan banyak ikan. Airnya asin mengandung garam. Semuanya untuk kelanjutan kehidupan dan mengembangkannya. PUD:198 Penemuan tanah habungkasan di sekitar Sungai Asahan sesuai dengan realitas historis Batak Toba. Peristiwa ini sesuai dengan jalan migrasi awal Batak Toba ke Asahan. Orang-orang Batak di Asahan tersebut mendapat penamaan Batak Pardembanan dan menjadi Melayu karena memeluk agama Islam, sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut ini. Dalam bukunya The Grave-post Anisan of the Batak of Asahan, H.H. Barttlett 1921 mengemukakan bahwa, “Di daerah Asahan terdapat sub-sub suku bernama Batak Pardembanan. Sebenarnya mereka bukan suatu sub-suku tersendiri, melainkan orang Toba yang berasal dari daerah sekitar Uluan dan Habinsaran. Untuk memulai kehidupan baru, mereka pindah ke daerah Asahan menyusuri Sungai Asahan. Agar lebih mudah diterima oleh penduduk setempat, mereka mengganti nama Melayu dan kepercayaannya pun diubah sesuai dengan agama yang dianut penduduk setempat. Siahaan, 2005:390. Secara geografis, jalan menuju tanah habungkasan terdekripsi dalam kutipan berikut ini. Jalan tempuhan, tambah lama, tidak hanya yang dirintis Ronggur saja yang mereka kenal. Tapi, telah terbuka tembusan jalan baru. Daerah lain tambah banyal ditemui. Bila mereka sudah sampai di tempat yang mereka namakan Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Parhitean, mereka terus pergi ke arah timur, akan tiba ke tanah habungkasan yang ditemui Ronggur, di mana rombongan Ronggur membuka perkampungan. PUD:197 Usaha orang Batak untuk maju dengan merantau juga diperlihatkan dalam novel PB dengan menempatkan tokoh Aku yang berasal dari Toba ke Sibolga. Di Sibolga, tokoh Aku memulai dari modal nol hingga dapat hula-hula yang kaya. Kekayaan itu tidak digunakan tokoh Aku dengan sewenang-wenang, bahkan ditambahkan oleh keberhasilan tokoh Aku bekerja dan memperoleh penghasilan. Hal tersebut terlihat dari kesediaan tokoh Aku bekerja sebagai staf perusahaan Pakcik Fat dan kegigihan tokoh Aku memperjuangkan upah buruh pelabuhan yang menjadi tanggung jawabnya. Selama dalam perantauan tersebut, tokoh Aku dapat memajukan perdagangan sehingga pelabuhan pantai barat dan para buruh pelabuhan tersebut dapat kembali memperoleh penghasilan yang layak. Di samping merantau, kemajuan orang Batak Toba ditentukan oleh kualitas pendidikan, khususnya terhadap masyarakat yang tidak merantau dan menetap di tanah kelahiran, Tanah Batak. Perhatian terhadap pendidikan di Tanah Batak terlihat dalam novel TK. Poltak dan Ojak menjadi generasi muda yang memerlukan pendidikan, sehingga ibu mereka dengan rajin membangunkan dan menyiapkan kelengkapan sekolah anaknya. Kepedulian orang Batak terhadap pendidikan merupakan tuntutan zaman untuk meraih kemajuan sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekanto 2007:285 tentang pendidikan berikut ini. Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Pendidikan mengajarkan aneka macam kemampuan kepada individu. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berpikir secara objektif, yang akan memberikan kemampuan untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya akan dapat memenuhi kebutuhan- kebutuhan zaman atau tidak. Ibu yang memikirkan pendidikan anak seperti itu merupakan idaman orang Toba. Hal ini didukung oleh realitas fiksi novel TK berikut ini. „Hudjan gerimis sadja. Kau dapat pergi kesekolah berpajungkan daun pisang.” „Ah, dingin.” Poltak masih duduk ditepi tempat tidur. Ibunja membuka djendela. Angin tadjam masuk kedalam kamar. Dan Poltak masih membela diri: „Tapi bu, apa perlunja aku pergi kesekolah? Hari ini, boleh djadi, mata peladjaran kami hanjalah bahasa Nippon.” „Kau harus mempeladjarinja djuga. Kau harus tahu,” menatapinja. Lalu mengatakan: „Baik-baiklah belajar, berguna jang perlu dipeladjari.” TK:72 Di samping menampilkan indeks pagar pegunungan dan Sungai Titian Dewata yang membatasi pergerakan dan memiskinan masyarakat serta indeks tanah habungkasan dan pendidikan sebagai daya tarik migrasi dan kemajuan, maka realitas fiksi ketiga novel karya Bokor Hutasuhut menampilkan mata persoalan pencarian penduduk pesisir pantai barat. Menurut Boelaars 1984:59, “Suatu aspek khusus pencarian orang pesisir ialah: mencari untuk berdagang .… orang pesisir jauh lebih peka terhadap hal jasmani yang mereka pelihara dengan gigih, persaingan, dan keahlian teknis. Mereka hidup dengan mentalitas saudagar.” Maka, kota pantai barat memerlukan pasokan hasil bumi dari Tapanuli untuk memajukan pelabuhannya. Akan tetapi, pembelian hasil bumi dari pedalaman Tapanuli tidak dapat dilakukan secara maksimal karena hasil bumi tersebut dijual pemiliknya ke pantai timur dengan Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 harga yang tinggi. Informasi mengenai pedagang pantai timur yang dalam realitas faktual adalah pedagang dari kawasan Belawan dan Tanjung Balai terungkap dalam kutipan berikut ini. “Kebanjakan, pedagang² dipantai timur itu adalah pedagang² Tionghoa. Agen² mereka jang menjebar kepelosok-pelosok pun adalah warga negara Tionghoa. Aku tidak bermaksud mengadakan ras-diskriminasi. Tapi kalau agen² mereka dibiarkan leluasa bergerak kepelosok-pelosok, itu berarti tidak memberi kesempatan berkembang kepada pedagang² nasional, bangsa sendiri”, kataku mendjelaskan. PB:43 Pedagang pantai timur adalah orang-orang Tionghoa yang menjual karet alam ke tanah leluhurnya di Cina Daratan, Republik Rakyat Cina RRC. Ketergantungan pada orang-orang Tionghoa mengakibatkan harga karet alam ditentukan oleh situasi politik dan ekonomi Tiongkok. Hal itu berakibat buruk bagi petani dan pedagang karena penemuan karet sintetis dan embargo ekonomi terhadap Tiongkok telah menurunkan harga beli karet alam. Petani dan pedagang terpukul sehingga menyusun siasat baru untuk memajukan kota pelabuhan pantai barat, Sibolga. Pengaruh situasi politik internasional terhadap perdagangan di Tapanuli terungkap dalam kutipan berikut ini. Kurasakan aku sudah terlibat pada pertjakapan mereka. Karena itu sebelum pak Umar menanja, aku mengatakan: ”Benar, embargo telah dikeluarkan PBB untuk daratan Tiongkok. Alasannja ialah, pemerintah jang sekarang berkuasa didaratan Tiongkok dianggap PBB pemerintahan jang agresif. Sangat mengancam perdamaian dunia. Karena itu, semua bahan² strategis dilarang dikirimkannja kesana sebelum pemerintah itu menundjukkan mereka bukanlah pemerintah jang agresif. Dalam daftar bahan² strategis itu termasuk karet-alam,” kataku. PB:55 Keterlibatan tokoh Aku dalam memajukan Kota Sibolga merupakan hasil akulturasi kebudayaan yang dilakukannya. Menurut Koentjaraningrat 1986:248 Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 akulturasi merupakan “proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.” Tokoh Aku mulai menetap di kota pantai barat ini sebagai orang Toba. Dia pun disambut oleh orang Pesisir yang memahami adat Batak Toba, sehingga menyambut kedatangan tokoh Aku dengan cara Toba, yakni menanyakan asal dan marga, sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut ini. KERAMAHAN PAKTJIK DAN MAKTJIK MEMBUAT AKU KERASAN tinggal dirumah itu. Maktjik selalu mengadju tanja padaku: “Darimana asalku. Siapa keluargaku. Apa margaku. Sudah kawin atau belum.” PB:39 Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dalam realitas fiksi dan realitas faktual, maka indeks pagar pegunungan dan Sungai Titian Dewata menjadikan Tanah Batak terasing dan terbelakang. Penemuan indeks tanah habungkasan telah mengubah pola pikir masyarakat Batak Toba untuk bermigrasi dalam usaha memperoleh kemajuan dan kemudahan pemenuhan kebutuhan. Dengan demikian, kemajuan masyarakat Batak Toba tidak ditentukan oleh orang lain tetapi ditentukan oleh keberanian mengubah pola pikir orang Batak Toba itu sendiri.

6.2.6 Pandangan Dunia tentang Konflik