Pandangan Dunia tentang Hagabeon

“Barangkali masih lama lagi,” kata maktjik achirnja. ”Biarlah kami pulang dulu. Aku mau bertanak nasi.” ”Aku djuga mau sembahjang lohor dulu,” kata paktjik. PB:135 Berdasarkan analisis realitas fiksi dan realitas faktual di atas, masyarakat Batak Toba merupakan manusia religius. Mereka berpandangan bahwa kepatuhan menjalankan kepercayaan dan kepasrahan menerima takdir akan memberikan keselamatan dan kebahagiaan, baik dalam kepercayaan Mulajadi Na Bolon, Kristen, maupun Islam. Dengan demikian, kehidupan masyarakat Batak Toba di tanah kelahiran dan di tanah perantauan sesuai dengan kehendak Tuhan yang Maha Esa.

6.2.3 Pandangan Dunia tentang Hagabeon

Kehidupan dalam novel karya Bokor Hutasuhut tidak mencerminkan pandangan dunia Batak tentang hagabeon dalam arti sempit. Hagabeon dalam arti sempit hanya bermakna panjang umur dan banyak anak. Hal ini tidak terjadi dalam realitas fiksi ketiga novel karya Bokor Hutasuhut. Hagabeon yang muncul dalam ketiga novel itu adalah memiliki sedikit anak, panjang umur, dan menjadi panutan masyarakat. Ketiga novel karya Bokor Hutasuhut menampilkan keluarga yang memiliki seorang atau dua orang anak berjenis kelamin laki-laki untuk meneruskan marga dan martabat orang Batak Toba. Ronggur dalam PUD adalah putra tunggal ayah dan ibunya; Bonar dalam TK adalah putra tunggal ayah dan ibunya; sedangkan tokoh Aku adalah anak kedua dari ayah dan ibunya. Hal ini bertentangan dengan doa yang diucapkan oleh orang-orang tua dalam perkawinan adat Batak Toba. Doa tersebut Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 mengharapkan yang menikah memperoleh banyak anak, terutama anak laki-laki. Dengan demikian, telah terjadi pergeseran pandangan dunia Batak Toba terhadap unsur banyak anak dalam mengamalkan prinsip hagabeon. Pergeseran pandangan dunia Batak Toba terhadap kepemilikan anak tidak berlaku dalam harapan panjang umur. Secara realistik faktual, harapan panjang umur tetap berlaku dalam hagabeon, baik disampaikan dalam acara adat pernikahan maupun acara yang berkaitan dengan pertumbuhan seseorang. Di dalam realitas fiksi, acara adat perkawinan tidak terjadi karena setiap perkawinan berlangsung dalam suasana krisis. Ronggur menikah dengan Tio setelah terusir dari kampung halamannya; Bonar menikah dengan Tiur pada saat Belanda menyerang Tanah Batak; dan, tokoh Aku menikah dengan Fat yang menjadi korban pemerkosaan di kota perantauannya. Akan tetapi, ketiga laki-laki dari generasi yang berbeda itu memiliki panjang umur sehingga mempunyai peluang untuk mendidik anak laki-lakinya. Hagabeon dalam pandangan dunia Batak Toba lebih mengutamakan umur yang panjang, hidup rukun, dan menjadi panutan masyarakat. Keluarga Batak Toba yang memiliki gagasan pembaruan peradaban marganya tidak mengutamakan banyak anak lagi, tetapi berusaha mendidik anak menjadi manusia yang beradab dan beragama. Apalagi orang-orang Batak telah mengenal peradaban asing dalam perantauan di kota-kota besar yang penuh tantangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Novel PB memberi bandingan pencapaian hagabeon yang tidak mengutamakan banyak anak, bahkan tidak memiliki anak, tetapi mengutamakan Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 hidup rukun dan menjadi panutan masyarakat. Kutipan berikut memperlihatkan pencapaian hagabeon dalam keluarga hula-hula tokoh Aku di Kota Sibolga. ”Terkadang kami dengan paktjikmu kesepian, nak. Perkawinan kami tidak dikaruniai anak. Baik perempuan apalagi laki-laki. Kau tahu, anak lelaki sesuai dengan djaluran adat adalah penyambung kelandjutan keluarga. Pembawa nama dan marga ajahnja. Keluarga dekat pantjikmu sudah berulang kali mengandjurkan supaja paktjikmu mengambil isteri muda. Mereka beranggapan akulah jang mandul. Akulah perempuan jang tidak bisa mengandung karena rahimku dingin. Untuk kebahagiaan paktjikmu aku sendiri sudah turut mengandjurkan, supaja dia memenuhi andjuran keluarganja. Tapi paktjikmu tidak mempedulikan andjuran mereka. Dan kau tahu, betapa pedihnja hati menahankan siksa batin karena harus mengandjurkan suaminja mengambil istri muda, jang berarti harus membagi pelukan suaminja dengan perempuan lain. Ach, itulah sebagian segi² hidupku jang pahit. Namun kehidupan keluarga tidak selamanja pahit. Ada manisnja, malah banjak. Tjoba lihat, anehnja paktjikmu tidak melaksanakan andjuranku. Dia telah menggunakan kebebasannja dengan bentuk lain: menjatukan diri dengan aku dan kami temui padang luas tempat bermain. Kami hidup rukun walau terkadang merasa sepi.” PB:49 Berdasarkan kehidupan dalam realitas fiksi dan realitas faktual, tujuan akhir nilai budaya hagabeon adalah panjang umur dan menjadi panutan masyarakat. Tujuan hagabeon ini tercapai dalam kehidupan protagonis dalam realitas fiksi. Ronggur dalam PUD tetap hidup hingga novel tamat dan menjadi panutan masyarakat, terutama terhadap kegigihannya mempertahankan kebenaran yang ilmiah. Demikian juga dengan Bonar dalam TK tidak gugur dalam perang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda sebagaimana terjadi pada Kepala Negeri, bahkan menjadi panutan dan menjadi komandan pasukan pemuda. Tokoh terakhir adalah tokoh Aku dalam PB yang selamat dari bencana longsor di Kota Sibolga sehingga dapat mengasuh anak laki-laki Fat, istrinya, dan menjadi panutan masyarakat dalam mempertahan martabat dan membela nasib kaum buruh pelabuhan. Dengan demikian, Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 untuk mencapai hagabeon maka orang Batak Toba tidak harus memiliki banyak anak, melainkan berdoa pada Tuhan yang Maha Esa agar memperoleh panjang umur dan menjadi panutan masyarakat.

6.2.4 Pandangan Dunia tentang Hukum