Kemajuan Nilai Budaya Batak Toba .1 Kekerabatan

hubungan antarmanusia. Hukum adat merupakan seperangkat aturan yang datang dari Debata Mulajadi Na Bolon melalui hula-hula. Secara tradisional, hukum adat ini mengatur kehidupan orang Batak, baik dengan sesama manusia, alam sekitarnya, roh nenek-moyang, maupun dengan Debata Mulajadi Na Bolon. Menurut Harahap dan Hotman M. Siahaan 1987:165-167, kesadaran hukum orang Batak Toba berkitan erat dengan patik dohot uhum aturan dan hukum, padan ikrar, sopan santun, dan poda nasihat. Orang Batak Toba yang tidak mematuhi patik dohot uhum akan segera dikucilkan dari lingkungan masyarakatnya sehingga mengakibatkan orang yang terkucil sangat terasing dan menderita. Oleh karena itu, orang yang membuat padan harus menepati janjinya karena pelanggaran padan tidak hanya ditanggung oleh si pelanggar padan tetapi juga sampai generasi keturunannya. Untuk menghindari pelanggaran patik dohot uhum dan padan, maka orang Toba suka memberi poda, nasihat, atau menunjukkan jalan keluar dari suatu masalah, terutama mencakup hal-hal yang berkaitan dengan sistem kekerabatan yang diajarkan oleh leluhur.

5.2.5 Kemajuan

Di dalam kebudayaan Batak Toba, hamajuon yang berarti kemajuan hanya dapat diraih dengan cara merantau dan menuntut ilmu. Hal ini disebabkan tanah pertanian di sekitar Danau Toba pada umumnya berbatu-batu dan terbatas untuk dijadikan lahan pertanian, terutama persawahan, sehingga orang-orang Batak Toba terpaksa bermigrasi ke berbagai daerah diluar Tanah Batak. Daerah perantauan orang Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Batak Toba yang paling dekat dan lebih maju adalah Barus dan Sumatera Timur terutama Asahan dan Simalungun. Menurut hasil penelitian Hasselgren 2008:109, istilah hamajuon pada awal abad ke-20 dibentuk dari kata Melayu, yaitu maju dan bermanfaat. Hal ini mengisyaratkan bahwa usaha untuk maju seperti suku-suku bangsa di sekitar Tanah Batak baru terjadi setelah orang Batak Toba melintasi Pegunungan Bukit Barisan menuju Sumatera Timur. Lebih lanjut, Hesselgren 2008:435 tidak menemukan kenyataan bahwa kata ‘maju’ dalam kamus Toba-batak Deutsches Wörterbuch karya Warneck 1906. Warneck memasukkan banyak kata pinjaman dari bahasa Melayu tetapi tidak terdapat kata maju, hamajuon. Dengan demikian, kata ini tidak dikenal di Toba. Apabila orang Batak Toba sudah mengenal kemajuan dan sering menggunakan kata tersebut, maka Warneck pasti akan mencantumkan kata ‘maju’ dalam kamusnya. Berdasarkan paparan di atas, Hesselgren 2008:109 memberi simpulan terhadap kemajuan dalam kebudayaan Batak Toba berikut ini. Kenyataan bahwa kata tersebut dibentuk dari bahasa Melayu mengisyaratkan bahwa kemajuan tersebut dihubungkan dengan wilayah-wilayah yang berbahasa Melayu di sekitar tanah kelahiran suku Toba. Pemikiran tentang kemajuan tersebut mengandung pengertian bahwa Tapanuli merupakan masyarakat terbelakang dan bahwa suku Toba berusaha untuk memajukan kesehatan, perekonomian, dan pendidikan. Keterbelakangan Batak Toba mulai terusik setelah agama Kristen memasuki wilayah budaya Toba pada pertengahan abad ke-19, terutama keberhasilan Nomensen menguasai bahasa dan budaya Batak Toba dalam mengkristenkan orang Toba. Keberhasilan Nomensen diikuti oleh kehadiran penjajahan Belanda di Tanah Batak Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 sehingga memberikan perubahan yang mendasar terhadap peningkatan taraf hidup orang Toba. Nomensen dan Belanda mendirikan pendidikan formal, gereja, dan sarana kesehatan sehingga membuka isolasi kawasan budaya Batak Toba. Dengan demikian, konsep hamajuon kemajuan mendapat sambutan yang baik di kalangan orang Toba yang ketika itu masih pagan atau beragama tradisional Batak. Menurut Harahap dan Hotman M. Siahaan 1987:169, “Kedatangan orang kulit putih yang membawa modernisasi dan ajaran baru kepada orang Toba merupakan gerakan emansipasi yang antara lain berhasil menghapuskan perbudakan dan perang antar huta.” Sejak orang Batak Toba menemukan jalan ke Sumatera Timur serta wawasan baru dari Nomensen dan Belanda maka orang Toba mulai bermigrasi ke daerah- daerah yang mampu memberi kehidupan yang lebih baik. Motif atau alasan orang Batak melakukan migrasi bermacam-macam sesuai dengan daerah tujuannya. O.H.S. Purba dan Elvis F. Purba pada 1989 meneliti motif migrasi orang Batak di Kabupaten Asahan, Kabupaten Deli Serdang, dan Kota Medan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, usaha meningkatkan taraf hidup yang dirangsang oleh kebutuhan lahan pertanian yang lebih luas dan kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih baik menjadi motif utama orang Batak bermigrasi. Secara terperinci, moti migrasi orang Batak tersebut sebagai berikut. Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Tabel 4 : Alasan Pindah Orang Batak Menurut Faktor Pendorong dari Daerah Asal dan Faktor Penarik dari Daerah Tujuan Faktor Penarik dari Daerah Tujuan No. Faktor Pendorong dari Daerah Asal Daerah Pertanian Kota 1 Meningkatkan taraf hidup Lahan pertanian yang lebih luas Kesempatan kerja yang lebih baik 2 Mencari pekerjaan di luar sektor pertanian Daerah yang lebih subur Penghasilan yang lebih baik 3 Tidak memiliki sawah Dapat diharapkan keadaan ekonomi lebih baik Fasilitas pendidikan yang lebih baik 4 Demi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik Ikut kepada famili Faktor kebebasan 5 Tidak ingin bergantung kepada orang tua Tidak ada pilihan desa lain pada waktu itu Fasilitas umum dan hiburan yang lebih baik 6 Gagal dalam bertani berusaha Daerahnya lebih aman Untuk memiliki tanah 7 Terlalu banyak tanggung jawab sosial Lain-lain Lain-lain 8 Lain-lain tidak mau tinggal di desa asal, anak lahir di desa asal meninggal, penduduk desa banyak yang pindah [ikut-ikutan], jauh dari pasar, dan konflik Sumber: Purba dan Elvis F. Purba 1997:87-89, Data Penelitian Motif Migrasi Orang Batak di Kabupaten Asahan, Kabupaten Deli Serdang, dan Kota Medan pada tahun 1989. Merantau atau marjojo, keluar wilayah budaya Batak Toba pun menjadi tradisi dalam kehidupan orang Toba. Akan tetapi, tidak semua orang berani merantau. Menurut Harahap dan Hotman M. Siahaan 1987:170-171, “Hanya orang-orang yang Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 memiliki berbagai kelebihan melakukan tindakan merantau. Kelebihan itu antara lain cita-cita yang kuat untuk meraih kemajuan, daya tarik kerabat yang sudah lama bermukim di rantau, kemampuan untuk menghadapi segala kemungkinan yang sulit di tempat baru.” Keberhasilan orang Batak Toba dalam perantauan memberi inspirasi bagi orang Toba yang masih tinggal di kampung halamannya. Apalagi, perantau yang sukses memperlihatkan perilaku bahwa mereka lebih maju daripada orang-orang di tanah kelahiran dengan menegakkan adat dan religi secara bersamaan, yakni membangun tugu dan makam leluhurnya. Semakin besar dan mahal biaya yang dikeluarkan maka semakin terpandang status sosial keluarga yang membangun tugu dan makam tersebut. Menurut penilaian Sangti 1977:273-274, pembangunan tugu-tugu atau makam-makam kebanyakan adalah didorong oleh tiga unsur berikut ini: i sebagai pencetusan rasa terima kasih kepada ‘tondi’ dan ‘sahala’ Nenek moyang dan sekali gus kepada Tuhan atau Mulajadi Nabolon atas rezeki yang diperoleh keluarga yang bersangkutan; ii sebagai ‘somba-yang’ kepada ‘tondi’ dan ‘sahala’ Nenek moyang dan sekali gus kepada Tuhan, untuk memohon penghapusan dosa yang diwarisi atau yang diperbuat oleh keluarga yang bersangkutan sendiri; iii sebagai reaksi terhadap urbanisasi penduduk Kabupaten Tapanuli Utara yang menjadi-jadi setelah penyerahan kedaulatan 1950 karena sudah mulai sangsi mengenai hari depan dari kampung halamannya Bona Pasogit. Dengan demikian, Bruner 1963 dalam Purba dan Elvis F. Purba 1997:5 dapat menyimpulkan bahwa dorongan bagi kaum terdidik Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Batak Toba meninggalkan kampungnya adalah untuk menghindari kemiskinan serta untuk meningkatkan kesejahteraannya.

5.2.6 Konflik