4.3.2 Fakta Kemanusiaan
Novel TK karya Bokor Hutasuhut menampilkan fakta kemanusiaan yang bersifat individual yang bersumber dari perilaku libinal Kepala Negeri. Sejak
penjajahan Jepang hingga agresi militer Belanda, Kepala Negeri hanya mementingkan diri sendiri. Hak-hak penduduk dikorbankan untuk pemenuhan
keinginannya. Umpamanya, Kepala Negeri memaksa Tiur menjadi istrinya. Keinginan itu menemukan hambatan karena Fhuko-gantjo juga menginginkan Tiur
untuk memenuhi hasrat seksualnya. Benturan indeks perempuan sebagai calon istri dan sebagai ikon pemuas hasrat seksual terlihat dalam konflik batin Kepala Negeri
berikut ini. Kepala Negeri terdiam. Tiur adalah untuknja seorang, begitu putusannja.
Tidak dapat dibagi dengan siapapun. Tapi sekarang, Fhuko-gantjo memintanja pula. Dadanja seperti dibelah. Dan dalam diamnja dia mengatakan ada diri
sendiri: „Sudah banjak jang kuberikan pada Nippon, tapi kalau harus turut jang satu ini kuberikan, apalagi jang tinggal untukku?” Tapi dia tidak berani
menngatakannja berterus-terang. Dia tahu bahwa permintaan Fhuko-gantjo tidak dapat dihalangi. Harus didahulukan dan harus dilaksanakan setjepatnja.
Terasalah padanja betapa tidak ada arti diri bila hanja mendjadi alat orang lain, dan keperluan orang lain itu harus tetap didahulukan dan harus
dikorbankan kepentingan diri sendiri untuk memenuhi permintaan orang lain itu. „Setelah ini apa lagi jang bakal diminta Nippon dariku tanpa
memperhitungkan kepentinganku sendiri,” kata hatinja berdjatuhan kehati itu sendiri. TK:84
Fakta kemanusiaan yang dihadapi Kepala Negeri tetap bergeming. Kepala
Negeri kembali terjebak pada kepentingan pribadi ketika Belanda melakukan agresi militer di Republik Indonesia, termasuk Tapanuli. Kepala Negeri memihak Belanda
sebagaimana dia memihak Jepang. Fakta individu yang disandang Kepala Negeri tersebut semakin memperkuat simbol pengkhianat bangsa dalam dirinya menghadapi
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
simbol penyelamat bangsa dalam diri Bonar. Hal itu terlihat dalam kutipan percakapan berikut ini.
Poltak mengangkat kepala, lantas mulutnja mengatakan: „Kepala Negeri itu, jang dulu tidak djadi dibunuh.”
„Ada apa dengan dia?” tanja Bonar. „Dia jang memberitahukan pada Belanda, bahwa pasukan pemuda bermarkas
disini,” kata Poltak selandjutnja. „Pengkhianat, bedebah,” Sulung meledak. Sedang tangannja sudah dikepal.
„Dia bantu Belanda. Dan mereka dirikan barisan pemuda jang menurut mereka adalah barisan pemuda pengawal keselamatan rakjat dari kekedjaman
kaum ekstrimis. Pemimpin barisan pemuda jang mereka bentuk itu ialah si Gordap. Jang melarikan diri dari gerillq. Menjerah pada Belanda dikota.
Mereka takut-takuti rakjat supaja tidak membentu kaum ekstrimis.” TK:161- 162
Perilaku Kepala Negeri dan Gordap adalah fakta individual yang
memanfaatkan tentara penjajah di kotanya. Mereka berdua berharap bantuan Belanda akan mampu mengatasi Bonar dan Sulung. Akan tetapi, perhitungan itu meleset,
karena Bonar mengikuti hukum yang berlaku terhadap seorang pengkhianat. Bahkan, untuk menegakkan hukum, Bonar sendiri yang menculik Kepala Negeri. Bagi Bonar,
hukuman yang pantas terhadap Kepala Negeri akan ditentukan oleh beratnya pengkhianatan yang dilakukan oleh Kepala Negeri. Di sini Bonar bertindak sebagai
penyelamat bangsa yang ingin menghukum seseorang setelah proses hukum itu berjalan dengan semestinya. Proses hukum itu memang benar-benar dijalankan oleh
Bonar meskipun Kepala Negeri akhirnya harus dihukum mati oleh penduduknya sendiri. Hal inilah yang membuat Sulung menaruh rasa hormat pada Bonar,
sebagaimana terjadi pada peristiwa berikut ini.
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Sambil membersihkan mata pisaunja jang bertjelur darah merah dengan daun² kering, Sulung mendekati Bonar dan mulutnja terus mengatakan: „Kau telah
melaksanakan tugas kemanusiaan jang paling tinggi.” Bonar mengangkat kepala dan menatapi Sulung, mulutnja mengatakan: „Aku
tidak tahu maksudmu.” „Kau telah memberi kesempatan pada manusia untuk mengkikis habis
penjakit dari relung kehidupan kemanusiaan itu. Walaupun untuk itu seorang anak manusia harus menemui adjal. Dan itu akan djadi pertanda bagi masa
nanti: masa akan selalu menghantjurkan musuh² kemanusiaan.” TK:176 Kemarahan penduduk terhadap pengkhianatan yang dilakukan oleh Kepala
Negeri sudah dirasakan oleh Bonar di zaman Jepang. Ketika itu, penduduk yang marah karena padi mereka diambil Jepang, bergerak menganiaya Kepala Negeri.
Kemarahan penduduk yang t idak terkendali itu dibicarakan Bonar kepada Tiur dalam kutipan berikut ini.
Tiur terdiam. Lalu Bonar menjambung: „Aku djuga merasakan pahit getir jang mereka rasakan. Jang bersumber dari Nippon dan kelakuan Kepala
Negeri. Tapi tidak kusangkakan bahwa mereka dapat bertindak sedjauh itu, seliar itu. Seolah mereka telah gila semua.” TK:111
Indeks nafsu yang mendasari perilaku Kepala Negeri berbeda dengan indeks
nafsu dalam diri Bonar, tokoh protagonis novel ini. Nafsu dalam diri Kepala Negeri ditujukan kepada usaha memperistri Tiur dan memperkuat jabatannya, sedangkan
nafsu dalam diri Bonar berpangkal dari keinginan memohon restu memperistri Tiur dan memerdekaan penduduk dari penjajahan. Indeks nafsu sebagai gerakan libinal
berhasil diatasi oleh Bonar untuk tujuan yang lebih luas, mengabdikan diri pada kepentingan umum. Hal itu terekam dalam kutipan berikut ini.
„Djangan dilemahkan semangat karenanja. Ruang dan waktu dalam saat seperti sekarang ini, memberi kesempatan jang besar pada napsu² jang tetap
ada didada tiap manusia, tiap kita. Napsu itu tidak dapat dikendalikan sewaktu menemui padang luas tempatnja menerdjang dan meliar. Dan mengekang
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
napsu liar itu adalah tugas mereka jang dapat menguasai diri.” Seketika Tiur berhenti dan melirik wadjah Bonar. TK:111
Bahkan, pembangkitan nafsu liar dalam diri manusia menjadi modal yang
besar untuk membangkitkan semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Hal inilah yang dijaga oleh Ayah Poltak dari dalam diri para pemuda sebagaimana
terlihat dalam kutipan berikut ini. „Kau djuga harus sadar, bahwa napsu jang meliar itu adalah dorongan dari
hati jang tertekan selama ini. Bukan bawaan lahir. Dasarnja tetap sumber tjahaja, rasa kemanusiaan. Rasa kemanusiaan ini jang dibangkitkan ajah si
Poltak. Hingga mereka dapat lagi dikendalikan. Djadi tidak mematikan kemauan mereka dan kesanggupan mereka bertindak. Tapi diarahkan kepada
sasarannja jang benar.” TK:112 Pertarungan Bonar sebagai simbol penyelamat bangsa dan Kepala Negeri
sebagai simbol pengkhianat bangsa telah menciptakan fakta individual dan fakta sosial. Fakta individual muncul dari perilaku Kepala Negeri yang ingin memperistri
Tiur dan menguatkan kedudukannya sebagai Kepala Negeri dengan mengandalkan kerja sama dengan Jepang dan Belanda. Fakta sosial muncul dari perilaku Bonar yang
ingin memohon restu orang tua untuk memperistri Tiur, menyembunyikan hasil panen, dan mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda.
4.3.3 Subjek Kolektif