Pandangan Dunia tentang Hamoraon

“Memang kita tidak dapat melepaskan diri dari persoalan luar-negeri dan kita sendiripun adalah sebahagian dari mereka. Djalan jang dapat ditempuh untuk menjelamatkan usaha² rakjat jang agraris itu ialah supaja kita tidak tergantung pada luar negeri,” kataku. “Bagaimana tjaranja?” tanja pak Umar tjepat² dengan suara jang tjukup kuat. “Kita harus mengolah sendiri hasil alam kita, termasuk karet dan kemenjan.” “Apa maksudmu?” kembali dia bertanja dan sekaligus memotong pembitjaraanku. “Kita harus meningkatkan kegiatan didalam negeri ketingkatan industrialisasi.” PB:56 Berdasarkan realitas fiksi dan realitas faktual di atas, orang Batak Toba memandang konflik merupakan hal yang lumrah dalam usaha mencapai nilai budaya yang lain. Penyelesaian konflik dalam adat Batak Toba harus melalui musyawarah, sehingga menghasilkan keputusan yang mengikat semua masyarakat. Pelaksanaan keputusan itu sendiri tidak boleh sembarangan tetapi melalui ketentuan adat yang menghormati martabat orang lain. Dengan demikian, konflik dalam adat Batak Toba dapat muncul secara bervariasi tetapi penyelesaian konflik harus melalui musyawarah dan mufakat.

6.2.7 Pandangan Dunia tentang Hamoraon

Prinsip hamoraon bagi orang Batak Toba adalah menyejahterakan dengan harta benda yang dimiliki. Secara tradisional, kesejahteraan itu ditentukan oleh banyak istri dan anak, ladang yang luas, banyak ternak, dan bahkan memiliki budak. Di dalam realitas fiksi, hamoraon dalam pandangan masyarakat Batak Toba kuno tidak ditemukan pada ketiga novel karya Bokor Hutasuhut. Hal ini disebabkan laki- laki protagonis dalam ketiga novel itu hanya memiliki seorang istri dan seorang anak Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 laki-laki. Bahkan, hanya orang tua tokoh Aku yang diidentifikasi memiliki dua orang anak, sedangkan Ronggur dan Bonar adalah anak laki-laki tunggal dalam keluarga ayahnya. Dengan demikian, pencapaian hamoraon hanya dapat diidentifikasi lewat pemanfaatan harta benda protagonis, termasuk pemanfaatan terhadap budak mereka. Indeks pagar pegunungan dan Sungai Titian Dewata memberi pandangan dunia bahwa orang Batak Toba harus memiliki banyak anak laki-laki. Anak laki-laki sebagai unsur utama dalam sistem kekerabatan Batak Toba merupakan pelanjut marga dan menjadi pasukan perang antarmarga. Indeks laki-laki sebagai simbol kematangan, kekuatan, kepercayaan diri, dan ketangkasan terlihat dalam diri Raja Panggonggom berikut ini. Kembali Raja Panggonggom duduk. Tongkat Panaluan, pusaka nenek moyang turun-temurun dielusnya seketika. Tubuhnya yang sudah tua itu masih membayangkan bekas bentuk tubuh yang tegap di masa muda, disaputi kulit hitam yang cukup matang. Wajahnya yang berkerut-kerut, keningnya lebar, dan sinar matanya masih tetap bercahaya, bernadakan kepercayaan akan diri sendiri. PUD:12 Indeks laki-laki itu terdapat juga pada laki-laki di Kerajaan Marga berikut ini. Para lelaki yang duduk di sampingnya, juga sudah agak tua. Di hadapannya, para lelaki yang masih muda, punya otot tubuh yang tegap dan masih berada di puncak kekuatan. Walau ada di antara mereka yang agak kecil, namun garis di wajahnya, ototnya, kulitnya yang hitam, segumpal daging yang dapat dipercaya kesehatan dan kekuatan yang terkandung di dalamnya. Sedang para pemuda, yang tubuhnya setiap hari masih terus membentuk sebuah tubuh yang wajah, dan dari wajahnya memancar kebeningan tapi bercampur-baur dengan kematangan, sesuatu pertanda ketangkasan. PUD:12 Indeks laki-laki seperti di atas adalah andalan marga-marga Batak Toba untuk mempertahankan harga diri marganya. Pandangan dunia Batak Toba ini baru berubah setelah indeks tanah habungkasan menjadi realitas faktual dalam kehidupan orang Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Batak Toba. Kata maju pun mulai terdapat dalam percakapan masyarakat Batak Toba. Akibatnya, perbudakan pun semakin langka dan perang antarmarga pun terhenti karena semua orang yang mau bermigrasi dapat mendirikan perkampungan baru di tanah habungkasan. Pandangan dunia Batak Toba terhadap banyak istri dan anak, ladang yang luas, banyak ternak, dan bahkan memiliki budak menjadi fakta historis. Bagi orang Batak Toba yang berpandangan maju, hamoraon ditentukan oleh kemampuan seseorang menggunakan harta bendanya untuk menyejahterakan orang lain. Realitas fiksi dalam novel karya Bokor Hutasuhut memperlihatkan pencapaian hamoraon secara bervariasi. Ronggur dalam PUD menjadi protagonis yang nyaris lengkap hamoraonnya. Ronggur hanya memiliki seorang istri yang dia merdekakan dari status budak dan hanya memiliki seorang anak laki-laki. Akan tetapi, Ronggur memiliki tanah habungkasan yang dia hibahkan untuk kesejahteraan orang Batak yang mau bermigrasi. Sebaliknya, Bonar dalam TK tidak memiliki kesempatan untuk mencapai hamoraon karena terjebak dalam kesulitan penjajahan Jepang. Menurut Hasselgren 2008:297-298, di dalam proses penjajahannya, Jepang melakukan kebijakan isolasi di mana Sumatera diputus hubungannya, tidak hanya dengan bagian lain Asia Tenggara melainkan juga dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Secara internal, kebijakan swasembada ini menyiratkan bahwa terdapat larangan pengiriman barang dari satu wilayah ke wilayah lain. Bahkan, penduduk semakin miskin dan menderita karena dalam upaya memobilisasi sumber daya lokal Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 bagi peperangan, Jepang mendorong orang Indonesia untuk mulai menanam padi dan tanaman lain di lahan perkebunan. Akan tetapi, langkah-langkah ini tidaklah berhasil dan pungutan yang tinggi, kadang mencapai 50, diberlakukan atas padi. Sejalan dengan pendapat Hasselgren di atas, realitas fiksi dalam novel TK menguak peraturan Jepang yang merugikan petani. Peraturan ini membuat rakyat Batak Toba menjadi miskin dan tidak dapat melaksanakan prinsip hamoraon, menyejahterakan masyarakat dengan harta bendanya. Kutipan berikut ini memperlihatkan peraturan pajak pertanian yang mencapai angka 75 sehingga petani hanya memperoleh 25 dari pengolahan harta pusakanya itu. Seorang pemuda, terpatjak pada kakinja ditanah jang dipidjaknja. Tidak bergerak waktu turut membatja pengumuman itu. Lalu dia membisikkan kepada seorang tua jang berdiri dekatnja: „Nippon mengumumkan, para petani jang mulia harus menjerahkan dua pertiga hasil panennja kepada Nippon, untuk membantu Perang Dai Toa menudju kemakmuran Asia Raja.” TK:10 Kemiskinan yang melanda Batak Toba pada zaman penjajahan Jepang berlangsung hingga Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan Komisi Tiga Negara meminta Belanda meninggalkan Tanah Batak. Setelah itu, orang Batak Toba memulai kehidupan baru di bawah pemerintahan Republik Indonesia. Masa inilah realitas fiksi dalam novel PB berlangsung di mana tokoh Aku bermigrasi dari Toba ke Kota Medan untuk bersekolah dan bermigrasi lagi ke Kota Sibolga untuk pemulihan kesehatannya. Di Kota Sibolga, tokoh Aku terlibat berbagai masalah yang dihadapi penduduk kota pantai barat tersebut. Tokoh Aku memiliki pandangan bahwa Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 persoalan yang terlanjur dihadapi harus diselesaikan dengan baik meskipun harus mengorbankan kepentingan diri sendiri. Hal ini mengakibatkan tokoh Aku terlibat dalam membicarakan masalah krisis keluarga, krisis perdagangan, dan krisis identitas perburuhan. Semua krisis tersebut dihadapi oleh tokoh Aku dengan melakukan proses asimilasi dan akomodatif, sehingga Ratna dapat optimis menghadapi masa depannya, Fat tidak takut bayi yang akan dilahirkannya tidak mempunyai ayah, pedagang memiliki pemahaman politik yang mempengaruhi perekonomian, dan buruh pelabuhan memiliki peraturan yang berpihak pada kepentingan umum para buruh. Aktivitas sosial tokoh Aku ini sudah diperhitungkannya dengan cermat sebagaimana tercermin dalam percakapan tokoh Aku dengan Ratna berikut ini. ”Aku ingin bertanja padamu, apakah kau dengan sadar melibatkan diri pada persoalan ini?” ”Seperti katamu, pada suatu saat kita harus berani berbuat. Sekarang aku telah berbuat sesuatu.” ”Memang kau telah berbuat. Persoalannja ialah tanah garapan jang kau pilih. Aku berpendapat kau memilih tanah-garapan jang salah.” ”Telah kuperhitungkan dan aku tjukup sadar,” djawabku. PB:100 Dari aktivitas sosial Ronggur, Bonar, dan tokoh Aku terkandung maksud yang tulus untuk menyejahterakan masyarakat sebagaaimana diamanatkan dalam prinsip hamoraon. Akan tetapi, keinginan para pengubah adat yang menghalangi kemajuan masyarakat Batak Toba tidak semuanya sepakat untuk memiliki banyak istri dan anak, ladang yang luas, banyak ternak, dan bahkan memiliki budak. Bagi orang Batak Toba modern, menyejahterakan masyarakat dengan mengandalkan pendidikan tinggi dan harta benda merupakan hal yang utama. Banyak istri dan anak, ladang yang luas, banyak ternak, dan bahkan memiliki budak tidak memberi manfaat apabila tidak Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hal inilah yang menjadi pandangan dunia Batak Toba dalam realitas fiksi dan realitas faktual.

6.2.8 Pandangan Dunia tentang Hasangapon