dan “hasangapon” sejahtera berketurunan, kaya dan mulia. Tujuan hidup ini memerlukan pembagian kerja yang seimbang antara laki-laki dengan perempuan
sebagaimana paparan hasil penelitian berikut ini. Gagasan-gagasan ini merupakan kualitas-kualitas individual yang terutama
dimiliki laki-laki, tetapi gagasan-gagasan ini juga dibagikan dengan orang lain. Dengan demikian, seorang laki-laki kaya dan berhasil membawa prestise
kepada seluruh marga. Seorang perempuan yang melahirkan banyak anak membawa kekayaan dan prestise kepada suaminya, sementara itu prestisenya
diperoleh dari usaha-usaha harajoan dari pasangannya. Hasselgren, 2008:68
Dalam realitas faktual, bagi orang Batak Toba, kualitas hasangapon ditentukan oleh kearifan, kemuliaan, dan kharisma seseorang. Jabatan yang disandang
oleh seseorang dari keluarga Batak Toba hanya merupakan jalan memperlihatkan kearifan seseorang. Dari keadaan tersebut, masyarakat akan menempatkan seseorang
dalam kualitas kemuliaan dan kharisma yang layak mendapat kehormatan. Dengan demikian, unsur-unsur yang melekat dalam pengertian hamoraon merupakan satu
kesatuan yang saling berkaitan dan menentukan keseluruhan nilai budaya Batak
Toba.
5.2.9 Pengayoman
Menurut hasil penelitian terhadap ungkapan tradisional Batak Toba yang dilakukan oleh Harahap dan Hotman M. Siahaan 1987:134, “Pengayoman dalam
kehidupan sosio-kultural orang Batak kurang kuat dibandingkan dengan nilai-nilai yang disebutkan terdahulu. Ini mungkin disebabkan kemandirian yang berkadar
tinggi. Kehadiran pengayom, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya diperlukan
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
dalam keadaan yang sangat mendesak.” Pengayom dalam adat Batak Toba adalah pemberi kearifan, pemberi kesejahteraan, pelindung yang ditaati, pencipta
ketentraman batin yang dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu diperankan oleh hula-hula. Di samping itu, raja atau penguasa dan anak raja, baik dalam kedudukan
hula-hula maupun dalam kedudukan penguasa dan bawahannya harus dipatuhi. Menurut hasil penelitian Hesselgren 2008:69, “Sistem Dalihan Na Tolu
mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula kelompok tempat asal istri yang harus dipelihara dan dihormati.” Oleh karena itu,
yang paling menonjol dalam kehidupan masyarakat Batak Toba adalah kekentalan hubungan kekerabatan berdasarkan hubungan darah, disusul seia sekata dan tolong
menolong berdasarkan kasih sayang. Dengan demikian, pengayom dalam sistem budaya Batak Toba diperankan oleh hula-hula.
Kedudukan hulahula tercermin dalam ungkapan yang diberikan kepadanya berikut ini.
Hulahula do bona ni ari, bona ni ari hangoluan, na manumpak manggabei di angka boruna, tudoshon mata ni ari bona ni hangoluan, na mangalehon
sondang dohot halasan tu nasa na tinompa. Artinya: Hulahula sumber hari, sumber hari kehidupan, yang menempa kemuliaan dan kebahagiaan kepada
borunya, seperti matahari sumber kehidupan, yang memberikan cahaya dan kesenangan kepada segenap makhluk. Harahap dan Hotman M. Siahaan,
1987:164 Salah satu cara memberikan pengayoman dalam sistem budaya Batak Toba
disimbolkan dengan pemberian ulos. Menurut hasil penelitian Vergouwen 2004:60, “Ulos adalah sejenis pakaian yang berbentuk selembar kain. Kain ini ditenun oleh
perempuan Batak dengan berbagai pola dan dijual di pekan.” Menurut konsep orang-
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
orang dahulu, ulos memiliki suatu kualitas religius-magis. Oleh karena itu, pembuatan ulos dipenuhi oleh banyak larangan yang tidak boleh diabaikan selama
penenunan. Kain itu bisa dianggap sesuatu yang diberkati dengan kekuatan keramat. Panjang kain tersebut sudah ditentukan, dan jika panjangnya menyalahi ketentuan
maka ulos tersebut dapat membawa maut dan kehancuran pada tondi si penenun. Akan tetapi, jika ulos tersebut dibuat dengan pola tertentu maka ia dapat digunakan
sebagai pembimbing dalam kehidupan. Menurut Vergouwen 2004:61, ulos menjadi satu di antara sarana yang
dipakai hula-hula untuk mengalihkan sahala kepada boru-nya jika memerlukan perlindungan. Ulos paling agung adalah ulos ni tondi kain roh, ia diberikan oleh
orang tua kepada anak perempuannya yang menunggu bayinya yang pertama, dan orang tua datang untuk memberkatinya mangupa. Watak khusus yang terkandung
dalam kain ini ada kaitannya dengan situasi magis berbahaya, yang dianggap selalu menyertai perempuan yang sedang mengandung, dan itulah sebabnya ulos dilihat
sebagai sesuatu yang memiliki daya istimewa yang akan memberi perlindungan. Di samping ulos sebagai sehelai kain yang ditenun, pemberian ulos dalam arti
yang lebih luas adalah berbentuk tanah. Menurut Vergouwen 2004:64-65, “Di sini kelompok boru yang ada di suatu wilayah dapat mendirikan kampung; dalam
pemberian ini bisa pula sebidang tanah untuk ditanami, talian namanya. Ini dapat dianggap sebagai ulos dalam kelompok hula-hula yang menjadi pemegang hak atas
tanah di wilayah itu.”
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Ungkapan filsafat Batak yang berkaitan dengan ulos sebagai simbol kasih sayang pengayom keluarga adalah Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pengihot ni holong.
Artinya: ijuk ialah pengikat pelepah pada batangnya dan ulos ialah pengikat kasih sayang antara orang tua dan anak-anak atau antara seseorang dengan orang yang lain
Sihombing, 2000:42. Kemudian, terdapat sebuah umpasa pepatah berbentuk sanjak yang baris pertamanya berbunyi: Sinuan bulu sibahen na las. Artinya:
Ditanam bambu di sekeliling kampung untuk mendapat panas. Jadi bambu itu ditanam bukanlah pertama-tama untuk menjadi pagar yang sulit dilewati oleh musuh
atau binatang-binatang liar yang berbahaya, tetapi pertama-tama untuk menangkis angin yang dingin dan dengan demikian berfungsi sebagai “ulos” selimut yang
memberi panas. Menjadi pagar adalah fungsi keduanya Sihombing, 2000:43. Berdasarkan paparan di atas, ulos dalam kehidupan orang Batak berfungsi
sebagai simbol kasih sayang. Oleh karena itu, hanya natoraslah orang tua yang patut mangulosi ianakkon anak-anak kita. Mangulosi orang yang di atas kita adalah
pantang sehingga boru tidak boleh sekali-kali mangulosi hulahulanya. Ulos yang diberikan tidak boleh sembarangan. Misalnya, ulos ragidup akan diberikan kepada
boru yang akan melahirkan anak sulungnya. Ulos ini harus memenuhi syarat tertentu dan ulos ini dinamai ulos sinagok, yang artinya ulos yang penuh segala-galanya
Sihombing, 2000:46-47. Dengan demikian, prinsip pengayoman berjalan dengan baik dalam adat Batak Toba, baik diperankan oleh hula-hula maupun melalui
simbolisasi ulos.
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
BAB VI PANDANGAN DUNIA MASYARAKAT BATAK TOBA BERDASARKAN