Pengantar Hasil Temuan Realitas Faktual

BAB V DESKRIPSI REALITAS FAKTUAL NILAI BUDAYA BATAK TOBA

5.1 Pengantar Hasil Temuan Realitas Faktual

Batak merupakan kosakata yang diberikan masyarakat kepada orang-orang yang berasal dan atau bertempat tinggal di Pegunungan Bukit Barisan, Provinsi Sumatera Utara. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘batak’ dibedakan dengan huruf kapital pada awal kata [Batak] dan huruf kecil pada awal kata [batak]. Makna kata ‘batak’ sebagai [Batak] mengandung arti ‘suku bangsa di daerah Sumatera Utara’ sedangkan makna kata ‘batak’ sebagai [batak] mengandung arti dari bahasa Sansekerta yakni ‘petualang atau pengembara’ Tim, 2005:111. Berkaitan dengan kuda yang digunakan sebagai alat transportasi pengembara maka dikenal kata ‘mamatak hoda’ yang artinya ‘menunggang kuda’ sehingga kata ‘Batak’ diartikan sebagai ‘si penunggang kuda’ Siahaan, 2005:390. Di dalam Kamus Saku Bahasa Indonesia kata ‘batak’ mengandung arti ‘nama suku bangsa di Sumatera Utara. Kata ini menurunkan kata ‘membatak’ yang berarti ‘merampok’ Reksosiswoi, dkk., 1952:17. Pemaknaan yang sama terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang menampilkan penelusuran kata ‘batak’ pada sastra lama dengan makna ‘petualang atau pengembara’. Kata ‘batak’ tersebut menurunkan kata ‘membatak’ dan ‘pembatak”. Kata ‘membatak’ berarti mengembara, bertualang, atau gelandangan tetapi dapat juga berarti merampok, menyamun, atau merampas sedangkan kata ‘pembatak’ berarti perampok atau Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 penyamun. Akan tetapi, ‘Batak’ [dengan huruf awal kapital] dalam pengertian orang Batak bermakna suku bangsa Indonesia di Sumatera Utara Poerwadarminta, 1984:95. Makna kata ‘Batak’ sebagai suku diperjelas dalam Kamus Karo-Indonesia yang mengartikan ‘Batak’ sebagai nama suku bangsa di Sumatera Utara yang terdiri dari lima subsuku yaitu Karo, Toba, Mandailing, Simalungun, dan Pakpak Prints, 2002:56. Kemudian, kata ‘Batak’ memperoleh pemaknaan yang menghilangkan asosiasi negatif dengan mengartikan ‘Batak’ sebagai ‘Batak’. Untuk membedakan orang Batak dengan orang yang bukan Batak hanya terdapat dua ungkapan. Kedua ungkapan itu adalah “Jau” untuk menyebut orang nonbatak dan “Halak Jau” untuk menyebutkan orang yang bukan bangsa Batak Joosten, 2008:20. Secara etimologis, Macdonell 1954 dan Zoetmulder 1982 mengatakan kata ‘batak’ berasal dari bahasa Sanskrit yang masuk ke dalam bahasa Jawa Kuno, bhata atau bhrta yang bermakna ‘penjaga bayaran, serdadu, pengawas, sewaan, pelayan’. Menurut Anderson 1971 fungsi ini pernah dilakukan orang Batak pada kesultanan Melayu di pantai timur. Bahkan, E.M. Loeb 1972 menangkap pemaknaan yang ironis dalam masyarakat, bahwa kata ‘Batak’ pada mulanya mungkin dipakai sebagai ‘nama ejekan yang diberikan oleh orang Melayu dan sebagai nama pemakan babi’ untuk kelompok suku pedalaman Nainggolan, 2006:58. Pemaknaan kata ‘batak’ di atas sejalan dengan pendapat E.M. Loeb 1972 yang mengutip laporan perjalanan Marco Polo 1292 ke Pulau Sumatera. “Marco Polo mengatakan bahwa orang-orang yang tinggal di sepanjang pantai sudah menjadi Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Islam, sementara yang tinggal di pedalaman masih hidup ‘seperti binatang yang memakan daging manusia, sama seperti makanan biasa lain, baik yang halal maupun yang haram’. Meskipun Marco Polo tidak menyebut nama ‘Batak’ dalam laporannya, pemaknaan ‘Batak’ sebagai suku bangsa melekat dalam pemaknaan ‘Batak’. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kunstmann 1863 setelah membuka laporan Nicolo di Conti tentang orang-orang Sumatera Utara, “Pada bagian dari pulau itu, yang disebut Batech, orang hidup kanibal, yang terus menerus berperang dengan tetangga mereka.” Di dalam hal kanibalisme yang muncul dalam peradaban Batak, Peserson 1970 mengatakan, “Kemungkinan kanibalisme disebabkan oleh adanya pelanggaran sangat berat seperti perjinahan, pencurian tengah malam, perkawinan semarga incest dan pengkhiatanan dalam perang.” Nainggolan, 2006:54-60. Secara juridis, Batak sebagai suku bangsa yang “memakan daging manusia” berkaitan dengan hukum yang termaktub dalam Patik Dohot Uhum. Pada Uhum ni Halak na Merjehe tertulis bahwa, “Ia halak na marjehe molo dapot, sipanganon ma i. Hape molo na dung sanga laho tu huta ni halak, utangna ma sihataon.” Artinya: Jika seorang pengkhianat tertangkap maka dia boleh dimakan. Tetapi bila dia sempat melarikan ke kampung lain, dia akan dikenakan denda in absentia Siahaan, 2005:314. Laporan yang berkaitan dengan pelaksanaan hukuman terhadap pengkhianat seperti diatur dalam Patik Dohot Uhum itu tidak ditemukan pada literatur penelitian ini. Akan tetapi, peristiwa orang Batak memakan daging manusia terdapat dalam Nieuwenhuis 1929 dan Sihombing 1961. Mereka menemukan kenyataan, bahwa Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 pendeta Munson dan Henry Lyman dari Boston Amerika Serikat yang bertugas mengkristenkan orang Batak datang ke Tanah Batak pada saat yang tidak tepat. Hal itu disebabkan orang Batak sedang menolak kehadiran orang asing sebagai akibat serangan Paderi pimpinan Tuanku Rao yang banyak menewaskan orang Batak. Akibatnya, pada tanggal 28 Juli 1834, rakyat di huta Sisangkak, Lobupining yang dipimpin oleh Raja Panggalamei membunuh kedua misionaris tersebut. “Menurut penelitian Dr. A. Screiber, daging kedua pendeta tersebut dimakan.” Simanjuntak, 2006:51. Akan tetapi, menurut keluarga Munson dan Lyman tidak percaya akan berita tersebut bahkan semakin diperkuat oleh catatan editor Memoirs Munson dan Lyman 1839 yang menyatakan orang Batak menuntut balas atas kematian kedua pendeta tersebut. Bahkan, Sidjabat 2007:401 memberi simpulan, “Belanda takut kalau-kalau misionaris Amerika itu akan membantu orang Batak melihat kejahatan penjajahan Belanda yang mendiami daerah yang justru hendak dianeksasi waktu itu, sesuai dengan nota Gubernur Jenderal van den Bosch.” Posisi wilayah Batak yang memisahkan pengaruh Islam di Aceh dan Minangkabau ini menjadi bagian dari kebijakan Belanda untuk mendirikan sebuah keresidenan. Menurut hasil penelitian Jaustra 1910 dalam Simanjuntak 2006:40, sesuai surat keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda tanggal 11 Oktober 1833, No. 310 maka Distrik Batak [kemudian bernama Keresidenan Tapanuli] berdiri secara resmi. Di dalam keputusan ini, Distrik Batak berbatas di selatan sampai ke Rao dan di utara sampai ke Singkil, di bagian barat sampai ke laut dan di timur sampai di mana kekuasaan Belanda dapat diperluas. Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Belanda mengelompokkan orang Batak dalam satu keresidenan bernama Keresidenan Tapanuli. Keresiden Tapanuli dibagi atas empat afdeling. Keempat afdeling itu adalah Afdeling Tanah Batak yang terbagi atas enam onderafdeling Toba, Silindung, Samosir, Humbang, Barus, dan Dairi, Afdeling Padang Sidempuan yang terbagi atas empat onderafdeling Angkola-Sipirok, Mandailing, Padang Lawas, dan Natal, Afdeling Nias, dan Afdeling Sibolga sebagai pusat pemerintahan. Penyebaran agama Kristen terkonsentrasi di Afdeling Tanah Batak sedangkan penyebaran agama Islam terkonsentrasi di Afdeling Padang Sidempuan. Sebelum Belanda mendirikan keresidenan di Tapanuli, orang-orang Batak hidup dalam perkampungan huta yang terikat hubungan kesilsilahan, kesamaan agamakepercayaan, dan wilayah tempat tinggal. Untuk mengatur kepentingan masyarakat, setiap kampung membentuk suatu persekutuan yang disebut horja. Persekutuan horja yang sifatnya otonom itu bersepakat menentukan kampung induk dan secara teratur mengadakan sidang membicarakan hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama. “Horja merupakan unit yang masih terikat satu dengan yang lain secara kesilsilahan, meskipun di antaranya terselip marga-marga lain yang sudah dianggap sebagai anggota keluarga. Horja berhak mengikat janji dengan horja lain, misalnya untuk kepentingan bersama antara lain pertahanan” Siahaan, 2005:154. Di dalam sistem pemerintahan huta terdapat para raja yang bertugas mengatur kelangsungan hidup masyarakatnya. Para raja itu antara lain Raja Huta, Raja Parjolo, Raja Partahi, dan Datu. Raja Huta atau Kepala Kampung dianggap sebagai pendiri kampung dan diwariskan kepada anak atau sanak terdekat. Raja Jungjungan atau Raja Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 Parjolo adalah raja duniawi tertinggi yang di antaranya harus bijaksana, perkasa dalam perang, menguasai hukum dan peraturan, dan harus anak bangsawan atau anak raja, tidak boleh anak pungut atau anak yang diperoleh dari suami yang lain. Raja Parjolo dapat mengangkat Raja Partahi untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dari orang yang disegani dan paling pandai di kampung itu. Pembagian tugas Raja Parjolo dan Raja Partahi terdeskripsi dalam kutipan di bawah ini. Tugas Raja Partahi bermacam-macam, termasuk mencari sekutu bila terjadi perang. Raja Parjolo merupakan pimpinan duniawi tertinggi, dia berhak menyatakan perang dan mengatur pekerjaan-pekerjaan besar yang ada kaitannya dengan kepentingan anggota. Dia juga mengatur persiapan horja rea pesta persembahan yang besar dan membawakan doa-doa ritual martonggo, tetapi yang memimpin upacara tetap parbaringin. Raja Parjolo biasanya tidak mau mencampuri urusan intern kampung lain, dia hanya mengurus urusan kampung sendiri di mana ia bertempat tinggal. Dia hanya mencampuri urusan kampung lain dalam kedudukannya sebagai penengah, apabila terjadi perselisihan antara Kepala Kampung dengan salah seorang penduduk kampung itu. Siahaan, 2005:156 Di samping para raja yang mengatur kepentingan manusia dengan lingkungan hidupnya terdapat juga seorang datu. Datu berperan sebagai peramal yang mampu melihat roh halus yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa. Bahkan, “Datu mampu mengatur cuaca, mendatangkan hujan, menciptakan hari baik, menenteramkan badai dan topan, menguasai ilmu “hitam” dan “putih”. Meskipun demikian kehebatannya, namun tidak ada seorang datu yang serba bisa all round, keahliannya terbatas hanya untuk bidang tertentu yang ditekuninya.” Siahaan, 2005:233-234. Setelah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, orang Batak dalam Keresidenan Tapanuli mengikuti sistem pemerintahan yang baru. Berdasarkan UU Nomor 10 tahun 1948 tanggal 15 April 1948, Keresidenan Tapanuli sebagai tempat Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 hunian orang Batak bergabung dengan Keresidenan Sumatera Timur dan Keresidenan Aceh menjadi Provinsi Sumatera. Kemudian, berdasarkan UU Nomor 24 tahun 1956 tanggal 7 Desember 1956, Keresidenan Aceh memisahkan diri menjadi Daerah Istimewa Aceh sehingga Provinsi Sumatera terdiri atas Keresidenan Tapanuli dan Keresidenan Sumatera Timur. Berdasarkan pembagian sistem pemerintahan dalam era otonomi daerah, maka Keresidenan Tapanuli sebagai hunian orang Batak berkembang menjadi 18 kabupatenkota. 1 Afdeling Bataklanden sekarang menjadi enam kabupaten, yaitu Tapanuli Utara, Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan, Dairi, dan Pakpak Bharat. Di keempat kabupaten pertama, suku bangsa Batak Toba menjadi penduduk yang terbanyak jumlahnya [lebih 96] dibandingkan dengan suku bangsa Jawa sebagai penduduk yang terbesar jumlahnya di Provinsi Sumatera Utara. Sebaliknya, di Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat, orang Batak Toba masih menjadi suku bangsa yang terbesar, yakni 66,70. 2 Afdeling Padang Sidempuan sekarang menjadi lima kabupatenkota, yaitu Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Padanglawas Utara, Padanglawas, dan Kota Padang Sidempuan. Di kelima kebupatenkota ini suku bangsa Batak Angkola-Mandailing menjadi penduduk yang terbesar jumlahnya dibandingkan dengan suku bangsa Jawa, Batak Toba, dan Melayu. Orang Batak di daerah ini menjadi suku bangsa yang minoritas dibandingkan dengan suku bangsa Angkola-Mandailing sebagai penduduk mayoritas afdeling ini. Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 3 Afdeling Nias sekarang menjadi Kabupaten Nias, Nias Selatan, Nias Barat, Nias Utara, dan Kota Gunung Sitoli. Di afdeling ini suku bangsa Batak menjadi suku bangsa yang minoritas dibandingkan suku bangsa Nias yang menghuni kepulauan ini. 4 Afdeling Sibolga dan Ommnenlanden sekarang menjadi Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga. Orang Batak Toba masih menjadi suku bangsa terbanyak di kedua daerah yang bertetangga dengan Bataklanden. Menurut hasil penelitian Basyral Hamidy Harahap dan Hotman S. Siahaan 1987, orang-orang Batak Toba yang bertempat tinggal di wilayah utama suku bangsa Batak dan orang-orang Batak yang merantau ke luar Tanah Batak tetap mempertahankan nilai-nilai budaya Batak yang diwariskan oleh leluhurnya. Berdasarkan penelitian mereka terhadap 300 ungkapan tradisional yang terdapat dalam buku-buku adat istiadat, hukum, cerita rakyat, dan lagu-lagu rakyat Batak Toba, terdapat sembilan nilai budaya yang berlaku dalam kehidupan orang Batak Toba yang berbeda dengan nilai budaya Batak Angkola-Mandailing. Batak Toba dalam pengertian ini mengacu pada penduduk asli Kabupaten Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan, dan Tapanuli Utara. Sebaliknya, Batak Angkola- Mandailing mengacu pada penduduk asli Kabupaten Tapanuli Selatan, Mandailing- Natal, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, dan Kota Padang Sidempuan. Menurut Harahap dan Hotman M. Siahaan 1987:138 pemeringkatan dan persentase frekuensi pemunculan nilai budaya Batak Toba tersebut adalah kekerabatan 34,33, religi Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008 17,25, hagabeon 12,32, hukum 12,15, kemajuan 6,87, konflik 5,28, hamoraon 4,58, hasangapon 3,70, dan pengayoman 3,52. 5.2 Nilai Budaya Batak Toba 5.2.1 Kekerabatan