untuk mencapai hagabeon maka orang Batak Toba tidak harus memiliki banyak anak, melainkan berdoa pada Tuhan yang Maha Esa agar memperoleh panjang umur dan
menjadi panutan masyarakat.
6.2.4 Pandangan Dunia tentang Hukum
Novel karya Bokor Hutasuhut menampilkan pandangan dunia Batak tentang hukum dengan tegas. Orang yang melanggar hukum harus dihukum sesuai dengan
ketentuan yang tertulis dalam kitab hukumnya. Hukum dalam realitas faktual adat Batak Toba tercantum pada Patik Dohot Uhum. Aturan dan hukum Batak Toba
mengatur bentuk hukuman terhadap pelanggar adat Batak Toba, terutama yang terjadi di Tanah Batak, sehingga hanya dapat diterapkan dalam realitas fiksi PUD sedangkan
realitas fiksi TK dan PB berlaku hukum modern. Orang Batak Toba memiliki pandangan bahwa pelanggar aturan harus
dihukum dengan seberat-beratnya. Pelanggaran aturan menjadi masalah sosial yang kronis apabila para pelanggar aturan dibiarkan bebas tanpa hukuman. Meskipun
demikian, pertimbangan baik dan buruk dalam penetapan hukuman harus menjadi bahan pertimbangan penetapan hukuman. Hal ini diingatkan oleh Soekanto
2007:311 yang menyatakan bahwa, ”Masalah-masalah sosial tak akan mungkin ditelaah tanpa mempertimbangkan ukuran-ukuran masyarakat mengenai apa yang
dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.” Ukuran baik dan buruk dalam kehidupan masyarakat petani pada umumnya bersifat akomodatif sebagaimana
ditemukan dalam penelitian berikut ini.
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Bagi seorang petani sawah, yang baik ialah yang membantu dia mempertahankan tempatnya dan membenarkan tempat itu; juga dipandang
baik ialah apa yang pada pertemuan dua orang membantu membereskan pertemuan mereka sehalus mungkin. Dalam situasi-situasi kongkret yang baik
dan yang jahat ditentukan oleh keharusan wajib terhadap kelakuan berbagai kategori masyarakat dan fungsionaris teras tertentu di dalam kategori-
kategori itu. Boelaars, 1984:97 Penatapan hukuman dalam realitas fiksi terjadi pada diri Ronggur dan Tio
dalam novel PUD. Ronggur tidak dapat dinasihati oleh dongan sabutuha untuk membatalkan tekad mengikuti aliran Sungai Titian Dewata. Oleh karena itu, Raja
Panggonggom menjatuhkan hukuman sebagaimana tercantum dalam kutipan berikut ini.
“Saran yang dapat kami ajukan pada Ronggur, dan menjadi undang-undang bagi kita semua, ialah bila Ronggur meneruskan niat itu, tidak seorang pun
dari warga yang dibolehkan mengikuti dan membantu perjalanannya. Bila dia mulai melangkah dari gerbang kampung memulai perjalanan, maka dia tak
berhak lagi mencantumkan marganya di belakang namanya. Begitu pula gelar Raja Ni Huta Muda, gelar Hulubalang Muda dicabut kembali” PUD:93
Hukuman itu masih ditambah dengan hukuman yang harus diterima oleh orang tuanya.
“Dia tidak boleh memakai nama kerajaan kita untuk melindungi diri dari kutukan dewata, dari gangguan setan, dan dari gangguan perampok di tengah
jalan. Kalau ada orang yang membunuhnya dalam perjalanan, marga kita tidak akan menganggap serangan itu serangan yang langsung pada marga kita.
Ronggur sendiri yang harus memikul risikonya. Sawah yang telah dipercayakan padanya disita kerajaan. Ibunya yang sudah tua akan dibelanjai
langsung dari lumbung desa. Dirangsum ala kadarnya” PUD:93 Hukuman yang diterima oleh Ronggur ternyata tidak berubah walaupun
Ronggur berhasil menemukan tanah habungkasan dan membuktikan bahwa Sungai Titian Dewata tidak berakhir di ujung dunia. Bahkan, pengakuan dan pembuktian
yang dilakukan oleh Ronggur dianggap Datu Bolon Gelar Guru Marlasak sebagai
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
kebohongan, sehingga Ronggur dan Tio harus dihukum mati. Hal yang memberatkan mereka adalah Ronggur melakukan perlawanan terhadap indeks Sungai Titian
Dewata dan simbol gelang yang dipakai orang yang kalah perang. Hal itu dapat disimak dari ucapan Datu Bolon Gelar Guru Marlasak berikut ini.
“Kita akan dikutuk para dewata dan arwah nenek moyang, bila mau mendengar cakap dusta ini. Kita dulu memutuskan, akan menangkap di
Ronggur, akan menangkap si Ronggur, akan menjadikannya budak belian, bila dia kembali ke kampung halaman ini. Tapi, sekarang tuntutanku tidak
sampai di situ. Karena dia telah membebaskan seorang budak marga tanpa persetujuan sidang kerajaan, tuntutanku:
Menangkap dan menghukum si Ronggur bersama budak belian itu. Hukum mati. Ini perlu, agar para dewata yang telah melindungi kita, yang telah
membuat kita menang dalam peperangan tidak dimurkai kita. Bukankah kita sudah harus bersyukur pada para dewata dan arwah nenek moyang, karena
sebaik kita mencoret nama Ronggur dari silsilah marga, dan tak mau mendengarkan cakapnya, telah dua kali marga kita mengalahkan marga lain
dalam peperangan? Hingga marga kita menjadi marga yang berkuasa, kuat, kaya, dan dihormati setiap marga? Dan, luhak kita, menjadi daerah taklukan
kita?” PUD:185-186 Pada novel TK berlaku peraturan dan hukum yang menguntungkan kolonial,
sehingga masyarakat yang memiliki keberanian dan yakin aksinya benar akan berusaha melawan. Hal ini diperlihatkan oleh Bonar, Pak Maurid, Ayah Ojak, dan
Ayah Poltak. Mereka memimpin perlawanan terhadap Jepang sebagai sebuah realitas historis, bahwa orang Batak Toba pernah menyeludupkan padi ke pantai timur pada
zaman Jepang. Kemudian, pada masa perang mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda, maka pemuda Batak Toba mendirikan pasukan melawan tentara
Belanda beserta orang-orang yang berkhianat pada bangsanya. Pasukan pemuda yang dipimpin oleh Bonar dalam realitas fiksi merupakan simbol pasukan perlawanan
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
terhadap agresi militer Belanda sebagai bagian dari Pertahanan Rakyat Semesta dalam realitas faktual.
Selama penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan melawan Belanda muncul para pengkhianat. Pengkhianat tersebut berasal dari kalangan bangsa sendiri, seperti
Kepala Negeri dan Gordap yang berasal dari Tanah Batak. Menurut Patik Dohot Uhum sebagaimana dikutip oleh Siahaan 2005:314, “Ia halak na marjehe molo
dapot, sipanganon ma i. Hape molo na dung sanga laho tu huta ni halak, utangna ma sihataon.” Artinya: Jika seorang pengkhianat tertangkap maka dia boleh dimakan.
Tetapi bila dia sempat melarikan ke kampung lain, dia akan dikenakan denda in absentia. Hukuman seperti inilah yang dituntut oleh Sulung, anggota pasukan
pemuda Batak Toba pimpinan Bonar. Bonar hanya setuju apabila hukuman dijatuhkan sesuai dengan kesalahan yang dibebankan kepada pengkhianat tersebut.
Pelaksanaan hukum perang yang sesuai dengan hukum adat perang Batak Toba terlihat dalam kutipan berikut ini.
Linangan air mata menetes dipipinja. Tubuhnja gemetaran. Namun mulutnja masih diam. Kembali Bonar menampar wadjahnja. Dan Sulung melompat
kedepan sambil mulutnja memekik: „Bunuh sadja dan hisap darahnja.” Lompatan Sulung itu diikuti gerakan orang² sekitar. Tanpa meminta permisi,
sendjata² mereka telah tertantjap ketubuh sipengkhianat. Pekikan sipengkhianat kedengaran, tapi tidak menimbulkan rasa kasihan lagi didada
Bonar. Dan sendjata² itu semakin ramai mentjingtjang tubuhnja. Bonar memalingkan wadjah. Mendjauh dari sana. Dan orang² semakin gairah
menantjapkan sendjata ketubuh jang sudah rusak itu, sedang mulut mereka meneriakkan: „Bunuh – hisap darahnja………………..” Dan dalam waktu
singkat sadja, tubuh jang tadinja berbentuk telah hantjur tanpa bentuk. TK:176
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
Peraturan dan hukum dalam realitas fiksi novel PB memberlakukan hukum yang berasaskan Pancasila. Hal ini dilakukan tokoh Aku di Kota Sibolga sebagai
bagian dari wilayah hukum Republik Indonesia, sehingga peraturan yang digunakan pun harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Republik Indonesia.
Tokoh Aku tampil sebagai sosok tokoh yang membela hak-hak buruh untuk memperoleh upah yang layak dan kehidupan yang lebih baik. Masalah sosial yang
berkitan dengan peraturan dan hukum muncul setelah tokoh Aku mengevaluasi dan menjadi sekretaris organisasi buruh pelabuhan Sibolga. Aktivitas sosial tokoh Aku
menimbulkan perlawanan dari pejabat lama sehingga menimbulkan kekhawatiran tokoh lain terhadap tokoh Aku. Akan tetapi, tokoh Aku tidak khawatir karena
memiliki pandangan dunia bahwa orang yang berbuat benar akan selamat dalam hidupnya. Hal itu terlihat dalam dialog berikut ini.
Sambil tersenjum aku katakan: “Kupikir persoalan itu tidak perlu kita bitjarakan berpandjang-pandjang. Kau dapat membuktikan rasa sajangmu
padaku dengan tjara jang lain. Antjaman jang mengintjer pasti tidak ada. Kita berada dipihak jang benar.”
“Apakah pak Ali tidak akan mengadukan kau pada polisi?” Sambil tersenjum aku menepuk punggung Fat: „Kau tidak perlu kuatir.
Banjak saksi kita. Dia jang memulai.” PB:124 Meskipun orang Batak Toba dalam realitas faktual dan realitas fiksi
berpandangan bahwa hukum harus dilaksanakan sesuai peraturan hukum yang tertulis, tetapi perdebatan hukum yang mengedepankan prinsip akomodasi tetap
terjadi. Hukuman yang ditangani oleh orang-orang Batak Toba tetap terjadi setelah melalui perdebatan tentang kesalahan dan hukuman yang layak terhadapnya. Bahkan,
vonis hukuman mati dapat berubah apabila terdapat bukti baru yang dalam realitas
Rosliani : Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis, 2009 USU Repository © 2008
fiksi berupa pengakuan kesalahan dan pencabutan pernyataan yang meresahkan masyarakat. Hal ini dilakukan oleh raja Panggonggom yang bersedia memberikan
keringan hukuman bersyarat kepada Ronggur sebagaimana tertulis dalam kutipan berikut ini.
Tidak berapa lama setelah senja berganti malam, Raja Panggonggom bersama pengiringnya, masih datang menemui Ronggur, mengusulkan agar Ronggur
mencabut kembali semua yang telah diucapkannya. Hukuman bisa dientengkan, tak perlu hukum mati, asal dia mau. Tapi,
Ronggur harus bersedia menjadi budak, begitu pula Tio dan anaknya. Ronggur menolak sarat itu. Malah dikatakannya:
“Aku tidak dapat membenarkan yang salah, begitu pula sebaliknya. Yang benar harus kukatakan benar. Percayalah padaku, Paduka Raja.” PUD:187
Berdasarkan analisis pandangan dunia Batak Toba terhadap hukum, maka
masalah utama yang dihadapi oleh orang Batak Toba adalah peraturan dan hukum dalam Patik Dohot Uhum mengalami pergeseran seiring dengan asimilasi dan
akomodasi kebudayaan asing. Meskipun demikian, masyarakat Batak Toba tetap konsisten bahwa mereka harus menjalankan peraturan dan hukum sesuai ketentuan
tertulis yang disepakati bersama. Dengan demikian, masyarakat dapat menempatkan kebenaran sebagai kebenaran dan menghukum kesalahan sesuai dengan kualitas
kesalahannya.
6.2.5 Pandangan Dunia tentang Kemajuan