Gaya Bahasa Unsur-unsur Pembangun Puisi Esai “Manusia Gerobak”

. Tangisannya Tawanya Raut wajahnya 51 Pengulangan kata ganti –nya yang merujuk pada sang putri menegaskan bahwa tokoh sangat kehilangan putrinya. Kenangan-kenangan bersama putrinya mengiri saat-saat di mana tokoh tersebut harus mengurus jenazah putrinya. ―Inna lilah wa inna ilaihi rojiun‖ segenap hatinya tiba-tiba jadi malam ―Inna lilah wa inna ilaihi rojiun‖ hati Atmo seolah karam 52 ... Orang-orang miskin Orang-orang susah Sama-sama miskin Sama-sama susah ... 53 Adzan yang mengiring manusia dilahirkan Adzan berselimut kain kafan Adzan memanggil ingatan ... 54 Bentuk pengulangan pada bait-bait di atas menegaskan nilai keagamaan yang terkandung dalam puisi “Manusia Gerobak”. b. Paralelisme Penggunaan gaya paralelisme atau kata-kata dengan makna yang sama juga dimanfaatkan dalam puisi esai “Manusia Gerobak” sebagaimana yang dapat ditunjukkan dalam bait-bait berikut ini. Kalbu Atmo luluh lantak Mulut membisu tidak bicara Awan di langit berarak-arak Langit biru alangkah indahnya 55 51 Taher, op. cit., h. 69. 52 Taher, op. cit., h. 70. 53 Taher, op. cit., h. 73. 54 Taher, op. cit., h. 74. . Paralelisme terlihat dengan adanya penggunaan kata membisu diikuti dengan tidak bicara. Mulut yang membisu jelas dalam keadan tidak berbicara. Penggunaan gaya ini untuk menekankan keadaan tokoh yang begitu terpukul hingga tidak bisa berbicara apa-apa. Pohon-pohon segar menghijau Bunga mekar kuning dan jingga Kalbu Atmo sangatlah kacau Pedih jiwa tiada terhingga 56 Kata ‗menghijau’ sama maknanya dengan ‗segar’. Larik ‗Pohon-pohon segar menghijau’ tetap dapat dibayangkan dalam kondisi segar tanpa harus menggunakan kata ‗menghijau’, begitu pula sebaliknya tanpa menggunakan kata ‗segar’ pun larik tersebut tetap dapat dibayangkan dalam kondisi segar karena ada nya penggunaan kata ‗menghijau’. Hal ini dapat dibandingkan, misalnya dengan penggunaan kata ‗menguning’ untuk menunjukkan keadaan daun yang akan gugur. Sarung kumal membungkus jenazah Tubuh mungil diam dan pasrah Ditutup rapi, diselempangkan menyilang Di depan dadanya yang datar kerontang 57 Kata ‗diselempangkan’ dipertegas dengan kata ‗menyilang’ dalam larik ‗Ditutup rapi, diselempangkan menyilang’. Benda yang diselempangkan tentu dalam posisi menyilang. Penggunaan gaya ini untuk menekankan kenyataan bahwa tokoh hanya mampu mengandalkan dirinya sendiri untuk mengurus jenazah sang putri. Matahari mulai meninggi Atmo terkenang kampungnya yang rindang Tapi sakunya kosong dan sepi Jenazah tak bisa dibawa pulang 58 55 Taher, op. cit., h. 47. 56 Taher, op. cit., h. 47. 57 Taher, op. cit., h. 47. 58 Taher, op. cit., h. 49. . Kata ‗kosong’ yang diikuti dengan sertaan ‗sepi’ memiliki makna yang sama yaitu ‗tak ada apa-apa’. Dua kata yang sama maknanya sebagaimana bait di atas muncul pula dalam dua bait di bawah ini. Mereka ikut iba Meski mereka semua Miskin dan papa Tiada berlimpah harta 59 Kata ‗miskin’ disejajarkan dengan kata ‗papa’. Penggunaan kata-kata tersebut bertujuan untuk menekankan keadaan yang menimpa tokoh yakni kemiskinan. c. Perumpamaan Penggunaan gaya perumpamaan dalam puisi esai “Manusia Gerobak” ini menggambarkan perbandingan suatu keadaan maupun benda dengan hal lain yang memiliki sifat yang sama. Gaya perumpamaan ini ditampilkan untuk memperkuat penggambaran tentang kondisi yang dialami tokoh utama. Penggambaran tersebut dapat ditujukan seperti berikut. Anak mungil, lincah, dan lucu Diremas lapar setiap hari Tak ada nasi, tempe, dan tahu Wajahnya kering sepucat jerami 60 Perumpamaan dalam larik ‗Wajahnya kering sepucat jerami’ menggambarkan kemiskinan yang dialami tokoh utama yang mewakili kenyataan masyarakat miskin di sekitar kita. Bait lainnya yang menunjukkan perumpamaan yakni sebagaimana berikut ini. Kini sawahnya seluas kota Dengan gancok mencangkul sawah Panennya plastik, bukannya padi 61 Bait tersebut menggambarkan kegagalan tokoh utama dalam berurbanisasi. Perumpamaan ‗Kini sawahnya seluas kota’ menampilkan tidak sepadannya kemampuan tokoh yang hanya bisa mengolah sawah dengan realitas hidup di 59 Taher, op. cit., h. 71. 60 Taher, op. cit., h. 56. 61 Taher, op. cit., h. 60. . perkotaan, sehingga mau tidak mau tokoh tersebut menjadi pekerja kasar sebagai pemulung barang-barang bekas. Bait yang lain juga menunjukkan perumpamaan sebagai berikut. Bagai pipit dia mengembara Mematuki remah-remah orang kota Meski yang dipungut sampah tersisa Tetap saja dia ditatap penuh curiga 62 Bait tersebut menggambarkan kedukaan dalam menjalankan kewajiban mencari nafkah sebagai seorang pemulung. Pekerjaan memulung sampah meskipun ditujukan untuk mencari barang rongsok yang masih dapat dimanfaatkan tetap membawa kecurigaan segolongan orang yang menganggap para pemulung dapat melakukan hal menyimpang seperti mencuri barang-barang. Gaya mengumpamakan kerasnya pekerjaan memulung digambarkan dengan penggunaan kata ‗Bagai pipit mengembara’. Pekerjaan memulung sampah tentu saja harus melewati banyak tempat di antaranya adalah jalanan, sehingga tidak ubahnya seperti sebuah pengembaraan. Sampai tibalah suatu malam Kala Atmo dan dua anaknya terlelap Sang istri pergi diam-diam Lantas menghilang bagai sulap 63 Bait tersebut menggambarkan tragedi saat istri Atmo mengkhianati keluarganya dengan cara kabur di tengah kemiskinan yang melanda mereka. Kepergian sang istri tersebut diperbandingkan dengan sulap karena caranya yang begitu tiba-tiba sebagaimana larik ‗Sang istri pergi diam-diam Lantas menghilang bagai sulap’. Gerobak dan Atmo sekeluarga Bagaikan etalase belaka Sekadar pajangan di pinggir jalan Sesekali ditoleh lalu dilupakan 64 62 Taher, op. cit., h. 60. 63 Taher, op. cit., h. 67. 64 Taher, op. cit., h. 64. . Gaya perumpamaan yang ditunjukkan larik ‗Gerobak dan Atmo sekeluarga Bagaikan etalase belaka’ memperbandingkan nasib Atmo yang tak ubahnya seperti pajangan. Pengibaratan dengan pajangan tersebut bukan dimaksudkan seperti barang-barang mewah yang dipajang dalam etalase, melainkan dimaksudkan untuk menekankan kecenderungan barang-barang pajangan yang hanya dilihat sesekali dan kadang dilupakan begitu saja. d. Metafora Metafora dalam puisi esai “Manusia Gerobak” ini misalnya dapat ditunjukkan dalam bait-bait seperti berikut. Bertiga mereka memendam duka Sirnanya kasih ibu memang terasa Hilang sudah sang payudara Tempat menyusu putri bungsunya 65 Bait tersebut menunjukkan adanya pengibaratan secara langsung makna ‗ibu’ dengan menggunakan kata ‗sang payudara’. Semuanya ia nikmati Dua buah hati dan cinta istri Anak-anaknya bermain riang Meski segalanya serbalah kurang 66 Penggunaan kata ‗buah hati´ menjadi perbandingan langsung untuk menunjukkan makna ‗anak’. e. Personifikasi Personifikasi banyak dimaanfaatkan untuk menggambarkan latar baik tempat, waktu, maupun suasana. Personifikasi untuk menggambarkan latar waktu misalnya ada dalam bait berikut ini. Petang datang Malam menjelang Tak mungkin lagi 65 Taher, op. cit., h. 68. 66 Taher, op. cit., h. 54. . Atmo berjalan jauh 67 Kata ‗Petang datang’ mengimajinasikan latar waktu yakni petang. Bait tersebut menggambarkan pula suasana di petang hari yang pada umumnya digunakan oleh sebagian orang untuk beristirahat dari pekerjaannya. Selain gaya personifikasi yang menggambarkan latar waktu seperti di atas, penggunaan yang lain dimanfaatkan pula untuk menciptakan latar tempat di antaranya seperti bait berikut ini. Sawah ladang kian menyempit Kehidupan petani bertambah sulit Perumahan dan pabrik industri Mengusir petani setiap hari 68 Larik-larik tersebut menggunakan personifikasi untuk menggambarkan kondisi pedesaan yang sudah tidak berpihak kepada petani. Larik ‗Perumahan dan pabrik industri Mengusir petani setiap hari’ menunjukkan semakin maraknya pendirian bangunan permanen di bidang industri maupun properti mengubah fungsi lahan pedesaan yang umumnya digunakan untuk pengolahan sawah. Bait selanjutnya menegaskan akibat dari kondisi tersebut yakni kecenderungan untuk berurbanisasi. Lalu kota mulai menggoda Kata orang di sanalah surga Semua barang di sana tersedia Uang datang dengan mudahnya 69 Larik ‗Lalu kota mulai menggoda’ menggambarkan jalan pikiran sebagian masyarakat yang hingga kini masih menganggap bahwa kesempatan kerja di perkotaan terbuka lebar tanpa mereka sadari perlu bekal yang banyak sebagai persiapan bekerja di perkotaan. Di Jakarta, kata orang Mencari uang lebih gampang Karena di sana semua uang berdiam Bertumpuk-tumpuk siang dan malam 70 67 Taher, op. cit., h. 71. 68 Taher, op. cit., h. 55. 69 Taher, op. cit., h. 57. 70 Taher, op. cit., h. 57. . Larik ‗Karena di sana semua uang berdiam’ seolah-olah menunjukkan bahwa perputaran uang maupun kegiatan yang menghasilkan harta yang melimpah banyak terjadi di daerah perkotaan. Lalu mereka berempat bersama-sama Menikmati nasi bungkus berlauk sekadarnya Tak ada kerat daging atau ayam Untuk mengusir lapar semalaman 71 Larik ‗Tak ada kerat daging atau ayam Untuk mengusir lapar semalaman ’ menggambarkan ‗daging atau ayam’ mampu ‗mengusir lapar’. Larik tersebut juga menyampaikan pesan bahwa mereka sulit untuk memperoleh kenikmatan dari hal yang lebih dari sederhana. Hari sudah jauh petang Kendaraan masih berderet panjang Orang-orang yang bergegas pulang Suara klakson berteriak lantang Di pinggir jalan Atmo duduk memandang 72 Larik ‗Suara klakson berteriak lantang’ menggambarkan suasana riuh dengan personifikasi ‗klakson’ yang mampu ‗berteriak lantang’. Larik tersebut juga bermakna arogansi orang-orang perkotaan yang semakin bersikap egois, sehingga kurang memiliki rasa ketidakpedulian sosial. Berbagai gaya bahasa yang digunakan tersebut memperkuat kesan suasana ironis dari ketidakpedulian sosial, ketimpangan keadaan hidup antarmasyarakat, se rta sikap diskriminatif yang tergambar dalam puisi esai “Manusia Gerobak”. Penggunaan repetisi dan paralelisme menjadi penting untuk menekankan peristiwa kesengsaraan yang seolah hadir bertubi-tubi. Penggunaan perumpamaan, metafora, dan personifikasi sengaja dipakai pula sebagai bentuk perbandingan antara kenyataan yang ada dengan hal lain yang akhirnya memunculkan keironisan bahkan sindiran. 71 Taher, op. cit., h. 64. 72 Taher, op. cit., h. 64. .

8. Rima dan Ritme

P uisi esai “Manusia Gerobak” menggunakan beragam bentuk rima. Adanya rima beraturan dan tidak beraturan menjadi ciri dari keberagaman tersebut. Penggunaan jumlah larik dalam satu bait pun beragam, dapat berupa empat larik dalam satu bait, tiga larik, delapan larik, dan lain-lain. Penggunaan rima dalam setiap puisi termasuk puisi esai “Manusia Gerobak” erat kaitannya dengan ritme yang muncul dalam puisi. Ritme tersebut menciptakan totalitas bunyi baik cepat lambat, pendek panjang, dan tinggi rendahnya suara saat membaca puisi esai “Manusia Gerobak”. Ritme menciptakan pula gambaran tersendiri tentang nada, rasa, dan tema yang terkandung di dalam puisi esai “Manusia Gerobak”. Beragam rima dan ritme dalam puisi esai “Manusia Gerobak” diantaranya adalah sebagai berikut. Kalbu Atmo luluh lantak a Mulut membisu tidak bicara b Awan di langit berarak-arak a Langit biru alangkah indahnya 73 b a. Pengaturan larik Pengaturan larik pada bait tersebut terdiri dari 4 larik dalam satu bait. Tiap larik dalam bait ditulis sejajar dan tampak menggunakan jumlah kata maupun frasa yang hampir sama pada setiap larik, sehingga kecepatan dalam membaca setiap larik cenderung akan sama. b. Jumlah suku kata Jumlah suku kata dalam bait tersebut yakni larik pertama terdiri dari 7 suku kata: Kalbu Atmo luluh lantak dengan penjedaan pada suku kata terakhir yakni –tak. Larik kedua terdiri dari 10 suku kata: Mulut membisu tidak bicara dengan penjedaan suku kata terakhir yakni –ra. Larik ketiga terdiri dari 10 suku kata: Awan di langit berarakarak dengan penjedaan pada suku kata terakhir yakni –rak. Larik keempat terdiri dari 10 suku kata: 73 Taher, op. cit., h. 47. . Langit biru alangkah indahnya dengan penjedaan pada suku kata terakhir yakni -nya. c. Pengaturan bunyi Pengaturan bunyi dalam bait tersebut menggunakan rima akhir berpola a- b-a-b yakni pada suku kata –tak, -ra, -rak, -nya. Pengulangan bunyi terjadi di larik kedua yakni suku kata Mu-, lut- pada kata Mulut dan –su pada kata membisu. Pengulangan bunyi juga terjadi di larik keempat yakni suku kata -kah pada kata alangkah dan -nya pada kata indahnya. Totalitas suara yang dihasilkan dari pengaturan larik tersebut yakni penggunaan suara yang lambat dan pendek karena jumlah suku kata yang sedikit pada tiap larik serta pengulangan rima akhir yang berulang. Selain itu, rendahnya suara berhubungan pula dengan pilihan kata yang yang menampilkan kesedihan seperti ‗Kalbu luluh Atmo luluh lantak’. Pilihan kata yang menunjukkan kesedihan tersebut memang dapat menggunakan ritme-ritme dengan suara tinggi, tetapi dengan pilihan kata selanjutnya yakni ‗Mulut membisu tidak bicara’ menegaskan bahwa adanya penggunaan suara rendah sebagai bentuk penghayatan terhadap pesan dalam puisi. Kemudian, pilihan kata ‗Awan di langit berarak- arak’ dan ‗Langit biru alangkah indahnya’ menegaskan pula bahwa nada yang hadir adalah kesedihan yang ada di tengah-tengah ketenangan latar waktu dan suasana, sehingga dari nada tersebut tercipta ritme dengan penggunaan suara rendah dan lambat. Pengkajian rima dan ritme lainnya dalam puisi esai “Manusia Gerobak” dapat dilihat pada bait berikut ini. Pegawai stasiun mencegatnya Ada syakwasangka di matanya Tubuh kecil kaku ditengoknya Orang mati dibawa ke mana-mana Terpejam diam tak bergerak Tak bernafas tak bersuara Si pegawai curiga, membentak . Orang mati dibawa ke mana-mana 74 a. Pengaturan larik Pengaturan larik dari puisi tersebut terdiri dari 8 larik dalam satu bait. Tiap larik dalam bait tersebut ditulis secara sejajar dengan penggunaan gaya repetisi di beberapa larik. Sama seperti pembahasan terhadap bait sebelumnya, jumlah kata maupun frasa yang digunakan dalam setiap larik pada bait di atas hampir sama, sehingga kecepatan dalam membaca setiap larik tersebut pun cenderung akan sama. b. Jumlah suku kata Jumlah suku kata dalam bait tersebut yakni larik pertama terdiri dari 10 suku kata: Pegawai stasiun mencegatnya dengan penjedaan pada suku kata –nya. Larik kedua terdiri dari 10 suku kata: Ada syakwasangka di matanya dengan penjedaan pada suku kata –nya. Larik ketiga terdiri dari 10 suku kata: Tubuh kecil kaku ditengoknya dengan penjedaan pada suku kata -cil, -ku, dan –nya. Larik keempat terdiri dari 12 suku kata: Orang mati dibawa ke manamana dengan penjedaan pada suku kata -na. Larik kelima terdiri dari 9 suku kata: Terpejam diam tak bergerak dengan penjedaan pada suku kata –jam, -am, dan –rak. Larik keenam terdiri dari 9 suku kata: Tak bernafas tak bersuara dengan penjedaan pada suku kata –fas dan –ra. Larik ketujuh terdiri dari 10 suku kata: Si pegawai curiga membentak dengan penjedaan pada suku kata –ga dan –tak. Larik kedelapan terdiri dari 12 suku kata: Orang mati dibawa ke manamana dengan penjedaan pada suku kata -na. c. Pengaturan bunyi Pengaturan bunyi dalam bait tersebut menggunakan rima akhir a-a-a-a-a-a- a-a yakni pada suku kata –nya, -nya, -nya, -na, -rak, -ra, -tak, -na. Bait tersebut juga memiliki beberapa pengulangan bunyi. Pengulangan bunyi yang terjadi 74 Taher, op. cit., h. 51. . dalam satu larik misalnya pada larik keenam yakni suku kata tak- pada frasa ‗Tak berna fas’ dan ‗tak bersuara’. Pengulangan bunyi yang terjadi dalam larik yang berbeda misalnya pada larik keempat dan kedelapan yakni pengulangan penuh susunan kata ‗Orang mati dibawa ke mana-mana’. Totalitas suara yang dihasilkan dari pengaturan larik tersebut yakni penggunaan suara yang tinggi, cepat, dan pendek. Pada bait tersebut, ritme yang muncul adalah tingginya suara dengan menggunakan pilihan kata yang yang menampilkan kecurigaan dan kemarahan seperti ‗Ada syakwasangka di matanya’; ‗Orang mati dibawa ke mana-mana’; ‗Si pegawai curiga, membentak’. Pilihan kata mati menunjukkan nada kasar sehingga ritme yang muncul yakni dengan suara tinggi. Jumlah suku kata yang sedikit pada tiap larik serta pengulangan bunyi untuk penegasan sehingga menghasilkan suara yang pendek dan cepat. Bait selanjutnya, Atmo di depan menghela gerobak Istri di belakang mengawasi Beriringan di tengah deru kendaraan Pagi Siang Malam 75 a. Pengaturan larik Pengaturan larik dari puisi tersebut terdiri dari 6 larik dalam satu bait. Tiap larik dalam bait tersebut ditulis sejajar. Larik keempat, kelima, dan keenam hanya terdiri dari dua satu kata. Perbedaan jumlah kata dalam tiap larik menciptakan totalitas suara yang berbeda dari awal larik menuju akhir. b. Jumlah suku kata Jumlah suku kata dalam bait tersebut yakni larik pertama terdiri dari 11 suku kata: Atmo di depan menghela gerobak dengan penjedaan pada suku kata terakhir yakni –bak. Larik kedua terdiri dari 10 suku kata: Istri di belakang mengawasi dengan penjedaan pada suku kata terakhir yakni –si. 75 Taher, op. cit., h. 63.