.
C. Unsur-unsur Pembangun Puisi Esai “Manusia Gerobak”
1. Tema
Tema dari puisi esai ini adalah ketidakpedulian sosial yang dilakukan oleh beberapa pihak terhadap kaum papa. Beberapa kutipan puisi
esai “Manusia Gerobak” yang menggambarkan ketidakpedulian tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut ini. Dibawanya anaknya berobat
Ke Rumah sakit dan Puskesmas Dengan selembar sepuluh ribu
Baik dokter maupun perawat Tak menggubris wajahnya yang memelas
Menolak Atmo tanpa ragu
1
Dihelanya gerobak menyusur Jakarta Orang sibuk sendiri-sendiri
Padatnya jalanan tiada terhingga Tapi tak ada yang peduli
2
Sawah ladang kian menyempit Kehidupan petani bertambah sulit
Perumahan dan pabrik industri Mengusir petani setiap hari
3
Kondisi ketidakpedulian sosial ditampilkan secara jelas sebagaimana kutipan di atas. Kejelasan tersebut yakni dengan memanfaatkan kata
‗tak menggubris wajahnya yang memelas’; ‗menolak Atmo tanpa ragu’; ‗orang sibuk
sendiri- sendiri’; ‗tapi tak ada yang peduli’; ‗mengusir petani setiap hari’.
Ketidakpedulian sosial yang ditampilkan tersebut merujuk pada pemerintah, sebagian masyarakat perkotaan, serta pengonversi lahan pertanian.
2. Rasa
Rasa yang muncul dalam puisi esai “Manusia Gerobak” adalah rasa tidak adil atau diskriminasi yang diakibatkan oleh tingginya ketimpangan sosial yang
1
Elza Peldi Taher, Manusia Gerobak, Depok: PT Jurnal Sajak Indonesia, h. 68.
2
Ibid, h. 48.
3
Ibid, h. 55.
.
terjadi di kota metropolitan dan di zaman industrialisasi seperti sekarang. Rasa tersebut tercermin dari beberapa kutipan berikut ini.
Jenazah mungil dimasukkan gerobak Hendak dikubur di mana anak tersayang
Bukankah kuburan telah penuh sesak Yang sisa hanya buat yang beruang
4
Atmo tahu mahalnya biaya pemakaman Biaya ini dan itu tidak sedikit
Atmo tak punya apa-apa, tak ada simpanan Di Jakarta orang melarat jangan sakit
5
Mencari kerja ternyata susah Buruh bangunan dia tak bisa
Tanpa ilmu tanpa ijazah Kerja kantoran, siapa mau terima?
6
Terdapat beberapa kata yang mengandung rasa tidak adil atau diskriminasi dalam kutipan-kutipan di atas. Hal tersebut bisa diamati pada larik
‗bukankah kuburan telah penuh sesak’; ‗yang sisa hanya buat yang beruang’. Ketimpangan
sosial dalam larik-larik tersebut menunjukkan kondisi adanya diskriminasi pelayanan publik. Hanya orang-orang mampu saja yang dapat menikmati fasilitas
publik sebagaimana larik tersebut yang menyebut tentang pemakaman umum. Larik lainnya yakni
‗di Jakarta orang melarat jangan sakit’ menampilkan realitas hidup yang jarang berpihak pada rakyat miskin. Realitas tersebut
diperparah dengan adanya ketidakpedulian sosial. Larik selanjutnya yakni ‗tanpa
ilmu tanpa ijazah’, ‗kerja kantoran, siapa mau terima?’ menampilkan bukan hanya sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan melainkan juga menampilkan
akar dari permasalahan tersebut yakni pendidikan masyarakat miskin yang masih kurang tersentuh oleh pemerintah. Rendahnya perhatian pemerintah terhadap hak
memperoleh pendidikan bagi rakyat miskin berujung pada kurangnya keterampilan, keahlian, maupun bekal akademis lainnya.
4
Ibid, h. 48.
5
Ibid, h. 52.
6
Ibid, h. 58.
.
3. Nada
Puisi esai “Manusia Gerobak” menampilkan nada kesedihan, perjuangan, dan ketabahan seorang tokoh bernama Atmo yang disertai sindiran narator dalam
menampilkan dan menyikapi ketidakpedulian masyarakat terhadap kaum papa yang semakin besar.
Ingin hatinya menangis Tapi air mata terkuras habis
Tak ada satu pun yang peduli Hanya anak lakinya yang menemani
7
Larik-larik di atas menunjukkan kesedihan yang dialami oleh tokoh. Kesedihan tersebut berkenaan dengan meninggalnya anak dari tokoh tersebut
yang diwarnai dengan ketidakberdayaannya untuk mengurus pemakaman sang putri di kota Jakarta. Hal ini terlihat dengan adanya larik yang menyebutkan
bahwa ‗hanya anak lakinya yang menemani’.
Bagai pipit dia mengembara Mematuki remah-remah orang kota
Meski yang dipungut sampah tersisa Tetap saja dia ditatap penuh curiga
8
Tak tahan didesak tagihan uang Atmo memilih menggelandang
Istri dan dua anaknya dibawa kerja Dengan gerobak mengembarai Jakarta
9
Nada perjuangan yang muncul dalam puisi esai “Manusia Gerobak” merujuk pada daya juang tokoh untuk tetap berusaha menyambung hidup
meskipun dengan pekerjaan kasar. Halangan apa pun tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap berusaha menghidupi keluarga.
Mereka seolah sepakat dan kuat Melihat anaknya terbaring sekarat
Akhirnya dengan lesu ia berangkat Di atas gerobak anaknya coba dirawat
10
Nada kecewa dalam bait tersebut akhirnya berubah menjadi ketabahan tokoh yang tetap merawat anaknya yang sakit. Nada ketabahan ini
7
Ibid, h. 53.
8
Ibid, h. 60.
9
Ibid, h. 61.
10
Ibid, h. 68.
.
memperlihatkan watak tokoh yang lebih memilih mencari solusi dengan caranya sendiri dibanding bersusah payah menuntut keadilan.
Gerobaknya adalah istana Tempat bermukim sampah semesta
Di puncak tumpukan barang-barang sisa Kedua anaknya duduk bertahta
Berkuasa penuh dan digjaya Lambang kemiskinan umat manusia
11
Orang-orang yang baru keluar dengan bahagia Wajahnya kenyang tiada terkira
Dari rumah makan siap saji Restoran bergambar daging di tengah roti
Bundar dan besar, nikmat tampaknya Maka mereka semua ceria
...
12
Nada sindiran terlihat dalam larik-larik di atas. Larik seperti ‗berkuasa
penuh dan digjaya’ ‗lambang kemiskinan umat manusia’ menyindir adanya kondisi kemiskinan yang semakin parah dan tidak teratasi oleh pihak yang
berwenang. Larik selanjutnya seperti ‗orang-orang yang baru keluar dengan
bahagia’ ‗wajahnya kenyang tiada terkira’ menyindir pula ketidakpedulian masyarakat menengah ke atas dengan kondisi di sekitar mereka. Mereka seolah
terlena dengan suka ria sementara banyak kaum papa yang membutuhkan perhatian.
4. Amanat
Amanat atau pesan yang ingin disampaikan oleh penulis adalah semakin tingginya ketidakpedulian sosial yang menjadi ciri bahwa bangsa kita tengah
mengalami krisis sosial. Hal ini dapat diwakili oleh beberapa larik dalam puisi esai “Manusia Gerobak” berikut ini.
Kendaraan melintas pulang pergi Mobil mulus warna-warni
Di dalamnya orang berbaju rapi Tak satu pun dari mereka yang peduli
Atmo, anak-anak, dan istri Termangu-mangu sendiri
13
11
Ibid, h. 63.
12
Ibid, h. 65.
13
Ibid, h. 64.