Pusat Pengisahan Unsur-unsur Pembangun Puisi Esai “Manusia Gerobak”

65

BAB IV KRITIK SOSIAL DALAM PUISI ESAI

“MANUSIA GEROBAK” KARYA ELZA PELDI TAHER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DI SMA Kritik sosial sebagai salah satu bentuk komunikasi mempunyai peran penting untuk menjadi kontrol sosial proses bermasyarakat. Kritik sosial dapat diwujudkan dengan mengamati dan membandingkan secara teliti kondisi-kondisi yang berbeda dalam suatu lingkup masyarakat serta melakukan penilaian terhadap kondisi tersebut. Tindakan mengkritik dapat dilakukan oleh siapapun, hal ini karena setiap orang selalu dihadapkan pada kondisi-kondisi tertentu dalam kehidupan bermasyarakat. Puisi esai “Manusia Gerobak” karya Elza Peldi Taher menunjukkan kritik sosial untuk pemerintah, masyarakat, dan para pihak yang terkait dengan konversi lahan pertanian. Kritik-kritik sosial yang dihadirkan pun beragam sesuai dengan sasaran kritik. Misalnya, kritik terhadap pemerintah dengan kebijakan yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, sikap masyarakat yang tak acuh, serta para pengonversi lahan pertanian yang bersikap oportunis. Semuanya dihadirkan untuk menampilkan realitas yang terjadi di tengah masyarakat kita. Fakta- fakta sosial dalam puisi esai “Manusia Gerobak” tersebut berupa sikap memarginalisasikan dan mendiskriminasikan sebagian pihak oleh pihak lain. Fakta-fakta sosial yang menjadi sorotan penting adalah kritik yang sebagian besar ditujukan kepada pemerintah karena kinerja mereka yang kurang maksimal dalam menyejahterakan masyarakat. Kinerja dalam menyejahterakan bukan berarti hanya berkutat di bidang ekonomi, melainkan juga dalam mencerdaskan masyarakat. Banyaknya kritik terhadap pemerintah tersebut menjadikan pemerintah sebagai pihak yang dipandang paling bertanggung jawab atas terciptanya kehidupan masyarakat yang penuh dengan permasalahan sosial seperti yang ditampilkan dalam puisi esai “Manusia Gerobak” ini.

A. Kritik Sosial dalam Puisi Esai “Manusia Gerobak” karya

Elza Peldi Taher Puisi esai “Manusia Gerobak” menampilkan kritik-kritik sosial yang ditujukan kepada beberapa pihak. Penjelasan mengenai pihak-pihak yang menjadi sasaran kritik sosial sekaligus kritik sosial yang terkandung dalam puisi esai “Manusia Gerobak” tersebut sebagai berikut.

1. Kritik terhadap Pemerintah

a. Kritik terhadap Sikap Diskriminatif Pemerintah

Kritik terhadap sikap diskriminatif pemerintah salah satunya dapat dilihat pada bait berikut ini. Jenazah mungil dimasukkan gerobak Hendak dikubur di mana anak tersayang Bukankah kuburan telah penuh sesak Yang sisa hanya buat yang beruang 1 Setelah penolakan yang dilakukan oleh pihak Puskesmas dan rumah sakit, Atmo harus menerima kenyataan bahwa putrinya meninggal dunia. Di tengah kedukaannya tersebut, Atmo harus menerima kenyataan bahwa dirinya tidak mampu untuk menguburkan jenazah putrinya di Jakarta. Biaya pengobatan saja tidak dapat terpenuhi, apalagi harus membayar sejumlah uang untuk mengurus jenazah seperti sewa lahan pemakaman. Peristiwa ini diperkuat dengan realitas mengenai sulitnya menguburkan jenazah di Jakarta seperti yang ditunjukkan pada catatan kaki kedua dalam puisi esai “Manusia Gerobak” berikut ini. Jakarta mengalami krisis lahan pemakaman. Dari 589,65 hektar luas pemakaman, lahan yang siap pakai untuk pemakaman baru di seluruh wilayah Jakarta hanya 31,8 hektar. Di atas kertas, lahan itu diperkirakan cukup hingga 2013. Biaya pemakaman jenazah baru sebenarnya sangat murah dan sudah diatur secara 1 Elza Peldi Taher, Manusia Gerobak, Depok: Jurnal Sajak, 2013, h.48. jelas oleh Pemerintah Jakarta. Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pemakaman, pemerintah menetapkan retribusi pelayanan pemakaman yang besarnya sesuai Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2006. Biaya pemakaian tempat pemakaman bervariasi dari nol sampai paling mahal seratus ribu rupiah untuk jangka waktu tiga tahun. Tetapi kenyataannya, biaya taka resmi pemakaman bisa mencapai Rp2,5 juta. Pada tahun 2000, Dinas Pemakaman memproyeksikan penduduk Jakarta berjumlah 8.385.639 jiwa, rata-rata pelayanan jenazah 100 jiwa per hari atau 36.500 jiwa per tahun. Artinya, tingkat kematian penduduk pada tahun itu adalah 0,44 persen. Lima tahun kemudian, jumlah penduduk meningkat menjadi 8.699.600 jiwa dengan rata-rata pelayanan 110 jenazah per hari atau 40.150 jiwa per tahun. Tingkat kematian juga naik menjadi 0,46 persen. Angka ini kembali naik menjadi 0,50 persen pada tahun 2007. Proyeksi penduduk Jakarta saat itu berjumlah 8.814.000 jiwa dengan rata-rata pelayanan 120 jenazah per hari atau 43.800 per tahun. Dari ketiga data tersebut, Dinas Pemakaman menarik kesimpulan, persentase tingkat pelayanan kematian di Jakarta mencapai 0,46 persen per tahun. Jika diasumsikan tiap tahun tingkat kematian mencapai 40 ribu jiwa dan orang harus mengeluarkan biaya pemakaman sekitar dua juta per satu jenazah, jumlah uang yang beredar mencapai 80 miliar per tahun. Uang ini berasal dari akumulasi retribusi sewa lahan, biaya ambulans, penyewaan tenda, pembuatan batu nisan, pengadaan rumput, pemeliharaan makam, dan upah para penggali. 2 Kebijakan atas biaya sewa lahan yang ditetapkan oleh pemerintah pada kenyataannya masih disalahgunakan oleh oknum-oknum dalam pemerintahan. Ketidaktegasan pemerintah terhadap para pegawainya ini tidak mewujudkan tekad pemerintah untuk bersikap adil. Lahan pemakaman yang memang sudah sangat terbatas dijadikan lahan komersial sehingga merugikan masyarakat yang kurang mampu. Larik tersebut mewakili kenyataan perlakuan diskriminatif yang harus dihadapi oleh masyarakat miskin. Entah disadari atau tidak oleh pemerintah, masyarakat dengan tingkat finansial tinggi cenderung selalu diutamakan dalam segi pelayanan. Atmo sebagai salah satu contoh masyarakat miskin metropolitan —seperti halnya dengan orang-orang yang senasib dengannya— selalu mendapatkan perlakuan setengah hati. 2 Taher, op. cit., h. 51. Perlakuan seperti inilah yang salah satunya terjadi pada kisah nyata yang dialami oleh seorang pria bernama Supriono pada tahun 2005 yang lalu. Pada tanggal 6 Juni 2005 pertama kali muncul di harian Warta Kota dan Kompas, seorang pria bernama Supriono menggendong jenazah anaknya yang berusia tiga tahun bernama Khaerunnisa, pria tersebut diperiksa setelah petugas KRL ekonomi jurusan Jakarta Bogor menuju Citayam, melihat gelagatnya yang membawa jenazah. Awalnya, petugas KRL mengira jenazah tersebut adalah korban pembunuhan. Padahal, Supriono hendak pergi ke tempat kerabatnya di Citayam untuk mengurus jenazah putrinya tersebut. 3 Hal tersebut dikarenakan Supriono yang tidak mampu membiayai pemakaman putrinya, Khaerunisa. Dia hanya mampu membawa putrinya tersebut dengan gerobak yang dimilikinya.

b. Kritik terhadap Ketidakseriusan Pemerintah dalam Menangani

Pelayanan Fasilitas Publik Ketegasan pemerintah dalam menangani pelayanan fasilitas publik terlihat kurang serius. Bait berikut ini mewakili gambaran terhadap kritik tersebut. Ia mesti waspada, mesti berhati-hati Menunggu kereta ekonomi, kereta rakyat Untuk duduk merdeka di atap gerbong 4 Tekad Atmo untuk membawa jenazah putrinya ke kampung halaman dia wujudkan dengan memilih cara menumpang kereta ekonomi secara gratis. Tentu saja hal ini dikarenakan Atmo tidak mampu untuk membeli karcis. Kondisi seperti ini membuatnya berinisiatif untuk duduk di atap gerbong seperti yang sering dilakukan oleh segelintir masyarakat yang tidak tertib maupun yang memang tidak mampu membeli karcis. Ketersediaan fasilitas umum, dalam hal ini transportasi massal yang terjangkau dan layak pakai, rupanya tetap menjadi tantangan bagi pemerintah. Hal ini sejalan dengan keterangan bahwa pertumbuhan penduduk kota jauh lebih pesat dari kemampuan pemerintah di negara sedang berkembang seperti Indonesia untuk menyediakan fasilitas pelayanan yang memadai. Semakin besar suatu kota, masalah yang dihadapinya lebih banyak dan 3 Iskandar Zulkarnaen, Peristiwa Tragis Supriono Itu Sudah Lama Terjadi, www.kompas.com , 22 Juni 2011. 4 Taher, op. cit., h. 50.