.
mengeluarkan lebih banyak daya lagi untuk mengaduh, dia lebih memilih untuk bertindak langsung dalam menyelesaikan permasalahannya.
Pegawai stasiun mencegatnya Ada syakwasangka di matanya
Tubuh kecil kaku ditengoknya Orang mati dibawa ke mana-mana
Terpejam diam tak bergerak Tak bernafas tak bersuara
Si pegawai curiga, membentak Orang mati dibawa ke mana-mana
34
Imajeri dengar pada larik ‗Si pegawai curiga, membentak’ mengesankan
ketegasan pegawai stasiun bercampur dengan sikap memandang sebelah mata terhadap orang yang berpenampilan kumuh, sehingga pegawai stasiun menaruh
curiga pada orang tersebut. Dua anaknya bermain di dalam gerobak
Atmo duduk istirahat di sebelahnya Kadang mereka turun dan berteriak
Bercengkerama memanggili ibunya
35
Imajeri dengar pada larik ‗Bercengekrama memanggili ibunya’
mengesankan suasana riang. Pagi hari Atmo mencari-cari
Hilang lenyap jejak sang istri Anaknya menangis meraung-raung
Membuat Atmo semakin bingung
36
Imajeri dengar pada larik ‗Anaknya menangis meraung-raung’
mengesankan suasana kesedihan. Hari hampir malam
Jenazah dikebumikan Di liang makam
Dikumandangkan adzan Adzan bergema
Di kuburan Indah syahdu
37
Imajeri dengar pada larik ‗Dikumandangkan adzan’ dan ‗Adzan bergema’
yang mengiringi prosesi pemakaman menekankan hadirnya nilai keagamaan. Nilai keagamaan tersebut menjadikan penggambaran terhadap prosesi pemakaman
34
Taher, op. cit., h. 51.
35
Taher, op. cit., h. 63.
36
Taher, op. cit., h. 67.
37
Taher, op. cit., h. 73.
.
semakin sakral. Penghayatan terhadap iringan suara adzan menambah kesan suasana haru dan penuh takzim atas prosesi pemakaman yang digambarkan dalam
bait tersebut. c.
Imajeri sentuh Lengan satunya mengapit jemari mungil
Anak lelakinya yang berbaju lusuh Tertatih mengejar dengan langkah kecil
Mengiringi bapaknya tanpa mengaduh
38
Jenazah mungil dimasukkan gerobak Hendak dikubur di mana anak tersayang
Bukankah kuburan telah penuh sesak Yang sisa hanya buat yang beruang
39
Atmo meraih jasad putrinya Diselimuti sarung kumal, lalu pelan dibopongnya
Diraihnya lengan mungil anak lelakinya Agar selalu ada disampingnya
40
Imajeri sentuh pada larik ‗Lengan satunya mengapit jemari mungil’;
‗Jenazah mungil dimasukkan gerobak’; ‗Atmo meraih jasad putrinya’ menimbulkan kesan sentuhan halus namun kuat. Tokoh mengapit jemari anaknya
sebagai upaya agar sang anak tidak tertinggal sementara dia juga tengah risau mencari cara mengurus jenazah putrinya.
Sampah kotoran kota Jakarta Diangkut keranjang di punggungnya
Benarkah hanya sampah belaka Persembahan orang kaya bagi yang papa?
41
Imajeri sentuh pada larik ‗Diangkut keranjang di punggungnya’
mengesankan sentuhan yang kuat dan pasti karena sampah maupun barang rongsok memiliki nilai berharga bagi tokoh tersebut.
Rezeki pas-pasan Rela mereka sisihkan
Untuk disisipkan Di tangan Atmo
Tapi tak cukup
38
Taher, op. cit., h. 47.
39
Taher, op. cit., h. 48.
40
Taher, op. cit., h. 50.
41
Taher, op. cit., h. 59.
.
Untuk menyewa ambulans
42
Imajeri sentuh pada larik ‗Untuk disisipkan’ dan ‗Di tangan Atmo’
mengesankan sentuhan lembut, kuat, dan pasti. Kesan sentuhan itu muncul atas pemahaman bahwa para penderma tersebut dengan penuh keikhlasan bersedia
membantu Atmo meskipun sama-sama miskin.
7. Gaya Bahasa
Penggunaan gaya bahasa banyak dimanfaatkan dalam puisi esai ini. Gaya bahasa tersebut menunjang penggambaran terhadap fakta sosial yang dihadirkan.
Beberapa gaya bahasa yang digunakan adalah sebagai berikut. a.
Repetisi Gaya repetisi atau pengulangan dalam puisi esai “Manusia Gerobak” ini
beberapa terdiri dari pengulangan kata maupun kalimat yang bertujuan untuk lebih menekankan pesan. Gaya repetisi yang digunakan dalam puisi ini antara lain
sebagai berikut. Pegawai stasiun mencegatnya
Ada syakwasangka di matanya Tubuh kecil kaku ditengoknya
Orang mati dibawa ke mana-mana Terpejam diam tak bergerak
Tak bernafas tak bersuara Si pegawai curiga, membentak
Orang mati dibawa ke mana-mana
43
Bait tersebut memiliki gaya repetisi dengan bermacam ragam. Pengulangan kalimat sepenuhnya terjadi pada larik keenam. Kalimat tersebut
sebelumnya pernah hadir pada larik keempat yakni ‗Orang mati dibawa ke mana-
mana’. Pengulangan ini menekankan pesan dalam bait yakni kecurigaan pegawai stasiun terhadap ketidakwajaran seseorang yang membawa jenazah dengan tangan
kosong. Bait di atas juga memiliki ragam repetisi dengan pengulangan sebagian yakni kata ganti
–nya pada kata ‗mencegatnya’; ‗matanya’; ‗ditengoknya’ untuk menegaskan sosok pegawai stasiun yang sangat menaruh curiga.
42
Taher, op. cit., h. 71.
43
Taher, op. cit., h. 51.
.
Atmo tahu mahalnya biaya pemakaman Biaya ini dan itu tidak sedikit
Atmo tak punya apa-apa, tak ada simpanan Di Jakarta orang melarat jangan sakit
44
Gaya repetisi dalam bait di atas ditunjukkan dengan bentuk pengulangan kata
‗tak’ di larik ketiga yakni ‗Atmo tak punya apa-apa, tak ada simpanan’. Pengulangan tersebut untuk menegaskan bahwa tokoh bernama Atmo benar-benar
dilanda kemiskinan. Kemiskinan tersebut berimbas pada ketidakberdayaannya untuk mengurus jenazah putrinya secara layak.
Atmo terdesak Atmo terjepit Kebutuhan hidup kian meningkat
Anak menangis makan pun sulit Perut yang kosong makin melekat
45
Pengulangan kata Atmo dan awalan ter- yang menyertai kata kerja ‗desak’
dan ‗jepit’ memiliki makna ‗tertimpa’. Pengulangan tersebut bertujuan untuk menegaskan nasib Atmo yang sudah dilanda kemiskinan dan kemalangan yang
bertubi-tubi. Lalu kota mulai menggoda
Kata orang di sana lah surga Semua barang di sana tersedia
Uang datang dengan mudahnya Di Jakarta, kata orang
Mencari uang lebih gampang Karena di sana semua uang berdiam
Bertumpuk-tumpuk siang dan malam
46
Pengulangan susunan kata ‗Kata orang...’ pada dua bait tersebut
menegaskan adanya kecenderungan masyarakat Indonesia yang masih mudah diperdaya oleh suatu hal yang tidak pasti, misalnya meyakini bahwa kehidupan di
perkotaan lebih baik dibanding pedesaan. Jalanan demi jalanan
Rumah demi rumah
44
Taher, op. cit., h. 52.
45
Taher, op. cit., h. 56.
46
Taher, op. cit., h. 57.
.
Sampah demi sampah Memulung dengan tabah
Sisa nasib dan remah-remah
47
Pengulangan kata ‗demi’ menegaskan daya juang tokoh dalam mencari nafkah
begitu kerasnya. Mandi kalau ada air
Makan kalau dapat uang Dengan gerobak hidup mengalir
Pada langit tiada berhutang
48
Pengulangan kata ‗kalau’ menegaskan keadaan tak menentu yang dialami tokoh.
Kala siang terik menyengat Pohonan kota tempat berteduh
Kala hujan menetes deras Pohonan kota tempat berteduh
Kala malam kedinginan Kepada siapa mesti mengaduh?
49
Pengulangan kata ‗Kala’ menegaskan bahwa di setiap waktu yang dilalui
tokoh penuh dengan kesengsaraan. Pengulangan kata ‗Pohonan’ menegaskan pula
bahwa tokoh merupakan seorang tunawisma. Dia tidak memiliki tempat berlindung kecuali apa yang ditemukannya, misalnya bernaung di bawah pohon.
Hari ini makan Hari ini cara makan lagi
Besok mungkin makan Besok harus mencari lagi
50
Pengulangan kata ‗Hari’ dan ‗Besok’ sama seperti pengulangan kata
‗Kala’ sebelumnya. Pengulangan kata-kata tersebut semakin menegaskan bahwa setiap waktu yang dihadapi tokoh digambarkan sebagai kehidupan yang keras dan
berat. Dikenangnya senyum putrinya
Rengekannya
47
Taher, op. cit., h. 59.
48
Taher, op. cit., h. 62.
49
Taher, op. cit., h. 62.
50
Taher, op. cit., h. 66.
.
Tangisannya Tawanya
Raut wajahnya
51
Pengulangan kata ganti –nya yang merujuk pada sang putri menegaskan
bahwa tokoh sangat kehilangan putrinya. Kenangan-kenangan bersama putrinya mengiri saat-saat di mana tokoh tersebut harus mengurus jenazah putrinya.
―Inna lilah wa inna ilaihi rojiun‖ segenap hatinya tiba-tiba jadi malam
―Inna lilah wa inna ilaihi rojiun‖ hati Atmo seolah karam
52
... Orang-orang miskin
Orang-orang susah Sama-sama miskin
Sama-sama susah ...
53
Adzan yang mengiring manusia dilahirkan Adzan berselimut kain kafan
Adzan memanggil ingatan ...
54
Bentuk pengulangan pada bait-bait di atas menegaskan nilai keagamaan yang terkandung dalam puisi “Manusia Gerobak”.
b. Paralelisme
Penggunaan gaya paralelisme atau kata-kata dengan makna yang sama juga dimanfaatkan dalam puisi esai “Manusia Gerobak” sebagaimana yang dapat
ditunjukkan dalam bait-bait berikut ini. Kalbu Atmo luluh lantak
Mulut membisu tidak bicara Awan di langit berarak-arak
Langit biru alangkah indahnya
55
51
Taher, op. cit., h. 69.
52
Taher, op. cit., h. 70.
53
Taher, op. cit., h. 73.
54
Taher, op. cit., h. 74.