31
BAB III PEMBAHASAN PUISI ESAI “MANUSIA GEROBAK”
KARYA ELZA PELDI TAHER
A. Biografi
Elza Peldi Taher lahir di Muara Labuh, 18 Desember 1962. Dia menempuh studi di FISIP Universitas Indonesia. Elza sudah mulai menulis artikel
sejak tahun pertama duduk di bangku perkuliahan. Artikel pertamanya yang dimuat adalah artikel berjudul “Modernisme Islam” di media cetak Panji
Masyarakat. Selain itu, Elza aktif menulis di berbagai media massa antara lain Kompas, Media Indonesia, Matra, Femina, dan Republika. Selain berkecimpung
di dunia tulis-menulis, kepeduliannya terhadap kebudayaan dan isu-isu sosial diwujudkan dengan mendirikan Kelompok Studi Proklamasi pada 1983
—1988 bersama beberapa rekan-rekannya. Ia juga mendirikan Lembaga Kajian
Masyarakat Indonesia pada tahun 1988. Kemudian, pada tahun 1996, Elza Peldi Taher bersama Komaruddin Hidayat dan Nurcholis Madjid mendirikan SMU
Madania. Pekerjaan tetap pria yang bertempat tinggal di Pondok Cabe, Tangerang
Selatan ini adalah General Manager PT Duo Rajawali Proraga, FutsalCamp, Ciputat, Tangerang Selatan. Elza juga menjadi editor beberapa buku, antara lain
Reaktualisasi Hukum Islam: 70 Tahun Munawir Sjadzali Paramadina, 1993, Mahasiswa dalam Sorotan, Indonesia dan Masalah Pembangunan, Agama dan
Kekerasan Kelompok Studi Proklamasi, 1984, Pintu-pintu Menuju Tuhan Paramadina, 1994, Demokrasi dan Proses Demokratisasi Indonesia
Paramadina, 1993, dan Soen’an Hadi Poernomo, Birokrat Unik LKMI, 2011.
Elza juga menyusun kutipan-kutipan Cak Nur yang dibukukan bersama rekannya Budi Munawar-Rachman dengan judul Satu Menit Pencerahan Cak Nur.
Elza Peldi Taher menulis lima buah puisi esai yang disusun dalam kumpulan puisi esai Manusia Gerobak. Puisi esainya tersebut sudah
.
diperbincangkan salah satunya lewat media televisi. Beberapa stasiun televisi seperti TVRI dan SCTV pernah menjadikan isu sosial yang dihadirkan dalam
puisi esai tersebut sebagai topik utama talkshow mereka. TVRI mengangkat perbincangan mengenai puisi esai “Manusia Gerobak” dengan judul “Manusia
Gerobak vs Pasal 34 UUD 1945”. Pada Ramadhan tahun 2013 silam, SCTV
pernah mengangkat kisah dalam puisi esai “Manusia Gerobak” menjadi empat buah film seri. Pria beralamat email elzataheryahoo.com ini memiliki 5 buah
akun twitter, yakni elzataher, motivasiilmu, tweetbijak, filecaknur, dan kamu_perlutahu.
B. Sinopsis Puisi Esai “Manusia Gerobak”
Puisi esai berjudul “Manusia Gerobak” mengisahkan kehidupan Atmo, seorang petani yang terpaksa melakukan urbanisasi. Atmo hidup bersama istri dan
dua orang anaknya. Atmo tinggal di sepetak bangunan milik orang lain dengan penghasilannya yang hanya cukup untuk makan sekadarnya.
Namun masa telah berubah, sawah garapan kini menjadi pabrik-pabrik industri dan perumahan. Pembangunan semena-mena, sawah tergerus, buruh tani
kehilangan pekerjaan, dan para pemilik tanah ikut bimbang sehingga memutuskan untuk menjual tanah mereka. Saat itulah, Atmo terpengaruh kabar dari orang lain
untuk pergi berurbanisasi. Mereka beranggapan bahwa di kota besar uang bisa mengalir dengan derasnya, namun sayang Atmo tak pernah mendengar bahwa
aliran uang tersebut bukan untuk orang-orang sepertinya yang pergi berurbanisasi tanpa bekal. Atmo tak punya pilihan, pekerjaan sebagai buruh tani bahkan kini
menjadi persaingan, karena itulah Atmo memutuskan untuk pergi ke Jakarta beserta istri dan anak-anaknya.
Setibanya di Jakarta, Atmo hanya mampu menyewa kamar di tepi kali Ciliwung. Dia lalu memutuskan untuk menjadi pemulung sampah karena
menyadari tidak ada keahlian yang dia miliki untuk bisa bekerja secara layak. Dengan pekerjaan seperti itu, setidaknya Atmo mampu mengisi perut istri dan
anak-anaknya meskipun tak pernah ada uang yang tersisa untuk keperluan lain.
.
Keadaan ini akhirnya harus berubah menjadi lebih tragis tatkala Atmo tidak mampu membayar sewa kontrak kamar dan akhirnya hidup menggelandang
bersama keluarganya. Gerobak sampahnya lalu menjadi tempat bernaung dan mencari rezeki. Tidak ada alamat tepat, mereka berpindah-pindah, menyusuri
jalanan Jakarta, mengumpulkan sampah dan rongsokan. Atmo tidak menyerah dalam menjalani kehidupan yang semakin sulit. Dia
harus tetap berjuang meskipun hanya makan dua hari sekali. Anak-anaknya masih belum mengerti tentang sulitnya kehidupan, mereka masih bisa tertawa riang
asalkan kedua orangtuanya tetap bersama mereka. Namun, kesetiaan istri Atmo ternyata goyah, dia meminta untuk berpisah. Atmo jelas tidak ingin berpisah,
hidup sulit dan senang ingin dijalaninya bersama-sama. Istri Atmo kemudian memutuskan untuk kabur, meninggalkan suami dan
anak-anak yang masih membutuhkannya. Atmo terpukul, namun dia harus tetap bertahan, entah ke mana harus mencari istrinya, anak-anaknya lebih penting.
Kondisi putri kecilnya yang masih membutuhkan ASI pun semakin mengenaskan. Atmo lalu memberikan susu formula tak layak pakai yang dia temukan kepada
putrinya. Atmo tak paham susu itu berbakteri. Putrinya langsung jatuh sakit terkena bakteri penyebab diare.
Atmo hilir mudik ke Puskesmas dan rumah sakit bermodalkan uang sepuluh ribu rupiah. Dia berharap pihak Puskesmas atau rumah sakit mau
menerima dan menolong putrinya. Namun kenyataan yang dihadapi berbeda, besar usahanya ternyata tidak membuahkan hasil, pihak Puskesmas atau pun
rumah sakit dengan tegas menolaknya. Pertolongan yang tidak kunjung datang membantu malaikat maut
mencabut nyawa putri kecilnya. Atmo sangat terpukul. Ujian demi ujian dijalaninya dengan tabah. Dia tidak ingin mengeluh, maka dari itu dia putuskan
untuk mengurus jenazah putrinya dengan layak di kampung halaman. Di tengah keramaian Jakarta, ia memutuskan untuk pergi ke stasiun, menumpang kereta
ekonomi menuju kampung halamannya. Perjuangan Atmo tidak berhenti di situ, sesampainya di stasiun, Atmo
memutar otak bagaimana caranya menumpang kereta secara gratis. Saat tekadnya
.
sudah bulat untuk menumpang duduk di atas gerbong kereta, petugas kereta api menyadari keanehan gelagat Atmo. Petugas itu dengan penuh kecurigaan mulai
menginterogasi Atmo. Bentakan demi bentakan ditujukan pada Atmo. Kecurigaan petugas bertambah tatkala mengetahui bahwa yang dibawa Atmo adalah jenazah
seorang balita. Petugas tetap tidak percaya meskipun Atmo telah menjelaskan seterang-terangnya bahwa dia hanya ingin pulang kampung untuk menguburkan
jenazah putrinya. Akhirnya, Atmo dibawa ke kantor polisi. Kesulitan tidak berakhir di situ saja, di kantor polisi petugas kepolisian
memerintahkan agar putri Atmo diautopsi. Atmo berusaha setegar mungkin untuk kembali menjelaskan bahwa dia hanya ingin menguburkan putrinya karena tak
ada tanah pekuburan yang mampu disewanya di Jakarta. Kabar tentang seorang pria gelandangan yang membawa jenazah putrinya ke mana-mana kemudian
menyebar di kalangan orang papa. Seorang tukang bajaj yang iba dengan nasib Atmo lalu membantunya untuk menumpang bajaj. Dia bersedia mengantarkan
Atmo ke mana saja dia butuhkan. Atmo kemudian pergi ke rumah pemilik kontrakannya yang dulu.
Setibanya di sana, dia menceritakan nasib yang menimpanya. Ibu Sri, sang pemilik kontrakan tersebut tidak mampu menahan rasa ibanya. Sejurus kemudian,
lewat mulut Ibu Sri tersebarlah kabar tentang kemalangan Atmo kepada para tetangganya. Mereka sepakat untuk mengumpulkan dana dan tenaga untuk
membantu Atmo. Jenazah putri kecilnya harus segera dikuburkan. Pada akhirnya, warga bantaran sungai Ciliwung daerah Manggarai bahu membahu mengurusi
jenazah putri Atmo.