Berpukat dengan johnson dan mesin ketinting

memperbaiki jaring pukat. Pengenalan jaring pukat pada nelayan tikam Lamalera berhasil, sehingga hampir setiap rumah tangga memiliki jaring nilon untuk menangkap ikan terbang dan ikan-ikan karang.

5.2.2 Variasi Penerapan Teknologi Jaring Pukat

Seperti beberapa variasi dalam penerapan teknik tikam atas adaptasi terhadap masuknya mesin johnson, pelaksanaan pukat berlangsung dengan beberapa cara yang terus berkembang seiring kemampuan nelayan untuk mengoperasikannya serta untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

a. Berpukat dengan sampan kecil

Melaut dengan menggunakan sampan kecil atau bero adalah teknik pertama yang dilakukan. Bero menampung satu sampai maksimal tiga orang meing. Bero tidak menggunakan mesin tetapi digerakkan dengan dayung menggunakan tenaga meing. Daerah tangkapan bero tidak jauh dari pesisir pantai, dan biasanya nelayan keluar sejalan dengan arah arus, sehingga tidak banyak menyita tenaga nelayan untuk mendayung. Jaring pukat yang dipakai dengan bero berukuran kecil sehingga bisa dikelola oleh 2 orang meing. Bero pada waktu-waktu tertentu juga biasa digunakan untuk membawa jaring nilon ikan terbang. Berpukat dengan bero telah dilakukan cukup lama dan biasanya hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga saja. Hasil tangkapan dengan bero jarang dipertukarkan, sekalipun ada biasanya dilakukan dengan tetangga dekat saja. Hasil tangkapan dari berpukat dengan bero biasanya ikan-ikan kecil seperti tongkol, cakalang dan tuna serta ikan-ikan karang lainnya. Apabila bernasip baik, nelayan bisa mendapat pari. Berangkat pukat dengan bero tidak dilakukan sepanjang malam. Meing biasanya keluar sore hari dan kembali pulang sebelum tengah malam. Apabila hasil yang didapatkan cukup baik, meing akan mebawa pulang hasil dan berangkat melaut lagi.

b. Berpukat dengan johnson dan mesin ketinting

Kategorisasi sistem pukat ditandai dengan teknologi ekploitasi jaring pukat yang melembaga dalam pola produksi, distribusi dan pertukaran yang berbeda dengan pengelolaan ekonomi sebelumnya. Pelembagaan ini menguat ketika penggunaan alat produksi digabung jadi satu. Berpukat dengan sampan besar yang dijalankan dengan mesin johnson baru dilakukan selama tiga tahun terakhir tepatnya pada bulan april 2008 atau dalam masa lefa tahun 2008. Pukat yang digunakan ketika itu adalah pukat kecil yang biasa dibawa dengan bero. Kegiatan berpukat ini menggabungkan tiga alat jenis produksi yang telah dimiliki oleh masyarakat. Nelayan yang mencoba pertama kali mengatakan bahwa membawa pukat dengan mesin johnson dilakukan hanya sekedar mencoba saja. Karena hasil yang didapatkan dengan berpukat malam dalam jarak yang lebih jauh dari jangkauan bero sangat baik, beberapa nelayan lain akhirnya mengikuti hal yang sama. Di Lamalera ada dua tipe kegiatan berpukat yang dilakukan berdasarkan peralatannya. Yang banyak dilakukan adalah berpukat dengan mesin johnson berkekuatan 25 atau 40 PK menggunakan sampan besar dan jaring pukat ukuran kecil atau besar. Tipe lainnya yaitu dengan sampan ukuran menengah yang dipasangkan mesin ketinting, biasanya memuat jaring pukat kecil. Ketika penelitian dilakukan, baru ada dua mesin ketinting dan hanya satu mesin yang aktif digunakan untuk berpukat. Pukat sendiri terdiri atas beberapa ukuran, yaitu pukat kecil yang dimiliki oleh kebanyakan nelayan dan pukat besar. Pukat kecil sudah dikenal oleh nelayan. Inilah yang mereka gunakan dengan bero untuk mencari ikan kecil untuk keperluan dapur sendiri. Pukat besar masuk ke Lamalera sebagai bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan kepada beberapa kelompok nelayan yang dibentuk untuk menerima bantuan pukat tersebut. Banyak nelayan yang berusaha untuk memiliki pukat besar ini karena seringkali hasil tangkapan lebih banyak dibandingkan pukat kecil. Jumlah meing yang dibutuhkan untuk berpukat tidak sebanyak jumlah yang dibutuhkan untuk keluar dengan tena laja. Untuk mengoperasikan jaring pukat kecil, tiga orang meing cukup untuk berangkat melaut. Apabila ada jaring pukat besar yang dibawa, maka setidaknya dibutuhkan 4 – 5 orang meing. Setiap berangkat melaut, jumlah pukat yang dibawa berkisar antara 3 sampai 6 unitpis dengan ukuran yang beragam antara pukat kecil dan pukat besar. Pada ketinting meing yang berangkat biasanya 3 atau 4 orang saja. Berpukat dilakukan pada malam hari. Sampan bertolak sore hari sebelum gelap dan kembali pulang pagi hari. Selama di laut, setiap perahu sampan akan menjaga jarak masing-masing agar pukat yang ditebar tidak ditabrak oleh perahu sampan lain. Sebelum ada nelayan yang berinisiatif membawa senter untuk memberi tanda bagi perahu lain yang sedang berpindah, arah perjalanan setiap perahu yang berangkat ke laut lebih dulu biasanya akan diperhatikan untuk menjadi patokan agar perahu lain berpukat di daerah lainnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari jaring pukat tersangkut perahu sampan yang sedang melintas. Setelah mengalami beberapa kecelakaan karena jaring pukat tersangkut sampan lain, beberapa nelayan mulai berinisiatif untuk membawa senter selama melaut, dan terus berkembang dengan membawa lampu batrey yang bisa menyala sepanjang malam. Apabila di satu area nelayan tidak mendapatkan hasil, mereka akan berpindah ke tempat lain dan ini dilakukan hingga menjelang pagi. Bahan bakar yang digunakan untuk menjalankan mesin johnson yaitu campuran antara minyak tanah dan bensin. Sekali perjalanan berangkat pukat, bahan bakar yang dibutuhkan antara 7-10 liter bahan bakar. Volume bahan bakar untuk ketinting lebih sedikit dibandingkan mesin johnson. Untuk mendapatkan bahan bakar khususnya bensin, nelayan biasanya membeli ke Larantuka atau Weiwerang. Di Lamalera sendiri ada toko yang menjual minyak tanah tetapi dengan harga yang lebih tinggi. Untuk mendapatkan bahan bakar yang lebih murah, nelayan akan meyediakan waktu satu atau dua bulan sekali untuk membeli bahan bakar. Perawatan mesin johnson tergolong rumit dan mahal, dan hanya ada satu orang yang terlatih memperbaiki mesin ini di Lamalera. Oleh karena itu, ketika melaut, yang dipercaya untuk memegang mesin bukanlah sembarang orang, melainkan orang-orang yang dipercaya oleh pemilik mesin atau pemilik mesin itu sendiri. Seringkali karena kerusakan-kerusakan tertentu yang tidak bisa diperbaiki oleh teknisi lokal, mesin harus disimpan dalam waktu yang lama. Pilihan lain untuk memperbaiki mesin adalah dengan membawa ke Loweleba, Larantuka atau Maumere. Ketiga jenis alat produksi memiliki peran yang sama untuk semakin memperkuat terbangunnya sistem produksi pukat. Mesin johnson yang diperbantukan ke tena laja tidak merubah pengelolaan ekonomi kecuali membantu mobilitas nelayan yang dikompensasi secara biasa. Sampan besar sendiri tanpa digerakkan johnson mungkin tidak akan berarti dalam sistem produksi di Lamalera. Sedangkan pukat, ketika digandengkan dengan bero, sampan dengan kapasitas 2 orang, hanya menjadi ekonomi sampingan dan tidak cukup bermakna secara komunal. Dalam tiga tahun terakhir ini, ketika ide untuk menggunakan sampan besar bersama johnson dan membawa alat tangkap jaring pukat muncul, nelayan pun mencoba mencari bentuk-bentuk pengelolaan ekonomi seperti apa yang akan dikembangkan untuk mengelola hasil tangkapan. Perubahan teknologi membawa perubahan pada banyak aspek kehidupan di Lamalera. Cara pandang ekologi budaya dan materialisme tampak dalam pergeseran-pergeseran tersebut, bahwa perubahan tidak akan berhenti pada perubahan alat produksi semata, tetapi akan menjalar pada bagian pengelolaan ekonomi selanjutnya. Teori ekologi budaya mengatakan bahwa perubahan pengelolaan ekonomi akan merubah sistem sosiokultur lainnya, dalam bahasa lain perspektif materialisme menegaskan bahwa perubahan pada infrastruktur material akan berdampak pada struktur sosial dan suprastruktur di atasnya.

5.3. Perubahan Pengelolaan Ekonomi