perilaku dalam pemanfaatan sumberdaya mempengaruhi aspek-aspek kebudayaan lain. Dari metode yang dikembangkan ini terlihat jelas bahwa Steward
memberikan penekanannya terhadap aktivitas produksi yang mempengaruhi sebuah kebudayaan sebagai sebuah masalah empiris.
2.1.2 Penerapan dan Pengembangan Teori Ekologi Budaya serta Beberapa Kritik
Hanya ada satu cara untuk menjelaskan apa yang disebut dengan ekologi budaya yaitu dengan memperlihatkan apa yang telah dilakukan Netting 1986: 8.
Sejak dirumuskan oleh Steward, teori ekologi budaya telah banyak diterapkan untuk mengenali interaksi antara manusia dan lingkungan serta berkembang
melalui kondisi empiris penelitian lapangan yang terus dilakukan. Teori ini tidak lagi berkembang di kalangan antropolog tapi juga dalam studi geografi manusia
dan studi ekologi manusia secara umum. Di Indonesia, penelitian yang mengaplikasikan konsep ekologi budaya
Steward pernah dilakukan oleh Clifford Geertz. Pada penelitiannya dikatakan bahwa cara analisis ekologi budaya lebih memusatkan perhatian terhadap sifat-
sifat perembesan dari suatu sistem atas sistem lain struktur sistem, keseimbangan sistem, perubahan sistem dari pada terhadap hubungan pokok demi pokok antara
pasangan-pasangan berbagai variable kebudayaan dengan alam. Menurut Geertz pertanyaan pokok yang hendak dijawab dengan menggunakan analisis ekologi
budaya berbunyi: “Apakah kondisi habitat itu sedikit banyak atau sepenuhnya menimbulkan kebudayaan ataukah kondisi itu hanya membatasinya saja” Geerlz
1983: 10. Dengan menggunakan pendekatan ekologi budaya, Geertz menjelaskan
perbedaan-perbedaan antara Indonesia dalam Jawa dan Indonesia luar pulau- pulau di luar Jawa. Geertz menyimpulkan bahwa perbedaan kepadatan penduduk,
cara penggunaan tanah dan produktifitas pertanian merefleksikan perbedaan penyesuaian pola pertanian yang dilakukan di dua daerah tersebut. Perbedaan pola
agrikultur terjadi karena ada perbedaan-perbedaan yang berarti pada lingkungannya. Pertanian Jawa didominasi oleh sawah beririgasi sementara
berladang banyak dilakukan di luar Jawa. Menurut Geertz dua sistem pertanian
yang diterapkan di kondisi ekosistem yang berbeda inilah yang bisa memberikan penjelasan mengenai distribusi penduduk yang tidak merata di Indonesia, serta
keruwetan sosial dan kebudayaan yang tidak terhindarkan sebagai akibat distribusi yang demikian itu.
Konsep Steward mengenai ekologi kebudayaan telah terbukti menjadi strategi yang sangat efektif bagi penelitian ekologi manusia, karena menawarkan
pengertian baru tentang bagaimana masyarakat tradisional beradaptasi secara efektif dengan lingkungan mereka. Kelemahan konsep Steward adalah kesulitan
teori ini untuk digunakan pada masyarakat modern yang komplek dalam jumlah populasi yang besar dan mengalami perubahan yang cepat. Kelemahan lain adalah
teori ini mengabaikan kenyataan yang teramat penting dalam sejarah umat manusia, yaitu pertumbuhan berkelanjutan pengetahuan manusia dan perbaikan
yang berkelanjutan pula teknik manusia, maupun bentuk-bentuk organisasi untuk mengendalikan kehidupan ekonomi kita Wertheim 1976: 17.
Geertz juga memberikan catatan bahwa proses ekologis yang mempengaruhi pertumbuhan kebudayaan dan masyarakat Indonesia di masa
lampau, dan keadaannya dewasa ini adalah sesuatu yang harus ditentukan pada akhir penelitian, bukan pada awal penelitian. Oleh karena perkembangan politik,
pelapisan masyarakat, perdagangan, dan intelektual kelihatannya merupakan proses penata atau penertib yang penting dalam sejarah Indonesia, maka ternyata
perkembangan ekologis itu tidak seberapa penting. Menurut Anthony Smith lebih besarnya keragaman kebudayaan antara-
masyarakat dibanding dengan keragaman kondisi lingkungan alam menunjukkan bahwa kelebihan keberagaman kebudayaan itu tidak dapat dijelaskan dengan
mengacu pada mekanisme adaptasi tetapi harus mengacu pada mekanisme perkembangan otonom di dalam budaya yang bersangkutan. Selain itu, kekuatan
yang ditentukan oleh faktor ekologi atau tekno-ekonomi tergantung pada fase evolusi: di fase awal ia sangat kuat sedangkan di fase yang berikutnya faktor
politik atau ideologi jauh lebih menentukan. Bentuk pemerintahan, agama dan seni mungkin mendapat peran makin otonom. Makin berkembang masyarakat
membuat faktor lingkungan makin membatasi variasi dan perubahan kultural ketimbang mendorong unit-unitnya ke arah perubahan Sztompka 2007: 137.
Kelemahan ini juga terlihat dengan dikembangkannya pendekatan lain oleh Marvin Harris dengan asumsi bahwa teknologi yang diciptakan dalam
adaptasi terhadap lingkungan merupakan penggerak utama evolusi kebudayaan. Harris berpendapat bahwa semua aspek kebudayaan ditentukan oleh hubungan
antara teknologi dengan lingkungan. Pemikiran Harris ini dikenal dengan Cultural Materialisme yang dikembangkan dengan mengusut akar pemikiran ilmuan sosial
di abad 19 yaitu Karl Marx dan pemikiran Steward sendiri. Prinsip yang mengarahkan pengembangan teori dan strategi cultural materialism yang
dikembang Harris berangkat dari pandangan Marx bahwa moda produksi dalam kehidupan material menentukan karakter umum pada proses sosial, politik dan
spiritual di kehidupan. Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, melainkan eksistensi sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka. Harris
tidak mencoba untuk menjelaskan bagaimana kultur itu disusun sebagaimana digagas oleh Steward. Harris lebih tertarik untuk menggali dan menemukan
jawaban untuk pertanyaan seperti “why don’t Indians eat cows?” Bohannan dan Glazer 1988: 378. Dia lebih cenderung untuk menguraikan perkembangan sebuah
budaya khusus yang ada dalam sebuah masyarakat dengan menggunakan pendekatan etik dan aplikasi kultural materialisme.
2.2 Pendekatan Materialisme Pada Perubahan Sosial