berfungsi sebagai alat baru untuk kontrol sosial Jary and Jary 1991: 236. Menurut Adger 2001 diskursus merupakan pemaknaan terhadap sebuah
fenomena oleh kelompok-kelompok baik besar maupun kecil di tingkat lokal sampai global. Para aktor terlibat dalam derajat yang berbeda-beda dalam
memproduksi atau mereproduksi dan memformulasi diskursus melalui tulisan maupun pernyataan lisan. Sebuah diskursus bisa menghegemoni ketika dominasi
pemikirannya diterjemahkan dalam kebijakan institusional.
2.3.1. Diskursus Konservasi Lingkungan
Dalam menganalisa isu-isu lingkungan, Adger membagi menjadi dua diskursus yaitu diskursus manajemen lingkungan global Global Environmental
Management –GEM yang merupakan representasi dari pandangan atau paradigma
teknosentris dengan cetak biru yang didasarkan kepada intervensi kebijakan eksternal yang dianggap dapat menyelesaikan dilema lingkungan global dan
diskursus populis yang menggambarkan aktor-aktor lokal sebagai korban dari intervensi eksternal yang mengakibatkan degradasi lingkungan dan eksploitasi.
Diskursus manajemen lingkungan global mendominasi banyak kebijakan lingkungan. Solusi yang ditawarkan oleh diskursus ini dalam mengatasi krisis
lingkungan adalah solusi-solusi yang bersifat global, top-down, intervensionis dan teknosentris. Karena solusi yang diberikan berada di tingkat global, oleh karena
itu tindakan-tindakan yang bersifat internasional dipandang perlu. Tindakan ini harus berkoordinasi dengan lembaga-lembaga multi-lateral dan kerangka regulasi.
Meskipun pelaksanaan diskursus manajemen global terletak pada peran negara, namun secara esensial solusi yang dijalankan berorientasi pada pasar. Berbeda
dengan sebelumnya, diskursus populis lebih memberikan perhatian terhadap pengaruh negatif dalam skala lokal atas campur tangan aktor-aktor luar seperti
konservasi dan penggunaan sumberdaya alam. Relasi ekonomi internasional termasuk pembangunan internasional dipandang sebagai gambaran intervensi
negatif dan disebut sebagai neo-kolonialisme dan bukan sebagai peluang mengembangkan perdagangan, meningkatkan pendapatan ataupun konservasi.
Pengetahuan lokal dan tradisional dilihat sebagai wadah praktek yang
berkelanjutan dan masyarakat lokal akan menjadi lebih baik tanpa campur tangan dari luar Adger 2001: 703.
Salah satu alasan keanekaragaman hayati menjadi isu lingkungan adalah karena terjadi kelangkaan pada beberapa jenis spesies binatang dan tumbuhan
yang disebabkan oleh aktivitas manusia dibandingkan kelangkaan yang terjadi secara alamiah. Dalam argumentasi ini, pengrusakan lingkungan oleh manusia
dipicu cara pandang antroposentrisme yaitu sebuah etika yang melihat manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Pandangan antroposentris menjadi alasan
dibuat sebuah kebijakan yang membatasi manusia dengan lingkungannya. Pandangan yang melihat manusia dan kepentingannya sebagai nilai tertinggi
merupakan ancaman kerusakan lingkungan dan kepunahan pada beberapa keanekaragaman hayati yang ada.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk menghindari ancaman kepunahan adalah dengan melakukan konservasi pada habitat spesies yang terancam punah
tersebut. Konservasi merupakan sebuah filosofi tentang pengelolaan lingkungan
dengan tujuan menghindari pengrusakan serta kepunahan keanekaragaman hayati Jordan 1995.
Wittmer dan Bitmer 2005 membagi pemikiran yang mewacana dalam konservasi sumberdaya alam atas tiga aliran yaitu, konservasionisme, eko-populis
dan developmentalisme. Pemikiran pertama berargumentasi bahwa diperlukan kawasan yang dilindungi secara hukum dan tidak diganggu oleh kegiatan manusia
untuk mewujudkan keseimbangan ekologi termasuk fungsi hidrologi dari sumberdaya hutan. Pada dasarnya, aliran pemikiran ini menganggap bahwa
penduduk setempat merupakan ancaman bagi upaya konservasi sumberdaya alam. Aliran ini berkeyakinan bahwa ilmu-ilmu alam tidak lagi perlu diperdebatkan.
Pemikiran kedua berpendapat bahwa masyarakat adat dan lokal adalah penanggung risiko terbesar yang perlu dilindungi. Mereka juga mempunyai
kemampuan untuk melakukan konservasi sumberdaya alam lebih baik daripada pemerintah. Aliran ini menolak kehadiran swasta dan para pelaku konservasi yang
menafikan masyarakat adat dan lokal. Pandangan mereka didasarkan pada ketidaksetujuan terhadap pandangan ortodok mengenai ilmu-ilmu sosial dan ilmu
alam, tetapi lebih mendukung penghargaan terhadap pengetahuan lokal.
Developmentalisme mempunyai anggapan bahwa kerusakan sumberdaya alam ditimbulkan oleh kemiskinan. Mereka memandang bahwa kaum eko-populis
terlalu romantis dan memperalat masyarakat lokal, sedangkan kaum konservasionis dianggapnya tidak memperhatikan persoalan kemiskinan lihat
Tabel 1
Tabel 1. Kerangka Pemikiran Pengelolaan Kawasan Konservasi
Sumber : Wittner dan Bitner 2005.
Pelaksanaan konservasi di Indonesia masih didominasi oleh pemikiran pertama, meskipun perdebatan antara tiga pemikiran tersebut belum ada titik
temunya. Isu keanekaragaman hayati dipertajam oleh LSM Lingkungan, yang berkembang di negara maju pada tahun 1960
– 1970an. Keprihatinan awal organisasi-organisasi ini tertuju pada isu-isu yang berkaitan dengan satwa langka
T
OPIK
Kerangka Pemikiran Konservationis
Eko-populis Developmentalis
Keberadaan Kawasan
Konservasi Didasarkan pada fungsi
flora, fauna, landscape bagi keberlangsungan
fungsi ekologi Didasarkan pada
kepentingan langsung masyarakat baik untuk
kehidupan sehari-hari maupun jangka panjang
Didasarkan pada keunikan kawasan
sehingga perlu dipisahkan dari kegiatan
eksploitasi sumberdaya alam
Penetapan Kawasan
Konservasi Suatu keharusan karena
ilmu pengetahuan yang menjelaskan
pentingnya fungsi ekologi tidak perlu
diperdebatkan lagi Suatu yang penting dan
perlu dikaitkan dengan sistem penguasaan dan
pemilikan sumberdaya secara adil
Sejalan dengan fungsi kawasan dan sesuai
dengan hukum yang berlaku
Rumusan Masalah
Sumberdaya alam rusak karena gangguan pihak
lain Sumberdaya alam rusak
karena tidak ada keadilan dalam
pemanfaatannya Sumberdaya alam rusak
karena kemiskinan
Orientasi Kebijakan
Bersifat instruksional, pengawasan dan
penegakan hukum Penataan penguasaan
dan pemilikan sumberdaya alam
Investasi untuk menampung
pengangguran
seperti perburuan paus dan pembunuhan anjing laut dan polusi industri yang menyusul menjadi perhatian para pendukungnya di negara dunia pertama Bryant
and Bailey 1997: 137. Untuk menjaga keanekaragaman hayati, konservasi seringkali dilakukan
secara berlebih-lebihan. Penetapan kawasan konservasi lebih banyak dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek biologis namun mengesampingkan aspek
sosial budaya, politik dan ekonomi. Sementara itu, dalam kenyataannya konservasi bukan menyangkut persoalan teknis semata, akan tetapi memiliki
nuansa sosial politik yang komplek antara para pihak yang terlibat. Kegiatan konservasi dijalankan oleh organisasi-organisasi konservasi yang
komitmennya terikat kepada lembaga donor serta pemerintahan nasional. Ikatan komitmen ini membuat organisasi konservasi bergerak dengan pola dan jalan
yang diinginkan oleh lembaga yang mendukung kegiatan mereka. Oleh karena itu, pembuatan keputusan dalam kegiatan konservasi lebih banyak bersifat global,
karena ada kepentingan-kepentingan dari penyandang dana yang harus difasilitasi. Dengan sistem yang seperti ini, maka banyak upaya konservasi terutama yang
berlangsung di negara berkembang mengalami kegagalan. Kegiatan konservasi mengabaikan kehidupan sosial yang menyatu pada lingkungan. Dapat
disimpulkan bahwa konservasi tidak bisa mengabaikan proses-proses sosial untuk mencapai tujuan menjaga keanekaragaman hayati, sehingga baik informasi
biologis, sosial budaya maupun politik menjadi penting dalam pengambilan keputusan terhadap penetapan kawasan konservasi.
Pentingnya cara pandang global dan lokal mengenai konservasi untuk menghindari permasalahan yang kerap kali muncul, diejawantahkan oleh Janis
Alcorn Brosius 2005 dengan mengelompokkan dua jenis konservasi, yaitu konservasi besar big conservation dan konservasi kecil little conservation.
Konservasi besar merupakan program-program konservasi dijalankan oleh lembaga-lembaga konservasi besar dari negara-negara Utara. Konservasi besar
bersifat global, merupakan organisasi dan institusi besar yang dijalankan dari kota. Konservasi merupakan fokus dari lembaga-lembaga yang termasuk dalam
konservasi besar. Mereka didominasi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan untuk memelihara lingkungan, didanai secara besar-besaran dan
sering kali tidak tertarik dengan keadilan sosial dalam pengelolaan sumberdaya. Sedangkan konservasi kecil merupakan aktivitas konservasi yang dijalankan oleh
masyarakat pribumi, di utara dan selatan, lebih dekat dengan kebudayaan, perilaku, konvensi sosial akan akses sumberdaya serta lebih paham akan fungsi
alam dan komunitas. Konservasi kecil juga mencakup tataran pilihan hidup individu yang bersatu dengan lingkungan, pengetahuan ekologi lokal dan
kemahiran mereka dalam memanfaatkan serta menjaga kestabilan ketersediaan sumberdaya.
Merujuk pada klasifikasi yang dibuat oleh Alcorn, penetapan kawasan konservasi Laut Solor, Lembata dan Alor, termasuk pada konservasi besar yang
digerakkan oleh organisasi internasional. Sementara itu masyarakat nelayan Lamalera memiliki aturan-aturan serta cara pengelolaan sumberdaya sendiri
sehingga tergolong pada konservasi kecil. Dengan mengelompokkan dua konservasi ini, Alcorn juga berusaha menjelaskan bahwa tidak sinergisnya kedua
kelompok ini akan menimbulkan potensi konflik serta mengancam eksistensi konservasi kecil.
Dalam tradisi Barat, ada dua jenis konservasi yang berbeda secara fundamental yaitu konservasi dengan pemamfaatan yang bijak wise use
conservation dan pengawetan preservation. Perbedaan mendasar ini ditengahi oleh konservasi modern yang berbeda dengan wise use conservation serta tidak
melihat alam sebagai komuditas dan berbeda dengan preservation karena tidak menjauhkan alam dari campur tangan manusia Berkes 2008: 233. Konservasi
tradisional sendiri adalah konstruksi sosial masyarakat lokal terhadap alam dan cara mereka dalam memanfaatkannya. Dan konservasi ini memiliki bentuk yang
berbeda pada setiap masyarakat.
2.3.1. Konservasi Sebagai Konstruksi Sosial Konservasi Tradisional