Latar Belakang Penelitian Social change in fishing community of lamalera (perspectives of sociology, economics and ecology)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Istilah kebudayaan culture biasanya digunakan untuk menyebut seluruh cara hidup suatu masyarakat yang dipandang sebagai sebuah keutuhan Sanderson 2000: 51. Adanya bentuk-bentuk yang sama dari unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat yang berbeda telah menjadi tema yang diperdebatkan dalam ilmu antropologi. Dua penjelasan yang dikemukakan untuk menjawab gejala persamaan unsur-unsur kebudayaan, yaitu: pertama, disebabkan karena persebaran atau difusi. Anggapan dasar pemikiran ini adalah kebudayaan manusia berpangkal di satu tempat tertentu dikatakan dengan kebudayaan induk, yang berkembang, menyebar dan pecah ke dalam banyak kebudayaan baru karena pengaruh keadaan lingkungan dan waktu. Cara pikir kedua dalam melihat persamaan-persamaan ini disebabkan karena tingkat-tingkat yang sama dalam proses evolusi kebudayaan di berbagai daerah 1 . Menurut pandangan evolusi, kebudayaan telah lahir dengan sendiri-sendiri dan mengalami perkembangan sebagai hasil adaptasi terhadap tantangan lingkungan alamiah. Pengaruh lingkungan terhadap kebudayaan, sebagai sebuah kajian lahir atas kritik terhadap pandangan bahwa kebudayaan berasal dari kebudayaan. Montesquieu dalam On the Spirit of Laws 1748 berupaya memberikan penjelasan mengapa masyarakat berbeda satu sama lainnya dengan menyatakan bahwa variabel-variabel seperti tanah, iklim dan lingkungan merupakan faktor- faktor yang ikut berpengaruh dalam membentuk kelembagaan masyarakat. Pemikiran tentang hubungan antara manusia, budaya dan lingkungan serta bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup, muncul kembali pada abad ke 19. Teori-teori ini hadir untuk menjelaskan perbedaan kebudayaan sebagai suatu proses evolusi dan menempatkan kelompok masyarakat pada kategori-kategori yang ditentukan berdasarkan teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada di lingkungannya Christensen dan Levinson 2003: 360. 1 Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I 2007. Manusia dan budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan. Aktivitas manusia mempengaruhi dan mengakibatkan perubahan pada lingkungan. Perubahan tersebut akan berbalik mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungan. Dengan sifat dasar manusia yang sadar diri, memiliki kemampuan teknologis dan sangat sosial, maka interaksi manusia dengan lingkungan menjadi hal kompleks dan menarik. Hubungan antara kebudayaan manusia dan alam tampak sangat jelas pada masyarakat tradisional pemburu mamalia laut dan ikan Lamalera. Komunitas adat ini dikenal dengan budaya mereka menikam paus, lumba-lumba dan ikan-ikan besar seperti pari dan hiu. Nelayan Lamalera memburu dan menikam ikan-ikan besar, namun secara spesifik perburuan paus yang membuat mereka dikenal dunia. Perburuan paus paling tidak telah dilakukan pada sekitar tahun 1643, sebagaimana tercatat dalam sebuah dokumen Portugis. Pada laporan ini ditegaskan bahwa perburuan paus oleh masyarakat Lamalera adalah budaya tua yang telah dilakukan jauh sebelum kedatangan pemburu paus dari Amerika dan Inggris di perairan timur Indonesia Barnes 1996: 323. Terletak di pesisir selatan Pulau Lembata, desa ini sangat minim lahan subur yang dapat ditanami. Tidak heran apabila kegiatan ekonomi masyarakat hampir sepenuhnya bertopang pada hasil laut. Walaupun demikian, menurut sejarah bukan keterbatasan lahan subur yang membuat masyarakat Lamalera melaut, tetapi karena sebagian besar nenek moyang masyarakat desa ini merupakan pelaut yang dahulu melakukan perjalanan eksodus meninggalkan daerah asal mereka di pesisir Sulawesi. Penangkapan ikan dengan berburu dan menikam yang masih dilakukan hingga saat ini merupakan cara yang diwarisi dari leluhur. Kegiatan berburu dilakukan pada siang hari dengan seperangkat alat tangkap sederhana yang terbuat dari bahan-bahan yang ada di lingkungan setempat dan tanpa menggunakan peralatan modern. Tenalaja atau perahu layar 2 adalah salah satu unit penangkapan ikan utama, yaitu perahu tradisional dengan layar dan seperangkat tali serta tombak bambu yang digunakan untuk menikam ikan. Saat ini, tenalaja bukan satu-satunya alat produksi. Untuk jenis ikan seperti pari, hiu dan lumba-lumba 2 Tenalaja juga biasa disebut dengan peledang. yang ukurannya relatif lebih kecil, sampan besar bermesin biasa digunakan. Namun demikian, hal itu tidak berlaku untuk paus sperma Physeter macrocephalus yang dalam bahasa lokal disebut koteklema. Dengan rancangan khusus dan seperangkat kepercayaan terhadap laut, maka hanya dengan tenalaja, koteklema bisa dan boleh ditikam. Beberapa pergeseran mulai terjadi ketika nelayan Lamalera dikenalkan dengan mesin. Perlahan-lahan setelah mengenal mesin tempel yang mereka sebut johnson pada tahun 1970an melalui program FAO, aktivitas melaut di Lamalera mulai mengalami pergeseran. Kegiatan mendayung perahu sambil bersenandung digantikan oleh tenaga mesin atau menarik tenalaja dengan sampan besar yang dipasangi mesin johnson pada saat mengejar koteklema. Suasana semarak mendorong perahu turun ke laut di pagi hari pada musim lefa musim berburu digantikan dengan kesibukan menata pukat pada sore hari. Nelayan Lamalera yang akrab dengan lautnya hanya pada siang hari juga mulai terbiasa menunggu ikan menyentuh pukat yang di tebar pada malam hari. Masuknya teknologi mesin menandai permulaan terjadinya beberapa pergeseran pada sistem produksi di desa pemburu ikan dan mamalia laut ini. Jauh sebelum introduksi teknologi, faktor-faktor seperti misi Katolik, pendidikan dan masuknya sistem pemerintahan desa telah lebih dulu membawa perubahan ke Lamalera. Pertama misi Katolik menggeser sistem religi animisme kepada kepercayaan terhadap gereja serta mengenalkan pendidikan yang dikemudian hari memacu tingkat migrasi penduduk usia muda meninggalkan desa untuk melanjutkan sekolah. Kedua masuknya sistem pemerintahan desa di masa pemerintahan kolonial membagi masyarakat dengan satu kultur ini secara administratif menjadi dua desa. Perubahan sosial yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah perubahan oleh pergeseran adat produksi. Munculnya teknologi modern penangkap ikan telah melahirkan pergeseran berarti karena memunculkan pengelolaan perekonomian masyarakat yang berbeda meski tidak bisa dikatakan meninggalkan pola sosiokultur aslinya. Saat ini, kegiatan produksi dengan perahu mesin berpukat lebih mendominasi perekonomian di Lamalera, sementara aktivitas berburu masih dilakukan apabila melihat segerombolan paus atau lumba-lumba melintas di depan kampung mereka. Introduksi teknologi modern menghasilkan cara pemanfaatan sumberdaya laut yang baru pula. Jumlah tenalaja sebagai alat produksi utama mulai berkurang seiring dengan bertambahnya jumlah sampan besar yang menggunakan mesin johnson dengan gulungan jaring pukat di dalamnya. Melihat Lamalera saat ini dengan mengidentifikasi sistem sosiokulturnya sebagai hasil adaptasi terhadap lingkungan, maka pemakaian mesin dan alat tangkap pukat menjadi lebih dari sekedar perubahan alat produksi. Hal ini menunjuk pada satu gejala munculnya sistem sosiokultur baru yang berbeda dengan sistem sebelumnya. Seperti apa yang dikatakan Barnes, Lamalera is a community which straddles several dichotomies 1996: 341. Meskipun Barnes tidak secara terperinci menggambarkan bagaimana bentuk dikotomi tersebut, namun dikotomi ini mendekati konsep dualisme ekonomi Boeke yang digambarkan seperti sistem ekonomi-prakapitalis yang didampingi oleh ekonomi kapitalis, dimana kedua sistem ini saling mempengaruhi Sajogyo 1985: 36, Barnes 1996: 341 3 . Sejauh apa dikotomi itu membelah masyarakat Lamalera? Bagaimana dan seperti apa pergeseran sosiokultur di Lamalera menjadi salah satu pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini. Pertanyaan diatas diperlukan dalam mengkaji persoalan selanjutnya terkait kebijakan konservasi Laut Sawu, khususnya Laut Lembata 4 . Mengemukanya wacana konservasi laut inilah sebenarnya yang menghantarkan saya melakukan penelitian di Lamalera. Di samping menghadapi perubahan-perubahan dalam sistem produksinya, masyarakat Lamalera juga dihadapkan pada wacana konservasi keanekaragaman hayati yang muncul dalam kebijakan penetapan kawasan konservasi perairan. Isu konservasi dikontradiksikan dengan budaya berburu peninggalan leluhur masyarakat Lamalera. Setidaknya Lamalera terseret dalam konstelasi politik konservasi ini karena dua alasan pertama karena secara geografis posisinya yang terletak di pesisir Laut Sawu, kedua karena jenis 3 Penelitian Barnes di Lamalera tidak untuk melihat dikotomi ekonomi seperti paparan Dualisme Ekomoni Boeke 1953. Tetapi ia menguraikan fakta bahwa perubahan ekonomi dan sosial telah mendorong dikotomi dalam aktivitas-aktivitas produksi dan pola konsumsi individu dalam komunitas tersebut hal. 341 4 Konservasi Laut Solor-Lembata-Alor SOLAR mamalia laut buruan orang Lamalera dipandang sebagai jenis cetacean yang perlu dijaga kelestariannya. Laut Sawu di Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah perairan penting untuk mamalia laut di Indonesia yang diperkirakan terdapat 30 spesies cetacea 5 yang dapat ditemui di Laut Sawu seperti paus, lumba-lumba dan duyung. Dari 30 spesies catecea tersebut, beberapa jenis diantaranya adalah paus-paus besar yang terancam punah yaitu paus biru, paus sei dan paus fin. Selain itu, juga banyak ditemukan paus sperma yang berdasarkan data IUCN termasuk ke dalam spesies yang rentan mengalami kepunahan Mustika, 2006: 1. Paus adalah salah satu mamalia laut yang bermigrasi secara musiman untuk mencari makan, menuntun anaknya ke perairan yang lebih hangat serta mencari daerah untuk membesarkan anaknya . Laut Sawu adalah laut dalam yang dibatasi oleh Pulau Flores, Timor dan Sumba. Terusan kecil antara Solor dan Alor di Laut Sawu merupakan tempat mencari makan serta koridor migrasi bagi paus dan catecea lainnya. Pada awalnya, Konservasi Laut Sawu yang menempatkan perairan Lembata dalam zona II kawasan tersebut ditolak oleh masyarakat Lamalera. Upaya advokasi dan menggalang dukungan dilakukan dengan mengangkat kasus ini di berbagai media. Penolakan masyarakat terhadap pencadangan Zona II dalam konservasi Laut Sawu tidak lagi menjadi isu lokal, setelah beberapa media lokal dan nasional memberitakan kekhawatiran dan penolakan masyarakat terhadap kebijakan ini. 6 Penolakan tersebut didasari oleh pemahaman bahwa cepat atau lambat, konsekuensi yang akan dihadapi dengan masuknya zona II dalam wilayah konservasi Sawu adalah pelarangan untuk meneruskan tradisi mereka berburu paus. 7 Setiap jawaban klarifikatif yang disampaikan oleh para pihak yang 5 Cetacean adalah sebutan umum bagi mamalia laut dari Ordo Cetacea, antara lain paus, lumba- lumba, dan pesut. Seperti mamalia laut yang pada umumnya hidup di darat, di dalam air, cetacean juga bernapas menggunakan paru-paru dan bereproduksi dengan cara melahirkan. Sebagian besar cetacean hidup di laut, tetapi ada juga beberapa jenis yang hidup di air tawar, yaitu dari jenis lumba-lumba. Mead, J. G. dan J. P. Gold. Whales and dolphins in question. 2002. 6 Diberitakan dalam beberapa media online. Lihat http:www.suarapembaruan.comNews20090323Kesrakes05.htm http:female.kompas.comreadxml2009032317273043masyarakat.lamalera.tolak.konservasi.p aus 7 Media Indonesia.com memberitakan bahwa masyarakat Lamalera menolak konservasi Zona II Laut Sawu karena dipandang akan memicu pelarangan tradisi penangkapan paus di daerah itu. berwenang dan memiliki kepentingan Dinas Perikanan Kelautan Lembata, WWF dan pihak lainnya tidak berhasil merubah perspektif masyarakat. Dengan nama apapun, baik itu Kawasan Konservasi Laut KKL, Kawasan Konservasi Perairan KKP, Taman Laut, dan sebagainya dipandang akan memberikan konsekuensi yang sama dan menjauhkan mereka dengan para leluhur serta menghentikan tradisi berburu koteklema. Paus sperma merupakan salah satu mamalia laut buruan nelayan Lamalera. Secara umum, paus merupakan cetacean yang masuk dalam daftar spesies yang terancam punah. Hal ini mendorong kelompok pecinta lingkungan hidup semakin aktif menyerukan penyelamatan paus. Pada tahun 1986 kesepakatan internasional mengenai moratorium penangkapan paus telah menetapkan pelarangan perburuan paus untuk tujuan komersial dan mengizinkan sebagian masyarakat asli memburu sejumlah terbatas paus berdasarkan izin penangkapan paus untuk mencari nafkah. International Whale Commision IWC mengakui bahwa perburuan paus oleh masyarakat tradisional berbeda dengan perburuan paus untuk keperluan komersial. Konvensi Genewa mengenai Peraturan Penangkapan Paus tahun 1931 menetapkan bahwa masyarakat tradisional yang diperbolehkan menangkap paus adalah masyarakat yang hanya menggunakan kano, perahu atau alat tangkap lokal yang menggunakan dayung dan layar, tidak menggunakan senjata api, dilakukan sendiri oleh masyarakat asli dan tidak terikat kerjasama dengan pihak ketiga untuk menerima hasil tangkapan Revees 2002. Dalam kategori yang ditetapkan IWC, penangkapan paus di Lamalera tergolong pada subsistence whaling, karena penangkapan paus dilakukan dalam skala kecil, berkesinambungan dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal serta tidak ada tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan perburuan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan kategori yang ditetapkan oleh IWC, maka masyarakat nelayan Lamalera termasuk dalam kategori masyarakat adat yang tidak menjadi subjek pengawasan IWC. Beberapa orang Lamalera terutama yang berada di perantauan mengetahui kategorisasi yang ditetapkan oleh IWC. Bagi mereka, benar salahnya kegiatan berburu yang mereka lakukan tidak perlu lagi diperdebatkan. Tetapi keresahan http:www.mediaindonesia.comread20090503727848914Warga-Lamalera-Tolak- Konservasi-Paus yang berkembang di dalam lefo tidak dapat diabaikan. Kekhawatiran dijauhkan dari tradisi leluhur, ketidakharmonisan karena saling berprasangka terhadap pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan dari rencana penetapan kawasan konservasi berkembang di lefo Lamalera. Isu konservasi dan larangan berburu menyebabkan masyarakat Lamalera di lefo dan di luar lefo menggalang suara untuk menolak dimasukkannya Zona II dalam Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu KKPN Laut Sawu. Penolakan yang dilakukan memberikan hasil seperti yang mereka harapkan, yaitu dikeluarkannya zona II dari KKPN Laut Sawu. Zona II memang telah keluar dari KKPN Laut Sawu. WWF beserta LSM lingkungan lain yang pernah melakukan kegiatan di Lamalera dilarang masuk ke kampung itu. Di Lamalera, berdasarkan kesepakatan bersama maka sejak bulan Mei 2009 semua pembicaraan tentang konservasi dihentikan. Sementara itu, upaya mengembangkan kegiatan di perairan Lembata masih dilakukan. WWF sebagai satu-satunya LSM internasional disana masih melanjutkan kegiatan di Lembata dan dua pulau lainnya Solor dan Alor. Pertanyaan utama disusun untuk mengetahui bagaimana program-program kelautan dan konservasi mempengaruhi sistem bermasyarakat di Lamalera. Dengan perubahan dalam sistem produksi yang sedang berjalan di Lefo disana, apakah kebijakan konservasi ini akan mempengaruhi sistem sosiokultur masyarakat Lamalera? Penelitian tentang masyarakat pemburu ikan-ikan besar terutama paus di Lamalera masih terbatas. Sejumlah hasil studi yang peneliti temukan yaitu penelitian etnografis Barnes 1996 yang memberikan gambaran mengenai organisasi sosial dan budaya dengan memfokuskan pada organisasi ekonomi di Lamalera. Barnes menuliskan secara mendetail mengenai desa, masyarakat dan aktivitas non-maritim yang dilakukan oleh masyarakat Lamalera pada bagian awal serta memaparkan mengenai laut serta segala hal yang terkait dengan itu pada bagian utama bukunya. Studi komparatif pada masyarakat pemburu cetacean di Lamalera, Lamakera, Alor dan Rote juga pernah dilakukan oleh Mustika 2006. Penelitian ini melihat status tradisi perburuan paus di Laut Sawu dalam konteks konservasi mamalia laut. Beberapa penelitian yang ditemukan dalam bentuk artikel jurnal dilakukan oleh Anita Lundberg dan David A. Nolin. Anita Lundberg 2003 dalam Time Travels in Whaling Boats 8 memberikan gambaran etnografis dan arkeologis tentang bentuk dan konstruksi perahu layar tradisional nelayan Lamalera. Artikel lainnya Voyage of the Ancestors 9 2003, dimana Lumberg membaca ulang teks- teks yang membawa Lamalera kembali ke awal sejarahnya. Lundberg menyusuri mitos-mitos secara simultan untuk mencari asal-usul perjalanan leluhur Lamalera dari Pulau Lembata, ke tanah Lepan Batan, melalui Maluku dan kembali ke pesisir Sulawesi. Masih dengan studi etnografi, Nolin Smith 2010 melaporkan estimasi kuantitatif transmisi antar generasi dan ketidaksetaraan untuk mengukur kesejahteraan dalam populasi masyarakat pemburu dan peramu. 10 Penelitian dilakukan di lima populasi sampel, salah satunya masyarakat pemburu Lamalera. Indikator yang digunakan untuk menggukur tingkat kesejahteraan di Lamalera yaitu kesejahteraan kehidupan rumah tangga, ikatan jaringan bagi hasil, kepemilikan perahu dan keberhasilan reproduksi. Penelitian ini mengambil fokus yang berbeda dengan penelitian-penelitian di atas yaitu mencoba menggabungkan pendekatan ekologi budaya dengan kepentingan konservasi terhadap KKPN Laut Sawu. Penelitian ini berada dalam posisi menggabungkan teori antropologi lingkungan, mengkaji perubahan- perubahan sistem sosiokultur dalam koridor ekologi serta memberikan gambaran deskriptif tentang bagaimana kebijakan lingkungan disikapi dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat di Lamalera. Lalu bagaimanakah kebijakan lingkungan ini memposisikan masyarakat tradisional Lamalera. Pendekatan baru dalam kajian antropologi lingkungan telah mengkritik pendekatan lama dalam melihat masyarakat pada skala lokal saja dan mengabaikan faktor-faktor luar sebagai konsekuensi dari kehidupan yang terintegrasi dengan sebuah negara serta pengaruh globalisasi yang lebih luas. Sebagaimana pendekatan baru tersebut, penelitian ini juga memperluas perspektif dalam melihat interaksi antara masyarakat lokal dan lingkungannya dengan tidak 8 Downloaded from http:jsa.sagepub.com by Febrina Desrianti on October 20, 2009 9 Downloaded from http:cgj.sagepub.com by Febrina Desrianti on October 20, 2009 10 Eric Alden Smith, Wealth Transmission and Inequality among Hunter-Gatherers 2010. http:www.journals.uchicago.edudoiabs10.1086648530?journalCode=ca. Didownload pada tanggal 4 april 2010. membatasi cara pandang pada perspektif lokal semata, tetapi juga memberikan perhatian terhadap tekanan-tekanan dari luar yang mengintroduksir pola hidup komunitas tradisional.

1.2. Pertanyaan Penelitian