kelompok patrilineal ayah, tetapi ia telah diserahi untuk mengampu tugas-tugas komunal di kelompok patrilineal suaminya.
Pada ikatan patrilineal, kontinuitas suku diserahkan pada laki-laki. Oleh karena itu, pewarisan berlangsung dari ayah ke anak laki-laki. Pada masyarakat
Lamalera, hal ini bisa diruntut dari awal dimana sebuah rumah besar diwariskan kepada salah seorang anak laki-laki biasanya anak tertua. Hak kepemilikan alat-
alat produksi seperti tena laja dan tanah juga diwariskan kepada anak laki-laki.
d. Sistem Nilai dan Norma
Turner dalam Simandjuntak, 2002: 140 menuliskan bahwa celah kehidupan pada hakikatnya, menurut dialektika Simmel, berpotensi menciptakan
keteraturan, kekacauan, maupun kestatisan dan perubahan. Dalam kehidupan bermasyarakat biasanya terdapat lembaga atau norma untuk menjaga
keharmonisan dan stabilitas sosial. Di Lamalera keharmonisan dijaga dengan seperangkat nilai dan etika yang yang membatasi pola perilaku mereka di darat
dan di laut terhadap lingkungan alam terutama lingkungan laut dan sesama manusia untuk penghidulan ola nua yang baik. Etika tersebut adalah norma yang
dibutuhkan untuk menopang stabilitas kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Lamalera percaya bahwa norma yang dijaga di daratan
merupakan sumber keberhasilan dan keselamatan di lautan. Urusan pemenuhan kebutuhan dasar ini menjadi salah satu pilar yang membangun norma. Agar bisa
berhasil dan menghindari masalah di laut, maka beberapa norma selalu berupaya dipertahankan. Pertama, kerukunan di dalam kampung harus dijaga. Setiap
konflik akan manampakkan wujudnya di laut. Setiap kecurangan dan tindakan asusila akan mendapatkan balasannya. Di laut, semua bentuk ketidakharmonisan
akan ditunjukkan. Salah satu contoh, pertikaian antar meing dalam perahu akan diketahui melalui tidak jinaknya ikan ketika ditikam. Perahu tidak akan berhasil
menikam ikan selagi pertikaian itu belum diselesaikan. Biasanya, perahu akan didaratkan dahulu, dan meing yang bertikai diminta menyelesaikan pertikaiannya.
Setelah konflik antar meing selesai, dengan berdoa dan memercikkan air berkat, tena laja baru bertolak ke laut lagi.
Norma ini tidak hanya dijatuhkan pada orang yang berangkat ke laut. Segala pertikaian antara anggota kelompok dalam uma juga akan mendapat resiko
serupa. Oleh karena itu, untuk menolak tena laja ke laut, semua masyarakat sadar bahwa tanpa membangun hubungan yang baik dengan sesama orang, tidak
melakukan kecurangan, perbuatan asusila atau mengambil hak orang lain, maka perjalanan tena laja hanya akan menghasilkan kesiasiaan atau malah akan
menimbulkan malapetaka. Sebagaimana mereka mengibaratkan melaut dan berburu ikan seperti
berangkat berperang, maka segala bentuk hiruk pikuk di kampung harus dihindari. Pada masa lefa, dimana banyak perahu bertolak ke laut, maka tidak dibolehkan
bagi anak-anak untuk bermain di pantai dan bangsal perahu. Begitu pula tidak diperkenankan suara gaduh di dalam rumah besar. Suasana hikmah, tenang dan
tidak ada huru-hara dijaga selama tena laja masih berada di laut.
BAB VI LAMALERA DALAM DISKURSUS KONSERVASI
Pada saat perubahan ekonomi produksi berlangsung, masyarakat Lamalera dihadapkan juga pada diskursus konservasi keanekaragaman hayati melalui
dicadangkannya Kawasan Konservasi Perairan Nasional KKPN Laut Sawu. Sebelum pencadangan KKPN Laut Sawu, laut Lembata telah menjadi bagian dari
Kawasan Konservasi Laut Daerah Solor, Lembata dan Alor KKLD Solar. Penetapan kawasan konservasi ini ditolak oleh masyarakat Lamalera karena
menyangkut eksistensi budaya dan menyinggung sistem ekonomi produksi tradisional mereka. Beberapa program yang dilaksanakan oleh WWF dan
pemerintah daerah untuk mendukung keberhasilan KKLD Solar dipandang sebagai usaha untuk menjauhkan masyarakat dari budaya leluhur mereka.
6.1. Kearifan Tradisional Masyarakat Lamalera