c. Jual Beli dan Tukar Menukar
Dengan berkembangnya sistem pukat, masyarakat Lamalera dan sekitarnya semakin terbiasa dengan pereonomian uang. Pertukaran barang dengan
sistem barter masih dilakukan. Tetapi perekonomian uang juga banyak ditemukan. Menguatnya perekonomian uang selain dipacu karena munculnya kebutuhan-
kebutuhan yang hanya bisa dipenuhi dengan membeli atau membayar juga karena sistem produksi pukat sendiri membutuhkan uang. Kebutuhan bahan bakar tidak
bisa didapatkan dengan pertukaran. Pemilik mesin harus memiliki perhitungan yang baik agar kegiatan berpukat tetap bisa dilanjutkan yaitu dengan mengelola
pertukaran hasil melalui barter dan diperjualbelikan. Jual beli ikan dengan pedagang dari pegunungan juga mulai terjadi.
Pedagang bersepeda motor datang ke Lamalera untuk membeli ikan-ikan segar dan dijual di pegunungan. Pedagang datang dari Desa Boto dan Posiwatu, yaitu
desa-desa yang terletak di daratan. Ikan yang dibeli yaitu tuna ekor kuning, tongkol atau cakalang. Jual beli berlangsung pagi hari di pantai, pedagang
langsung datang langsung kepada nelayan yang baru datang dan menawar ikan yang dihendaki. Dari Lamalera sendiri juga mulai ada inisiatif untuk menjual
ikan-ikan kecil ini ke luar kampung. Saat penelitian, keluarga AB salah seorang pemilik perahu sampan, mesin dan pukat telah menjual sendiri ikan-ikan kecil
hasil berpukat perahunya ke desa-desa sekitar Lamalera. RB anak dari AB hampir setiap pagi mengambil ikan-ikan kecil yang merupakan bagian keluarganya dan
dengan motor menjual ke pedalaman. AB pun pernah melakukan beberapa terobosan dalam pemasaran, yaitu
ketika ikan tuna yang didapat berukuran besar dan banyak, AB menjual langsung ikan tersebut kepada kapal penampung di Larantuka dan Weiwerang. Pada saat
penjualan tersebut itulah diketahui bahwa untuk ikan tuna ekor kuning yang tidak rusak dengan berat 35 kg bisa dijual ke kapal penampungan dengan harga
75.000kg. Ketika hasil cukup baik dengan mendapat ikan tuna sirip kuning yang besar dan tidak rusak, perahu sampan lain juga mulai melakukan hal tersebut.
Nilai uang dari hasil pukat berupa ikan-ikan kecil telah memancing pikiran-pikiran untuk menjual ikan-ikan kecil tersebut. Ide untuk menjual ikan ke
Loweleba terkendala oleh infrastruktur jalan dan sarana transportasi yang tidak
mendukung. Disamping dibutuhkan beberapa perlengkapan seperti cool box dan es untuk membuat ikan tetap awet. Sementara itu, di desa pedalaman daya beli
masyarakatnya masih rendah. Situasi-situasi seperti ini memerlihatkan hasil tangkapan dengan pukat
adakalanya menguntungkan bila ikan-ikan kecil yang banyak di dapat bisa dijual langsung, tetapi menjadi beban juga apabila tidak bisa dijual. Beban ini kerap
peneliti temukan di pantai, ketika hasil yang didapat pukat kebanyakan adalah ikan kecil, pekerjaan ibu-ibu rumah tangga akan bertambah berat yaitu membakar
ikan dan berangkat penetang malam atau esok harinya. Tidak jarang karena banyaknya ikan kecil yang didapatkan, para meing akhirnya membagi secara
cuma-cuma ikan tersebut kepada orang-orang di pantai dan kepada tetangga mereka.
Dilematika dalam mengolah dan mempertukarkan ikan-ikan kecil menjadikannya nilai ikan kecil dipandangan masyarakat pesisir ini rendah.
Sepulang dari pukat, maka dikatakan ‘hasil’ apabila ada pari, hiu atau lumba- lumba yang didapatkan. Nilai ikan tertinggi oleh keseluruhan meing ada pada pari,
sedangkan nilai tangkapan ikan bernilai tinggi oleh pemilik jaring pukat adalah ikan hiu, karena satu set sirip hiu menjadi milik pukat. Sirip hiu yang bisa dijual
dengan harga 175.000set. Sedangkan dengan hasil tangkapan berupa tuna, tongkol, cakalang yang banyak sekalipun sering disebut dengan kosong karena
nilai ikan rendah. Rendah atau tingginya nilai ikan dalam masyarakat Lamalera ditentukan oleh bisa atau tidaknya daging ikan tersebut diawetkan. Daging ikan-
ikan kecil sendiri tidak bisa disimpan lama, harus segera diolah, dijual atau dikonsumsi.
5.4. Dampak Perubahan Pengelolaan Ekonomi Terhadap Aspek Sosiokultur