Social change in fishing community of lamalera (perspectives of sociology, economics and ecology)

(1)

MASYARAKAT NELAYAN LAMALERA

(Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi dan Ekologi)

FEBRINA DESRIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perubahan Sosial Masyarakat Nelayan Lamalera (Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi dan Ekologi) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Febrina Desrianti NRP: I 353070101


(3)

Pandang Sosiologi, Ekonomi dan Ekologi). Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO dan ARIF SATRIA.

Berburu dan menikam mamalia laut dan ikan besar lainnya seperti manta dan hiu merupakan inti kebudayaan bagi masyarakat nelayan Lamalera. Perubahaan inti kebudayaan dapat terjadi salah satunya didorong oleh perubahan teknologi yang diadopsi oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberlangsungan atau persistensi aktivitas berburu dan menikam ikan mamalia laut dan ikan besar sebagai inti budaya masyarakat Lamalera serta pengaruh kebijakan konservasi laut terhadap sistem sosial yang ada.

Hasil penelitian menunjukan perubahan teknologi produksi pada masyarakat Lamalera diinisiasi oleh adanya motorisasi yang diperkenalkan oleh FAO. Hal ini telah menciptakan sistem ekonomi produksi baru di Lamalera yaitu sistem pukat yang berbeda dengan sistem ekonomi tradisional yaitu sistem tikam. Perubahan ini secara simultan mempengaruhi sistem kehidupan lainnya seperti pola distribusi dan pertukaran, kelembagaan sosial, sistem keagaamaan dan norma. Disamping itu masyarakat Lamalera juga dihadapkan pada diskursus konservasi laut yang dikenalkan oleh LSM konservasi internasional. Kedua faktor eksternal tersebut mempengaruhi pengelolaan ekonomi tradisional masyarakat Lamalera yang pada mulanya berdasarkan pada inti budaya. Perubahan ini pada akhirnya menciptakan polarisasi dalam masyarakat Lamalera, menciptakan kelas sosial baru, dan menghilangkan jaminan sosial bagi masyarakat miskin, orang tua, janda dan anak yatim.

Kata kunci:Lamalera, inti budaya, motorisasi perikanan, wacana konservasi.


(4)

ABSTRACT

FEBRINA DESRIANTI. Social Change in Fishing Community of Lamalera (Perspectives of Sociology, Economics and Ecology). Under supervision of SOERYO ADIWIBOWO and ARIF SATRIA.

Hunting and stabbing cetaceans and other big fishes such as manta rays and sharks has become the cultural core for fishing community of Lamalera. Changing in cultural core can occur promoted by technological change as one of driven factors. This research has purposes to analysis the persistence of hunting and stabbing activities of cetaceans and big fishes as cultural core of Lamalera’s community and the influences of marine conservation policy on the existing social system.

The results show that the change of production technology in Lamalera’s community was initiated by motorization introduced by FAO. This change has created a new system of production economy in Lamalera that is trawl system which is completely different from the traditional system that is stabbing system. Simultaneously it has determined other systems in society such as distribution and exchange pattern, social institutions, religion system and norms. In addition, Lamalera’s community is also acquainted by marine conservation discourses introduced by an international NGO for conservation. Both external factors have deteriorated the traditional economic management of Lamalera’s community which was initially based on the cultural core. Eventually these changes create polarization and new social classes in the community and eliminate social assurance for poor people, elders, widows and orphans.


(5)

Pandang Sosiologi Ekonomi dan Ekologi). Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO dan ARIF SATRIA.

Manusia dan budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan. Hubungan antara kebudayaan manusia dan alam tampak sangat jelas pada komunitas tradisional pemburu ikan dan mamalia laut Lamalera. Secara tradisional kegiatan berburu dilakukan pada siang hari dengan seperangkat alat tangkap sederhana tanpa menggunakan peralatan modern. Tenalaja (perahu layar) adalah alat produksi utama, yaitu perahu tradisional dengan layar dan seperangkat tali serta tombak bambu yang digunakan untuk menikam ikan. Saat ini, tenalaja bukan satu-satunya alat produksi. Beberapa pergeseran mulai terjadi ketika nelayan Lamalera dikenalkan dengan mesin (disebut johnson) pada tahun 1973 oleh FAO. Teknologi mesin menandai permulaan terjadinya beberapa pergeseran pada sistem produksi. Di samping menghadapi perubahan karena motorisasi, nelayan Lamalera juga dihadapkan pada diskursus konservasi keanekaragaman hayati yang muncul dalam kebijakan penetapan kawasan konservasi laut (KKL). Konservasi dikontradiksikan dengan budaya berburu peninggalan leluhur. Setidaknya Lamalera terseret dalam konstelasi diskursus konservasi karena dua alasan, pertama secara geografis posisinya terletak di pesisir Laut Sawu, kedua jenis mamalia laut buruan nelayan Lamalera dipersoalkan sebagai cetacean yang perlu dijaga kelestariannya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sistem sosiokultur masyarakat Lamalera dalam perspektif ekologi dan mengetahui sejauh mana terjadi perubahan pada sosiokultur masyarakat nelayan Lamalera sebagai akibat program-program pembangunan kelautan dan konservasi.

Penelitian ini dibingkai dengan pendekatan ekologi budaya, pendekatan materialisme pada perubahan sosial dan dan diskursus konservasi keanekaragaman hayati. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Data yang dikumpulkan dengan metode observasi (berperan serta) dan wawancara mendalam terkait dengan teknologi produksi dan perubahan-perubahannya, perilaku pemamfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan ekonomi, kelembagaan sosial, sistem nilai dan religi, pola pemukiman, sistem tenurial dan karakter lingkungan. Wawancara dilakukan dengan nelayan, anggota lembaga adat, pemilik perahu dan

tena laja, ibu rumah tangga dan aparat pemerintah desa. Data mengenai konservasi dikumpulkan melalui wawancara dengan masyarakat Lamalera yang menolak dan mendukung kegiatan konservasi, WWF, LSM lokal dan Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan berburu ikan-ikan besar adalah budaya dasar yang menjadi landasan bagi berdirinya sistem sosiokultur yang utuh di Lamalera. Sebagaimana dikemukakan Steward, bahwa adaptasi terhadap lingkungan dilakukan dengan menciptakan teknologi untuk memanfaatkan sumberdaya alam merupakan penekanan pada inti budaya, maka di Lamalera, sebuah teknologi dasar perahu tradisional dengan rancangan spesifik untuk menikam adalah unsur utama sistem sosialnya. Dari inti budaya menikam ikan besar tersebut, terbentuk sistem pengelolaan ekonomi (teknologi produksi,


(6)

pola distribusi dan pola pertukaran), sistem kelembagaan, religi, dan sistem norma yang adaptif dengan sistem lingkungan setempat.

Perubahan perlahan-lahan terjadi dengan masuknya mesin jhonson dan diikuti oleh jaring pukat serta perahu sampan seukuran tena laja. Mesin dengan bahan bakar minyak tanah dan bensin ini dipasang pada sampan besar berisi pukat sehingga melahirkan sistem produksi yang berbeda dengan sistem tradisional tikam, yaitu sistem pukat. Pergeseran moda produksi terjadi dari sistem tikam ke sistem pukat.

Sistem tikam dicirikan dengan pemakaian teknologi komunal milik suku yaitu tenalaja yang berasosiasi dengan lango bella (rumah besar). Fungsi utama

tena laja adalah sebagai alat produksi yang dioperasikan sendiri oleh pemiliknya. Sistem tikam dilakukan dalam tiga musim yang masing-masing memiliki kekhasan yaitu musim lefa (berlangsung dari Mei hingga September), rai Lewotobi dan rai Duli (sebulan sebelum lefa berakhir) serta baleo (mengejar paus saat ketika terlihat dari daratan). Tiga musim ini dapat dijadikan acuan untuk menggambarkan aktifitas produksi masyarakat Lamalera, menjadi penopang kebutuhan subsistensi masyarakat dan menyediakan simpanan pangan pada musim tidak melaut. Pengelolaan ekonomi sistem tikam dikendarai oleh organisasi ekonomi yang disebut uma alep. Keanggotaan dalam uma alep

diperoleh melalui kontribusi dengan menyumbangkan bahan-bahan serta ikut terlibat dalam pembuatan perahu. Bagian ikan yang menjadi hak uma alep

dikelola bersama. Pengolahan ikan dilakukan di belappa lolo (tempat menjemur daging ikan), lalu ikan kering disimpan di lango bella (rumah besar). Pada akhir musim leffa anggota umaalep akan berkumpul di lango bella dan membagi secara adil hasil tikaman pada satu musim leffa itu. Selain membagi kepada semua anggota uma, bagian-bagian tertentu juga disisihkan untuk perbaikan tena laja.

Sistem pukat ditandai dengan tiga alat produksi yaitu mesin (motor tempel termasuk ketinting), perahu sampan dan jaring pukat. Alat produksi ini tidak memiliki asosiasi dengan rumah besar. Beberapa alat produksi dimiliki secara perseorangan atau keluarga besar. Kepemilikan oleh keluarga besar memang merunjuk pada hubungan kekerabatan, akan tetapi tidak seluas relasi kepemilikan komunal suku pada tena laja. Terlepas dari itu, hubungan antara alat-alat produksi dalam sistem pukat dengan rumah besar bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Karena tidak ada asosiasi antara alat produksi dengan rumah besar maka pengelolaan ekonomi komunal dalam sistem pukat hilang. Kegiatan ekonomi pukat tidak didasari untuk memenuhi kebutuhan bersama dalam suku melainkan kebutuhan keluarga inti atau keluarga besar. Pola distribusi mengecil pada sedikit orang yaitu pada pemilik alat tangkap dan meing yang terlibat. Bagian uma yang dibagi rata kepada sekelompok orang dalam sistem tikam, didominasi oleh satu orang atau satu keluarga pemilik pukat saja.

Diskursus konservasi berkembang disaat perubahan pengelolaan ekonomi terjadi. Masyarakat Lamalera memiliki kearifan tradisional sendiri yang didasarkan pada pemanfaatan dan pelestarian. Terlepas dari kearifan tradisional tersebut, pemanfaatan hasil laut berupa ikan-ikan besar (beberapanya termasuk dalam daftar IUCN) telah menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Diskursus konservasi laut khususnya yang terkait dengan perlindungan cetacean menjadi dasar inisiatif awal pembentukan Kawasan Konservasi Laut Daerah Solor-Lembata-Alor (KKLD-Solar). Inisiatif KKL ini dimulai sejak tahun 2001 lewat


(7)

sampai saat ini. Untuk menunjang KKL Solar, maka WWF menggalang dukungan dari masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk melindungi dan menjaga keanekaragaman hayati di perairan Solar. Diskursus konservasi mendapat dukungan dari dua kepentingan besar yaitu CTI (Coral Triangel Initiative) dan target 10 juta Ha Kawasan Konservasi Perairan (KKP) pada tahun 2010 oleh DKP-RI. Tiga kepentingan ini kemudian diikat dalam pencadangan Laut Sawu sebagai KKPN seluas 4,9 juta Ha pada awal tahun 2009 yang terdiri atas 3 zona. Aksi penolakan oleh masyarakat Lamalera telah menggagalkan zona II masuk dalam KKPN Sawu sehingga deklarasi penetapan kawasan konservasi Laut Sawu pada Mei 2009 menjadi 3,5 juta Ha yang terdiri atas 2 bagian yaitu wilayah perairan Selat Sumba dan sekitarnya dan wilayah perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek dan sekitarnya. Kawasan ini ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Laut Sawu.

Baik perubahan maupun konservasi digerakkan oleh aktor luar yaitu FAO, Pemerintah dan WWF. Hal ini telah mendesak eksistensi sistem produksi tradisional tikam yang merupakan landasan bagi sistem sosiokultur di Lamalera. Beberapa implikasi sosial terjadi karena pergeseran pola distribusi yang tidak merata dari sistem tikam ke sistem pukat. Dua perubahan ini (motorisasi dan konservasi) telah menimbulkan akibat pada tiga hal yaitu: pertama, dampak terhadap stratifikasi sosial dan polarisasi. Kedua, menghilangkan jaminan sosial seiring tidak adanya organisasi ekonomi uma alep. Ketiga, menciptakan ketidakadilan sosial. Ketidakadilan sosial mulai terlihat karena akses untuk memanfaatkan sumberdaya laut terbatasi oleh kepemilikan alat produksi. Apabila fenomena-fenomena tersebut terus berlangsung, maka akan memicu konflik laten dalam masyarakat.


(8)

(c) Hak Cipta milik IPB , tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

(Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi dan Ekologi)

FEBRINA DESRIANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(10)

(11)

Nama : Febrina Desrianti NRP : I 353070101

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, M.S Dr. Arif Satria, SP., M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan

Dr. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc., Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc., Agr.


(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya karya ini telah diselesaikan dengan baik.

Tesis ini mengambil topik tentang perubahan sosial pada masyarakat nelayan pemburu paus Lamalera. Perubahan sosial tersebut dipicu oleh perubahan pada teknologi eksploitasi yang dibawa oleh pihak luar. Di samping perubahan tersebut, nelayan Lamalera juga dihadapkan pada diskursus konservasi. Dua hal diatas kemudian mendesak eksistensi sistem tradisional yang ada.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir Soeryo Adiwibowo, M.S dan Bapak Dr. Arif Satria SP., M.Si selaku komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, M.A selaku penguji luar komisi. Ketiganya sangat berjasa selama proses penyusunan tesis melalui diskusi, kritik, dan sarannya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kakanda Eva Anggraini yang telah mendukung penulis selama menjalankan masa studi di Sekolah Pasca Sarjana, adik penulis Dony Saputra dan Retia Revani yang membantu penulis selama pengerjaan tesis ini. Tidak terkira dukungan dan doa yang diberikan oleh orang tua, untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya.

Terimakasih juga penulis sampaikan kepada keluarga Bapak Pieter Tedu Bataona dan keluarga Bapak Gregorius Tapoona yang telah mengijinkan penulis untuk tinggal bersama keluarga mereka selama melakukan penelitian di Lamalera.

Tentunya di sana sini masih terdapat kekurangan sehingga penulis membuka diri untuk kritik dan saran untuk penelitian-penelitian di masa mendatang. Terakhir, semoga karya ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2011


(13)

Penulis dilahirkan di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar pada tanggal 30 Desember 1980 dari pasangan Montan dan Rosnaini. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara.Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Sosiatri, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, lulus tahun 2005. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan magister di Program Studi Sosiologi Pedesaan pada Sekolah Pascasarjana IPB. Saat ini penulis bekerja sebagai konsultan sosial di PT. Environmental Resources Management (ERM) Indonesia.


(14)

i

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

I. PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2. Pertanyaan Penelitian ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Teori Ekologi Budaya ... 13

2.1.1. Pendekatan Evolusi Multilinier Sebagai Landasan bagi Teori Ekologi Budaya ... 17

2.1.2. Penerapan dan Pengembangan Teori Ekologi Budaya serta Beberapa Kritik ... 22

2.2. Pendekatan Materialisme Pada Perubahan Sosial ... 24

2.2.1. Perubahan Sosial Hingga Dikotomi Pada Sistem Sosiokultur ... 29

2.3. Teori Diskursus ... 32

2.3.1. Diskursus Konservasi Lingkungan ... 33

2.3.2. Konservasi Sebagai Konstruksi Sosial/Konservasi Tradisional ... 37

2.3.3. Konservasi Keanekaragaman Hayati/Konservasi Modern ... 40

2.4. Kerangka Pemikiran ... 42

2.5. Hipotesa Pengarah ... 43

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 44

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44

3.2. Pengumpulan Data ... 45

3.3. Analisa Data ... 47

IV. SISTEM SOSIOKULTUR KOMUNITAS NELAYAN LAMALERA ... 49

4.1. Ekosistem Laut Sawu dan Pulau Lembata ... 51

4.2. Sejarah Terbentuknya Lefo Lamalera ... 53

4.3. Berburu dan Menikam Mamalia Laut dan Ikan Besar ... 57

4.3.1. Alat Produksi Tena Laja ... 58

4.3.2. Tena Laja dan Koteklema ... 63


(15)

ii

V. PENGARUH MOTORISASI TERHADAP SISTEM

SOSIOKULTUR DI LAMALERA ... 75

5.1. Sistem Tikam ... 77

5.1.1. Tena laja Sebagai Alat Produksi Utama Pada Sistem Tikam .. 78

5.1.2. Pergeseran Pada Sistem Tikam ... 79

5.2. Sistem Pukat ... 86

5.2.1. Alat Produksi pada Sistem Pukat ... 86

5.2.2. Variasi Penerapan Teknologi Jaring Pukat ... 87

5.3. Perubahan Pengelolaan Ekonomi... 90

5.3.1. Ekonomi komunal ... 91

5.3.2. Ekonomi Kepentingan ... 97

5.4. Dampak Perubahan Pengelolaan Ekonomi Terhadap Aspek Sosiokultur Lainnya ... 103

VI. LAMALERA DALAM DISKURSUS KONSERVASI... 112

6.1. Kearifan Tradisional Masyarakat Lamalera ... 112

6.2. KKLD Solar dan KKPN Laut Sawu ... 114

6.3. Dinamika Penetapan Konservasi laut di Lamalera ... 118

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 127

7.1. Kesimpulan ... 127

7.2. Saran ... 129

DAFTAR PUSTAKA ... 131 LAMPIRAN


(16)

iii

DAFTAR TABEL

1. Kerangka Pemikiran Pengelolaan Kawasan Konservasi ... 35

2. Metode, Waktu dan Lokasi Penelitian ... 46

3. Asal-usul Suku-suku di Lamalera dan Rumah Besar ... 55

4. Ikan dan Mamalia Laut Tikaman Nelayan Lamalera ... 66

5. Tena Laja dan Mesin Johnson ... 84

6. Perubahan Moda Produksi di Lamalera dan Pengaruhnya pada Sistem Sosiokultur Lain ... 104


(17)

iv

Elemen Sistem Sosiokultur ... 27 2. Level amalisa pada Pengetahuan Ekologi Tradisional dan Sistem

Manajemennya ... 38 3. Kerangka Pemikiran Perubahan Sosial Pada Masyarakat Nelayan

Lamalera ... 42 4. Peta Lokasi Penelitian ... 45 5. Sistem Sosiokultur Komunitas Nelayan Lamalera ditinjau dari

Perspektif ekologi budaya ... 70 6. Pembagian Hasil Tikaman koteklema ... 72 7. Pembagian Ikan Pari ... 101 8. Peta Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu di Provinsi Nusa Tenggara Timur ... 117 9. Peta Konflik Konservasi di Lamalera ... 122 10. Peta Usulan Kawasan Konservasi Perairan Laut Sawu ... 125


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Istilah kebudayaan (culture) biasanya digunakan untuk menyebut seluruh cara hidup suatu masyarakat yang dipandang sebagai sebuah keutuhan (Sanderson 2000: 51). Adanya bentuk-bentuk yang sama dari unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat yang berbeda telah menjadi tema yang diperdebatkan dalam ilmu antropologi. Dua penjelasan yang dikemukakan untuk menjawab gejala persamaan unsur-unsur kebudayaan, yaitu: pertama, disebabkan karena persebaran atau difusi. Anggapan dasar pemikiran ini adalah kebudayaan manusia berpangkal di satu tempat tertentu (dikatakan dengan kebudayaan induk), yang berkembang, menyebar dan pecah ke dalam banyak kebudayaan baru karena pengaruh keadaan lingkungan dan waktu. Cara pikir kedua dalam melihat persamaan-persamaan ini disebabkan karena tingkat-tingkat yang sama dalam proses evolusi kebudayaan di berbagai daerah1. Menurut pandangan evolusi, kebudayaan telah lahir dengan sendiri-sendiri dan mengalami perkembangan sebagai hasil adaptasi terhadap tantangan lingkungan alamiah.

Pengaruh lingkungan terhadap kebudayaan, sebagai sebuah kajian lahir atas kritik terhadap pandangan bahwa kebudayaan berasal dari kebudayaan. Montesquieu dalam On the Spirit of Laws (1748) berupaya memberikan penjelasan mengapa masyarakat berbeda satu sama lainnya dengan menyatakan bahwa variabel-variabel seperti tanah, iklim dan lingkungan merupakan faktor-faktor yang ikut berpengaruh dalam membentuk kelembagaan masyarakat. Pemikiran tentang hubungan antara manusia, budaya dan lingkungan serta bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup, muncul kembali pada abad ke 19. Teori-teori ini hadir untuk menjelaskan perbedaan kebudayaan sebagai suatu proses evolusi dan menempatkan kelompok masyarakat pada kategori-kategori yang ditentukan berdasarkan teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada di lingkungannya (Christensen dan Levinson 2003: 360).

1


(19)

Manusia dan budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan. Aktivitas manusia mempengaruhi dan mengakibatkan perubahan pada lingkungan. Perubahan tersebut akan berbalik mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungan. Dengan sifat dasar manusia yang sadar diri, memiliki kemampuan teknologis dan sangat sosial, maka interaksi manusia dengan lingkungan menjadi hal kompleks dan menarik. Hubungan antara kebudayaan manusia dan alam tampak sangat jelas pada masyarakat tradisional pemburu mamalia laut dan ikan Lamalera. Komunitas adat ini dikenal dengan budaya mereka menikam paus, lumba-lumba dan ikan-ikan besar seperti pari dan hiu.

Nelayan Lamalera memburu dan menikam ikan-ikan besar, namun secara spesifik perburuan paus yang membuat mereka dikenal dunia. Perburuan paus paling tidak telah dilakukan pada sekitar tahun 1643, sebagaimana tercatat dalam sebuah dokumen Portugis. Pada laporan ini ditegaskan bahwa perburuan paus oleh masyarakat Lamalera adalah budaya tua yang telah dilakukan jauh sebelum kedatangan pemburu paus dari Amerika dan Inggris di perairan timur Indonesia (Barnes 1996: 323). Terletak di pesisir selatan Pulau Lembata, desa ini sangat minim lahan subur yang dapat ditanami. Tidak heran apabila kegiatan ekonomi masyarakat hampir sepenuhnya bertopang pada hasil laut. Walaupun demikian, menurut sejarah bukan keterbatasan lahan subur yang membuat masyarakat Lamalera melaut, tetapi karena sebagian besar nenek moyang masyarakat desa ini merupakan pelaut yang dahulu melakukan perjalanan eksodus meninggalkan daerah asal mereka di pesisir Sulawesi.

Penangkapan ikan dengan berburu dan menikam yang masih dilakukan hingga saat ini merupakan cara yang diwarisi dari leluhur. Kegiatan berburu dilakukan pada siang hari dengan seperangkat alat tangkap sederhana yang terbuat dari bahan-bahan yang ada di lingkungan setempat dan tanpa menggunakan peralatan modern. Tenalaja atau perahu layar2 adalah salah satu unit penangkapan ikan utama, yaitu perahu tradisional dengan layar dan seperangkat tali serta tombak bambu yang digunakan untuk menikam ikan. Saat ini, tenalaja bukan satu-satunya alat produksi. Untuk jenis ikan seperti pari, hiu dan lumba-lumba

2


(20)

3

yang ukurannya relatif lebih kecil, sampan besar bermesin biasa digunakan. Namun demikian, hal itu tidak berlaku untuk paus sperma (Physeter macrocephalus) yang dalam bahasa lokal disebut koteklema. Dengan rancangan khusus dan seperangkat kepercayaan terhadap laut, maka hanya dengan tenalaja, koteklema bisa dan boleh ditikam.

Beberapa pergeseran mulai terjadi ketika nelayan Lamalera dikenalkan dengan mesin. Perlahan-lahan setelah mengenal mesin tempel yang mereka sebut

johnson pada tahun 1970an melalui program FAO, aktivitas melaut di Lamalera mulai mengalami pergeseran. Kegiatan mendayung perahu sambil bersenandung digantikan oleh tenaga mesin atau menarik tenalaja dengan sampan besar yang dipasangi mesin johnson pada saat mengejar koteklema. Suasana semarak mendorong perahu turun ke laut di pagi hari pada musim lefa (musim berburu) digantikan dengan kesibukan menata pukat pada sore hari. Nelayan Lamalera yang akrab dengan lautnya hanya pada siang hari juga mulai terbiasa menunggu ikan menyentuh pukat yang di tebar pada malam hari. Masuknya teknologi mesin menandai permulaan terjadinya beberapa pergeseran pada sistem produksi di desa pemburu ikan dan mamalia laut ini.

Jauh sebelum introduksi teknologi, faktor-faktor seperti misi Katolik, pendidikan dan masuknya sistem pemerintahan desa telah lebih dulu membawa perubahan ke Lamalera. Pertama misi Katolik menggeser sistem religi animisme kepada kepercayaan terhadap gereja serta mengenalkan pendidikan yang dikemudian hari memacu tingkat migrasi penduduk usia muda meninggalkan desa untuk melanjutkan sekolah. Kedua masuknya sistem pemerintahan desa di masa pemerintahan kolonial membagi masyarakat dengan satu kultur ini secara administratif menjadi dua desa.

Perubahan sosial yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah perubahan oleh pergeseran adat produksi. Munculnya teknologi modern penangkap ikan telah melahirkan pergeseran berarti karena memunculkan pengelolaan perekonomian masyarakat yang berbeda meski tidak bisa dikatakan meninggalkan pola sosiokultur aslinya. Saat ini, kegiatan produksi dengan perahu mesin berpukat lebih mendominasi perekonomian di Lamalera, sementara aktivitas


(21)

berburu masih dilakukan apabila melihat segerombolan paus atau lumba-lumba melintas di depan kampung mereka.

Introduksi teknologi modern menghasilkan cara pemanfaatan sumberdaya laut yang baru pula. Jumlah tenalaja sebagai alat produksi utama mulai berkurang seiring dengan bertambahnya jumlah sampan besar yang menggunakan mesin

johnson dengan gulungan jaring pukat di dalamnya. Melihat Lamalera saat ini dengan mengidentifikasi sistem sosiokulturnya sebagai hasil adaptasi terhadap lingkungan, maka pemakaian mesin dan alat tangkap pukat menjadi lebih dari sekedar perubahan alat produksi. Hal ini menunjuk pada satu gejala munculnya sistem sosiokultur baru yang berbeda dengan sistem sebelumnya. Seperti apa yang dikatakan Barnes, Lamalera is a community which straddles several dichotomies

(1996: 341). Meskipun Barnes tidak secara terperinci menggambarkan bagaimana bentuk dikotomi tersebut, namun dikotomi ini mendekati konsep dualisme ekonomi Boeke yang digambarkan seperti sistem ekonomi-prakapitalis yang didampingi oleh ekonomi kapitalis, dimana kedua sistem ini saling mempengaruhi (Sajogyo 1985: 36, Barnes 1996: 341)3. Sejauh apa dikotomi itu membelah masyarakat Lamalera? Bagaimana dan seperti apa pergeseran sosiokultur di Lamalera menjadi salah satu pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini.

Pertanyaan diatas diperlukan dalam mengkaji persoalan selanjutnya terkait kebijakan konservasi Laut Sawu, khususnya Laut Lembata4. Mengemukanya wacana konservasi laut inilah sebenarnya yang menghantarkan saya melakukan penelitian di Lamalera. Di samping menghadapi perubahan-perubahan dalam sistem produksinya, masyarakat Lamalera juga dihadapkan pada wacana konservasi keanekaragaman hayati yang muncul dalam kebijakan penetapan kawasan konservasi perairan. Isu konservasi dikontradiksikan dengan budaya berburu peninggalan leluhur masyarakat Lamalera. Setidaknya Lamalera terseret dalam konstelasi politik konservasi ini karena dua alasan pertama karena secara geografis posisinya yang terletak di pesisir Laut Sawu, kedua karena jenis

3

Penelitian Barnes di Lamalera tidak untuk melihat dikotomi ekonomi seperti paparan Dualisme Ekomoni Boeke (1953). Tetapi ia menguraikan fakta bahwa perubahan ekonomi dan sosial telah mendorong dikotomi dalam aktivitas-aktivitas produksi dan pola konsumsi individu dalam komunitas tersebut (hal. 341)

4


(22)

5

mamalia laut buruan orang Lamalera dipandang sebagai jenis cetacean yang perlu dijaga kelestariannya.

Laut Sawu di Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah perairan penting untuk mamalia laut di Indonesia yang diperkirakan terdapat 30 spesies

cetacea5 yang dapat ditemui di Laut Sawu seperti paus, lumba-lumba dan duyung. Dari 30 spesies catecea tersebut, beberapa jenis diantaranya adalah paus-paus besar yang terancam punah yaitu paus biru, paus sei dan paus fin. Selain itu, juga banyak ditemukan paus sperma yang berdasarkan data IUCN termasuk ke dalam spesies yang rentan mengalami kepunahan (Mustika, 2006: 1). Paus adalah salah satu mamalia laut yang bermigrasi secara musiman untuk mencari makan, menuntun anaknya ke perairan yang lebih hangat serta mencari daerah untuk membesarkan anaknya. Laut Sawu adalah laut dalam yang dibatasi oleh Pulau Flores, Timor dan Sumba. Terusan kecil antara Solor dan Alor di Laut Sawu merupakan tempat mencari makan serta koridor migrasi bagi paus dan catecea

lainnya.

Pada awalnya, Konservasi Laut Sawu yang menempatkan perairan Lembata dalam zona II kawasan tersebut ditolak oleh masyarakat Lamalera. Upaya advokasi dan menggalang dukungan dilakukan dengan mengangkat kasus ini di berbagai media. Penolakan masyarakat terhadap pencadangan Zona II dalam konservasi Laut Sawu tidak lagi menjadi isu lokal, setelah beberapa media lokal dan nasional memberitakan kekhawatiran dan penolakan masyarakat terhadap kebijakan ini.6 Penolakan tersebut didasari oleh pemahaman bahwa cepat atau lambat, konsekuensi yang akan dihadapi dengan masuknya zona II dalam wilayah konservasi Sawu adalah pelarangan untuk meneruskan tradisi mereka berburu paus.7 Setiap jawaban klarifikatif yang disampaikan oleh para pihak yang

5

Cetacean adalah sebutan umum bagi mamalia laut dari Ordo Cetacea, antara lain paus, lumba-lumba, dan pesut. Seperti mamalia laut yang pada umumnya hidup di darat, di dalam air, cetacean juga bernapas menggunakan paru-paru dan bereproduksi dengan cara melahirkan. Sebagian besar cetacean hidup di laut, tetapi ada juga beberapa jenis yang hidup di air tawar, yaitu dari jenis lumba-lumba. Mead, J. G. dan J. P. Gold. Whales and dolphins in question. 2002.

6

Diberitakan dalam beberapa media online. Lihat

http://www.suarapembaruan.com/News/2009/03/23/Kesra/kes05.htm

http://female.kompas.com/read/xml/2009/03/23/17273043/masyarakat.lamalera.tolak.konservasi.p aus

7

Media Indonesia.com memberitakan bahwa masyarakat Lamalera menolak konservasi Zona II Laut Sawu karena dipandang akan memicu pelarangan tradisi penangkapan paus di daerah itu.


(23)

berwenang dan memiliki kepentingan (Dinas Perikanan Kelautan Lembata, WWF dan pihak lainnya) tidak berhasil merubah perspektif masyarakat. Dengan nama apapun, baik itu Kawasan Konservasi Laut (KKL), Kawasan Konservasi Perairan (KKP), Taman Laut, dan sebagainya dipandang akan memberikan konsekuensi yang sama dan menjauhkan mereka dengan para leluhur serta menghentikan tradisi berburu koteklema.

Paus spermamerupakan salah satu mamalia laut buruan nelayan Lamalera. Secara umum, paus merupakan cetacean yang masuk dalam daftar spesies yang terancam punah. Hal ini mendorong kelompok pecinta lingkungan hidup semakin aktif menyerukan penyelamatan paus. Pada tahun 1986 kesepakatan internasional mengenai moratorium penangkapan paus telah menetapkan pelarangan perburuan paus untuk tujuan komersial dan mengizinkan sebagian masyarakat asli memburu sejumlah terbatas paus berdasarkan izin penangkapan paus untuk mencari nafkah. International Whale Commision (IWC) mengakui bahwa perburuan paus oleh masyarakat tradisional berbeda dengan perburuan paus untuk keperluan komersial. Konvensi Genewa mengenai Peraturan Penangkapan Paus tahun 1931 menetapkan bahwa masyarakat tradisional yang diperbolehkan menangkap paus adalah masyarakat yang hanya menggunakan kano, perahu atau alat tangkap lokal yang menggunakan dayung dan layar, tidak menggunakan senjata api, dilakukan sendiri oleh masyarakat asli dan tidak terikat kerjasama dengan pihak ketiga untuk menerima hasil tangkapan (Revees 2002).

Dalam kategori yang ditetapkan IWC, penangkapan paus di Lamalera tergolong pada subsistence whaling, karena penangkapan paus dilakukan dalam skala kecil, berkesinambungan dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal serta tidak ada tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan perburuan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan kategori yang ditetapkan oleh IWC, maka masyarakat nelayan Lamalera termasuk dalam kategori masyarakat adat yang tidak menjadi subjek pengawasan IWC.

Beberapa orang Lamalera terutama yang berada di perantauan mengetahui kategorisasi yang ditetapkan oleh IWC. Bagi mereka, benar salahnya kegiatan berburu yang mereka lakukan tidak perlu lagi diperdebatkan. Tetapi keresahan


(24)

7

yang berkembang di dalam lefo tidak dapat diabaikan. Kekhawatiran dijauhkan dari tradisi leluhur, ketidakharmonisan karena saling berprasangka terhadap pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan dari rencana penetapan kawasan konservasi berkembang di lefo Lamalera. Isu konservasi dan larangan berburu menyebabkan masyarakat Lamalera di lefo dan di luar lefo menggalang suara untuk menolak dimasukkannya Zona II dalam Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu (KKPN Laut Sawu). Penolakan yang dilakukan memberikan hasil seperti yang mereka harapkan, yaitu dikeluarkannya zona II dari KKPN Laut Sawu.

Zona II memang telah keluar dari KKPN Laut Sawu. WWF beserta LSM lingkungan lain yang pernah melakukan kegiatan di Lamalera dilarang masuk ke kampung itu. Di Lamalera, berdasarkan kesepakatan bersama maka sejak bulan Mei 2009 semua pembicaraan tentang konservasi dihentikan. Sementara itu, upaya mengembangkan kegiatan di perairan Lembata masih dilakukan. WWF sebagai satu-satunya LSM internasional disana masih melanjutkan kegiatan di Lembata dan dua pulau lainnya (Solor dan Alor). Pertanyaan utama disusun untuk mengetahui bagaimana program-program kelautan dan konservasi mempengaruhi sistem bermasyarakat di Lamalera. Dengan perubahan dalam sistem produksi yang sedang berjalan di Lefo disana, apakah kebijakan konservasi ini akan mempengaruhi sistem sosiokultur masyarakat Lamalera?

Penelitian tentang masyarakat pemburu ikan-ikan besar terutama paus di Lamalera masih terbatas. Sejumlah hasil studi yang peneliti temukan yaitu penelitian etnografis Barnes (1996) yang memberikan gambaran mengenai organisasi sosial dan budaya dengan memfokuskan pada organisasi ekonomi di Lamalera. Barnes menuliskan secara mendetail mengenai desa, masyarakat dan aktivitas non-maritim yang dilakukan oleh masyarakat Lamalera pada bagian awal serta memaparkan mengenai laut serta segala hal yang terkait dengan itu pada bagian utama bukunya. Studi komparatif pada masyarakat pemburu cetacean di Lamalera, Lamakera, Alor dan Rote juga pernah dilakukan oleh Mustika (2006). Penelitian ini melihat status tradisi perburuan paus di Laut Sawu dalam konteks konservasi mamalia laut.


(25)

Beberapa penelitian yang ditemukan dalam bentuk artikel jurnal dilakukan oleh Anita Lundberg dan David A. Nolin. Anita Lundberg (2003) dalam Time Travels in Whaling Boats8 memberikan gambaran etnografis dan arkeologis tentang bentuk dan konstruksi perahu layar tradisional nelayan Lamalera. Artikel lainnya Voyage of the Ancestors9 (2003), dimana Lumberg membaca ulang teks-teks yang membawa Lamalera kembali ke awal sejarahnya. Lundberg menyusuri mitos-mitos secara simultan untuk mencari asal-usul perjalanan leluhur Lamalera dari Pulau Lembata, ke tanah Lepan Batan, melalui Maluku dan kembali ke pesisir Sulawesi. Masih dengan studi etnografi, Nolin (Smith 2010) melaporkan estimasi kuantitatif transmisi antar generasi dan ketidaksetaraan untuk mengukur kesejahteraan dalam populasi masyarakat pemburu dan peramu.10 Penelitian dilakukan di lima populasi sampel, salah satunya masyarakat pemburu Lamalera. Indikator yang digunakan untuk menggukur tingkat kesejahteraan di Lamalera yaitu kesejahteraan kehidupan rumah tangga, ikatan jaringan bagi hasil, kepemilikan perahu dan keberhasilan reproduksi.

Penelitian ini mengambil fokus yang berbeda dengan penelitian-penelitian di atas yaitu mencoba menggabungkan pendekatan ekologi budaya dengan kepentingan konservasi terhadap KKPN Laut Sawu. Penelitian ini berada dalam posisi menggabungkan teori antropologi lingkungan, mengkaji perubahan-perubahan sistem sosiokultur dalam koridor ekologi serta memberikan gambaran deskriptif tentang bagaimana kebijakan lingkungan disikapi dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat di Lamalera. Lalu bagaimanakah kebijakan lingkungan ini memposisikan masyarakat tradisional Lamalera.

Pendekatan baru dalam kajian antropologi lingkungan telah mengkritik pendekatan lama dalam melihat masyarakat pada skala lokal saja dan mengabaikan faktor-faktor luar sebagai konsekuensi dari kehidupan yang terintegrasi dengan sebuah negara serta pengaruh globalisasi yang lebih luas. Sebagaimana pendekatan baru tersebut, penelitian ini juga memperluas perspektif dalam melihat interaksi antara masyarakat lokal dan lingkungannya dengan tidak

8

Downloaded from http://jsa.sagepub.com by Febrina Desrianti on October 20, 2009

9

Downloaded from http://cgj.sagepub.com by Febrina Desrianti on October 20, 2009

10

Eric Alden Smith, Wealth Transmission and Inequality among Hunter-Gatherers (2010). http://www.journals.uchicago.edu/doi/abs/10.1086/648530?journalCode=ca. Didownload pada tanggal 4 april 2010.


(26)

9

membatasi cara pandang pada perspektif lokal semata, tetapi juga memberikan perhatian terhadap tekanan-tekanan dari luar yang mengintroduksir pola hidup komunitas tradisional.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Sistem sosiokultur masyarakat Lamalera dihadapkan pada dua tantangan. Pertama perubahan cara pemanfaatan sumberdaya. Introduksi teknologi telah menggeser cara masyarakat Lamalera dalam memamfaatkan sumber daya ikan. Dalam perspektif ekologi, baik perubahan teknologi eksploitasi maupun perubahan pada kondisi lingkungan berpeluang merubah unsur-unsur lain dalam sebuah sistem sosiokultur. Ada dualisme pola pemamfaatan sumber daya di Lamalera saat ini yaitu pola berburu dan manikam yang biasanya dilakukan pada musim lefa (musim ke laut), berlangsung dari bulan Mei sampai Oktober setiap tahun. Selain itu dilakukan juga dalam saat-saat baleo, yaitu saat mereka melihat

koteklema atau lumba-lumba dan jenis paus lain melintas di sepanjang pantai desanya. Pola baru yang muncul belakangan ini adalah berpukat. Sebagaimana banyak dilakukan oleh nelayan-nelayan di berbagai daerah di Indonesia. Pemakaian jaring pukat menuntut nelayan untuk keluar melaut malam hari dan biasanya kembali ke daratan pagi harinya. Kegiatan berburu dan menikam masih dilakukan, tetapi aktivitas berpukat malam telah mendominasi pola produksi para nelayan Lamalera.

Tantangan kedua adalah pencadangan KKPN Laut Sawu. Mungkin terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa kebijakan konservasi ini akan menjadi tantangan antropologis bagi masyarakat lokal Lamalera. Akan tetapi beberapa kasus menunjukan hal serupa itu. Manusia dipandang sebagai ancaman besar terhadap keberlangsungan keanekaragaman hayati. Ada prasangka bahwa manusia tidak lagi bertahan dengan ekonomi subsisten dan pola konsumsi sudah melebihi yang dibutuhkan. Prasangka tersebut tidak memandang batas wilayah, maka masyarakat tradisional pun seringkali dilihat sebagai ancaman bagi lingkungan mereka sendiri yang bernilai biodivesiti tinggi.

Perubahan sosial menjadi titik tolak melihat sebuah kebijakan konservasi. Perburuan paus di Lamalera dibolehkan oleh IWC karena masuk dalam kategori


(27)

subsisten whaling. Apakah pola subsistensi tersebut masih berjalan? Dalam ruang kajian pemanfaatan sumber daya, apabila merubah perilaku konsumsi masyarakat maka merupakan satu hal penting melihat kembali relasi antara masyarakat dan lingkungan. Di sisi lain, menghargai sistem sosiokultur sebuah komunitas merupakan kemestian. Oleh karena itu penetapan wilayah konservasi harus memperhatikan aspek sosial budaya yang memadai. Kita tentu saja tidak boleh menutup mata pada salah satunya. Menjaga kelestarian dan keseimbangan alam di satu sisi dan mengakui hak-hak tradisional masyarakat adat di sisi lain tanpa menkontradiksikan keduanya.

Permasalahan yang akan dijawab oleh penelitian ini adalah bagaimana program-program kelautan dan konservasi laut mempengaruhi sistem sosiokultur masyarakat tradisional Lamalera? Pertanyaan ini akan dijawab dengan mengurainya menjadi beberapa pertanyaan yaitu :

1. Bagaimana sistem sosiokultur masyarakat nelayan Lamalera dalam perspektif ekologi?

2. Sejauh mana terjadi perubahan-perubahan sosiokultur pada masyarakat nelayan Lamalera sebagai akibat adanya program-program pembangunan kelautan dan konservasi?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meluaskan perspektif dalam melihat relasi antara masyarakat lokal dan lingkungan yang akan selalu bergulat dengan kompleksitas, perbandingan dan perubahan. Perubahan ada di depan sebuah sebuah sistem sosiokultur yang diwariskan. Kombinasi studi antropologi lingkungan, perubahan dan politik ekologi dilakukan untuk melihat semuanya dalam skala yang lebih luas. Dengan bertahap penelitian ini bertujuan untuk mengenali sistem sosiokultur masyarakat Lamalera dalam perspektif ekologi dan mengetahui perubahan sosial sebagai akibat terjadinya perubahan pada infrastruktur material. Tujuan akhir penelitian ini adalah mengkaji sejauh mana kebijakan pembangunan kelautan dan konservasi berpengaruh pada sistem sosiokultur masyarakat Lamalera.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Konservasi keanekaragaman hayati merupakan sebuah proses yang memberikan implikasi secara sosial dan politik11. Oleh karena itu, konservasi tidak bisa dibatasi pada pendekatan teknis tetapi juga dikembangkan dalam pembahasan ilmu sosial. Ben Orlove meletakkan landasan teoritik untuk kajian-kaijan seperti ini dengan memberikan catatan mengenai perlunya pandangan politik ekonomi dalam kajian-kajian ekologi (Haenn and Wilk 2006: 203). Fakta empiris menunjukkan pengelolaan lingkungan dengan pendekatan teknis telah menimbulkan banyak konflik dan memicu munculnya persoalan-persoalan yang berdampak buruk terhadap manusia dan lingkungan. Di beberapa negara berkembang, kerusakan lingkungan kerap diperparah oleh kebijakan lingkungan yang ditetapkan secara sepihak. Pada beberapa kasus seperti deforestasi, kerusakan lingkungan adakalanya dipicu karena penebangan hutan oleh masyarakat pinggir hutan sebagai manifestasi rasa tidak setuju dan tidak puas dengan kebijakan pemerintah. Di sisi yang berseberangan, upaya penyelamatan lingkungan dengan menetapkan kawasan perlindungan, suaka alam dan taman nasional membawa petaka sendiri bagi masyarakat yang telah turun-temurun menggantungkan hidupnya pada lingkungan tersebut. Dilihat sebagai ancaman bagi keanekaragaman hayati, maka masyarakat lokal dijauhkan dari teritorial tradisional mereka.

Salah satu konsekuensi memasukkan perspektif sosial pada studi ekologi terhadap kajian ekologi manusia adalah memperluas skala kajian dari lokal ke regional dan global. Konteks lokal diperlukan untuk mengenali sistem sosiokultur sebuah komunitas, mendalami hubungannya dengan lingkungan, mengenali upaya

coping terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan biofisik serta mengenali sistem manajemen lingkungan lokal yang dimiliki komunitas tradisional. Kontek regional dan global perlu ditinjau untuk mendalami kebijakan pengelolaan lingkungan. Kebijakan manajemen sumberdaya sering kali bukan

11

Steven R. Brenchin, et al. Beyond the Square Wheel: Toward a More Comprehensive Understanding of Biodiversity Conservation as Social and Political Process (2002).


(29)

kebijakan yang diinisiasi dari bawah. Hubungan dengan negara maju atau lembaga internasional kerap mempengaruhi kebijakan yang dibuat pemerintah di negara berkembang.

Perubahan merupakan satu faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Perubahans pada lingkungan bisa melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Begitu pula intervensi pemerintah dalam mengelola lingkungan dapat merubah pola interaksi antara masyarakat dan lingkungan. Ditingkat lokal, perubahan dapat terjadi pada lingkungan biofisik dan pada cara pemanfaatan lingkungan oleh masyarakat. Memperhatikan dinamika kehidupan masyarakat lokal diperlukan untuk keluar dari cara pandang lama dalam melihat masyarakat dan lingkungannya. Penelitian ini dilakukan pada saat pola produksi masyarakat Lamalera berubah, kebijakan konservasi keanekaragaman hayati berkembang dan masyarakat nelayan Lamalera menolak kebijakan tersebut. Masyarakat Lamalera menolak dijauhkan dari tradisi leluhur, sementara dalam lingkungan internal mereka melakukan pergeseran-pergeseran kecil yang mendasar dan berbeda dengan sistem sosiokultur warisan leluhurnya.

Penelitian akan diawali dengan tinjauan literatur berupa teori dan fakta empiris mengenai interaksi antara sistem sosiokultur dan lingkungan, perubahan sosial serta perspektif sosial terhadap konservasi keanekaragaman hayati. Kajian teoritis ini diperlukan untuk menyusun hipotesa pengarah (guiding hypotheses) mengenai sistem sosiokultur masyarakat nelayan Lamalera dan reaksi mereka atas pencadangan Laut Lembata dalam zona II wilayah KKPN Laut Sawu.

Pola adaptasi yang dibangun oleh masyarakat Lamalera dengan laut selatan Pulau Lembata serta habitat cetacea yang setiap tahun bermigrasi melewati Laut Sawu dansumberdaya ikan-ikan besar lainnya mendapat perhatian dalam studi ekologi manusia terutama pada ragam kajian antropologi lingkungan. Disiplin ini merupakan cabang ilmu antropologi yang menelaah hubungan antara masyarakat dan lingkungannya dari titik pandang masyarakat setempat (the native point of view) (Adiwibowo 2007). Secara terarah, penelitian ini merujuk pada salah satu pendekatan dalam ilmu antropologi ekologi yaitu teori ekologi budaya. Studi ekologi budaya pada masyarakat Lamalera akan dijadikan titik tolak untuk


(30)

13

memahami reaksi masyarakat nelayan Lamalera yang menolak Laut Lembata masuk dalam wilayah konservasi Laut Sawu.

2.1Teori Ekologi Budaya

Ekologi budaya merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan perbedaan kebudayaan yang bersifat evolusioner dan menempatkan kelompok manusia pada kategori-kategori berdasarkan keefektifan teknologi yang mereka gunakan untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Pendekatan ekologi budaya dikembangkan oleh Julian H. Steward yang dipandang sebagai antropolog pertama yang memasukkan kajian tentang hubungan budaya dengan lingkungan di dalam bidang kajian ekologi. Dalam ranah kajian ilmu sosial, ekologi budaya termasuk ke dalam rumpun studi antropologi ekologi. Kelompok ilmu antropologi merupakan rumpun ilmu sosial yang pertama memberikan perhatian kepada hubungan antara manusia dan alam. Kedekatan kajian antropologi dan ekologi terlihat dengan banyaknya penjelasan mengenai kebudayaan yang terbentuk dari interaksi manusia dengan alam. Sebagai sebuah konsep, ekologi melingkupi dua subyek yaitu manusia dan lingkungannya. Namun sebagai sebuah bidang ilmu, ekologi mengilustrasikan hubungan yang terbentuk dari interaksi antara manusia dengan spesies lainnya. Bennet (dikutip dalam Adiwibowo 2007) mendefinisikan antropologi ekologi sebagai studi tentang bagaimana penggunaan sumberdaya alam oleh manusia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh organisasi sosial dan nilai budaya.

Dalam antropologi ekologi terdapat dua perspektif pokok yaitu perspektif fungsionalisme ekologi dan perspektif environmentalisme atau yang sering disebut dengan perspektif action oriented. Perspektif fungsionalisme ekologi melihat perubahan sistem sebagai perubahan alamiah dalam proses mencari keseimbangan. Perspektif ini mengaitkan berbagai gejala dan komponen-komponen dalam sistem ekologi. Kelemahan mendasarnya adalah karena mengabaikan aspek historis dari perubahan sistem tersebut. Pendekatan yang tergolong dalam fungsionalisme ekologi yaitu pendekatan ekologi budaya, pendekatan ekosistem dan pendekatan sistem. Sebaliknya, perspektif environmentalisme atau action oriented lemah dalam menjelaskan keterkaitan


(31)

antar komponen-komponen sistem ekologi, namun sangat kuat dalam menjelaskan aspek historis dan tindakan-tindakan individual yang menekankan pada proses. Kombinasi dua persektif ini seringkali dilakukan untuk menutupi kelemahan masing-masing pendekatan.

Dalam menggambarkan sistem sosiokultur masyarakat pemburu dan menikam ikan di Lamalera, peneliti menggunakan perspektif fungsionalisme ekologi dengan pendekatan ekologi budaya. Heider mengemukakan bahwa ekologi kebudayaan pada intinya memahami hubungan antara masyarakat, subsistensi, dan lingkungannya (Lobja 2003: 26). Penekanan dalam ekologi kebudayaan adalah aktivitas subsistensi, dimana yang diperhatikan adalah hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik, teknologi dan organisasi sosialnya. Secara lebih spesifik dalam memahami ekologi budaya, Satria (Adiwibowo 2007) mengutip karya Netting (1993) mengatakan bahwa ekologi

budaya memfokuskan diri pada “particular circumstances of geography,

demography, technology, and history that result in a splendid variety of cultural values, religion, kinship systems, and political structures in local environmental strategies”. Karakteristik pokok pada pendekatan ini adalah pandangan bahwa

lingkungan alamiah memiliki keteraturan secara homeostatik dengan masyarakat sekitarnya.

Sebelum ekologi budaya diuji sebagai sebuah pendekatan untuk menggambarkan interaksi manusia dengan lingkungan, beberapa pendekatan konseptual lain telah lebih dulu mengawali meskipun pada perkembangannya didiskreditkan oleh banyak ilmuan sosial (Rambo 1981: 1). Teori determinisme mengawali dengan cara pandang bahwa kebudayaan manusia adalah produk dari lingkungannya. Dalam tahapan hubungan manusia dengan lingkungan, ditunjukkan bahwa seluruh aspek budaya, perilaku bahkan ’nasib’ manusia dipengaruhi, ditentukan, dan tunduk pada lingkungan (Susilo 2008: 30). Premis bahwa aspek budaya dan perilaku manusia semata-mata dipengaruhi oleh lingkungan telah menyederhanakan keberagaman kebudayaan sebagai hasil pengaruh dari kondisi-kondisi lingkungan seperti iklim, sumberdaya alam, topografi dan kondisi geografis. Sekalipun beranjak dari premis tersebut, variasi-variasi pada kebudayaan dianggap sebagai akibat dari kebetulan saja (Geertz


(32)

15

1983: 2). Teori ini dipandang sebagai permulaan yang salah yang memperlambat perkembangan teori-teori ekologi budaya selanjutnya.

Berbeda dengan determinisme yang meletakkan lingkungan sebagai penyebab langsung (direct causes), teori posibilisme berkeyakinan bahwa lingkungan memiliki sifat yang relatif. Artinya, pada saat tertentu lingkungan berperan penting dalam menjelaskan kecocokan dengan budaya tertentu, tetapi pada sisi lain lingkungan tidak cocok dengan budaya tertentu tersebut. Dengan kata lain, kondisi lingkungan yang sama tidak menjamin akan munculnya budaya yang sama (Susilo 2008: 44). Faktor-faktor spesifik pada lingkungan dilihat sebagai pembatas atau penyeleksi. Kelompok posibilisme lingkungan mengenali keterbatasan pada lingkungan sama baiknya dengan peluang yang mungkin direalisasikan dengan penemuan-penemuan mekanis, peralatan dan keahlian yang dapat meningkatkan kemampuan manusia untuk mendapatkan tujuan-tujuannya dan keluar dari keterbatasan lingkungan. Forde mengatakan diantara lingkungan fisik dan aktivitas manusia selalu ada penengah, yaitu sekumpulan tujuan spesifik dan nilai-nilai, pengetahuan dan kepercayaan yang dalam bahasa lain disebut dengan pola kebudayaan (Netting 1986: 4). Sama halnya dengan determinisme lingkungan, posibilisme mulai ditinggalkan karena gagal menjelaskan mengapa kondisi alam yang sama tidak menciptakan pola kebudayaan yang relatif sama pula.

Kegagalan kedua teori diatas, membuat banyak antropolog meninggalkan kajian mengenai interaksi antara manusia dengan lingkungan dan kembali memusatkan perhatian pada studi mengenai struktur internal dan fungsi sistem sosial dan budaya. Baru pada tahun 1950an kajian mengenai hubungan manusia dengan lingkungan muncul kembali dibawah pengaruh konsep Steward dengan teori ekologi budaya. Steward sendiri pernah menjadi murid A.L.Kroeber seorang penganut posibilisme dan dididik dalam pemikiran difusionisme. Konsep ekologi budaya merupakan hasil dari penelitian lapangan yang dilakukannya. Konsep ini telah menyanggah pandangan difusionisme dengan mengatakan bahwa adaptasi terhadap lingkungan juga memiliki peran yang sama signifikannya dengan difusi dalam membentuk pola kebudayaan.


(33)

Adaptasi lingkungan merupakan kata kunci yang menjadi dasar landasan teori ekologi budaya. Steward mendefinisikan ekologi budaya sebagai studi mengenai proses-proses adaptasi dimana masyarakat dan beberapa unsur dalam kebudayaan manusia dipengaruhi oleh penyesuaian diri yang mendasar atas upaya manusia memanfaatkan lingkungan (Netting 1986: 6). Kultur dilihat sebagai kesatuan yang mempunyai ciri-ciri berlainan yang ditemukan diberbagai lingkungan ekologis. Kultur mendapat bentuk yang berbeda karena beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang berbeda (Sztompka 2007: 135). Konsep adaptasi sendiri telah menjadi perdebatan dalam kajian sosial karena secara inheren, konsep ini sangat fungsionalis. Cara Steward mengembangkan teori ekologi budaya merujuk pada pemahaman konsep fungsionalis adaptasi. Konsep ini bisa dipakaikan dalam melihat asal-usul sistem sosiokultur.

Adaptasi lingkungan juga menjadi dasar penjelasan yang digunakan Steward untuk memberikan jawaban atas kritik yang disampaikan terhadap teori evolusi unilinear yang mengemukakan bahwa evolusi sosial berlaku secara menyeluruh. Evolusi unilinear berpendapat bahwa ada satu proses evolusi yang melalui tingkat-tingkat yang seragam dan harus dilalui semua bangsa di dunia secara mutlak. Pendekatan yang didominasi oleh pemikiran Spencer, Tylor, dan Morgan secara umum mengatakan (a) bahwa semua perubahan dalam kebudayaan-kebudayaan atau masyarakat-masyarakat khusus berarti kemajuan, (b) bahwa semua masyarakat dalam derap majunya melalui tingkat-tingkat yang sama, dan karena itu (c) masyarakat di dunia sekarang yang paling sedikit kemajuannya dapat dibandingkan dengan tahap-tahap yang telah dilalui oleh masyarakat yang lebih maju.12

Asumsi-asumsi kaku yang dikembangkan evolusi klasik mulai ditinggalkan. Neoevolusionisme mengembangkan pandangan baru evolusi dari kritik yang disampaikan terhadap teori tersebut. Dalam kajian antropologi sosial kemudian muncul dua pendekatan baru evolusi yaitu evolusi universal dan evolusi multilinear. Yang terakhir merupakan gagasan teori ekologi budaya Steward.

12

W.F. Wertheim. Gelombang Pasang Emansipasi ‘Evolusi dan Revolusi’ yang Diperbaharui (1976) hal.9. Sztompka dalam Sosiologi Perubahan Sosial (2007) menyimpulkan asumsi-asumsi umum yang dikembangkan teori evolusi klasik beserta kritik-kritik yang disampaikan. Sementara pentahapan masyarakat dikembangkan oleh Morgan (Bohannan and Glazer 1988, Sztompka 2007, Steward 1955, Koentjaraningrat 2007.


(34)

17

Evolusi universal melihat peristiwa-peristiwa perubahan besar dalam sejarah kebudayaan manusia pada umumnya bersifat universal. Pendekatan ini merupakan warisan dari pemikiran evolusionisme unilinear terutama pemikiran Morgan. Evolusi universal terutama yang dikembangkan oleh Leslie White dan V. Gordon Childe berusaha mempertahankan konsep tahapan kebudayaan dengan menghubungkan tahapan-tahapan tersebut dengan kebudayaan manusia secara keseluruhan (Steward 1955: 16). Semua bagian dalam kebudayaan saling berhubungan akan tetapi peran utama dimainkan oleh sistem teknologi (Sztompka 2007: 135).

2.1.1 Pendekatan Evolusi Multilinear sebagai Landasan Bagi Teori Ekologi Budaya

Berbeda dengan evolusi unilinear dan universal, evolusi multilinear secara umum memandang evolusi sebagai suatu gejala yang hanya mempunyai pertalian dengan suatu kebudayaan tertentu, atau setidak-tidaknya pada suatu tipe kebudayaan tertentu (Wertheim 2007: 16). Tidak semua unsur kebudayaan mengalami perkembangan yang sama. Ada unsur-unsur kebudayaan yang berkembang sejajar di dunia, dan ada pula yang tidak. Proses-proses evolusi kebudayaan tergantung dari lingkungan-lingkungan ekologi tertentu, ada unsur-unsur dalam kebudayaan-kebudayaan yang berevolusi seragam, sehingga proses evolusi ini disebut multilinear (Koentjaraningrat 1990: 116). Evolusi meliputi semua kesatuan kultur konkret. Setiap kultur atau setiap aspek kultur tertentu berkembang secara berbeda dan mengikuti mekanisme sendiri. Karena itu evolusi harus dianggap bersifat multilinear menurut dua arti. Pertama, dari sudut antar-masyarakat: evolusi di berbagai masyarakat mengikuti jalan yang berbeda karena menghadapi kondisi yang berbeda. Kedua, dari sudut masyarakat tertentu: evolusi berbagai bidang kehidupan sosial (kultur, ekonomi, politik, dan sebagainya) mengikuti jalan dan mekanisme yang berbeda. Penyebab perubahan evolusioner bermacam-macam, namun ada beberapa faktor mendasar yang lebih umum. Faktor tekno-ekonomi berperan strategis dalam setiap masyarakat (Sztompka 2007:136).


(35)

Multilinear evolution yaitu proses-proses perkembangan yang berjalan lambat dari kebudayaan-kebudayaan yang berlainan dan yang hidup dalam lingkungan yang berbeda-beda, tetapi yang secara garis besar menunjukkan persamaan dalam proses-proses evolusi kebudayaan manusia dalam unsur-unsur primernya, tetapi menunjukkan perbedaan besar dalam unsur-unsur sekundernya (Koentjaraningrat 1990: 130). Tujuan utama teori evolusi ini justru untuk memberi penjelasan mengenai gejala keaneka-ragaman kebudayaan evolusi setiap kebudayaan khusus dari tipe kebudayaan dijelaskan dalam artian peningkatan penyesuaian suatu kebudayaan pada lingkungan alamnya (Wertheim 2007: 16). Perhatian utama kelompok ilmuan multilinear ditujukan pada unsur-unsur kebudayaan yang bersifat khusus.

Dalam pandangan yang menyeluruh, semua aspek kebudayaan secara fungsional saling tergantung. Derajat ketergantungan antara semua aspek tidak sama satu dengan lainnya. Dalam hal ini, Steward mengembangkan konsep inti budaya, yaitu serangkaian unsur-unsur yang berkaitan erat dengan aktivitas subsistensi dan pengelolaan ekonomi. Inti budaya melingkupi pola-pola politik, sosial dan keagamaan yang ditentukan secara empiris memiliki hubungan yang dekat dengan pengelolaan ekonomi. Unsur-unsur kebudayaan lain lebih beragam sifatnya karena tidak begitu erat terikat dengan inti. Unsur-unsur yang sekunder itu agak banyak ditetapkan oleh faktor-faktor kultural historis – dengan inovasi secara acak atau dengan difusi – unsur-unsur ini memberikan perbedaan wajah berbagai kebudayaan yang berinti sama. Berdasarkan analisis empiris telah dibuktikan bahwa unsur-unsur yang paling erat hubungannya dengan pemanfaatan lingkungan menurut cara-cara kebudayaan merupakan pusat perhatian ekologi kebudayaan (Steward 1955: 37).

Koentjaraningrat (1997: 2) menjelaskan konsep kebudayaan dengan memecahnya menjadi unsur-unsur kebudayaan universal yang pasti bisa ditemukan disemua kebudayaan di dunia mulai dari masyarakat kecil di daerah terpencil sampai ke masyarakat perkotaan yang besar dan komplek. Unsur-unsur universal itu, yang sekalian merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini, adalah: 1) sistem religi dan upacara keagamaan, 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3) sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6)


(36)

19

sistem mata pencarian hidup, 7) sistem teknologi dan peralatan. Urutan susunan unsur kebudayaan tersebut dibuat berdasarkan tingkat kesulitannya berubah karena pengaruh kebudayaan lain, walaupun tidak berlaku mutlak. Merujuk pada uraian Koentjaraningrat mengenai konsep inti kebudayaan ini maka yang termasuk pada kategori inti kebudayaan adalah unsur-unsur kebudayaan primer seperti unsur politik, sosial dan keagamaan.

Ekologi budaya memberikan perhatian utama untuk unsur-unsur tersebut yang dalam analisis empiris menunjukkan keterlibatan yang paling dekat dengan pemanfaatan lingkungan dengan cara-cara budaya yang ditentukan (Steward 1955: 37). Adaptasi memiliki peran penting untuk melihat proses perkembangan kebudayaan yang sangat beragam. Dari variasi perkembangan sistem sosiokultur yang banyak, tampak beberapa proses perkembangan yang sejajar. Kesejajaran ini terutama tampak dalam beberapa unsur kebudayaan yang universal atau unsur primer, seperti sistem mata pencaharian hidup, organisasi sosial, dan sistem religi. Unsur-unsur kebudayaan lain yang tidak primer, seperti teknologi sistem pengetahuan dan kesenian, tidak akan menampakkan evolusi sejajar dalam berbagai kebudayaan (Koentjaraningrat 1990: 125)

Sebagai penggagas pendekatan ekologi budaya, Steward memfokuskan perhatiannya terhadap adaptasi kebudayaan pada kondisi lingkungan yang spesifik. Teori kultural ekologi, dikembangkannya dari penelitian yang dilakukannya pada masyarakat berburu dan meramu Shoshone, di Amerika Utara. Dalam penelitian tersebut Steward menemukan bahwa adaptasi ekologi telah memainkan peranan signifikan pada susunan kebudayaan masyarakat Shoshone. Steward juga menjelaskan kehadiran sejumlah aspek struktural dari kebudayaan Shoshone dalam terminologi sumberdaya yang ada untuk mendukung kehidupan habitat semi gurun yang sangat miskin.

Rambo (1981) menyimpulkan bahwa pada etnografi terbaik Steward yang pernah dipublikasikan tersebut, tingkat kepadatan penduduk yang rendah, angka pengusiran populasi yang tinggi, organisasi keluarga kecil yang dipadu dengan pola-pola tempat tinggal yang fleksibel, kekurangan daerah pemukiman, serta kekurangan pemimpin yang kuat, semua faktor tersebut merefleksikan ketidakmampuan teknologi masyarakat Shostone yang sederhana untuk


(37)

mengambil persediaan makanan yang besar dan stabil dari sumberdaya yang sangat tipis tersebar dan sporadis dari lingkungan mereka yang kering dan gersang. Dalam pandangan Steward, tidak semua aspek dari budaya Shoshone dapat dijelaskan dalam terminologi ekologi – banyak dari ciri-ciri pembawaan mereka yang ditunjukkan sebagai hasil dari penyebaran kebudayaan yang sederhana dan secara kebetulan, tetapi hal itu hanya pada beberapa elemen, yang ia beri nama sebagai inti budaya. Rambo mengatakan, secara khusus Steward menentukan bahwa teknologi, ekonomi, populasi dan organisasi sosial sepertinya adalah bagian dari inti kebudayaan.

Untuk menjelaskan unsur-unsur “inti kebudayaan”, Steward menguraikan bahwa kesalingterhubungan aspek-aspek kebudayaan pada masyarakat tidak sama tingkat dan macamnya. Untuk itu perlu mengisolasi aspek-aspek tertentu dari kebudayaan, dimana hubungan aspek kebudayaan tersebut dengan lingkungannya secara fungsional terlihat sangat eksplisit. Biasanya aspek itu bersifat peripheral, di pinggiran inti kebudayaan seperti aspek tekno-ekonomi. Hubungan pola-pola kebudayaan dengan organisme lingkungan hidup sangat kentara. Bila inti kebudayaan itu meliputi pola-pola sosial, politik dan agama yang secara empiris mempunyai hubungan erat dengan penyusun-penyusunnya, maka ekologi kebudayaan memusatkan perhatian pertama-tama pada unsur-unsur yang dari analisis empiris telah terbukti paling erat bersangkutan dengan pemanfaatan lingkungan menurut cara-cara yang dipastikan secara kebudayaan (Laksono 2000).

Dalam bukunya ‘Evolution and Ecology’ (1977), Steward mengatakan bahwa lingkungan itu sangat ditentukan oleh bagaimana organisasi produksi masyarakat dilaksanakan. Artinya, bahwa tindakan sosial ekonomi masyarakat terhadap sumberdaya alam sangat ditentukan oleh bagaimana pola-pola konsumsi dan kebutuhan akan barang dan jasa oleh masyarakat tersebut (Lobja 2003). Dalam hal ini Steward cenderung untuk memberikan penekanan terhadap hubungan antara teknologi dan lingkungan dalam model ekologi kebudayaannya.

Penelitian ini mengacu pada pemikiran Steward yang dipandang sebagai ilmuan sosial pertama yang memulai kajian yang mengaitkan antara manusia dengan alam. Dalam buku Theory of Cultural Change (1955), Steward


(38)

21

mengembangkan perspektif ekologi budaya dengan memberikan penekanan pada teknologi. Sifat inti budaya akan ditentukan oleh teknologi dan pengelolaan sistem ekonomi produksi. Adapun metode yang dikembangkan dari teori ekologi budaya ini mencakup tiga aspek atau prosedur dasar untuk dianalisa.

Pertama, menganalisa hubungan antara teknologi produksi atau teknologi eksploitasi dengan lingkungan. Teknologi eksploitasi mencakup budaya material dalam suatu masyarakat. Tidak semua budaya material sama pentingnya. Dalam masyarakat primitif, peralatan-peralatan subsistensi menjadi hal yang mendasar seperti senjata serta peralatan berburu dan memancing, alat penampung hasil tangkapan, serta peralatan transportasi yang digunakan di darat dan di laut. Sementara itu bagi masyarakat yang lebih berkembang, pertanian, teknik peternakan dan bangunan menjadi hal yang utama. Lain halnya, bagi masyarakat industri dimana modal, pengelolaan kredit dan teknik perdagangan merupakan hal mendasar. Menurut Steward, masyarakat yang sederhana lebih terkondisikan oleh lingkungan dari pada masyarakat yang lebih maju. Kondisi lingkungan tergantung pada kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan yang relatif sederhana akan lebih terkondisikan oleh lingkungan dari pada kebudayaan yang lebih maju. Secara umum iklim, topografi, tanah, hydrografi, tutupan vegetasi, dan fauna adalah krusial, tetapi beberapa kondisi lingkungan mungkin lebih penting mempengaruhi kebudayaan dari pada lainnya.

Kedua, menganalisa pola perilaku manusia dalam mengekploitasi lingkungannya dengan teknologi tertentu. Beberapa pola subsisten menentukan batasan yang sangat sempit pada moda kehidupan sementara yang lain memberikan ruang yang lebih leluasa. Sementara penggunaan teknik tidak semata tergantung pada sejarah budaya (penemuan perangkat teknologi dan difusi) yang membuat metode itu memungkinkan tetapi juga ditentukan oleh lingkungan, hewan dan tumbuhannya. Pola ekploitasi ini tidak hanya tertuju pada kegiatan memproduksi makanan dan peralatan secara langsung tetapi termasuk juga didalamnya fasilitas yang digunakan oleh masyarakat tersebut untuk mendistribusikan makanan dan sumberdaya.

Dua prosedur sebelumnya dilakukan dengan tujuan untuk memahami hubungan teknik-teknik produksi elemen-elemen kebudayaan lainnya. Pola


(39)

perilaku dalam pemanfaatan sumberdaya mempengaruhi aspek-aspek kebudayaan lain. Dari metode yang dikembangkan ini terlihat jelas bahwa Steward memberikan penekanannya terhadap aktivitas produksi yang mempengaruhi sebuah kebudayaan sebagai sebuah masalah empiris.

2.1.2 Penerapan dan Pengembangan Teori Ekologi Budaya serta Beberapa Kritik

Hanya ada satu cara untuk menjelaskan apa yang disebut dengan ekologi budaya yaitu dengan memperlihatkan apa yang telah dilakukan (Netting 1986: 8). Sejak dirumuskan oleh Steward, teori ekologi budaya telah banyak diterapkan untuk mengenali interaksi antara manusia dan lingkungan serta berkembang melalui kondisi empiris penelitian lapangan yang terus dilakukan. Teori ini tidak lagi berkembang di kalangan antropolog tapi juga dalam studi geografi manusia dan studi ekologi manusia secara umum.

Di Indonesia, penelitian yang mengaplikasikan konsep ekologi budaya Steward pernah dilakukan oleh Clifford Geertz. Pada penelitiannya dikatakan bahwa cara analisis ekologi budaya lebih memusatkan perhatian terhadap sifat-sifat perembesan dari suatu sistem atas sistem lain (struktur sistem, keseimbangan sistem, perubahan sistem) dari pada terhadap hubungan pokok demi pokok antara pasangan-pasangan berbagai variable kebudayaan dengan alam. Menurut Geertz pertanyaan pokok yang hendak dijawab dengan menggunakan analisis ekologi budaya berbunyi: “Apakah kondisi habitat itu (sedikit banyak atau sepenuhnya)

menimbulkan kebudayaan ataukah kondisi itu hanya membatasinya saja” (Geerlz

1983: 10).

Dengan menggunakan pendekatan ekologi budaya, Geertz menjelaskan perbedaan-perbedaan antara Indonesia dalam (Jawa) dan Indonesia luar (pulau-pulau di luar Jawa). Geertz menyimpulkan bahwa perbedaan kepadatan penduduk, cara penggunaan tanah dan produktifitas pertanian merefleksikan perbedaan penyesuaian pola pertanian yang dilakukan di dua daerah tersebut. Perbedaan pola agrikultur terjadi karena ada perbedaan-perbedaan yang berarti pada lingkungannya. Pertanian Jawa didominasi oleh sawah beririgasi sementara berladang banyak dilakukan di luar Jawa. Menurut Geertz dua sistem pertanian


(40)

23

yang diterapkan di kondisi ekosistem yang berbeda inilah yang bisa memberikan penjelasan mengenai distribusi penduduk yang tidak merata di Indonesia, serta keruwetan sosial dan kebudayaan yang tidak terhindarkan sebagai akibat distribusi yang demikian itu.

Konsep Steward mengenai ekologi kebudayaan telah terbukti menjadi strategi yang sangat efektif bagi penelitian ekologi manusia, karena menawarkan pengertian baru tentang bagaimana masyarakat tradisional beradaptasi secara efektif dengan lingkungan mereka. Kelemahan konsep Steward adalah kesulitan teori ini untuk digunakan pada masyarakat modern yang komplek dalam jumlah populasi yang besar dan mengalami perubahan yang cepat. Kelemahan lain adalah teori ini mengabaikan kenyataan yang teramat penting dalam sejarah umat manusia, yaitu pertumbuhan berkelanjutan pengetahuan manusia dan perbaikan yang berkelanjutan pula teknik manusia, maupun bentuk-bentuk organisasi untuk mengendalikan kehidupan ekonomi kita (Wertheim 1976: 17).

Geertz juga memberikan catatan bahwa proses ekologis yang mempengaruhi pertumbuhan kebudayaan dan masyarakat Indonesia di masa lampau, dan keadaannya dewasa ini adalah sesuatu yang harus ditentukan pada akhir penelitian, bukan pada awal penelitian. Oleh karena perkembangan politik, pelapisan masyarakat, perdagangan, dan intelektual kelihatannya merupakan proses penata atau penertib yang penting dalam sejarah Indonesia, maka ternyata perkembangan ekologis itu tidak seberapa penting.

Menurut Anthony Smith lebih besarnya keragaman kebudayaan antara-masyarakat dibanding dengan keragaman kondisi lingkungan alam menunjukkan bahwa kelebihan keberagaman kebudayaan itu tidak dapat dijelaskan dengan mengacu pada mekanisme adaptasi tetapi harus mengacu pada mekanisme perkembangan otonom di dalam budaya yang bersangkutan. Selain itu, kekuatan yang ditentukan oleh faktor ekologi atau tekno-ekonomi tergantung pada fase evolusi: di fase awal ia sangat kuat sedangkan di fase yang berikutnya faktor politik atau ideologi jauh lebih menentukan. Bentuk pemerintahan, agama dan seni mungkin mendapat peran makin otonom. Makin berkembang masyarakat membuat faktor lingkungan makin membatasi variasi dan perubahan kultural ketimbang mendorong unit-unitnya ke arah perubahan (Sztompka 2007: 137).


(41)

Kelemahan ini juga terlihat dengan dikembangkannya pendekatan lain oleh Marvin Harris dengan asumsi bahwa teknologi yang diciptakan dalam adaptasi terhadap lingkungan merupakan penggerak utama evolusi kebudayaan. Harris berpendapat bahwa semua aspek kebudayaan ditentukan oleh hubungan antara teknologi dengan lingkungan. Pemikiran Harris ini dikenal dengan Cultural Materialisme yang dikembangkan dengan mengusut akar pemikiran ilmuan sosial di abad 19 yaitu Karl Marx dan pemikiran Steward sendiri. Prinsip yang mengarahkan pengembangan teori dan strategi cultural materialism yang dikembang Harris berangkat dari pandangan Marx bahwa moda produksi dalam kehidupan material menentukan karakter umum pada proses sosial, politik dan spiritual di kehidupan. Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, melainkan eksistensi sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka. Harris tidak mencoba untuk menjelaskan bagaimana kultur itu disusun sebagaimana digagas oleh Steward. Harris lebih tertarik untuk menggali dan menemukan jawaban untuk pertanyaan seperti “why don’t Indians eat cows?” (Bohannan dan Glazer 1988: 378). Dia lebih cenderung untuk menguraikan perkembangan sebuah budaya khusus yang ada dalam sebuah masyarakat dengan menggunakan pendekatan etik dan aplikasi kultural materialisme.

2.2Pendekatan Materialisme Pada Perubahan Sosial

Ekologi budaya memberikan perhatian pada adaptasi ekologi untuk memahami sistem sosiokultur. Teori ini melihat proses evolusi itu pada hakikatnya berarti suatu penyesuaian yang terus semakin disempurnakan pada lingkungan fisik. Steward memandang setiap wilayah kebudayaan geografis sebagai suatu kesatuan tersendiri dan mencoba menjelaskan perubahan kultural dengan menunjukkan bahwa perubahan itu adalah hasil dari penyesuaian secara bertahap suatu kebudayaan pada lingkungan alamiahnya. Setiap kebudayaan menurut pendapat ini mencari suatu keseimbangan yang serasi dengan alam yang mengelilinginya (Wertheim 1976: 42). Sifat fungsionalis teori ini dilihat sebagai titik kelemahan yang mengundang banyak kritik. Tetapi diakui telah memberikan sumbangan metodologis untuk memahami sistem sosiokultur suatu masyarakat pada permulaannya atau pada fase awal evolusi. Hal ini masih bisa dilacak dengan


(42)

25

mudah pada masyarakat tradisional. Perkembangan sistem sosiokultur tidak bisa dilihat semata pada perkembangan ekologis, karena banyak faktor lain perlu dipertimbangkan. Begitu pula halnya dalam perkembangan kebudayaan di Lamalera selanjutnya.

Teori fungsionalis merupakan warisan pemikiran Durkheim. Mereka berasumsi bahwa kehidupan manusia dalam sistem sosiokultur, sama halnya semua sistem lain, memiliki bagian atau sub-sistem yang berfungsi untuk membuat keseluruhan sistem berfungsi. Fungsionalis mengenali institusi-institusi sosial sebagai struktur-struktur relevan yang membawa proses-proses fungsional. Lebih lanjut ditekankan bahwa sejalan dengan cara fungsionalisme dipahami pada tahun 1950an, sebuah hubungan yang berkelanjutan antara manusia dengan lingkungan biofisiknya bukan merupakan bagian dari proses fungsional ini. Alam hanya dilihat sebagai ‘sesuatu diluar’ sebagai sebuah sumber untuk fungsi ekonomi (Harper 2004: 69).

Penganut pendekatan fungsionalisme lainnya, Dunlap dan Catton berusaha memperbaiki pandangan ini dengan mengelaborasi tiga fungsi lingkungan bagi kehidupan manusia. Lingkungan biofisik berfungsi sebagai gudang persediaan untuk kebutuhan nafkah material manusia. Lingkungan berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah dan polusi manusia. Sekaligus, lingkungan berfungsi sebagai ruang tinggal untuk semua aktivitas, dan semua penggunaan yang berlebihan dari fungsi-fungsi ini menghasilkan kesesakan, kemacetan dan kerusakan habitat bagi spesies lainnya. Penggunaan salah satu fungsi secara berlebihan akan mengganggu fungsi lainnya, dan secara luas akan menjadi disfungsi bagi kehidupan manusia.

Moran (Haenn and Wilk 2006: 203) memiliki cara pandang yang sedikit berbeda dalam melihat fungsionalis Steward. Bagi Moran, Steward memandang institusi-institusi sosial memiliki kesatuan fungsi yang memberikan solusi untuk masalah subsistensi. Penggunaan pendekatan fungsionalisme oleh Steward dipusatkan pada pemakaian sebuah variabel dalam kaitannya dengan sekumpulan variabel yang terbatas., tidak dalam hubungan dengan keseluruhan sistem sosial, sehingga tidak terjatuh pada kelemahan arus fungsionalisme Inggris. Fungsionalis Inggris menekankan peran kelembagaan sosial untuk memelihara keseimbangan


(1)

130

meninggalkan sistem tradisional tikam, sistem pukat telah mendominasi kegiatan produksi. Pergeseran pola produksi berpengaruh pada pergeseran pola distribusi, seterusnya berdampak pada pengelolaan ekonomi secara keseluruhan dan sistem sosiokultur lainnya. Selain menghadapi perubahan moda produksi, masyarakat Lamalera juga dihadapkan pada diskursus konservasi yang berdampak konflik. Program ini dibawa oleh WWF dengan mengenalkan pemanfaatan sumberdaya ikan berkelanjutan melalui teknik penangkapan pancing longline dan rumpon. Kedua hal ini karena berjalan bersama-sama sekarang telah mendesak eksistensi pola produksi tradisional tikam. Pergeseran moda produksi menimbulkan beberapa implikasi sosial seperti membentuk stratifikasi berbasis ekonomi, membuka peluang bagi polarisasi sosial, menghilangkan jaminan sosial serta menciptakan ketidakadilan sosial dalam masyarakat. Apabila fenomena-fenomena tersebut terus berlangsung, maka akan memicu konflik laten dalam masyarakat.

Kehadiran teknologi produksi baru yang dibawa oleh pihak luar telah menimbulkan dampak sosial. Dampak ini dapat dihindari apabila sistem ekonomi komunal dijadikan acuan. Sistem sosiokultur tradisional masyarakat Lamalera ditandai dengan kehidupan komunal. Komunalitas merupakan tuntutan dari cara adaptasi mereka dengan lingkungan yaitu tuntutan dari kegiatan berburu dan menikam di laut. Hal ini dimulai dengan memiliki alat produksi serta melakukan kegiatan produksi bersama. Selanjutnya, pengelolaan ekonomi komunal merupakan jaminan bagi kesejahteraan masyarakat secara merata. Berbagai perubahan teknologi produksi, akan berhasil baik apabila pengelolaan ekonomi mengacu pada sistem tradisisonal yang bersifat komunal.


(2)

PERUBAHAN SOSIAL

MASYARAKAT NELAYAN LAMALERA

(Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi dan Ekologi)

FEBRINA DESRIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adger et al. 2001. Advancing a Political Ecology of Global Enviromental Discourse. Development and Change Vol. 32. Institute of Social Studies. Blackwell Publisher.

Adiwibowo, Suryo. 2007. Ekologi Manusia. Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.

_______________ . 2005. Dongi-dongi – Culmination of a Multi-dimensional Ecological Crisis: A Political Ecology Perspective. Dissertation. Universität Kassel.

Aguilar, Mila D. 2000. Cultural Ecology and Neo-Evolutionary Thought (Seminar Paper).

Barnes, Robert H. 1996. Sea Hunters of Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera. Clarendon Press. Oxford

Berkes, Fikret. 2008. Sacred Ecology. Routledge. New York and London.

Bohannan, Paul and Glazer, Mark. 1988. High Points in Anthropology. Second Edition. Alfred A. Knopf.

Borras Jr, Saturnino M. 2008. How Land Policies Impact Land-Based Wealth And Power Transfer. Oslo Governance Centre Brief 3. UNDP.

Brosius, J. Peter. Tsing, Anna Lowenhaupt and Zerner, Charles. 2005. Coomunities and Conservation. Histories and Politics of Community-Based Natural Resources Management.Altamira Press. US of America

Bryant, Raymond L. and Bailey, Sinead. 1997. Third World Political Ecology. Routledge.

Geertz. Clifford. 1983. Involusi Pertanian. Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Bhratara Karsa Aksara, Jakarta

Harper, Charles L. 2004. Environmental and Society. Human Perspective on Environmental Issues. Third Edition. Pearson Prentice Hall

_______________. 1989 Exploring Social Change. Prentice Hall

Harris, Marvin. 1993. Culture, People, Nature. An Introduction to General Anthropology

Jordan, Carl F. 1995. Conservation: Replacing Quantity with Quality as a Goal for Global Management. Wiley&Sons, Inc. United States of America


(4)

132

Keraf, Sonny. A. 2006. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas.

Khan, Benjamin. 2002. Alor Rapid Ecological Assessment – Cetacean Component. Technical Report prepared for WWF-Wallacea and TNC Coastal and marine Program/Indonesia. Apex environmental.

Koentjaraningrat. 2007. Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit Universitas Indonesia.

______________. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Penerbit Universitas Indonesia.

Laksono. P.M. et all. 2000. Perempuan di Hutan Mangrove. Kearifan Ekologis Masyarakat Papua. Kehati dan PSAP-UGM. Yogyakarta

Lobja. Erick. 2003. Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Masyarakat Kei: Tinjauan Terhadap Praktek Pengelolaan dan Pemamfaatan Lahan Hutan Oleh Masyarakat Tradisional Kei. Debut Press, Yogyakarta

Lundberg, Anita. 2003. Time Travels in Whaling Boat. Downloaded from http://jsa.sagepub.com by Febrina Desrianti on October 20, 2009

Lundberg, Anita. 2003. Voyage of the Ancestors. Downloaded from http://cgj.sagepub.com by Febrina Desrianti on October 20, 2009

Mustika, Putu Liza Kusuma. 2006. Marine Mammals in the Savu Sea (Indonesia): Indigenous Knowledge, Threat analysis and Management Options. Thesis for the Degree of Master of Science. James Cook University.

Netting, Robert M. 1986. Cultural Ecology. Waveland Pr. Inc.

Nora Haenn and Richard R.Wilk. The Environment in Anthropology A Reader in Ecology, Culture, and Sustainable Living. New York University Press. www.nyu press.org. 2006

Oleona, Ambrosius dan Bataona, Pieter Tedu. 2001. Masyarakat Nelayan Lamalera dan Tradisi Penangkapan Ikan Paus. Penerbit Lembaga Galekat Lefo Tanah. Bogor.

Rambo, A. Terry. 1981. Conceptual Approaches To Human Ecology: A Sourcebook on Alternative Paradigms for The Study of Human Interactions With The Environment.

Reeves. R. Randall, 2002. The Origins and Character of ‘Aboriginal Subsistence’ Whaling: A Global Review. Mammal Rev. 2002, Volume 32, No. 2, 71– 106. Printed in Great Britain.


(5)

133

Robbins, Paul. 2004. Political Ecology. A Critical Introduction. Blackwell Publishing.

Sajogyo. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Yayasan Obor Indonesia dan Institut Pertanian Bogor.

Sajogyo, Pudjiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan. Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta bekerjasama dengan BKKBN Jakarta.

Salim. Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzim Guba dan Penerapannya). Tiara Wacana. Yogyakarta

Sanderson, Stephen K. (2000) Makro Sosiologi. PT. Rajagrafindo Persada Jakarta.

Shohibuddin, M. 2003. Artikulasi Kearifan Tradisional dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam sebagai Proses Reproduksi Budaya (Studi Komunitas Toro di Pinggiran Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah). Tesis Sekolah Pascasarjana IPB.

Slattery, Martin. 2003. Key Ideas in Sociology. Nelson Thornes Ltd.

Smith, et al. 2010. Wealth Transmission and Inequality among Hunter -Gatherers. http://www.journals.uchicago.edu/doi/abs/10.1086/648530?journalCode=ca Spradley, James. 1997. Metode Etnografi. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta

Steven R. Brenchin, et al. 2002. Beyond the Square Wheel: Toward a More Comprehensive Understanding of Biodiversity Conservation as Social and Political Process. Patrick C. West. Taylor & Francis.

Steward, Julian H. 1955. Theory of Culture Change. The Methodology of Multilinear Evolution. University of Illinois Press. US of America.

Stott, Philip and Sullivan, Sian. 2000. Political Ecology. Science, Myth and Power. Arnold.

Susilo, Rachmad K. Dwi. 2008. Sosiologi Lingkungan. Rajawali Pres. Jakarta.

Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada. Jakarta.

Tonny. Fredian. 2004. Perspektif Kelembagaan dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citanduy (Studi Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam). Pusat studi Pembangunan-Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Patrnership for Governance Reform in Indonesia-UNDP.

Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.


(6)

134

Wertheim, W.F. 1976. Gelombang Pasang Emansipasi ‘Evolusi dan Revolusi’ yang Diperbaharui. Garba Budaya, ISAI dan KITLV

Wittmer, Heidi and Bitmer, Regina. 2005. Between Conservationism, Eco-Populism and Developmentalism – Discourses in Biodiversity Policy in Thailand and Indonesia.

WWF Report. 2006. Preliminary Process of MPA Program In Sawu Sea Solor-Lembata-Alor (SOLAR) in NTT Province.

Surat Kabar dan Website

Harian Kompas. Sabtu, 9 Agustus 2008. Tiap Tahun 20 Ekor Paus Ditangkap Nelayan Lamalera

http://www.suarapembaruan.com/News/2009/03/23/Kesra/kes05.htm

http://female.kompas.com/read/xml/2009/03/23/17273043/masyarakat.lamalera.to lak.konservasi.paus

http://www.mediaindonesia.com/read/2009/05/03/72784/89/14/Warga-Lamalera-Tolak-Konservasi-Paus

http://wwf.panda.org/what_we_do/how_we_work/conservation/marine/protected_ areas/