BAB VI LAMALERA DALAM DISKURSUS KONSERVASI
Pada saat perubahan ekonomi produksi berlangsung, masyarakat Lamalera dihadapkan juga pada diskursus konservasi keanekaragaman hayati melalui
dicadangkannya Kawasan Konservasi Perairan Nasional KKPN Laut Sawu. Sebelum pencadangan KKPN Laut Sawu, laut Lembata telah menjadi bagian dari
Kawasan Konservasi Laut Daerah Solor, Lembata dan Alor KKLD Solar. Penetapan kawasan konservasi ini ditolak oleh masyarakat Lamalera karena
menyangkut eksistensi budaya dan menyinggung sistem ekonomi produksi tradisional mereka. Beberapa program yang dilaksanakan oleh WWF dan
pemerintah daerah untuk mendukung keberhasilan KKLD Solar dipandang sebagai usaha untuk menjauhkan masyarakat dari budaya leluhur mereka.
6.1. Kearifan Tradisional Masyarakat Lamalera
Konservasi dalam konteks lokal ini tidak diterjemahkan sebagai tindakan perlindungan atau preservasi, tetapi bagaimana masyarakat tradisional
memanfaatan sumberdaya dengan batasan-batasan yang memperhatikan tingkat keadaan lingkungan, kebutuhan hidup, batasan alam dan batasan-batasan spritual
yang dianut. Pemaknaan konservasi seperti ini sangat erat hubungannya dengan kearifan lokal masyarakat tradisional dalam memanfaatkan alam untuk kebutuhan
mereka. Masyarakat Lamalera memiliki kearifan tradisional sendiri dalam
menggunakan sumberdaya lautnya. Kearifan ini bisa dikategorikan pada bentuk konservasi tradisional yang didasarkan pada pemanfaatan dan pelestarian.
Kearifan masyarakat Lamalera ditandai dengan beberapa hal. Pertama teknologi tradisional yang digunakan untuk mengeksploitasi sumberdaya. Sebagaimana
yang dikemukakan dalam Konvensi Genewa mengenai Peraturan Penangkapan Paus pada tahun 1931, bahwa penangkapan paus hanya boleh dilakukan pada
masyarakat yang menggunakan kano, perahu atau alat tangkap lokal, tidak menggunakan senjata api. Tena laja milik masyarakat Lamalera masuk ke dalam
kategori perahu tradisional. Sangat sedikit perubahan di tena laja dan perubahan
tersebut tidak merubah dasar konstruksinya. Perubahan yang paling berarti adalah penggunaan mesin di tena laja. Tetapi pada dasarnya mesin di tena laja membawa
nilai hanya sebagai alat bantu untuk mempercepat laju perahu saja. Sementara alat tikam masih mamakai tempuling yang terdiri dari mata tombak dan bambu.
Kearifan kedua berkaitan dengan teritorial lautnya yang membatasi area penangkapan fishing ground. Nelayan mengenal beberapa batasan jarak dalam
melaut yang disebut kajo. Area penangkapan nelayan Lamalera ditandai dengan 1.
koli buka, tanda di bagian barat dengan melihat tanjung sebelah Folofutu 2.
penutu buka, tanda di bagian timur dengan melihat tanjung setelah Atadei. 3.
kebili bela buka, tanda di bagian timur 4.
bobu buka, tanda dibagian timur 5.
lambote buka dan, 6.
suba duk, batas terluar melaut ke sebelah barat. Semua tanda tersebut menentukan jarak perjalanan yang boleh dilalui selama
melaut dilihat dari kampung. Nelayan tidak akan melaut melebihi batas-batas yang ada atau tanda alam yang masih terlihat dan membantu mereka dalam
mengenali arah dimana kampung mereka berada. Hingga saat penelitian dilakukan, meskipun sudah menggunakan mesin tetapi jarak melaut dengan tetap
mempertimbangkan jarak dengan lefo Lamalera. Bentuk kearifan lain yaitu penetapan musim. Khusus penangkapan
mamalia dan ikan besar dibatasi dengan menetapkan masa resmi turun ke laut dan masa selingan. Lefa merupakan saat dimana mereka memang bersama-sama
keluar untuk mencari tangkapan yang besar. Di musim lefa juga terdapat masa khusus yang disebut blelagering yaitu saat dimana koteklema dibiarkan dan tidak
diburu karena ketika itu ikan pari sedang naikbanyak. Memilih pari lebih diutamakan untuk menghindari kecelakaan dan resiko yang lebih besar ketika
berburu koteklema. Pada koteklema, nelayan Lamalera tidak akan memburunya dimanapun
mereka menemukannya. Mereka memiliki batasan sendiri dimana dan kapan saja koteklema boleh ditikam. Prinsip utama bagi mereka untuk berburu koteklema
adalah keselamatan. Semakin jauh mereka berburu dari lefo, maka akan semakin tidak terjamin keamanan bagi meing yang berburu. Salah satu contoh adalah
larangan bagi melayan untuk memburu koteklema dan paus lain di daerah-daerah tertentu seperti di Selat Lewotobi dan Pantar.
Nelayan Lamalera mengenal karakter koteklema berbeda dengan banyak mamalia lainnya. Koteklema lebih liar, kuat dan seringkali bergerombol serta
setiap individu memiliki solidaritas untuk melindungi kelompok mereka. Karakter koteklema ini juga membatasi nelayan karena tidak diperkenankan satu tena laja
memburu koteklema sendiri dan tidak mengabari ke meing yang lain. Lebih penting dari semua aturan-aturan diatas, nilai kearifan nelayan
Lamarela terletak pada tata cara mereka menghargai pemberian laut serta ekonomi subsistennya. Masyarakat Lamalera terikat dengan norma yang mengatur tingkah
laku mereka dalam memanfaatkan ikan. Salah satu nilai yang ditanamkan pada setiap orang di Lamalera yaitu penghargaan terhadap penghasilan ola nua. Setiap
hasil melaut harus dimanfaatkan dengan baik dan tidak boleh ada yang disia- siakan. Etika masyarakat Lamalera mengharamkan mereka untuk dengan sengaja
membuang segala rezeki yang diberikan oleh laut. Bahkan tindakan tidak disengaja pun mendapatkan teguran.
Pemaknaaan konservasi bagi masyarakat tradisional juga tidak bisa dipisahkan dengan kebutuhan subsisten mereka. Dalam hal ini, perlu dibahas juga
bahwa mamalia dan ikan yang diburu oleh masyarakat adalah mamalia dan ikan yang bisa diawetkan. Dalam perekonomian lokal, koteklema bisa menyokong
penghidupan sebuah rumah tangga sampai satu bulan, berbeda dengan jenis ikan lainnya seperti pari yang dalam waktu tiga hari barter ke pedalaman bisa habis.
Hal ini karena pembagian yang di dapat dari koteklema jauh lebih banyak dibanding pembagian dari pari dan ikan lainnya. Masyarakat juga dapat
memanfaatkan kulit dan minyak koteklema yang mengandung banyak lemak untuk digunakan sebagai minyak lentera dan obat.
6.2. KKLD Solar dan KKPN Sawu