Alat Produksi Tena Laja

memecahkan tena laja hingga membahayakan nyawa para meing atau awak kapal. Berburu dan menikam koteklema tidak dilakukan dengan sembarangan, biasanya dilakukan apabila kampung sudah dalam keadaan kelaparan, sementara ikan kecil pari, hiu dan lumba-lumba tidak banyak. Dalam keadaan kampung paceklik dan orang-orang lapar, maka mereka yakin bahwa datangnya koteklema melintas di depan lefo merupakan pertanda bahwa nenek moyang datang mengantarkan koteklema untuk memberi makan orang sekampung. Dengan dasar itu, penikaman koteklema selalu dilakukan dengan upacara sebelumnya, disertai doa dan kekhusukan di seluruh lefo. Masyarakat percaya dan banyak peristiwa telah menunjukkan bahwa apabila koteklema tersebut diantarkan oleh para leluhur maka ia jinak dan mudah ketika ditikam. Penikaman mamalia laut dan ikan, terutama koteklema selalu menjadi sakral. Sebuah upacara yang dilakukan sebelum menikam koteklema akan menjinakannya ketika ditikam dan memudahkan segala proses perburuan, hingga hasil tikamam dipotong dan dibagikan kepada kelompok yang memiliki hak wawancara PHB, 14 Juli 2009. Sebelum agama Katolik masuk, upacara berangkat ke laut dilakukan oleh seorang atamola yang memiliki keahlian khusus untuk berbicara dengan roh-roh nenek moyang tentang kondisi ikan di lautan yang tidak naik sehingga membuat lapar orang-orang di kampung.

4.3.1 Alat Produksi Tena Laja

Menikam adalah sistem produksi tradisional masyarakat Lamalera yang berumur ratusan tahun. Telah dilakukan oleh nenek moyang mereka dengan perahu layar sebelum mereka menempati daratan di pesisir selatan Lembata tersebut. Laut Sawu yang membentang di depan Lamalera dengan tena laja adalah jodoh, begitu cara orang Lamalera memaknai budaya material mereka. Tena laja ada di sepanjang sejarah mereka. Tena laja adalah sebuah perahu layar yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan pendukungnya seperti tali, tombak bambu, tempuling dan dayung. Konstruksi tena laja berbeda dengan perahu sampan pada umumnya. Begitu pula perlakuan mereka terhadap tena laja, berbeda dengan perahu sampan lainnya. Tena laja tidak biasa dibiarkan berlabuh lama atau bermalam di laut. Ia hanya akan berada di laut ketika akan digunakan saja. Disebabkan karena kondisi laut yang tidak selalu tenang dengan gelombang dan arus yang kuat serta beberapa kali di setiap tahun selalu ada gelombang besar, maka untuk setiap tena laja selalu dibuatkan rumah atau bangsal yang disebut naje. Setiap hari setelah melaut, tena laja ditarik kembali ke dalam bangsalnya. Susunan naje ini membuat pantai Fatta Bella terlihat sangat khas. Keluar dan masuknya tena laja ke dalam naje dilakukan dengan mendorong bersama-sama. Untuk memudahkan jalannya tena laja, kayu-kayu lagang disusun sebagai alas agar lunas tena laja tidak terjebak di pasir. Meskipun mendorong adalah tugas para meing, tetapi laki-laki yang ada di pantai biasanya akan saling membantu untuk mendorong tena laja yang akan keluar atau disimpan kembali ke dalam naje. Kebiasaan bekerjasama dimulai dari tempat basah tersebut baik ketika dituntut ataupun disaat tidak diperlukan merambah dalam banyak aktivitas, dan inilah salah satu norma yang mereka miliki. Tena laja dibedakan menjadi dua yaitu tena dan sapang. Tena adalah perahu tradisional yang didapat secara turun menurun melalui garis keturunan laki-laki. Sedangkan sapang merupakan perahu baru sebagai akibat pertambahan penduduk dalam satu suku. Di dalam sebuah tena laja dan sapang, semua peralatan yang dibutuhkan untuk menikam telah tersedia, sampai pada tali yang digunakan untuk menarik ikan hasil tikaman pulang. Sapang bisanya dibuat karena terjadi konflik dalam suku dimana orang- orang melepas haknya atas tena laja sukunya dan membuat perahu sendiri. Dapat juga terjadi karena perpecahan nama suku-suku kecil. Perbedaan tena dan sapang terletak pada jumlah ruang dalam perahu. Tena memiliki jumlah ruang yang genap dan sapang mempunyai ruang yang berjumlah ganjil. Menghilangkan satu ruang pada sapang disebut dengan smugur bella. Tena laja memiliki keterkaitan dengan suku. Masing-masing suku memiliki tena laja. Fungsi tena laja bagi suku pada mulanya bukan hanya sebagai alat produksi, tetapi sarana untuk segala urusan di laut seperti menjadi alat transportasi. Ketika perahu sampan mulai banyak dibuat, fungsi tena laja dibatasi untuk lefa saja. Tena laja pertama yang dimiliki oleh orang Lamalera yaitu Kepake Puke dan Bui Puke. Kebake Puke merupakan tena laja yang dipakai dalam perjalanan bermigrasi dari Lepan dan Batan yang saat itu juga memuat Bui Puke 26 . Kebake Puke selanjutnya menjadi perahu suku Bataona dan Bui Puke adalah perahu milik Belikololo. Pembuatan tena laja memperhitungkan jumlah anggota suku yang ada di dalamnya. Jumlah maksimal orang yang menjadi anggota dan memiliki bagian pada satu tena laja adalah 15 orang 27 . Bila sebuah suku membesar karena banyaknya manusia di dalam suku tersebut, maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat suku secara keseluruhan, alat produksi baru yaitu sebuah tena laja akan dibuat. Sebaliknya, apabila anggota suku semakin berkurang dan jumlah laki-laki dalam suku tertentu tidak memadai untuk mengoperasikan sebuah tena laja maka beberapa kemungkinan bisa terjadi. Pertama tena laja suku tersebut akan jarang difungsikan sampai saatnya harus dibongkar. Kemungkinan lain untuk memiliki kembali tena laja, bagi anggota masyarakat yang sukunya tidak lagi memiliki tena laja akan bergabung dengan suku lain dalam arti mengambil bagian pada tena laja suku lain. Biasanya dilakukan dengan suku-suku yang memiliki ikatan kekerabatan yang dekat baik dalam suku atau paling tidak keluarganya. Tena laja dibuat secara khusus oleh atamola 28 disebut juga laba ketilo alep. Keahlian seorang atamola didapat karena garis keturunan. Menurut adat, atamola terdiri atas dua tingkat yaitu kelapa dan kelepe. Kelapa adalah atamola yang menyandang status lebih tinggi dan berhak memiliki kotak peralatan untuk membuat perahu sekaligus menjadi pemimpin dalam pembuatan sebuah perahu. Kelepe bisa dikatakan sebagai calon atamola yang sedang dilatih keahliannya dengan membantu kelapa. Pada seorang kelepe belum ada kotak peralatan, tetapi hanya mempunyai keranjang dari anyaman untuk menaruh peralatan. Biasanya 26 Ada yang memahami bahwa perahu Kebake Puke memuat perahu Bui Puke yang belum jadi, tetapi ada juga memahami bahwa yang dimuat oleh Kebake Puke adalah lunas perahu Bui Puke. 27 Memiliki bagian di sebuah peledang suku berarti bertanggungjawab terhadap kelangsungan anggota suku dan peledangnya.Dalam beberapa literature, orang yang mempunyai bagian ini disebut dengan orang yang mempunyai saham. Peneliti sendiri cenderung melihat dengan cara yang berbeda, karena terminilogi saham cenderung berkonotasi korporasi untuk mendapatkan keuntungan materiil. Sementara kepemilikan bagian dalam peledang punya makna sosial yang tidak 28 Atamola merupakan orang yang memiliki keahlian khusus baik dalam pembuatan perahu, senjata, rumah, dukun, tabib dan ahli pijat. kelepe adalah keturunan seorang atamola, sehingga kotak peralatan milik kelapa kelak akan diwariskan kepadanya. Selain memiliki hak khusus untuk membuat tena laja, kaitan atamola dengan sebuah tena laja juga menyangkut hak pembagian atas ikan hasil tikaman. Atamola adalah orang yang berhak memberi tanda pada setiap ikan yang akan dipotong dan dibagikan. Oleh karena itu, setiap kali tena laja membawa pulang ikan, para meing harus menunggu atamola menandai ikan, baru kemudian melanjutkan memotong dan membaginya. Atamola mendapatkan bagian tersendiri dari setiap ikan yang ditikam. Karena ada hak atamola dalam setiap ikan hasil, maka mengambil alih pembuatan tena laja oleh orang yang tidak berasal dari keturunan seorang pembuat perahu sekalipun memiliki keahlian, tidak diperkenankan. “Kita atamola turunan memang. Kalau orang lain tidak bisa. Kalau bapak mati, mesti Bapak punya anak, Ondu, tidak boleh orang lain. Itu sudah seperti patokan mulai dari dulu. Kalau orang lain mereka kerja, umpama rampas hak itu pamali. Pamalinya begini, itu dia lama-lama bisa dapat sakit, dia bisa mati. Sebab Bapak punya hak, bukan dia punya nenek punya hak. NSB. Wawancara, 28 Juni 2009 Membuat tena laja oleh seorang yang bukan atamola akan menimbulkan musibah baik pada tena laja maupun pada orang yang membuat perahu tersebut, karena telah merebut hak atas pekerjaan dan hasil tikaman keturunan atamola. Tena laja dibuat dari bahan-bahan tersendiri. Bagian lunas keels of the boat harus menggunakan kayu kepapa. Lunas terdiri dari lima sambungan kayu mulai dari haluan sampai ke buritan. Untuk bodi perahu, dibuat dengan papan kayu jati. Di buritan, di atas kayu lunas terakhir terdapat madi yaitu papan ukir yang menyatukan lambung kiri dan kanan perahu sekaligus sebagai patokan tinggi tena laja. Madi menjadi tempat sandaran bagi juru mudi. Baik kayu lunas maupun papan lambung perahu disambung dengan ketentuan khusus yang tidak boleh salah. Layar dibuat dari pucuk daun gewang yang dianyam. Di bagian depan perahu terdapat susunan papan yang disambungkan dengan bambu sebagai tempat bagi juru tikam. Tombak untuk menikam menggunakan bambu pering, di ujung atasnya ditancapkan tempuling. Dahulu tempuling dibuat dari kayu, setelah kemampuan mengolah besi dikenal, tempuling diganti dengan besi yang ditempa. Satu bagian yang sangat menentukan pada tena laja yaitu tali leo, yang terbagi atas dua jenis yaitu tale leo fa dan tale leo bele. Keduanya dibuat khusus dari kapas yang dipintal. “Tali leo dua-dua yang hitam di perahu itu tidak boleh diganti. Kalau tali yang lain boleh diganti. Dulu tali leo kita pakai gebang. Sekarang tradisinya, leo, leo bele dengan leo fa tidak boleh diganti. Kalau bahasa kita punya bilang tena fuku lai. Leo itu lain. Jadi kalau diganti engkau tidak lihat ikan, tidak dapat ikan. Satu kali Bapak AB, beliau punya perahu Kelulus. Diganti dengan tali plastik, tali di toko. Di pasang di tempuling. Mereka tidak dapat lihat ikan, ikan juga tidak jinak. Pulang kosong, padahal perahu lain tikam pari besar sampai empat, tiga, rame-rame. Perahu semua pakai dayung. Akhirnya mereka tidak kuat lalu pakai layar. Istri anak-anak sudah tunggu bapak mereka di pantai, pulang sana mereka kosong. Itu mereka mau coba ganti tali di leo itu. Lalu semua matros bilang mereka harus ganti lagi leo itu, kalau tidak mereka tidak bawa perahu ke laut. Baru besoknya setelah diganti, mereka tikam dua” NSB. Wawancara, 28 Juni 2009. Bagian-bagian pada tena laja memiliki hubungan satu dengan lainnya. Tena atau badan perahu harus dipasangkan dengan laja atau layar. Sekalipun layar tidak dipakai karena fungsinya digantikan oleh alat lain seperti mesin jonson saat ini, tidak berarti layar boleh dilepas dan di tinggal di daratan. Sementara itu tali leo adalah ruh bagi tena laja, sehingga tidak diperkenankan untuk menggantikannya dengan tali dari jenis yang lain. Secara khusus, tena laja dihubungkan dengan koteklema. Keistimewaan ini diejawantahkan dalam beberapa perlakukan khusus yang dipertahankan sampai saat ini. Berdasarkan informasi yang disampaikan Mustika 2006 dari hasil wawancaranya dengan ADK diatas, hal ini menunjukkan bahwa dahulu paus sperma bukanlah target buruan utama. Walaupun begitu perburuan koteklema telah berlangsung ratusan tahun dan mempengaruhi nilai spiritual mereka. Masyarakat Lamalera telah memaknai koteklema berbeda dengan ikan-ikan lainnya, bukan karena ukurannya yang sangat besar sehingga seekor koteklema bisa memenuhi kebutuhan banyak orang dalam kampung. Tetapi koteklema diyakini juga sebagai kiriman nenek moyang pada saat kampung mereka dalam keadaan paceklik, seperti pada saat dulu leluhur mereka bermigrasi dan koteklema dikirim untuk membantu mereka yang bertahan dalam pelayaran yang panjang.

4.3.2. Tena laja dan Koteklema