Sistem Sosiokultur Lamalera dalam Sudut Pandang Ekologi Budaya

Kompetisi dilakukan dalam memperebutkan koteklema untuk di tikam. Masing-masing tena laja akan berusaha menikam koteklema lebih dulu dari yang lainnya karena dengan demikian, ia memiliki hak untuk mempertahankan koteklema sampai berhasil. Apabila satu koteklema memungkinkan untuk ditikam oleh beberapa tena laja, maka juru tikam yang pertama kali berhasil menancapkan tombaknya ke tubuh koteklema adalah pemiliknya. Dengan begitu, tena laja yang lain tidak diperkenankan untuk terus memburu koteklema tersebut, kecuali sampai pada saat tena laja yang pertama tidak berhasil menjinakan koteklema dan meminta bantuan kepada tena laja yang lain. Kerjasama antara tena laja terjadi dengan tujuan mempertahankan koteklema bisa tetap berada dalam gerombolan sehingga memudahkan untuk menikamnya. Ketika satu koteklema berhasil ditikam maka biasanya koteklema yang tertikam akan dibantu oleh koteklema lain. Apabila yang ditikam adalah koteklema muda maka induk koteklema tersebut akan melindungi anaknya dan ketika itu sikapnya akan terlihat semakin liar. Dalam kondisi seperti ini, kerjasama kembali dibutuhkan untuk saling menjaga agar tena laja tidak dihantam oleh koteklema yang marah.

4.4. Sistem Sosiokultur Lamalera dalam Sudut Pandang Ekologi Budaya

Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan dengan menciptakan teknologi untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada seperti yang diungkapkan Steward ketika mengembangkan pendekatan ekologi budaya. Adaptasi dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk bertahan hidup yaitu memenuhi kebutuhan dasar ketersediaan makanan. Dalam pandangan ekologi budaya, sebuah ekosistem menjadi landasan sehingga terbangun sistem kehidupan sebuah masyarakat. Sistem yang dimaksud adalah sebuah pengelolaan kehidupan yang menyeluruh mulai dari pengelolaan ekonomi baik berupa teknologi produksi, distribusi dan pertukaran serta kelembagaan sosial, aturan, norma dan keyakinan. Paparan mengenai lingkungan dan kebudayaan masyarakat Lamalera di atas, akan diurai lebih lanjut dengan teori ekologi budaya Steward. Adaptasi terhadap lingkungan yang berhasil telah mendorong leluhur orang Lamalera mempertahankan keberadaannya mereka di daratan pesisir selatan Pulau Lembata. Keahlian melaut dan teknologi produksi yang yang mereka miliki sesuai dengan ekosistem Laut Sawu yang kaya. Laut ini memberikan jaminan kebutuhan pangan untuk mereka. Ekosistem Laut Sawu merupakan sumberdaya penting yang menentukan sistem sosiokultur masyarakat Lamalera. Sumberdaya ini diolah dengan teknologi sederhana yang terdiri atas peralatan melaut tena laja, kemampuan mengenali spesies ikan dan mamalia yang ada serta keahlian untuk memburu dan menikamnya. Teknologi eksploitasi ini selanjutnya membentuk sistem yang mereka jadikan kerangka dalam kehidupan. Kerangka yang mempertemukan setiap individu dalam suku dan suku dalam komunitasnya. Gambar 5 merupakan bangunan sistem sosiokultur masyarakat Lamalera yang peneliti simpulkan mengacu pada perspektif ekologi budaya Gambar 5. Sistem Sosiokultur Komunitas Nelayan Lamalera Ditinjau dari Perspektif Ekologi Budaya Sistem norma Sistem Religi Org. Ekonomi Pola pertukaran Modal Produksi Pola Distribusi Teknologi Produksi Paus, Pari,Hiu Laut dalam Daratan curam Lumba-lumba Sawu berbatu Berburu koteklemapaus, lumba-lumba, pari dan hiu dengan sistem tikam Sumberdaya Laut Sawu memiliki makna tersendiri bila digandengkan dengan tena laja. Secara historis tena laja selain menjadi kendaraan dalam masa bermigrasi, juga merupakan teknologi produksi yang memadai. Saat ini, tena laja masih menjadi alat produksi sebagaimana fungsinya dulu. Tena laja dan lautan yang kaya mamalia dan ikan dilihat sebagai pasangan. Tena laja menjadi tumpuan hidup. Di sinilah terletaknya pemaknaan pokok terhadap Laut Sawu dan tena laja, yaitu kepentingan ekonomi bagi seluruh masyarakat Lamalera. Untuk kepentingan dasar ini, segala sistem sosial lainnya baik yang pokok maupun sistem pendukung dikembangkan. Pertama yaitu pengelolaan ekonomi komunal berbasis suku. Tena laja adalah alat produksi bersama yang dimiliki oleh setiap suku. Di dalam masing-masing suku, terdapat kelompok yang mewakili setiap rumah tangga dalam suku untuk mengadakan dan memfungsikan alat produksi ini. Di dalam kelompok yang disebut uma dibuat aturan mengenai pola distribusi hasil tikaman yaitu bagaimana setiap hasil tikaman dapat terbagi secara merata kepada anggota uma serta pihak lain yang berkontrobusi dalam membuat tena laja serta terlibat dalam perburuan. Pola distribusi yang mengakomodasi semua banyak pihak serta memperhatikan anggota suku yang memiliki keterbatasan serta kerabat lain diluar suku. Sebagai contoh adalah pembagian pada hasil tikaman koteklema yang ditampilkan pada gambar 6. Pada koteklema, hasil tikaman dibagi menjadi 21 bagian untuk suku pemilik tena laja, meing atau awak perahu, atamola, lamafa atau juru tikam serta semua pihak yang berkontribusi pada setiap bagian perahu dan proses berburu dan menikam. Pada koteklema, dengan begitu banyaknya orang dan rumah tangga yang mendapat bagian, sehingga tepat bila dikatakan bahwa kebutuhan hidup di dalam lefo terpenuhi. Dengan distribusi hasil tikaman, keterjaminan sosial bagi orang miskin, wanita janda dan anak yatim diakomodir. Pola distribusi ini berlanjut dengan pola pertukaran dengan masyarakat desa sekitar. Barter antara masyarakat Lamalera dengan masyarakat di pegunungan terjadi di desa dan di pasar kecamatan. Potongan ikan kering ditukar dengan sejumlah jagung, padi, sayuran, buah sirih serta hasil kebun lainnya yang tidak diproduksi di Lamalera. Gambar 6. Pembagian hasil tikaman koteklema Keterangan: 1. Leffo 8. Nupotkg tempuling 15. Befana bela 2. Tena alep 9. Uma meing 16. FadarTena alep 3. Baladdameing 10. Uma alep 17. Tebameing 4. Tena alep 11. Kefokosebauma 18. Iku lajatena alep 5. Lekobamboo 12. Labaketilo 19. Iku lajameing 6. Mima Uma alep 13. Tena alep 20. Itingmeing 7. Novaklamafa 14. Tilo 21. Faij pukemeing Sistem ekonomi komunal terikat sangat erat dengan sistem kekerabatan. Patrilineal adalah sistem kekerabatan yang mengatur hubungan antar individu. Laki-laki memiliki peran penting karena mereka yang pertama menggerakkan aktivitas ekonomi ini. Dalam sistem patrilineal, keberlangsungan suku ditentukan oleh ada atau tidaknya laki-laki. Artinya apabila jumlah laki-laki berkurang maka suku tersebut terancam punah dan apabila tidak ada maka suku tersebut dipastikan akan hilang. Di Lamalera keberadaan laki-laki menjadi lebih penting termasuk dalam mereka. Semakin banyak jumlah laki-laki maka akan semakin mudah untuk menggerakkan tena laja. Bahkan terbuka pula kesempatan untuk membuat sapang apabila satu tena laja tidak cukup menampung semua anggota suku. Lain halnya apabila jumlah laki-laki sedikit atau kurang dari jumlah yang dibutuhkan untuk menggerakkan tena laja. Bila ini terjadi, maka dikhawawatirkan tena laja yang ada tidak dapat dioperasikan di musim lefa karena kekurangan tenaga meing. Meskipun dapat dibantu oleh meing dari suku lain, tetapi penggerak utama sebuah tena laja tetaplah meing dari dalam suku tersebut. Saat penelitian dilakukan cukup banyak tena laja yang tidak beroperasi. Beberapa disebabkan karena jumlah laki-laki suku tersebut memang sedikit. Lainnya disebabkan karena banyak laki-laki di suku tersebut yang merantau dan hidup di luar lefo. Di sisi yang lain, karena sistem ekonomi berdasarkan pada kesatuan suku dan tena laja merupakan alat produksi bersama, maka tidak ada kelompok pemilik alat produksi dan pekerja di Lamalera. Setiap orang adalah pemilik sekaligus bekerja pada tena laja suku masing-masing. Meskipun dalam teknisnya pengelolaan tena laja dipercayakan pada satu orang yang disebut tana alep tetapi itu tidak berarti tena alep bisa mengambil keputusan tanpa bermusyawarah dengan uma atau setiap anggota suku yang memiliki hak atas sebuah tena laja. Tidak ada kelas sosial atau stratifikasi ekonomi dimana pembedaan masyarakat berdasarkan pada penguasaan dan pemilikan materi dalam masyarakat tradisional Lamalera. Pengelompokan masyarakat di Lamalera lebih banyak didasari oleh peran dan fungsi masing-masing orang terhadap suku maupun komunitas secara keseluruhan. Selain tiga pemuka suku besar yaitu Bataona, Belikololo dan Lefotukan yang berperan sebagai likatelo atau lembaga kepemimpinan di dalam masyarakat serta 2 dua suku tuan tanah, semua masyarakat diposisikan secara sama dan tanpa kelas. Sebuah status yang ditumpangkan kepada seseorang adalah status turunan yang mengampu fungsi dan peran tertentu tetapi tidak bermakna kelas, seperti seorang atamola yang merupakan laki-laki dengan keahlian yang berguna bagi masyarakat. Selanjutnya, sumberdaya laut Sawu dan tena laja mengukuhkan kewibawaan lembaga kepemimpinan likatelo. Karena Laut Sawu dan tena laja merupakan moda produksi bersama, maka likatelo berwenang untuk mengatur setiap hal yang berkaitan dengan penghidupan di laut ini. Likatelo memimpin masyarakat untuk memulai lefa, mencari penyelesaian terhadap masalah dalam masyarakat, berada di depan masyarakatnya dalam melewati masa-masa sulit, paceklik dan ketika menghadapi bencana terutama bencana yang datang dan terjadi di laut. Organisasi ekonomi yang berkembang di Lamalera tidak lepas dari sistem kehidupan lain seperti sistem religi dan norma sosial. Nilai-nilai keyakinan, agama katolik serta etika yang dihidupkan di dalam lefo semua dikembalikan pada ketergantungan dan kebutuhan mereka terhadap laut. Kepercayaan animisme berhubungan dengan jiwa-jiwa nenek moyang mati di laut, misi katolik digandengkan dengan kepercayaan animisme tersebut. Sedangkan etika bermasyarakat, hubungan antar orang, pemaknaan terhadap konflik yang terjadi antara individu dan suku baik yang terlihat ataupun tidak dianggap akan berimbas pada setiap kegiatan di laut. Di atas peneliti telah menguraikan bagaimana kuatnya hubungan budaya di Lamalera dengan ekosistem laut. Laut Sawu, habitat mamalia laut, pari, hiu serta ikan besar lainnya dan daratan berbatu karang telah membangun sebuah sistem sosiokultur dari basis sistem ekonomi berburu dan menikam mamalia laut dan ikan. Semua aspek kehidupan selalu terhubung dengan kebutuhan dan ketergantungan mereka terhadap ekosistem ini. Sistem sosial, kekerabatan dan sistem nilai menjadi pendukung untuk kukuhnya sistem ekonomi yang bertumpu pada sumberdaya laut. BAB V PENGARUH MOTORISASI TERHADAP SISTEM SOSIOKULTUR DI LAMALERA Masyarakat Lamalera mengalami perubahan, sebagaimana juga pernah dikatakan oleh Barnes 1996. Apa penyebab perubahan tersebut? Bagaimana perubahan yang terjadi dan bagaimana implikasi perubahan tersebut terhadap sistem sosiokultur di Lamalera? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas selanjutnya. Ada dua penjelasan yang dikemukakan untuk menjawab pertanyaan mengenai penyebab perubahan. Pertama perspektif materialisme menganggap bahwa faktor-faktor material merupakan penyebab utama pada perubahan sosial dan budaya. Faktor-faktor material yang dimaksud adalah hal-hal yang berhubungan dengan faktor ekonomi atau teknologi yang terkait dengan ekonomi produksi Harper 1989: 55. Pemikiran yang berkembang dalam perspektif ini melihat teknologi dan moda produksi mode of production menciptakan perubahan dalam interaksi sosial, organisasi sosial, budaya, nilai-nilai serta norma-norma. Kedua, perspektif yang melihat perubahan sosial disebabkan oleh faktor-faktor seperti nilai-nilai, ideologi dan keyakinan. Pemikiran yang memiliki pandangan seperti ini dikelompokkan pada perspektif idealistik. Yang dimaksud dengan ide pada perspektif ini meliputi pengetahuan dan kepercayaan. Sedangkan nilai-nilai diasumsikan sebagai hal-hal yang diinginkan dan tidak diinginkan. Ideologi diartikan sebagai penataan gabungan kepercayaan dan nilai-nilai yang diciptakan untuk melegitimasi bentuk-bentuk aksi manusia 30 . Perubahan menurut teori ekologi budaya berawal dari perubahan dalam budaya material. Penekanannya diletakkan pada teknologi subsistensi, yaitu teknologi dasar yang menopang kebutuhan manusia dalam bertahan hidup. Teknologi ini terdiri atas peralatan, instrumen, teknik dan pengetahuan yang digunakan untuk beradaptasi dengan alam. Teori ekologi budaya memiliki pandangan yang relatif sama dengan pendekatan materialisme dalam melihat perubahan. Dalam evolusi materialisme yang dikembangkan oleh Marx, sistem 30 Harper dalam Exploring Social Change 1989: 58 mengkategorikan demokrasi, kapitalisme dan sosialisme sebagai bentuk ideologi. sosiokultur terdiri atas tiga komponen dengan titik awal pada infrastruktur material, struktur sosial hingga superstruktur ideologis. Para penganut pemikiran Marxian menganggap cara ini yang memungkinkan kita untuk melihat sistem sosiokultur masyarakat secara keseluruhan. Steward melihat hubungan lingkungan dan teknologi sebagai proses adaptasi, sedangkan pendekatan materialisme membagi infrastruktur material atas empat sub-unit dasar yaitu teknologi, ekonomi, ekologi dan demografi. Perubahan bisa bermula dari salah satunya. Sama halnya dengan perspektif materialisme, bagi Steward perubahan lingkungan akan menyebabkan perubahan pada teknologi eksploitasi. Teknologi juga bisa berkembang seiring dengan bertambahnya kemampuan manusia dalam memperbaiki teknik adaptasinya. Bentuk perubahan ini terjadi di Lamalera, dimana telah dikenal teknologi baru yang membantu dan merubah cara nelayan Lamalera memanfaatkan sumberdaya alam mereka. Sistem ekonomi produksi modern telah menggeser sistem ekonomi produksi tradisional yang dalam perspektif ekologi budaya merupakan basis bagi sistem sosiokultur komunitas nelayan Lamalera. Nelayan tradisional Lamalera memiliki teknologi eksploitasi substansial yaitu tena laja atau peledang. Fungsi dasar tena laja adalah untuk menikam mamalia laut dan ikan besar. Tena laja dimiliki oleh suku dan menjadi penopang perekonomian suku atau beberapa keluarga dalam satu suku. Pola Produksi yang dilakukan dengan tena laja adalah sistem tikam dengan buruan utama pari manta, paus, hiu, lumba-lumba dan ikan berukuran besar lainnya. Perubahan yang signifikan terjadi ketika masuk mesin johnson. Mesin yang pada awalnya bagi nelayan Lamalera hanya digunakan untuk membantu transportasi. Perubahan terus terjadi dengan masuknya alat tangkap jaring pukat yang memunculkan inisiatif bagi nelayan Lamalera untuk membuat sampan besar yang sedikit lebih kecil dari tena laja sebagai pasangan jaring pukat ini. Mesin dengan bahan bakar minyak tanah dan bensin ini dipasangkan pada sampan besar berisi jaring pukat sehingga melahirkan sistem produksi yang berbeda dengan sistem tradisional tikam, yaitu sistem pukat. Penggunaan sistem pukat terus diminati oleh sebagian besar nelayan. Walaupun tidak meninggalkan sistem penangkapan tradisional tikam, akan tetapi rendahnya antusias masyarakat untuk menghidupkan lefa umumnya dipengaruhi oleh banyak tenaga meing yang keluar malam untuk berpukat. Jauh sebelum pengoperasian pukat-mesin dan sampan besar, mesin juga telah digunakan untuk membantu tenaga meing untuk menggerak tena laja dan menggunakannya di sampan besar untuk menikam ikan dan mamalia laut selain koteklema.

5.1 Sistem Tikam